28 Februari 2008

[Nasional] Politik Rakyat Miskin


Resume Diskusi KPRM-PRD

1. Setahap demi setahap kemampuan industri (nasional) hancur, terutama force of production-nya, tidak signifikan lagi untuk membangun kemandirian. Dibandingkan Bangladesh saja, biaya peningkatan force of production-nya bahkan lebih rendah―biaya peningkatan pelatihan dan peningkatan sumber daya manusianya di atas US$ 1.oo per kapita; sedangkan di Indonesia di bawah US$1.oo. Ekonom borjuis saja memintanya ditingkatkan, terutama dalam hal teknologi. Kemudian, investasi―baik dalam perdagangan, industri, atau pun jasa―semakin mengarah (baik swastanya maupun pemerintah) ke konsep penyaluran kapital asing. Kapital asing tersebut, sebenarnya, sudah tak bisa (baca: tak berkehendak) disalurkan/ditampung/ditanamkan kembali di negerinya sendiri [1] sehingga gelembung modal (asing) tersebut berupaya dimasukkan ke dalam negeri, dan ditampung (baik oleh agen swastanya maupun pemerintah). Alat pendesaknya adalah lembaga-lembaga keuangan, perdagangan dan pembangunan dunia, seperti International Monetary Fund (IMF), World Trade Organization (WTO), World Bank (WB), kesepakatan-kesepakatan/lembaga-lembaga bilateral dan multilateral lainnya, dan lain sebagainya. Bahkan, perkembangan terbaru dalam sejarah penanaman modal asing di Indonesia adalah: modal-modal tersebut ditampung oleh berbagai BUMN secara besar-besaran―baik sebagai peserta modal maupun sebagai pembeli langsung BUMN dan bank-bank yang diambil alih pemerintah (yang sudah atau tetap bangkrut walaupun sudah dipasok BLBI). Investasi spekulatif yang sangat berbahaya adalah portofolio, yang tak bisa diinvestasikan di sektor riil tapi diperjudikan lewat lalu-lalang perdagangannya. Itulah juga mengapa lembaga-lembaga keuangan (kredit) asing mulai marak di Indonesia.

2. Dampak dari kebijakan ekonomi seperti itu adalah kenaikan harga dan turunnya daya beli rakyat [2], terutama di sektor pertanian yang tak tersentuh modal―kecuali sektor agribisnis besar (seperti sawit, karet dan beberapa perkebunan besar negara). Dan pengangguran semakin terasa (juga peningkatannya). Itulah mengapa gerakan spontan mulai merebak dan meningkat di mana-mana, bahkan kwalitasnya pun mulai meningkat―peningkatan golput, penjatuhan pimpinan daerah dan sebagainya. (Apapun alasannya, Golput adalah cermin tak adanya harapan akan alternatif.)

3. Namun, berbeda dengan sebelum tahun 1998, sekarang gerakan spontan (dan tak spontan) terbagi dalam 2 spektrum. Spektrum gerakan: mendekati tahun 1998, kaitan antara gerakan 80an/90an dengan gerakan 98 mulai kelihatan putus (secara organisasional maupun pengaruh ideologis), apalagi beberapa gerakan yang tadinya memiliki pengaruh kuat masih bergerak di bawah tanah sehingga tak bisa terlibat penuh bersama gerakan 98 dan kaitannya dengan gerakan mahasiswa melemah. Dan, setelah tahun 1998, beberapa elemen gerakan 80an, 90an dan 98 mulai dikooptasi oleh elit-elit, kelompok-kelompok, partai-partai kaum reformis gadungan―termasuk, contohnya, semua Ketua Umum PRD masuk ke kubu mereka. Sehingga, kaitan gerakan (spontan)―yang terus menerus berkembang dan meningkat saat ini―dengan gerakan 80an dan 90an semakin menurun.

4. Spektrum lain gerakan (spontan) lainnya, spektrum 2 gerakan, yang kwantitas (dan bahkan kwalitasnya mulai) meningkat secara signifikan di seluruh nasional (kecuali di daerah-daerah terpencil), adalah: gerakan spontan-ekonomisme-fragmentatif, yang tak memiliki atau kecil sekali kaitannya dengan gerakan 80an, 90an dan 1998, atau tak memiliki/kecil sekali kaitannya dengan spektrum 1 gerakan. Statistik aksinya sudah puluhan aksi per bulannya―yang menggembirakan, ketimbang sebelum tahun 1998, gerakan tani juga semakin meningkat, bukan saja dalam hal perebutan/pendudukan (reclaiming) tanah, tapi juga dalam issues yang tak kasat mata seperti soal pupuk, pengairan, harga gabah, impor beras dan lain sebagainya. Itulah kondisi objektif yang memudahkan―namun bisa dilihat sulit atau belum memadai (oleh kaum mayoritas di PRD dan PAPERNAS)―untuk diolah sebagai landasan memajukan gerakan; padahal, bukan kondisi obyektifnya yang menyulitkan atau belum memadai untuk diolah, namun karena kondisi subjektifnya yang tidak jalan. Itulah yang mendemorasilisasi mereka; buruk rupa cermin dibelah.

5. Kemudian, hal yang menggembirakan lainnya adalah: issues kemandiran bangsa, nasionalisasi, kontrak ulang dan sebagainya mulai diangkat oleh sebagian (kecil) kelas menengah dan elit politik―Amien Rais hendak bangkit lagi dengan mengangkat issues tersebut. Terlepas dari motifasi mereka yang sekadar mencari popularitas (menaikan nilai tawarnya) dan hendak meningkatkan harga jual sumber daya alam nasional (baca: harga jual bangsa) kepada imperialis.

6. Hal lain yg menyulitkan (tapi memudahkan kita memahami musuh) yakni, karena kejatuhan Gus Dur, ada 3 kekuatan yang sedang dan akan berusaha terus berkuasa: 1) revitalisasi atau restorasi Orde Baru dalam manifestasi Golkar; 2) kaum reformis gadungan, terutama yang menjadi benalu pada momen reformasi tahun 1998, seperti PKS dan lain sebagainya; 3) Tentara. Kejatuhan Gus Dur adalah cerminan bagaimana tentara mendukung kelompok (1 dan 2 tersebut) untuk menjatuhkan Gus Dur—terutama Ryacudu. Dan sekarang, kecenderungan ekonomi-politik mereka adalah menjadi agen modal (penjajah) asing.

7. Musuh lainnya: penjajah (modal) asing. Mereka sekarang sedang butuh pembuangan modal―bukan di Afrika, tentunya, kecuali di Afrika yang kaya sumberdaya alamnya, terutama yang kaya enerji (karena mereka belum bisa beralih seketika ke enerji lain), pertambangan lainnya, dan mineralnya. Dan, di negeri-negeri berkembang, reinvestasi modal asing dalam bentuk constant capital (dalam konsep force of production) peningkatannya sedikit/lambat. Dinamika modal (dalam konsep force of production) ada di negeri asalnya; sedikit saja keuntungan yang diperoleh di negeri-negeri berkembang, akan dengan segera ditransfer ke negeri asalnya―di Indonesia, tentu saja atas tekanan “moralitas kebijakan-kebijakan” neoliberalis dan alat-alatnya, undang-undang lalu lintas devisa/modal sudah dan akan lebih dipermudah. Walupun telah diaudit, tak ada aturan seberapa porsi yang harus ditanamkan kembali. Itulah yang kemudian menjadi landasan bagi ajang kompetisi industri yang anarkis: masuk satu industri, maka industri (serupa) lainnya hancur―dan industri yang hancur justru industri yang banyak menyerap tenaga kerja, itulah mengapa mereka membutuhkan undang-undang yang menjamin outsourching, apalagi belakangan ini semakin anarkis. Konsekwensi langsungnya adalah: hancurnya produktivitas nasional; meningkatnya penganguran; dan turunnya daya beli mayarakat.

8. Soal budaya. Sekarang sudah mulai meningkat budaya ketidakpercayaan terhadap elit, alat-alatnya dan mekanisme-mekanismenya, dalam bentuk: SBY-JK tak bisa memberi jalan keluar; elit korup; pemilu bukan untuk partai alternatif; partai-partai politik yang ada bukan alternatif yang bisa memberikan jalan keluar. Dengan demikian, seharusnya, saatnyalah untuk mengolah gerakan karena hasilnya akan lebih menggembirakan; kondisi objektif lah yang lebih banyak membantu kita. (Dalam konsep Tiga Serangkai dan Soekarno: ketika rakyat sudah tak percaya lagi pada penjajahnya, walau Belanda menawarkan Volksraad, jawabannya: NON-KOOPERASI. Lawan! Bahkan kompromi dianggap tak akan bisa memberikan jalan keluar.)

9. Kemudian tentang dua taktik. Kaum pelopor sekarang berada dalam lautan kesadaran reformis (itulah mengapa butuh kaum pelopor yang bekerja keras dengan alat-alatnya yang kreatif, tepat dan meluas). Di mana-mana bergejolak tuntutan reformisme. Agar lautan kesadaran reformis tersebut menguntungkan gerakan maka harus dimobilisir menjadi tindakan politik―namun demikian, harus ada kompartemen kesadaran sosialis di lautan reformisme tersebut agar tidak sesat atau berputar-putar pada jalan keluar dan hasil yang reformis; dan agar secara simultan bisa memberikan kesadaran sosialis, tidak menahapkannya. Kita ambil hikmahnya kejadian di Nigeria: buruh pertambangan minyaknya sanggup mogok selam 3 bulan, bahkan merembet kemana-mana sehingga seluruh sektor perekonomian masyarakat lumpuh total, namun kesadarannya bukan kesadaran politik (tidak ada skenario politik melawan tentara) sehingga, ketika dipukul tentara, tak ada kesiapan untuk melawannya, dan kalah. Atau seperti LSM, yang tak menganjurkan untuk mengajarkan politik kepada rakyat―bahkan ada yang beralasan: nanti saja kalau massanya sudah besar. Sebesar apapun massanya, bila tak pernah diberikan acuan politik, maka akan semakin sulit untuk diajak bertindak politik (terlebih-lebih akan banyak dari kalangan pimpinan massanya yang akan menolaknya karena tidak sejak awal pimpinan massa tersebut diajarkan politik). Oleh karena itu, jangan disepakati bila PAPERNAS hendak dimatikan potensinya sebagai partai aternatif, yang akan memasokkan dan meyebarluaskan politik alternatif; lain lagi yang dapat diambil hikmahnya dari gerakan HAMAS yang, awalnya, memberikan kesadaran politis di landasan lautan kesadaran dan alat-alat reformis (koperasi dan advokasi) sehingga, setahap demi setahap, sesuai dengan pembesaran massanya, mereka bisa menjadi organisasi alternatif bagi rakyat: tetap melawan Israel (secara radikal dan militan), serta bisa memenangkan pemilu mengalahkan dominasi FATAH selama puluhan tahun.

