18 Juni 2008

Mungkin Artikel Ini Menarik Bagi Anda...

Cover Story
Majalah Tempo - 27 Mei-2 Juni 2008

Siaga Satu RI-1

Pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak. Protes para penentang mengeras. Istana khawatir jatuh martir, Presiden pun membatalkan lawatan ke Italia.

***-

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono mestinya melawat ke Roma, Italia, pekan depan. Ia akan menghadiri
Pertemuan Tingkat Tinggi Keamanan Pangan Dunia.Pertemuan yang diselenggarakan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) ini antara lain membahas krisis pangan dunia. Tapi krisis di dalam negeri kemungkinan membatalkan agenda itu.

“Kunjungan Presiden ke Italia, juga Inggris, dibatalkan,” kata sumber Tempo. Dino Patti Djalal, juru bicara kepresidenan, tak membantah informasi ini. Namun ia mengatakan bahwa ini bukan pembatalan, karena rencana lawatan tersebut belum pernah dipublikasikan.

Pembatalan itu agaknya berkaitan dengan keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak. Diumumkan di kantor Menteri Koordinator Perekonomian di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, pada Jumat pekan lalu, harga baru premium Rp 6.000, solar Rp 5.500, dan minyak tanah Rp 2.500. Kenaikan itu rata-rata 28,7 persen.

Ini adalah kenaikan ketiga sepanjang pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Sebelumnya, pemerintah dua kali menaikkan harga bahan bakar minyak, yakni pada 1 Maret 2005 dan 1 Oktober 2005 (lihat tabel). Seperti yang dulu-dulu, suhu politik memanas menjelang pemerintah menetapkan keputusan itu. Ribuan demonstran yang memprotes keputusan pemerintah itu turun di jalanan Jakarta, Rabu pekan lalu.

Demonstran berjalan sepanjang Bundaran Hotel Indonesia hingga Istana Kepresidenan. Ribuan orang dari pelbagai kelompok usia itu mengatasnamakan antara lain Jaringan Pemuda Penggerak, Front Aksi Mahasiswa, Front Kebangkitan Petani dan Nelayan, Komisi Orang Miskin Indonesia untuk Keadilan, Front Rakyat Menggugat, dan Serikat Rakyat Miskin Indonesia. Demonstrasi ini berakhir rusuh. Polisi menangkap puluhan orang.

Demonstrasi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan sejumlah kelompok mahasiswa. Aksi ini pun berakhir rusuh, dengan tiga demonstran terluka. Pada Jumat sore, menjelang kenaikan harga diumumkan, ratusan mahasiswa Universitas Nasional berkumpul di kampus mereka di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Mahasiswa pun memblokir pertigaan Jalan Pejaten Raya untuk dijadikan tempat berorasi.

Sejenak sebelum tengah malam, terjadi bentrokan kecil dengan polisi. Tapi, menjelang subuh, polisi menyerbu masuk ke kampus. “Polisi terpaksa masuk karena mahasiswa melempari kami dengan bom molotov,” kata juru bicara Markas Besar Kepolisian, Inspektur Jenderal Abubakar Nataprawira.

Bentrokan pun tak terhindarkan. Kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik pun remuk. Kaca-kaca berceceran. Tetesan darah dibiarkan membeku di salah satu blok. Satu mobil dan satu sepeda motor ikut rusak. "Kami akan berkonsultasi dengan pengacara untuk menuntut pihak kepolisian," kata Hasto Atmodjo Surojo, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Dalam peristiwa ini, 141 mahasiswa dibawa ke kantor polisi.

Protes serupa dengan jumlah yang cukup masif dilakukan di kota-kota lain, sepanjang pekan lalu. Beberapa juga diakhiri dengan bentrokan, seperti di Makassar dan Yogyakarta. Aksi dipastikan akan terus berlangsung setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak.

Semaraknya jalanan oleh aksi para pemrotes itu membuat Yudhoyono memutuskan tetap berada di Tanah Air. Sumber Tempo mengatakan, RI-1 khawatir suhu terus memanas setelah harga baru bahan bakar diberlakukan. “Presiden khawatir jatuh martir: ada demonstran yang tewas dibunuh,” ujarnya.

Sepuluh tahun lalu, situasi tak terkendali setelah empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas. Situasi genting itu memaksa Soeharto meninggalkan kekuasaan yang selama 32 tahun ia genggam. Itu sebabnya, Istana wanti-wanti kepada aparat keamanan di lapangan. Polisi dilarang membawa senjata api pada saat menghadapi demonstran.

Pasukan pengamanan Istana juga “menanamkan” unit-unit tersembunyi alias intel. Anggota unit ini mengamati dari dekat kegiatan para demonstran. Rabu pekan lalu, ketika tersiar kabar demonstran tertembak di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat, para intel itu mengikuti korban hingga Rumah Sakit Pelni, Petamburan, Jakarta Barat. Mereka lega setelah melihat demonstran yang dikabarkan luka parah ternyata ikut salat berjemaah.