10. Bagaimana situasi tersebut diarahkan/diolah dengan strategi-taktik kita―bisa saja dengan pemilu sebagai salah satu variabel politiknya, dan dengan koaliasi-pemilu sebagai salah satu unsur taktisnya (tapi koalisi dengan siapa?). Seharusnya, kesadaran koalisi yang harus dipropagandakan adalah: kita bisa menyerang musuh (obyektif) bersama, yakni: penjajahan (modal) asing; sisa-sisa Orde Baru (terutama GOLKAR), tentara, dan kaum reformis gadungan, sebagai bahaya nyata, bahaya mendesak. Namun, dalam koalisi, tak jadi masalah bila hanya program miminum saja yang bisa diterima oleh sekutu kita, tapi program minimum tersebut tidak boleh kontradiktif atau kontra-produktif terhadap program-program maksimum atau program sejati kita, atau kita dengan bebas, tak terikat, harus (di segala kesempatan) berupaya mempropagandakan program-program sejati kita. Oleh karena itu, koalisi dengan PBR TIDAK BOLEH![3]

11. Salah satu strategi-taktik mengembangkan partai dan politik alternatif rakyat miskin lihat tulisan Arah Pengorganisasian Massa untuk Revolusi dengan Metode Tiga Bulanan.

12. Sekali lagi, dari fakta yang ada dalam analisa situasi nasional di atas, jelas program yang harus diperjuangkan adalah menghancurkan: 1) sisa-sisa lama (Orde Baru dan Golkar); 2) tentara. Karena mereka terus mengendap-ngendap untuk mencari celah menjarah ranah sispil kembali, bahkan sekarang semakin terbuka bergerak naik. Ilusi yang dibangun adalah bahwa militer masih bisa dikontrol oleh sipil—misalnya dengan adanya kementerian pertahanan dan keamanan, yang menterinya seorang sipil—tak terbukti di lapangan, mereka tetap saja tak bisa dikontrol (kasus penembakan di Pasuruan, misalnya). Bahkan sekarang perluasan pengaruh militer di partai-partai semakin kuat. Artinya masih ada problem tentara, dan Dwi Fungsi harus dituntaskan; 3) reformis Gadungan. Kita harus membongkar ilusi terhadap reformis gadungan, agar rakyat bertambah mengerti. Harus ditunjukkan bahwa program reformasi pun tidak mau mereka tuntaskan, hanya sekadar janji; 4) penjajahan modal asing dan kapitalisme. Bila kita tak berhasil menyelesaikan problem penjajahan modal asing, maka kita telah kehilangan potensi untuk mengembangkan force of production sosialisme.

13. Sebagian aspek yang harus ditekankan dalam agitasi-propaganda adalah: jangan percaya pada neoliberalisme, karena semangatnya adalah semangat penjajahan, semangat penghisapan. Karenanya konsep neoliberalisme harus dirubah menjadi konsep penjajahan; jangan percaya pada sisa-sisa lama (Orde Baru dan GOLKAR); jangan percaya pada tentara (penindas rakyat); jangan percaya kaum reformis gadungan; jangan percaya partai-partai lama (yang bukan alternatif); yang lainnya adalah soal budaya: budaya kemandirian (anti penjajahan), budaya non kooperasi, budaya alternatif, budaya berlawan (radikal, militan, dan cerdik), budaya berorganisasi, budaya bersatu/kolektif, budaya membaca/belajar, budaya bekerja, budaya cinta ke-ilmiah-an, budaya sayang rakyat dan sesama, budaya cinta lingkungan, budaya demokratik, budaya anti rasialisme, budaya kesetaraan gender, budaya toleran terhadap orientasi seksual, dan lain sebagainya.

14. Hegemoni kepemimpinan program dan politik partai alternatif rakyat miskin sendiri memang tak bisa berkembang bila dilepaskan dari persatuannya dengan kelompok-kelompok lain. Tapi harus hati-hati memahami kelompok-kelompok tersebut. Bahkan spektrum gerakan lama (80an dan 90an) pun banyak yang sudah tak bersih lagi, sudah terkooptasi, dan campur aduk antara yg radikal dan moderat, sehingga malah bisa memperlambat gerakan. Bahkan, gilanya, yang radikal bisa terkooptasi oleh yang moderat―apalagi, setelah kejatuhan Suharto, bila tak jeli, sulit untuk menilai kadar kwalitas mobilisasi (yang tidak sepenuhnya politis) yang dilancarkan oleh unsur-unsur (terutama LSM) yang, pada masa Suharto, bukan main moderatnya. Misalnya, sebagai contoh, spektrum gerakan 80an dan 90an sudah mulai mencoba mewujudkan proyek persatuan, namun konsolidasinya masih campur aduk, tanpa unsur pelopor (yang bebas dan berkehendak memiliki program serta metode politiknya sendiri). Layaknya proyek mimpi. Karena itu, pengolahannya: harus ada analisa dan penetapan rangking unsur-unsur yang harus dipersatukan sesuai dengan program-program dan metode-metode politiknya, agar lebih cepat berkembang dan meluas. Masing-masing ada wadah persatuannya sendiri, namun kita tidak boleh sektarian dengan menghindarkan diri atau tidak terlibat dalam wadah-wadah persatuan yang program-programnya minimum dan metode-metode politiknya moderat. Bahkan kita harus juga mempelopori wadah-wadah seperti itu, sebagaimana layaknya kerja kaum pelopor di lautan kesadaran dan elemen-elemen reformis. Bila dapat diolah dengan efektif maka memungkinkan adanya perkembangan gerakan yang signifikan, sekaligus memungkinkan dihasilkannya figur-figur [yang, paling tidak, demokrat (sejati) atau populis] yang akan terus bertahan.

15. Isian politik dalam persatuan dengan unsur-unsur reformis, pada tahap awal, minimal ada dalam batas-batas demokrasi dan kesejahteraan. Kemudian, bila ada landasan komitemen kerja―terutama dalam upayanya menghancurkan sektarianisme, dengan melibatkan sebanyak mungkin unsur-unsur reformis [yang, bahkan, ada yang sudah menginginkan “alternatif” (dalam pengertian mereka]―maka wibawa persatuan akan meningkat (apalagi bila massanya meluas), dan kepercayaan terhadap persatuan, dengan demikian, akan meningkat pula. Dan bisa saja, pada satu kondisi yang memadai, wadah persatuan tersebut akan bertransformasi menjadi partai dan mengambil taktik pemilu dengan politiknya sendiri (yang masih reformis). Namun, pergerakan tersebut tidak boleh dilepaskan dari konsep perjuangan kompartemen sosialis di lautan kesadaran dan politik reformis, agar kita bisa mengambil manfaat terhadap perkembangan persatuan tersebut (lihat tulisan: Arah Pengorganisasian massa untuk revolusi dengan Metode Tiga Bulanan). Prosesnya sekarang adalah pembesaran gerakan sendiri dan gerakan persatuan, dengan tanpa membatasi atau menahap-nahapkan agitasi-propaganda sejati―tentu saja, dalam kesepakatan persatuan, kita akan dengan cerdik dan rendah hati[4] bisa berkompromi menyepakati reformasi yang menguntungkan rakyat (yang tidak berkontradiksi dan kontra-produktif terhadap program-program kita). Hasil langsung dari strategi-taktik tersebut adalah: atmosir politik (yang semakin lama semakin meluas tapi mem–fokus) akan tetap terjaga (hidup), walaupun terdapat banyak kekuatan/gerakan (yang sebelumnya sulit untuk disatukan); dan atmosfir politik inilah yang justru akan menjadi landasan lebih mudahnya persatuan semakin meluas dan mem-fokus.

16. Agar gabungan antar-sektor dan antar-teritori dapat lebih cepat berkembang menjadi gerakan nasional/internasional yang berwibawa dan memiliki daya tempur maka, dalam tahap awal, harus segera ada seruan (dengan alat-alat medianya[5]) dan turne ke daerah-daerah (yang harus diproritaskan di teritori geopolitik): BAHWA GERAKAN ALTERNATIF HARUS MEREBUT HEGEMONI AGENDA POLITIK!―termasuk mengambil keuntungan dari perkembangan positif gerakan tani setelah kejatuhan Suharto. Gerakan tani harus disatukan (terutama dengan daerah-daerah terdekatnya yang berlawan) baik dengan sektornya sendiri maupun dengan sektor masyarakat lainnya, dan didorong agar mobilisasinya bisa mempengaruhi atmosfir politik dan kebijakan nasional/internasional. Mereka, setahap demi setahap, harus bergerak ke pusat-pusat kekuasaan, dari mulai ke kecamatan, ke kabupaten, ke propinsi, dan nasional (bahkan internasional). Selain itu, agar gerakan tani menemukan alat-alat dan saluran-salurannya untuk populer, agar gerakannya didengar rakyat secara luas.

Catatan Kaki:

[1] Ketimbang ditanamkan di sektor riil, dan di dalam negeri margin keuntungannya kecil bila ditanamkan kembali, lebih baik ditanamkan sebagai modal spekulatif atau ditanamkan di negeri-negeri berkembang―terutama di sektor produksi yang akan memberikan landasan bagi diversifikasi produk, seperti sektor ekstratif pertambangan, mineral, enerji, kehutanan; telekomunikasi; dan di sektor-sektor spekulatif perdagangan saham, mata uang asing (currency), asuransi; serta yang lainnya. Margin keuntungan investasi modal tersebut menurun terutama karena menurunnya kemampuan daya beli masyarakat dalam sisitim kapitalisme.

[2] Karena hancurnya sektor riil akan meningkatkan pengangguran; dan pendapatan yang diperoleh dari penjualan sumberdaya alam serta aset-aset nasional akan lambat (dan porsinya kecil) mengalir ke masyarakat strata bawah (trickle down effect yang tetesannya semakin lambat dan kecil)―itulah mengapa jarak strata menengah masyarakat dengan strata bawahnya semakin menajam. Logis pula mengapa kelas menengahnya belum radikal. Namun, sebagaimana layaknya dalam sistim kapitalisme maka, pada satu momen krisis yang lebih mendalam, jarak tersebut akan semakin kecil, mengerucut dibandingkan strata atas masyarakat, atau konsentrasi kekayaan oleh strata atas masyarakatnya akhirnya akan menendang strata menengahnya ke jajaran strata bawahnya.

[3] PBR ikut dalam Komite Persiapan Penerapan Syariah Islam di Makassar; pernyataan Bursyah Zarnubi, Ketua Umum PBR, yang menolak tuntutan 20% anggaran pendidikan dalam APBN (sesuai dengan UUD) dengan alasan bahwa anggaran negara belum mencukupinya karena pemerintah masih memiliki beban membayar utang luar negeri [itu artinya PBR tidak setuju program TRIPANJI (apapun kemudian penghalusan istilahnya) yang disodorkan PAPERNAS, karena salah satu program TRIPANJI adalah penghapusan utang]; Ketua PBR Sulawesi Barat menggunakan preman-preman bayaran untuk mengusir petani dari lahannya. Salah satu premannya kemudian dibunuh petani, dan sekarang beberapa petani dipenjarakan; anggota DPRD Labuan Batu, Sumatera Utara, yang juga ketua PBR setempat dan penampung sawit, menodongkan pistol pada salah seorang warga yang dituduh mencuri sawitnya; PBR mendukung pengesyahan UU PMA, impor beras di DPR; PBR adalah partai pendukung pemerintah; tidak benar di internal PBR ada pertarungan ideologis antara kaum muda versus ulama, karena kaum mudanya pun sebagian besar tidak pernah menunjukkan prestasinya sebagai pembela rakyat, baik sebagai anggota legislatif maupun sebagai anggota partai. Oleh karena itu, atau karena PBR adalah partai yang tidak populer di mata rakyat dan banyak melakukan hal-hal negatif terhadap rakyat, maka salah satu cara bila ingin menang pemilu dengan menggunakan nama PBR (memakai baju orang lain yang kotor), adalah: 1) kita harus mati-matian, habis-habisan, membalikkan citra PBR (yang negatif tersebut) agar di mata rakyat citranya berubah menjadi PBR yang benar-benar membela rakyat; 2) cara lainnya adalah dengan menyogok rakyat yang tak sadar politik (politik uang). Saat ini, semua partai, terutama partai-partai besar, sedang membalikkan citranya karena telah gagal membela rakyat. Jadi: PBR harus bersaing dalam politik uang dengan partai-partai besar (yang, tentu saja, lebih banyak uangnya dan menguasai media massa; 3) atau PBR (bersama-sama partai kecil lainnya, termasuk PAPERNAS) mengsubordinasikan diri ke partai besar. Dan setelah itu, karena gabungan PBR dengan partai-partai kecil tersebut (termasuk PAPERNAS) harus diberi jatah kursi di parlemen atau jabatan di pemerintahan, maka gabungan partai besar dengan PBR (plus partai-partai kecil lainnya, termasuk PAPERNAS) harus (bahkan sejak sekarang) mendepak atau mengalahkan salah satu partai besar yang sekarang bercokol di parlemen atau pemerintahan agar kursi dan jabatannya bisa dialihkan kepada gabungan PBR (beserta partai-partai kecil lainnya, termasuk PAPERNAS). Oleh karena itu, sejak sekarang, harus ada upaya untuk mendeskreditkan partai-partai lain (terutama partai besar). Sipakah partai besar yang harus disingkirkan tersebut? Tentu saja, seharusnya, GOLKAR, karena GOLKAR adalah sisa-sisa Orde Baru yang memiliki potensi untuk dibenci rakyat (bahkan bisa menyeret dukungan dari unsur-unsur yang tak setuju pada taktik pemilu, namun memiliki program anti sisa-sisa Orde Baru); jangan PDIP karena, walaupun mereka juga sudah tak dipercaya rakyat lagi, PDIP adalah partai yang paling "keras" beroposisi di parlemen. Kembali kepada taktik pertama (item nomer 1 di atas), maka: PBR dan partai-partai kecil (termasuk PAPERNAS) yang mengsubordinasikan dirinya kepadanya harus meningkatkan setinggi mungkin POPULARITASNYA sebagai partai pembela (sejati) rakyat (walau dengan program minimum sekalipun: seperti kesehatan, pendidikan dan demokrasi, serta yang lain-lainnya). Dengan demikian, perkerjaan berat tersebut harus didukung oleh MILITANSI TANPA BATAS―apalagi dalam tahap awal (saat popularitasnya belum meluas dan kuat)―strategi atas dan strategi bawah. Maka, agar maksimal, strategi-taktiknya tidak boleh dikotori oleh apriori (subyektif) sebagaimana dalam strategi-taktik PAPERNAS: konsentrasi HANYA di arena pemilu/elektoral; apalagi strategi-taktik (anak kecil): konsentrasi di daerah pemilihan (DAPIL). Yang benar adalah: radikalisasi/militansi tanpa batas dalam merespon potensi radikalisme di geopolitik (buruh, kaum miskin kota, mahasiswa, petani, dan lain sebagainya)―geopolitik dalam makna teritori yang statistik ekonomi-politiknya (formasi modal; mekanisme penghisapan/penindasannya, dan historis perlawanannya) dapat menjadi landasan mobilisasi radikalisasi massa. Dengan demikian, respon terhadap geopolitik maknanya: secepat mungkin menginvestigasi, menyadarkan, menyatukan dan memobilisasi/meradikalisir potensi-potensi di geopolitik tersebut baik secara sektoral maupun teritorial; atau memproses gerakan sektoral dan kedaerahan menjadi gerakan multi-sektoral dan nasional/internasional (mulai dari daerah yang berdekatan serta bergejolak). Dan gerakan tersebut harus merupakan proses kesatuan strategi bawah dan strategi atas―yang bertugas mempercepat/memperluas agitasi-propagandanya. Popularitas program dan organisasi sebagai hasil, buah, panen, dari respon terhadap geopolitik justru memudahkan popularitas program dan organisasi di DAPIL. Arena pemilu, sebagai salah satu saja peluang untuk mendapatkan ajang dalam memperluas agitasi-propaganda dan perang mendapatkan posisi, MERUPAKAN PANEN dari strategi-taktik pembangunan gerakan seperti itu (apalagi bila ada hambatan UU Pemilu, serangan kaum reaksioner dan kontra-revolusi lainnya, maka makna panen tersebut adalah memiliki kemampuan untuk mendobrak hambatan-hambatan tersebut). [Dalam demokrasi liberal/prosedural yang lebih "demokratik", bisa saja peluang tersebut lebih mudah didapat. Tapi ada juga yang mengatasi hambatan-hambatan tersebut dengan berkoalisi atau mengsubordinasikan dirinya (merger) kepada partai lain, seperti PAPERNAS]. Gerakan nasional/internasional multi-sektor tersebut, pada tahap tertentu, saat gerakannya belum memadai, bisa saja berusaha mengambil peluang pemilu dengan mendobrak hambatan-hambatan tersebut (sejalan dengan perkembangan kwantitas massanya) untuk maju sebagai peserta pemilu dengan partai dan politik sendiri, PARTAI DAN POLITIK ALTERNATIF, PARTAI DAN POLITIK RAKYAT MISKIN. Dan karena menjadi peserta pemilu dengan menggunakan baju/partai orang lain (yang busuk) akan memperberat beban bagi strategi-taktik pembangunan partai dan politik alternatif rakyat miskin, maka strategi-taktiknya harus terbebas dari ikatan moderasi (seperti pernyataan Bursyah Zarnubi tentang anggaran pendidikan di atas); pamrih (sebagaimana kita tahu, pamrih yang paling memberatkan adalah hal-hal negatif (seperti dijelaskan di atas) di kalangan anggota-anggota PBR; dan kelelahan berjuang di kalangan anggota-anggota PAPERNAS); dan konsentrasi (baca: penjara; pemasungan) sekadar di ajang pemilu dan di DAPIL. Bisakah strategi-taktik kaum mayoritas di PRD dan PAPERNAS berhasil menjadi strategi-taktik untuk memajukan partai serta politik alternatif rakyat miskin (dengan mengsubordinasikan diri kepada PBR)? TIDAK BISA! Karena strategi-taktiknya terikat oleh moderasi (khawatir menggangu kesepakatan dengan PBR; atau, menurut pimpinan-pimpinan PRD/PAPERNAS, bila hendak mengritik PBR lebih baik secara tertutup di dalam kepempinan bersama―yang tak setara itu); strategi-taktiknya (dipenjara) oleh konsentrasi di ajang pemilu dan di DAPIL; dilihat dari kondisi subyektifnya, banyak pimpinan kaum mayoritas di PRD dan di PAPERNAS sudah kelelahan dan tidak/belum teruji militansi kerjanya; serta digangu oleh perpecahan internal Stalinis (yang diciptakannya sendiri oleh kaum mayoritas dengan menyingkirkan atau mengisolasi kaum minoritas yang berbeda pendapat, padahal kaum minoritas bisa saja dan setuju diakomodir oleh konsep minoritas tunduk pada mayoritas―namun, setelah menyingkirkan kaum minoritas dari PRD, dengan referendum palsu, mereka malah menuntut kepatuhan kepada konsep “minoritas harus tunduk kepada mayoritas" di PAPERNAS dan ormas-ormasnya sembari, dengan segala cara, mencari alasan untuk menyingkirkan dan mengisolasinya. Semua itu, menurut mereka, agar ada kohesifitas dan tidak digangu oleh perbedaan pendapat. Oleh karena itu beberapa terbitan mereka ditutup; kalaupun ada, harus melalui sensor yang ketat). Seandainyapun strategi-taktik kaum mayoritas tersebut tak digangu oleh hambatan-hambatan tersebut, tetap saja tak akan berhasil karena, terutama pada tahap awal, strategi-taktik untuk menjadi partai alternatif rakyat miskin (dengan mengsubordinasikan diri kepada PBR) memerlukan radikalisme/militansi tanpa batas, tanpa pamrih, dan bersih dari kontradiksi (dan kontra-produktif) yang ditimbulkan oleh citra negatif PBR di mata rakyat dan internal PRD/PAPERNAS/dan ormas-ormasnya yang, sebenarnya, sudah mengandung bibit perpecahan; persatuan (untuk pemilu) dengan PBR berkontradiksi dan kontra-produktif terhadap strategi-taktik pembangunan partai dan politik alternatif rakyat miskin. KARENA ITU, PERSATUAN (UNTUK PEMILU) DENGAN PBR TERSEBUT TIDAK PERLU. [Bahkan persatuan dengan PDIP-P, yang paling "vokal" sebagai oposisi di parelemen, pun tidak perlu karena PDIP sudah terbukti gagal, dan upayanya untuk mendaur ulang, membalikkan citra, partai serta ketuanya belum terbukti berhasil. Apalagi, terbukti, jumlah GOLPUT di Pemilu 2004 dan PILKADA semakin meningkat. Itu membuktikan tingkat kepercayaan dan harapan rakyat terhadap elit-elit dan partai-partai lama semakin menurun. GOLPUT juga mencerminkan potensi adanya harapan rakyat akan partai/pimpinan alternatif (ingat Pemilu tahun 50an: rakyat baramai-ramai bangun pagi, seperti saat lebaran saja, masak, makan, lalu berangkat ke TPS, hingga tingkat GOLPUT nya di bawah 1%. Rakyat sedang berharap pada ideologi, program, partai dan pimpinan alternatifnya)].