Budi Darma, demonstran yang dikabarkan tertembak itu, mengatakan aksi unjuk rasa sebenarnya sudah hendak berakhir. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia itu telah melepaskan jaket almamaternya. Namun suasana berubah cepat menjadi kisruh. Lalu seorang “aparat berbaret cokelat” mendekatinya. “Ia mengarahkan senjata laras panjang,” ujarnya kepada Fery Firmansyah dan Ismi Wahid dari Tempo. “Tiba-tiba saya merasa perih sekali.”

Ia mengaku tertembak peluru karet, tapi tak bisa menemukan selongsongnya. Perban tampak ditempelkan di dada kiri. Menurut Adi Negoro, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa fakultas itu, tim dokter memastikan tak ada luka dalam di tubuh rekannya. “Hanya ada luka memar sepanjang tiga sentimeter,” tuturnya.

***

Para pendukung Presiden menuding aksi-aksi menentang kenaikan harga bahan bakar itu bermotif politik. Tujuannya apa lagi kalau bukan menjatuhkan pamor Yudhoyono pada Pemilu 2009. “Seorang mantan menteri di balik aksi-aksi demonstrasi,” kata Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar.

Tak sulit menebak, telunjuk Syamsir ditujukan ke Rizal Ramli. Menteri Koordinator Perekonomian kabinet Abdurrahman Wahid itu memang kerap turun ke jalan. Tapi ia membantah “menunggangi” aksi mahasiswa. “Tudingan itu merupakan penghinaan terhadap kecerdasan mahasiswa,” ujarnya.

Kalangan dekat Istana mengelompokkan Rizal dalam satu barisan dengan Wiranto, mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia yang kini memimpin Partai Hanura, dan Fuad Bawazier, mantan Menteri Keuangan yang kini juga bergabung ke partai itu. Kelompok ini mengusung bendera Front Rakyat Menggugat.

Di lapangan, kelompok ini membawa isu yang sama dengan Wiranto: kemiskinan. Ketika berorasi di Bundaran Hotel Indonesia pada Rabu pekan lalu, para aktivis kelompok itu mengatakan 40 juta orang merupakan penduduk miskin. Adapun 15 juta orang tak punya pekerjaan. Topik ini merupakan isu sentral dalam iklan yang dipasang tim Wiranto di berbagai media.

Baik Wiranto, Rizal, maupun Fuad Bawazier mengatakan tidak menggerakkan demonstrasi. Fuad mengakui sejak awal menolak keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak. Penolakan yang sama, menurut dia, juga disuarakan kelompok masyarakat lainnya. “Tanpa digerakkan pun, banyak orang yang ikut memprotes,” kata Menteri Keuangan kabinet terakhir Soeharto itu.

Isu bahan bakar minyak memang merupakan senjata ampuh untuk menyerang pemerintah. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Keadilan Sejahtera mengatakan akan mengajukan hak interpelasi Dewan Perwakilan Rakyat. “Pemerintah seharusnya mencari pilihan selain menaikkan harga bahan bakar,” kata Mahfudz Siddiq, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Pendapat serupa dikemukakan Maruarar Sirait, Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Padahal, Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2008 memberikan peluang kepada pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar bersubsidi. Dalam pasal 14 disebutkan bahwa itu bisa dilakukan jika ada perubahan yang signifikan. Dalam penjelasannya, perubahan yang signifikan adalah jika perkiraan harga rata-rata minyak mentah Indonesia dalam satu tahun di atas US$ 100 per barel, yang berdampak pada pelampauan beban subsidi. Kondisi itu jelas sudah terpenuhi.

Tapi pasal itu agaknya diabaikan banyak partai, yang nota bene fraksinya ikut meneken undang-undang tersebut. “Biasalah, menjelang pemilihan umum, banyak partai mencari kredit dari rakyat,” kata seorang pejabat pemerintah. Itulah yang membuat mereka tetap akan mengajukan hak interpelasi.

Keputusan pemerintah itu juga mengancam popularitas Yudhoyono. Tiga tahun lalu, ketika pemerintah menaikkan harga bahan bakar hingga dua kali lipat, pamor Presiden Indonesia keenam itu memang relatif stabil. Berdasarkan hasil sigi Lembaga Survei Indonesia, ketika itu popularitasnya hanya turun 4 persen dari semula 69 persen.

Kini modal awalnya sudah berkurang cukup drastis, menjadi tinggal 52 persen saja. Namun angka tersebut toh masih jauh lebih tinggi dibanding politikus lain yang disebut-sebut akan maju menjadi calon presiden. Menurut survei pada Januari lalu, popularitas Megawati Soekarnoputri, yang menjadi pesaing terdekat Yudhoyono, masih berada di kisaran 32 persen.

Menurut juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng, Presiden Yudhoyono memilih kebijakan yang tak populis demi menyelamatkan negara. “Lebih baik mengorbankan popularitas daripada kepentingan negara,” ia mengatakan. Tapi ia yakin kenaikan harga minyak itu tidak akan mempengaruhi pamor bosnya dalam pemilihan umum tahun depan.

Pekan-pekan ini, lawan politik akan terus menggerus popularitas Yudhoyono. Sang Presiden akan tetap tinggal di Jakarta. Ariverdeci, lupakan Italia….

Budi Setyarso

Tidak ada komentar:

TERBITAN KPRM-PRD