[4] Dapat menempatkan berbagai individu, kelompok, dan persatuannya sesuai dengan kapasitasnya, tidak akan memaksakan kehendak baik secara programatik maupun dalam metode politiknya, karena yang penting adalah bagaimana atmosfir politik―sebagai cerminan ekspresi ideologis dan metode politik persatuan―tetap bisa dihidupkan (bahkan diperluas), semoderat apapun (asal jangan kontradiktif dan kontra-produktif). Atmosfir politik seperti itulah justru yang akan mendorong (baca: memberanikan diri) unsur-unsur moderat dan memberikan landasan material bagi kaum pelopor untuk membawa persatuan tersebut ke arah momen eksekusi politiknya yang lebih berkwalitas dan nyata―apakah dalam manifestasi memenangkan pemilu atau pemberontakan rakyat.

[5] Untuk melihat rincian alat-alat media penyadarannya, lihat tulisan: Arah Pengorganisasian massa untuk revolusi dengan Metode Tiga Bulanan.

Read More......

[Pencerahan] Diskusi Feminisme dan Jender

Kamis, 21 Februari 2008

Diskusi ini dihadiri oleh Ika, Christin, Lia, Eka, Nurita, Hani, Ve, dan Winda.

Sebelum diskusi kawan–kawan menyiapkan diri, white board, dll, untuk persiapan. Sekitar pukul 15:45, diskusi kami mulai. Diskusi dibuka dengan membaca materi yang sudah disediakan oleh Ika. Dalam materi dapat dipelajari beberapa istilah dalam feminisme, diantaranya, jender, seks, perbedaan jenis kelamin dan gender, pembagian jender atau peran jender serta patriarkhi. Setelah selesai membaca pengertian dari istilah–istilah tersebut di atas, diskusi dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh kawan Ika.

Materi ini diawali dengan memaparkan perbedaan jender dengan seks. Dari pemaparan itu, beberapa kawan mulai melontarkan pendapatnya. Seperti Eka yang mengungkapkan bahwa jender adalah jenis kelamin sosial. Menurut ciri-ciri yang disebutkan, jender adalah sesuatu yang terbentuk dari proses sosial sehingga ia dapat berubah sewaktu-waktu, sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Demikian seterusnya, sehingga kawan – kawan yang hadir sudah mampu membedakan apa itu jender dan apa itu seks.

Berikutnya kita membahas mengenai kodrat. Banyak dari mereka yang berpendapat bahwa kodrat adalah hal yang tidak bisa dipertukarkan dengan laki-laki, seperti kodrat perempuan adalah melahirkan, menyusui dan hamil. Christin melontarkan pernyataan bahwa kodrat perempuan memang berada di bawah laki-laki, karena menurut agama pun sudah dikatakan seperti itu—bahwa kedudukan perempuan memang ada di bawah laki-laki. Akan tetapi, ia tetap berpendapat bahwa dalam pengambilan keputusan laki-laki juga tidak boleh semena-mena. Hal yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, dimanakah konsep subordinat antara laki-laki terhadap perempuan, ketika setiap orang tidak punya hak untuk semena-mena terhadap orang lain?

Dalam perdebatan – perdebatan selanjutnya, kami banyak membahas mengenai pembedaan peran berdasarkan jender. Misalnya dalam hal pekerjaan, muncul pertanyaan dari Ve, kenapa ketika laki-laki dianggap perkerja produktif dan perempuan pekerja reproduktif, padahal fenomenanya sekarang banyak buruh –buruh perempuan? Dari pertanyaan Ve, kita kemudian membahas mengenai konsep kapitalisme yang juga berperan dalam proses penindasan perempuan, dimana ketika kondisinya masih patriarkis, dimanfaatkan oleh kapitalisme untuk merekrut buruh – buruh dengan gaji murah.

Selanjutnya, kawan-kawan juga melihat adanya beban ganda yang dialami oleh perempuan. Perempuan yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan juga harus bertanggung jawab terhadap kehidupan – kehidupan domestik.

Setelah berdiskusi ria selama kurang lebih dua jam, beberapa kawan melontarkan beberapa pendapatnya, berdasarkan diskusi yang baru saja dilakukan, Eka menyarankan agar diskusi selanjutnya mengambil tema tentang wacana jender yang dikaitkan dengan agama. Sebagaimana kita tahu, di beberapa ayat-ayat dalam kitab suci tertera kalimat yang menandakan bahwa posisi perempuan ini di bawah laki-laki.


Selain itu juga muncul pertanyaan dari Christin, tentang bagaimana partisipasi perempuan ketika mereka berada di parlemen? Itu adalah sebuah bukti bahwa perempuan pun juga diberi kesempatan untuk berpolitik. Dalam menjawab pertanyaan itu, Ika mencoba memulai dengan menjelaskan secara singkat aliran-aliran dalam feminisme. Di beberapa aliran terdapat beberapa perbedaan dalam menganalisa akar permasalahan perempuan. Sehingga, ketika dikaitkan dengan konteks parlemen, ketika sudah ada perwakilan perempuan di dalam parlemen, maka artinya, sudah pasti setara kondisi perempuan dengan laki – laki? Pendapat lain menganggap bahwa tidak cukup dengan hanya duduk di parlemen, tapi harus juga mengusung program-program yang pro terhadap perempuan.

Diskusi serupa akan dilaksanakan setiap Kamis.

*Dilaporkan oleh Ika Pratiwi, organizer kelompok studi Suara Perempuan untuk Kesetaraan (SUPERSTAR) dan mahasiswa Hub. International pada Univ. Pembangunan Nasional Veteral (UPN) Yogjakarta-anggota Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika (JNPM). Ika juga aktif dalam Komite Perjuangan Papernas untuk Politik Alternatif (KP3A)-Jogjakarta—yakni bagian Papernas yang menolak politik koalisi dengan partai-partai reformis gadungan dan sisa lama, untuk wilayah Jogjakarta, seluruh anggota Papernas (kecuali 2 orang) menolak politik koalisi. Read More......

19 Februari 2008

[Nasional] Gelembung Modal yang Justru Menghancurkan Sektor Riil


Oleh: Paulus Suryanta G


Di negeri ini, Indonesia, kebijakan ekonomi pasar terbuka (baca: neoliberalisme) dianggap telah menjadi satu-satunya mazhab ekonomi yang tepat bagi obat krisis yang berkelanjutan. Dibungkus rapi dengan selubung ekonomi Pancasila. Neoliberalisme sudah ditempatkan sebagai filosopi, kebijakan dan praktik ekonomi yang utama sehingga seolah-olah tidak ada alternatif lainnya diluar sistem tersebut. Maka, kebijakan neoliberalisme—yang dianggap sebagai rumus ekonomi yang benar—wajib untuk diterapkan sepenuhnya dalam pelbagai lini ekonomi. Itulah yang selanjutnya dilakukan oleh Pemerintahan SBY-JK dan para ekonom pendukungnya.


Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Kebijakan tersebut justru membawa kondisi perekonomian Indonesia—sebagai salah satu negara yang menjalankan "resep ekonomi" Washington Consensus[1]— terjerembab dalam jurang krisis ekonomi yang semakin dalam. Kondisi serupa terlihat jelas di berbagai negeri lainnya yang menjalankan konsep ekonomi pasar terbuka (economic free market), yang utamanya adalah negeri-negeri kreditor yang mendapatkan bantuan modal dengan syarat menjalankan paket kebijakan pasar. Akan tetapi, konsep ekonomi pasar terbuka yang diharapkan akan membangun keberlanjutan ekonomi (sustainability development) justru membuat negeri-negeri kreditor (seperti Indonesia) terus menerus berutang dan terus menerus membayar utang (debt sustainable). Hal tersebut disebabkan karena seluruh paket kebijakan ekonomi yang diberikan tidak (boleh) membangun kemampuan industri nasional negeri kreditor untuk tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, industrialisasi nasional negeri-negeri kreditor justru ambruk dan sulit mengembangkan infrastruktur produksi dan tenaga produktifnya.


Financial Buble


Dewasa ini, kebijakan liberalisasi keuangan yang diwujudkan dengan liberalisasi investasi langsung dan liberalisasi suku bunga tidak memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Jika ditilik secara historis, liberalisasi suku bunga dimulai sejak keruntuhan sistem kurs tetap ala Bretton Woods pada awal tahun 70an. Dan pada tahun itulah dimulai sistem kurs mengambang/bebas (freely floating system). Modal dan sistem keuangan telah dan akan diintegrasikan secara internasional dengan menuntut kebijakan liberalisasi keuangan[2] pada komponen: liberalisasi domestik[3]dan internasional[4]. Saat ini, pasar keuangan global telah bergerak melampaui fungsi awalnya: memfasilitasi perdagangan dan penanaman modal lintas negara. Pasar keuangan tidak lagi sekedar mekanisme untuk menyediakan tabungan bagi investasi sektor produksi, justru kurang berkait dengan arus sumber daya riil dan investasi jangka panjang sektor produksi. Berkembangnya sistem kurs bebas dan membengkaknya aliran modal jangka pendek (short term capital) di berbagai negeri berkembang merupakan imbas dari (baca: konsekwensi logis) tidak berkembangnya sektor riil. Modal-modal yang ada tidak ditanamkan pada berbagai industri barang dan jasa karena dianggap tidak memberikan keuntungan yang signifikan―tentu saja karena rendahnya daya beli masyarakat. Melimpahnya barang-barang (over-produksi) dan spekulan produk (barang) yang memainkan pasar dalam kepentingan sepihak, ditambah dengan rendahnya tingkat pembelian konsumen, telah membawa kapitalis internasional dan lokal untuk bermain dalam arena pasar valuta asing, portofolio, surat obligasi, dan derivatif modal. Situasi tersebut membuat kuat-lemahnya kurs mata uang suatu negeri menjadi ajang permainan investor modal dan spekulan keuangan. Dan mereka mendapatkan keuntungan besar (pelipatgandaan modal) tanpa adanya proses produksi dari arena tersebut. Keharusan siklus kapitalisme dan kegilaannya untuk meraup keuntungan maksimal justru membawa kapitalis keuangan (finance) pada jurang kehancurannya.


Situasi tersebut tidak ditangani secara baik. Pemerintah justru meningkatkan Suku Bunga Indonesia hingga sebesar 8.75%. Tentu saja dalam pandangan klasik: bahwa dengan meningkatkan suku bunga maka akan menarik investasi masuk ke dalam negeri. Pilihan kebijakan ini justru tidak menguatkan posisi rupiah dalam meningkatkan mobilisasi dana (tabungan); melainkan semakin menumpukkan ketidakmampuan kreditor untuk membayar pinjamannya pada Bank. Suatu pilihan yang kontradiktif di tengah lemahnya pertumbuhan industri dan perdagangan nasional.


Memang, di satu sisi, peningkatan Suku Bunga Indonesia akan menarik modal (inflows) asing untuk masuk, apalagi dalam posisi rendahnya suku bunga di negeri-negeri maju (Amerika dan Jepang, yang bunganya 4%). Tetapi modal yang masuk tersebut tidak ditanamkan sebagai investasi riil melainkan dalam portofolio, valuta asing, obligasi, spekulan properti, dan kredit konsumsi. Terlebih lagi, penetrasi foreign direct investment―yang diharapkan menjadi ujung tombak ekonomi pasar (bagi penganut mazhab liberalisme), karena dianggap sangup mendongkrak perekonomian nasional―berbanding terbalik dengan tingkat penetrasi foreign portofolio Investment, yang justru menggelembung. Secara ekonomi, penggelumbungan arus modal foreign direct investment merupakan kondisi yang rawan―tidak langsung memberikan keuntungan positif bagi pembangunan industri riil; terlebih, modal yang masuk tidak bertahan dalam suatu negeri dalam waktu yang cukup lama. Dewasa ini, hot money dapat dipindahkan dari satu negeri ke negeri lainnya dalam waktu yang cepat. Padahal butuh waktu yang lama untuk menggunakan capital tersebut bagi proses produksi. Itulah mengapa foreign direct investment yang masuk tidak memiliki hubungan positif terhadap pembangunan industri. Bahkan, di beberapa negeri berkembang, peningkatan suku bunga dan liberalisasi arus invetasi memaksa negeri tersebut membayar biaya sebesar 10-20% dari Produk Domestik Brutonya (PDB) untuk portopolio dan surat obligasi.


Penggelembungan portofolio investment dan hot money akan memicu ketidakstabilan neraca keuangan nasional dan devaluasi nilai mata uang rupiah. Kesimpulan tersebut tidak dapat dilepaskan dari fakta: lemahnya sistem keuangan nasional dan rendahnya produktiftas nasional. Kelemahan sistem keuangan suatu negeri akan memudahkan para spekulan saham dan modal untuk menarik seketika modalnya dari suatu negeri ke negeri yang memiliki nilai suku bunga yang menggiurkan. Dan instabilitas neraca keuangan dan devaluasi rupiah selanjutnya akan memperparah industri nasional karena meningkatnya biaya impor.
Baik krisis yang terjadi di Meksiko (Tequila Efect), di Chili, dan devaluasi Bath di Thailand terjadi akibat sistem kurs bebas dan outflows capital. Krisis tersebut telah berhasil menggeret krisis di berbagai negeri di Asia (termasuk Indonesia). Penarikan modal besar-besaran dari negeri maju ke negeri berkembang, dan sebaliknya, telah mengakibatkan ketidakstabilan nilai tukar mata uang negeri-negeri berkembang. Efek Contagion dari ketidakstabilan pasar keuangan tersebut bahkan menyeret krisis di negeri-negeri yang memiliki cadangan devisa yang cukup. Ketiadaan sistem pertahanan keuangannya mengakibatkan kehancuran industri riil negeri-negeri berkembang karena tenaga produktif (terutama yang berteknologi tinggi) menjadi mahal untuk diimpor (dalam hitungan kurs dolar). Pelipatgandaan satu mata uang, di satu sisi, dan kehancuran mata uang negeri berkembang, di sisi lain, telah mengakibatkan nilai suatu produk melambung tinggi di luar batas kesanggupan daya beli masyarakat.


Utang dan Perdagangan Bebas


Potensi krisis yang dipengaruhi oleh faktor buble economic tidak dapat dilepaskan dari faktor cadangan devisa dan sistem perdagangan yang dianut suatu negeri. Sebagai bagian dari negeri yang patuh pada kebijakan neoliberalisme, Indonesia, secara serius mendistribusikan anggarannya pada pembayaran utang utang luar negeri plus cicilan pokoknya plus biaya commitmen fee, biaya belanja barang dan modal, pembayaran surat utang dan surat obligasi perbankan, dan biaya privatisasi. Konsep kebijakan manajemen keuangan tersebut tidak menekankan pada pembangunan industri nasional dan syarat-syaratnya. Itu terlihat dari masih rendahnya distibusi anggaran untuk subsidi sosial (seperti: pendidikan dan kesehatan). Memang, hal tersebut merupakan konsistensi atas pandangan mazhab liberalisme yang meniadakan campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi―pertumbuhan ekonomi diberikan sebebas-bebasnya pada faktor-faktor dalam pasar itu sendiri.


Situasi tersebut mengakibatkan negara tidak memiliki ketahanan keuangan secara nasional karena terlalu banyak modal yang lari keluar negeri (capital flights). Apabila pola yang serupa terus berlangsung―dan seperti itulah kecenderungannya―negara tidak akan sanggup menahan arus modal panas yang masuk dan keluar secara drastis, bahkan terhadap pengaruh efek tularnya sekalipun.


Sesungguhnya, pemerintah dapat mengurangi tingkat capital flights—tentu saja atas dasar kehendak politik (political will)—dengan cara melakukan lobby internasional, seperti yang dilakukan oleh Nigeria (meski tidak dapat dipisahkan dari pengaruh pemogokkan buruh-buruh perusahaan minyak negara); atau memperjuangkan pemotongan sebagaian utang haram/najis (hair cut debt). Semisal, pengungkapan utang haram (oudious debt) pemerintahan masa Soeharto, yang diakui oleh Sumitro dan laporan tertutup World Bank: pemerintahan Soeharto sedikitnya telah menyalahgunakan dana pinjaman sebesar 30% sejak awal pemerintahannya hingga ia terguling; dalam bentuk yang lain, Indonesia sebenarnya dapat memperjuangkan penghapusan sebagian utangnya dengan memperjuangkan kenyataan bahwa Indonesia sudah dapat dikategorikan sebagai Heavily Indebted Poor Country (HIPC). Sebaliknya, yang getol dilakukan oleh pemerintah adalah melaksanakan sepenuhnya program konversi utang (Debt Swapt), yang dananya berasal dari APBN. Program konversi utang tersebut pada prakteknya tidak mendapat capaian maksimal karena sasarannya yang fragmentatif dan terlalu banyak penyalahgunaan anggaran oleh para birokrat.


Pada faktor lainnya, dialektika kapital dagang (dalam corak produksi kapitalisme) menuntut liberalisasi sepenuhnya sistem dan aturan perdagangan, yang sesungguhnya telah memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan kapital industri secara nasional. Sistem dan aturan perdagangan yang dibuat melalui tipu muslihat perundingan-perundingan (dalam putaran sidang World Trade Organization/WTO) telah meliberalisasikan perdagangan barang, jasa dan bea tarif. Negeri-negeri yang secara ekonomi tumbuh dalam kondisi rendah teknologi dan kwalitas sumber daya manusia telah dipaksa untuk bersaing dalam pasar yang sepenuhnya terbuka, untuk bertarung dengan modal dan produk asing yang diproduksi dengan teknologi modern dan padat modal.


Paska pemerintahan Soeharto, Indonesia, yang dijerumuskan kedalam kedikatoran modal asing, telah terjerembab pada liberalisasi perdagangan yang menghancurkan beberapa sektor industri dan pertaniannya. Yang sudah terlihat selama beberapa tahun belakangan ini adalah sektor manufaktur: bangkrutnya perusahaan-perusahaan tekstil dan produk tekstil, kayu, serta sepatu; gulung tikarnya beberapa perusahaan elektronik dengan modal menengah, karena politik dumping yang juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan China dengan produk tekstil dan elektroniknya; hal serupa juga terjadi pada sektor pertanian dan peternakan. WTO, pada General Agreement on Agriculture, telah mematok beberapa produk pertanian yang boleh dan tidak untuk diliberalisasikan. pada saat ini, masuknya produk pertanian dan peternakan, ditambah praktek penyelundupan dan spekulan produk, telah menghancurkan harga produk pertanian petani dalam negeri—selain, memang, juga disebabkan ketidaksanggupannya untuk bersaing dengan produk pertanian luar (suatu kondisi yang logis karena faktor lemahnya modal, rendahnya teknologi, fragmentasi lahan, dan minimnya infrastruktur produksi (misalnya: jalan, listrik, sarana angkut, dan sebagainya).


Pada tingkat ini, liberalisasi perdagangan telah mengakibatkan deindustrialisasi, sehingga fakta larinya modal (outflows) menengah (mid term capital) dalam berbagai sektor industri tidak dapat dielakkan. Kondisi tersebut hanya menambah deretan panjang pengangguran. Dan, pada sisi lain, menurunkan tingkat grafik kemampuan daya beli masyarakat. Liberalisasi perdagangan, selain (juga) mengakibatkan outflows, mengakibatkan pula ketidakstabilan pasokan barang dan harga di pasar. Karena, dalam sistem tersebut, pemerintah tidak boleh memiliki otoritas monopoli untuk mengatur pasokan barang dan penetapan harga di pasar. Pada tahap ini, dengan dilenyapkannya monopoli pemerintah terhadap pasar, liberalisasi perdagangan telah memarakkan spekulan-spekulan barang. Maka, liberalisasi perdagangan memberikan kekuasaan pada para pedagang dan spekulan untuk mengatur pasar, baik dalam jumlah pasokannya maupun permainan tingkat harganya. Pengurangan otoritas pemerintah terhadap pasar membuat pemerintah kehilangan haknya untuk mengatur stok minyak goreng, gula, beras, minyak tanah di pasar. Terlebih (dalam kasus minyak goreng) jumlah produksi CPO terbesar bukan lagi dari perusahaan negara melainkan berasal dari perusahaan perkebunan asing milik Malaysia.


Krisis Enerji


Enerji, sebagai bagian penting dalam proses produksi dan distribusi, memberikan peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan suatu negeri. Dalam kondisi tersebut, Indonesia, yang sesungguhnya memiliki banyak potensi enerji yang dapat menyokong pertumbuhan industrialisasinya, justru mengalami kesulitan. Fenomena mati lampu (blackout) di beberapa daerah, kelangkaan minyak dan gas, penutupan perusahaan pupuk—yang membutuhkan banyak gas untuk produksinya—memperpanjang deretan persoalan ekonomi di negeri ini. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kekurangan pasokan enerji bagi industri, distribusi, mobilitas, rumah tangga dan pariwisata, antara lain: a) sejak masa Soeharto, persoalan kurangnya peningkatan kapasitas infrastruktur produksi, efisiensi struktur dan manajemen produksi, serta kwalitas sumber daya manusia sudah menjadi persoalan klasik dalam industri enerji; b) keuntungan produksi enerji (semisal ketika adanya oil shock) tidak diutamakan bagi pembangunan industri hulu (upstream) melainkan disubtitusikan bagi anggaran lainnya atau disalahgunakan oleh para birokrat; c) kurangnya pengembangan riset teknologi. Pasca krisis ekonomi, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah memang tidak lagi berpihak kepada iptek, sebagaimana terlihat pada alokasi APBN. Anggaran riset iptek APBN, sebelum krisis ekonomi, yang semula hanya 0,2 persen dari produk domestik bruto (PDB), pada pasca krisis, merosot tajam menjadi 0,05 persen; d) tidak berjalannya program konservasi dan diversifikasi enerji (dengan konsep murah, aman, dan modern); e) liberalisasi industri enerji (minyak, gas, listrik)—yang diharapkan akan mengembangkan industri hulu—justru berlaku sebaliknya. Industri enerji yang berkembang justru pada downstream (industri hilir); f) liberalisasi industri enerji mengurangi peranan negara/pemerintah untuk mengontrol produksi dan sasaran distribusi enerji. Akibatnya, produk enerji dijual keluar negeri (seperti minyak dan gas) dengan porsi yang menyebabkan terjadinya kekurangan pasokan minyak dan gas di dalam negeri; g) semakin banyaknya rantai pemain maka, di sisi lain, akan menyuburkan praktek spekulan. Praktek spekulan minyak dan gas, yang terstruktur secara internasional, mengakibatkan kebutuhan minyak atau gas yang harus dipenuhi, dibeli dari luar negeri―karena rendahnya produksi enerji dalam negeri—sehingga tingkat harganya membumbung tinggi; h) semakin panjangnya birokrasi pasokkan (supply) enerji kepada konsumen (besar, menengah, maupun kecil)—yang tidak melalui monopoli perusahaan negara—mengakibatkan terhambatnya distribusi ke berbagai daerah; i) fragmentasi vertikal (pusat-daerah)—konsistensi dari logika desentralisasi[5] dan dekonsentrasi—mengakibatkan satu situasi adanya daerah yang kelebihan enerji (surplus) dan daerah yang kekurangan (defisit) pasokkan enerji.


Apabila tidak ada perubahan secara mendasar dalam menangani persoalan krisis enerji, maka akan mengakibatkan pembengkakan pada biaya produksi dan distribusi berbagai sektor industri serta ketergantungan pada pasokan enerji dari pasar internasional.


Maka, dari beberapa faktor di atas:
Pembengkakan keuangan (buble economic) dan liberalisasi perdagangan akan semakin memperdalam ketidaksanggupan daya beli dan deindustrialiasi [yang ditunjukkan dengan bangkrutnya berbagai perusahaan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal]. Pelarian modal asing jangka pendek (outflows short term capital) akan diikuti oleh kehancuran nilai mata uang rupiah dan pelarian modal menengah (outflows mid term capital) yang ada dalam industri riil karena mahalnya biaya enerji (yang dibeli dalam dolar), dan mahalnya tenaga produktif berteknologi tinggi. Terlebih-lebih, kebijakan liberalisasi perdagangan telah memukul produk-produk dalam negeri. Sehingga, kecenderungan krisis (seperti tahun 1998) berpotensi terjadi. Apalagi bila tidak ada perbaikan struktur ekonomi nasional secara signifikan, yang dapat menahan perilaku praktek spekulan para pemodal besar. Dan kepatuhan pemerintah menjalankan liberalisasi perdagangan barang dan jasa membuat kehancuran pasar dalam negeri, di tengah lemahnya daya saing produksinya—karena rendahnya teknologi dan kwalitas tenaga produktifnya.


Atas situasi tersebut, berbagai konsesi-konsesi imperialis dan agennya, baik dalam bentuk program MDG’s ataupun Askeskin, BLT, BOS, BOP tetap tidak dapat menahan potensi gejolak perlawanan anti pendindasan imperialisme. Sebab, pemerintahan agen imperialis tidak memiliki cukup modal bagi konsesi-konsesi dan sogokan-sogokan (ilusif) tersebut. Belum lagi, budaya korupsi yang memanfaatkan kemiskinan rakyat sebagai alat untuk memperkaya diri bagi kaum birokrat negeri ini. Suara-suara sumbang karena penambahan biaya tetek bengek setelah adanya BLT, BOS, BOP merupakan kenyataan tentang praktek pencarian keuntungan sepihak, yang masih menjadi budaya di negeri ini.


Kenyataan sosial-ekonomi saat ini membuktikan bahwa pandangan-pandangan Milton Friedman dan Frederich Von Hayek—bahwa akan ada kesetaraan persaingan yang sempurna dalam wilayah tingkat-permainan (level of playing field), yang akan menyeimbangkan semua pemilik komoditas (konvergensi)—justru beranjak pada ketidaksetaraan persaingan dalam berbagai tingkat permainan (divergensi). Sehingga, "globalisasi" modal barang dan jasa menjadi tidak diglobalkan. Melainkan dimonopoli oleh segelintir pemilik modal besar. Akhirnya, pandangan pertumbuhan dengan menetes ke bawah (tricle down effect) menjadi sekadar mimpi.


Politik


Situasi tersebut akan membuka peluang radikalisasi massa dengan karakter populis, ekspresi atas penindasan terstruktur imperialisme. Radikalisasi-radikalisasi yang berkembang pada situasi tersebut masih berada dalam kondisi ekonomis-spontan-fragmentatif. Radikalisasi dengan watak seperti itu memiliki kandungan yang berpotensi berkesadaran anti-imperialisme, meski belum sepenuhnya. Penindasan strukturalnya memudahkan gerakan-gerakan spontan tersebut sampai pada kesadaran anti-imperialisme (tentu saja, sebagaimana halnya dengan potensi, apabila diolah oleh kepeloporan politik).


Dalam situasi saat ini, penindasan imperialisme dan radikalisasi (gerakan) spontan-fragmentatif tersebut telah memberikan landasan di kalangan elit politik (Borjuis) dalam menerima dan mengangkat program anti penjajahan asing. Situasi tersebut tidak dapat dilepaskan pula atas perkembangan tokoh, pemerintahan dan sistem alternatif yang sedang berkembang di Amerika Latin ( Brazil, Bolivia, Cuba, Argentina, dan Venezuela). Keberanian pemimpin negeri-negeri tersebut dalam menerapkan suatu kebijakan di luar pandangan mainstream memberikan inspirasi positif kepada kalangan elit. Tapi, memang, kita tidak bisa melebih-lebihkannya hingga pada karakter penerimaan dan pelaksanaan programatik seperti masa Soekarno (misalnya). Elit Politik saat ini menerima pengaruh-pengaruh positif dari negeri-negeri tersebut dan menggunakannya dalam kepentingan mencari popularitas belaka dihadapan rakyat miskin yang tertindas, dalam upaya menjadi "borjuis nasional" atau, bahkan, untuk menaikan tawar menawar (bargain) sebagai calo penjualan aset-aset bangsa. Hal tersebut harus dilakukan oleh seluruh blok elit (borjuis) dalam kepentingan yang sejatinya: menjadi agen utama kapitalisme internasional. Beberapa faktor politik yang mempengaruhinya: 1) paska Pemilu 2004, dalam peta politik nasional, tidak terdapat sama sekali suatu dominasi ekonomi-politik satu golongan elit borjuis yang memimpin; 2) polarisasi ekonomi-tersebut tidak dapat dilepaskan dari ketidaksanggupan kaum reformis gadungan untuk memimpin dan menahan kembalinya unsur-unsur kekuatan Orde Baru (Golkar-Militer). Dalam situasi tersebut, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh elit borjuis agar dapat sepenuhnya menjadi agen utama imperialisme di negeri ini, yakni: a) mengeliminir perkembangan kekuatan politik alternatif yang sedang berkembang. Hal tersebut dilakukan agar tidak menyulitkan posisi politik mereka pada pertarungan politik di Pemilu tahun 2009; b) menjinakkan kekuatan kekuatan politik borjuis beserta alat politiknya melalui sistem politik yang mensyaratkan administratif formal; c) Membangun blok politik borjuis yang solid (Koalisi PDIP-Golkar+militer) namun jinak untuk memastikan proses kemenangan kaki-tangan mereka di Provinsi/Kota/Kabupaten sebab penetrasi modal sudah bergerak semakin bebas, mendalam, dan meluas hingga ke teritori-teritori tersebut. Tentu saja atas nama stabilitas dan pluralisme, meski kedua hal tersebut sangat kontradiktif untuk menjadi sebuah landasan pijak. Posisi seperti itu tentu saja akan diamini oleh mperialisme, sebab akan lebih mudah dan aman secara ekonomi-politik apabila kekuatan politik penguasa tidak terlalu fragmentatif; d) metode politik tersebut tetap akan dibingkai atas nama nasionalisme, keutuhan bangsa, demagogi populis, stabilitas politik-ekonomi dan perlawanan terhadap fundamentalisme Islam. Hanya dengan slogan-slogan tersebut dominasi politik mereka akan memiliki dukungan politik besar-besaran di kalangan massa rakyat yang luas. Bisa kah?


Paska penjatuhan Soeharto, ruang demokrasi sudah mulai terbuka. Meski tidak sepenuhnya terbuka karena sisa-sisa Orde Baru dan militer hendak bangkit kembali. Dan upaya tarik menarik agar ruang demokrasi terbuka selebar-lebarnya, seluas-luasnya, sepenuh-penuhnya terjadi antara sisa Orba dan militer, di satu sisi, melawan kelompok demokratik (gerakan demokratik), di sisi lainnya.


Hari ini, ruang demokrasi tersebut masih terbuka—meski tidak sepenuhnya dan masih sering diganggu oleh kelompok milisi sipil reaksioner (FPI, GPK, GEPAKO, FBR, FAKI dan lain sebagainya), yang menjadi kaki tangan sisa-sisa Orba dan militer. Tapi ruang demokrasi tersebut masih sangat formal dan prosedural, penuh tipu muslihat―hanya dalam kepentingan dominasi elit politik dan tuntutan Imperialisme―bukan dalam perspektif demokrasi (sepenuh-penuhnya) dan kesejahteraan sebagai syarat membangun bangsa seutuhnya. Terlepas dari seperti itu situasinya, capaian-capaian hari ini merupakan hasil jerih payah perjuangan bertahun-tahun untuk membuka ruang demokrasi yang sebelumnya tertutup rapat. Adalah salah apabila tidak memanfaatkan ruang demokrasi (democratic space) atau justru meninggalkannya. Sebab, mungkin ruang demokrasi yang sudah terbuka saat ini (meski memiliki batasan) akan menyempit karena bangkitnya (baca: restorasi) kekuatan sisa Orba dan militer yang anti demokrasi. Maka sangat penting bagi seluruh gerakan yang tersadarkan untuk memanfaatkan ruang demokrasi yang telah ada untuk tujuan membuka ruang demokrasi ini lebih lebih luas lagi (baca: sepenuh-penuhnya), atau memanfaatkannya untuk mengkampanyekan program-program alternatif, membangun kekuatan politik alternatif, dan mempopulerkan tokoh politik alternatif bagi rakyat (sebagaimana gerakan kiri dan nasionalis mempopulerkan Soekarno sebagai tokoh alternatif dalam rapat Ikada).


Gerakan dan Kesadaran Massa


Dalam memanfaatkan atau mengolah berbagai arena dan momentum, sebagai konsekuensi kesetiaan terhadap prinsip (teori), harus tetap melihat secara jernih kekuatan dan kelemahan subyektif gerakan dalam sudut pandang saat ini (berdasarkan pengaruh warisan historis). Dan dengan tetap melihat ancaman-ancaman yang akan menghambat tujuan gerakan―membuka sepenuh-penuhnya ruang demokrasi, propaganda program-program alternatif, dan melatih rakyat serta gerakan agar berkemampuan mewujudkan pemerintahan demokratis, modern, adil, dan sejahtera. Pada masa Orde Baru, berbagai persoalan muncul dan mempengaruhi gerakan hingga saat ini, yaitu: deideoligisasi, depolitisasi, deorganisasi dan pengaburan ingatan sejarah. Dan, lebih parahnya lagi, menghancurkan kebudayaan progressif bangsa Indonesia yang terlahir dari sebuah pergulatan sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan (pra Orde Baru). Kondisi tersebut mempengaruhi kondisi gerakan, antara lain: miskin terhadap konsepsi perjuangan (program dan strategi-taktik), struktur organisasi yang tidak meluas, elitis, sektarian, dan mobilisasi (radikalisasi)nya yang masih fragmentatif (terpecah-pecah) serta spontan (ekonomis). Namun demikian, gerakan demokratik memiliki kekuatan hasil dari keterlibatannya dalam proses perjuangan bersama rakyat, yakni: a) aksi massa telah menjadi budaya perlawanan bagi seluruh sektor masyarakat; b) kesadaran anti militerisme dan Orde Baru (walau belum sepenuhnya/total) masih terpatri dalam benak rakyat; c) ketidakpercayaan terhadap kaum reformis gadungan―yang menipu seolah-olah sanggup membawa rakyat pada kondisi demokratik, modern, adil, dan sejahtera; d) ketidaksukaan terhadap kejahatan-kejahatan milisi Sipil reaksioner; e) sudah sanggup menggulingkan pemerintah daerah (bupati, lurah) dan memaksa koruptor ditangkap dengan metode-metode radikal (aksi massa) penerimaan terhadap program anti penjajahan baru (ataupun nasionalisme dalam tingkat kesadaran awal) sudah bisa diterima oleh kaum miskin, kelas menengah dan bahkan oleh segelintir elit politik (borjuasi)―meski, dalam soal ini, borjuasi tidak hendak memompa rasa nasionalisme tersebut menjadi bentuk perjuangan anti imperialisme yang kongkrit, atau membangkitkan kembali nation and character building ala Soekarno; melainkan hanya pada upaya untuk mencari popularitas semata, demi keuntungan politik pada pagelaran Pemilu 2009. Itulah mengapa berbagai spanduk-spanduk pro rakyat miskin dan anti neoliberalisme banyak digelar oleh partai-partai politik borjuis, seperti yang dilakukan oleh PDIP. Seperti apapun karakter penerimaan dan pelaksanaan program elit politik pada masa sekarang ini, tetap memiliki keuntungan politik bagi gerakan: menggunakannya demi kepentingan perluasan kesadaran anti imperialisme.


Kekuatan dan kelemahan tersebut harus dapat diolah sedemikian rupa dalam menghadapi ancaman yang tengah berkembang. Ancaman-ancaman tersebut antara lain: Pertama, menguatnya sisa-sisa Orde Baru+militer, dengan (kecenderungan) mengarah pada koalisi PDIP-Golkar+militer untuk mendominasi peta politik nasional. Kepentingan utamanya tidak dapat dilepaskan dari kepentingan untuk mengeliminasi borjuasi lainnya dan juga kelompok alternatif yang membahayakan secara politik dan ekonomi. Serta, kepentingan sejatinya adalah untuk menjadi agen imperialis, boneka penjajah, komprador yang utama (terkuat). Dalam membenarkan posisi politik mereka, koalisi PDIP-Golkar selalu menegaskan bahwa tujuan koalisi mayoritas (PDIP-Golkar) adalah demi kesejahteraan dan pluralisme di bawah naungan stabilitas (dominasi mereka). Dua hal yang kontradiktif: stabilitas bukanlah padanan kesejahteraan dan pluralisme; padanan kesejahteraan dan pluralisme adalah DEMOKRASI. (misalnya: tidak mungkin buruh pabrik bisa mendapatkan upah, tunjangan, kesehatan dan rumah yang layak apabila kebebasannya untuk berkumpul (berorganisasi) dan menuntut (berpolitik) dihalangi-halangi atas nama stabilitas.) Kedua, menguatnya fundamentalisme agama (ekspresi dari kaum intelektual agama atas krisis kapitalisme) yang menolak kebebasan berekspresi; menolak sekularisme; menolak demokrasi. Ketiga, Menguatnya milisi sipil reaksioner yang menghambat perkembangan gerakan alternatif dengan cara-cara kekerasan/anti demokrasi. Keempat, penetrasi modal kapitalisme yang semakin besar, yang mengakibatkan kehancuran dalam aspek ekonomi, lingkungan, sosial dan budaya.


Kondisi-kondisi tersebut tidak pula menghilangkan peluang bagi gerakan demokratik untuk berkembang, meluas dan memimpin. Sejauh ia mampu melakukan beberapa hal, yaitu: 1) mengolah mobilisasi fragmentatif-spontan (ekonomis) itu menjadi mobilisasi yang menyatu, politis, dan nasional/internasional. Dilihat dari sebab-akibatnya, mayoritas radikalisasi yang muncul merupakan buah perlawanan dari penindasan kapitalisme (asing atau pun lokal) sehingga mudah untuk ditarik pada perjuangan anti imperialis dan anti kapitalisme. Tentu saja, sejauh kepeloporan politik gerakan bisa mengolahnya; 2) dapat memukul mundur kekuatan terbesar agen imperialis, koalisi PDIP-Golkar (plus militer), yang hendak mengeliminir kekuatan alternatif dengan cara membunuh demokrasi dengan "demokrasi" (membuat UU Politik dan Sistem Politik yang ketat dan prosedural dalam demokrasi perwakilan; 3) dapat memaksimalkan berbagai arena/ajang/panggung dalam kepentingan untuk mengkampanyekan secara maksimal program-program dan metode-metode yang radikal, militan dan demokratik.


Catatan Kaki:
[1] Washington Consesus (WC) yang dibuat pada tahun 1989 (meski, pada tahun 1990, baru disebut Konsensus Washington), lahir dari pertemuan International Finance Institution’s yang bermarkas di Washington. WC kemudian menghasilkan 10 langkah, tiga di antaranya merupakan bagian dari kebijakan makro―disiplin anggaran; liberalisasi suku bunga; dan kebijakan nilai tukar berbasis pasar. Sedangkan tujuh langkah lain merupakan bagian dari kebijakan struktural―privatisasi, deregulasi, liberalisasi impor, liberalisasi investasi asing langsung, reformasi perpajakan, penjaminan hak kepemilikan, dan redistribusi dana-dana publik pada sektor pendidikan serta kesehatan.
[2] Liberalisasi keuangan di Indonesia dimulai pada tahun 1987 dengan keluarnya Paket Oktober, disusul dengan terbitnya Paket Oktober dan Paket Desember pada tahun 1988.
[3] Makna liberalisasi domestik: menuntut keaktifan kekuatan-kekuatan pasar dengan mengurangi peran negara di sektor keuangan.
[4] Sedangkan makna liberalisasi keuangan internasional: menuntut penghapusan kontrol dan regulasi dalam penanaman (inflows) dan pelarian (outflows) modal. Dengan komponen kunci, antara lain: a) deregulasi suku bunga; b) penghapusan kontrol kredit; c) swastanisasi bank dan instiusi keuangan milik negara; d) pembebasan jalan masuk sektor swasta, bank-bank dan institusi keuangan asing ke dalam pasar keuangan dalam negeri; e) liberalisasi lalu lintas devisa, dengan mengizinkan devisa lintas batas negara.
[5] Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah daerah.
Read More......

[Mobilisasi] TURUNKAN HARGA ATAU SBY-JK MUNDUR!


Oleh: Dian Trisnanti
Kontributor Jogja




Melambungnya harga-harga kebutuhan pokok yang semakin menghimpit kehidupan rakyat mengundang respon dari berbagai elemen masyarakat. Hampir di setiap sudut di Indonesia terjadi aksi massa menolak kenaikan harga kebutuhan pokok yang tidak diimbangi dengan kenaikan daya beli masyarakat. Demikian pula halnya dengan DIY, yang beberapa kali dipenuhi oleh aksi massa menolak kenaikan harga. Jika beberapa saat lalu ARPY Aliansi Persatuan Rakyat Pekerja, melakukan aksi turunkan harga, maka pada hari Kamis (14/2) LMND- PRM (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi- Politik Rakyat Miskin) menggelar aksi mimbar bebas dengan isu yang sama, yakni menolak kenaikan harga. Berbeda dengan aksi-aksi sebelumnya di provinsi yang sedang diperdebatkan keistimewaannya ini, aksi yang dilakukan oleh LMND-PRM dilakukan dengan kemasan yang unik. Beberapa massa aksi mewarnai muka mereka dengan tepung kanji yang sudah dicampur dengan pewarna. Tak pelak lagi, aksi mereka mengundang perhatian warga yang sedang melewati perempatan kantor pos besar. Beragam reaksipun bermunculan. Tampak ibu-ibu, tukang becak mengacungkan tangan mereka seakan memberi dukungan yang sekaligus menunjukkan kesepakatan atas tuntutan penolakan kenaikan harga yang mempersulit hidup mereka. Bahkan, anak-anakpun tak luput memperhatikan aksi yang mungkin bagi merek acukup unik dengan meminta foto bersama. Namun, tidak semuanya memberi dukungan, beberapa pengguna mobil pribadi bersikap acuh.



Dalam aksi mimbar bebas yang dikemas dengan unik tersebut, LMND-PRM mengajukan tuntutan agar SBY-JK mundur karena jelas tidak sanggup menyelesaikan krisis yang terjadi. Kenaikan harga kebutuhan pokok semisal tidak bisa diatasi dengan resep neoliberalismenya, sementara produktivitas dalam negri terus mengalami kehancuran. Seperti rendahnya produktivitas kedelai lokal yang pada tahun 2007 hanya mencapai 620.000 ton (Deptan 2007). Padahal, sebagaimana yang dijelaskan oleh LMND-PRM dalam pernyataan sikapnya yang dibacakan oleh Juru Bicara LMND-PRM Paulus Suryanta Ginting, 15 tahun lalu petani kedelai di Indonesia pernah memproduksi kedelai sampai 1,8 juta ton. Angka itu terus menurun seiring dengan makin meningkatnya harga kedelai dan ketergantungan terhadap kedelai impor dari Amerika Serikat. Ketergantungan tersebut, lanjut Paulus Suryanta Ginting diakibatkan oleh diambil alihnya peran Bulog sebagai satu-satunya importir kedelai di Indonesia oleh importir swasta. Kenaikan harga kedelai dan sembako tersebut juga dipicu oleh nainya harga pangan dunia. Tercatat, harga gandum sebagai bahan pokok terigu di dunia terus mengalami kenaikan. Solusi pemerintah dengan membebaskan bea impor, dinilai tidak akan memberi jalan keluar karena tetap menyandarkan pada impor dan resep neoliberalisme yang menjebak Indonesia pada lilitan utang. Solusi yang diberikan oleh pemerintah tersebut sudah cukup menjelaskan keberpihakan SBY-JK terhadap kepentingan neoliberalisme sehingga tidak ada jalan lain bagi rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan membentuk organisasi-organisasi yang merupakan embrio dari pemerintahan rakyat miskin.



Berikut tuntutan-tuntutan aksi LMND-PRM:
1. SBY-JK turun, harga turun
2. Pendidikan dan kesehatan gratis
3. Subsidi sembako untuk rakyat
4. Hapus utang luar negeri
5. Adili, sita harta Suharto dan kroni-kroninya
6. Penuhi sembako oleh Bulog dari negara lain dengan kas, barter dan utang
7. Tolak penggusuran
8. Perluas lahan, berikan modal dan teknologi pertanian di bawah komite tani




***
Read More......

15 Februari 2008

[Mobilisasi] Aksi Turun Harga dengan Teatrikal








15/02/2008 05:34:56

YOGYA (Kedaulatan Rakyat) - Aksi turun ke jalan yang menuntut penurunan harga, sering dilakukan. Tetapi yang dilakukan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Politik Rakyat Miskin (LMND PRM) di simpang empat Kantor Pos Yogya, Kamis (14/2) sore, berlangsung menarik. Tidak sekadar meneriakkan tuntutan, tetapi mereka melakukannya dengan aksi teatrikal.

Aksi diikuti 14 orang dengan wajah dibuat coreng-moreng. Tiga belas di antaranya masing-masing membawa satu huruf besar di depan sehingga membentuk tulisan 'turunkan harga'. Sementara di punggung terpasang poster bertuliskan beberapa tuntutan yang menyertai. Selain orasi, mereka juga menari-nari dengan kompak.
Dalam pernyataan sikap maupun orasinya, juru bicara aksi Paulus Suryanta G menyebutkan, naiknya harga sembilan bahan pokok (sembako) rakyat, ditambah kenaikan barang-barang kebutuhan pokok lain menunjukkan pemerintah telah gagal menyejahterakan rakyat.

Kegagalan panen gandum di Australia dan Prancis serta penundaan ekspor gandum oleh Argentina juga menjadi penyebab kenaikan harga gandum dunia. Sebagai akibatnya Cina dan Rusia menerapkan pajak ekspor sereal hingga lima kali lipat yang berlaku sebelumnya sejak 1 Januari lalu. Dengan demikian, ketahanan pangan dunia menjadi terancam, tak terkecuali Indonesia. Berbagai contoh yang menyebutkan tidak stabilnya harga-harga juga disampaikan peserta aksi. Termasuk masalah ketidakberdayaan pemerintah dalam kenaikan harga kedelai yang memukul pengusaha tahu dan tempe.(Ewp)-f
Read More......

[Mobilisasi] Kapitalisasi Pendidikan Telah Membungkan Demokratiasasi Kampus!

Aksi Nasional Serikat Mahasiswa Indonesia
Berita oleh Vivi W
14 februari 2008

Lima ratus massa aksi yang tergabung dalam Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) hari ini (Kamis, 14 Februari 2008) melakukan aksi dengan tuntutan utama: Jaminan kebebasan berekspresi, berpendapat dan berorganisasi di kampus, cabut SK Dirjen Dikti No 26 Tahun 2002 tentang Pelarangan Aktivitas Ormas dan Partai Politik di kampus, Tolak dan Hapuskan Sistem Skorsing dan Drop out dan Tolak RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Aksi ini merupakan aksi nasional yang dihadiri oleh perwakilan cabang-cabang SMI dari beberapa daerah di Indonesia.

Aksi SMI diawali dari Bundaran Patung Kuda Indosat bergerak menuju Istana Negara. Dalam orasinya di Depan Istana Ketua Umum KPP SMI Yusriansyah menyatakan bahwa selama ini pemerintahan boneka imperialis SBY-Kalla yang sama sekali tidak memperhatikan sektor pendidikan, program meliberalisasi sistem pendidikan nasional menyebabkan mahalnya biaya pendidikan sehingga banyak anak Indonesia yang tidak mampu lagi bersekolah. Disamping itu undang-undangn pendidikan yang ada memberikan legitimasi tindakan-tindakan anti demokrasi/represif di dalam kampus.

Sementara Sekjen KPP SMI Tony Trianto menegaskan bahwa pendidikan gratis wajib diberikan kepada warga negara tanpa prasyarat dan sangat bisa dilakukan oleh Pemerintah jika mereka mau menjalanakan program-program strategis seperti:
1. Laksanakan Reforma Agraria
2. Bangun Industrialisasi Nasional yang Kerakyatan
3. Melakukan Nasionalisasi Aset-aset penting (pertambangan, dll)

Tetapi sayangnya pemerintahan SBY-JK tidak bersedia melakukan dan hanya pemerintahan yang bersifat kerakyatan saja yang sanggup melaksanakan program tersebut, tegas Toni.

Aksi SMI ini juga mendapat dukungan dari berbagai macam organisasi-organiasai kerakyatan lainnya seperti: Aliansi Buruh Mengguggat (ABM),
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi-Politik Rakyat Miskin (LMND-PRM), Komite Politik Rakyat Miskin-Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Solidaritas Perjuangan Buruh Jabotabek (SPBJ) , Serikat Buruh Transportasi Perjuangan Indonesia (SBTPI), Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), dan masing-masing diberikan kesempatan untuk menyampaikan orasi politik.


Setelah 2 jam aksi di depan aksi di depan Istana Negara, aksi dilanjutkan ke gedung DPR RI.


Read More......

06 Februari 2008

[Internasional] Dunia di dalam Krisis!


(antara terjun ke jurang atau membangun tangga-tangga alternatif)

Oleh: Zely Ariane

Pengantar [1]

Dunia sedang dilanda krisis. Globalisasi neoliberal terbukti memanen kemiskinan dan memperdalam ketimpangan ketimbang kemakmuran dan pemerataan.[2] Tak perlu tesis yang terlalu rumit untuk dapat menyimpulkannya, walaupun membutuhkan suatu studi yang seksama untuk mengukur tingkat dan kadar krisis tersebut, khususnya yang terkait dengan produksi dan produktivitas. Menyusutnya legitimasi terhadap neoliberalisme dari hari ke hari, dari negeri ke negeri, adalah jawaban terhadap krisis ekonomi. Kehancuran tenaga produktif muda; kemiskinan; kehancuran industri; pengangguran; hilangnya kemampuan negara untuk mengontrol kenaikan harga dan memberikan berbagai jaminan sosial (welfare state), adalah sebagian wujud dari krisis ekonomi tersebut.

Namun, kelompok mayoritas dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS) yang dengan sembrono menyimpulkan bahwa belum tersedia syarat bagi krisis ekonomi (di Indonesia) yang berdampak luas, mendalam dan tiba-tiba terhadap rakyat, sehingga (mereka mengatakan) kalaupun potensi krisis akan muncul, maka tidak akan sampai menghasilkan krisis revolusioner. Sembrono sekali kesimpulan tersebut hingga sanggup melawan kekhawatiran para ekonom kapitalis sendiri:

”...Walaupun para ekonom anti-kapitalisme di dunia saat ini belum sampai pada kesimpulan bahwa ekonomi kapitalisme-neoliberal akan segera bergerak menuju kiamat, namun ‘para penjaga’ ekonominya—lembaga-lembaganya, para ekonom dan akademisinya—masih sangat was-was mengenai kondisi pasar ekonomi dan keuangan yang bisa saja lebih memburuk berdasarkan pengalaman siklus ‘krisis’ terakhir (sejak krisis Mexico tahun 1994 hingga gelembung ‘ekonomi baru’ AS tahun 2001). Membumbungnya defisit keuangan (CADs) AS, seiring dengan surplus keuangan (CASs) di kawasan Asia Timur (khususnya Cina, Jepang, Taiwan dan Korea Selatan), menjadi perhatian utama ‘para penjaga ekonomi’ itu. Hal itu tercermin dari keresahan-kerasahan berikut:

· Peringatan IMF terhadap para investor yang dianggapnya ‘mengabaikan kenyataan bahwa perekonomian global sedang menghadapi resiko besar’. Resiko itu termasuk perlambatan perekonomian AS; turunnya harga perumahan; kenaikan harga minyak; dan kenaikan tingkat suku bunga untuk menghambat tekanan inflasi.[3]
· Data penjualan rumah AS menunjukkan terjadinya penurunan sebesar 4,1%, pada Juli, 2006, yang merupakan titik terendah sejak Januari, 2004 (angka penjualan rumah yang terkecil dalam 13 tahun terakhir). "Dengan pasar perumahan di AS yang turun lebih cepat dibandingkan perkiraan, ada resiko lebih besar: perlambatan perekonomian AS, yang dapat juga menurunkan ekspansi global.[4]” [catatan tambahan: perusahaan sekuritas terbesar Jepang, Nomura Holdings Inc., Senin 15/10 mengumumkan keputusannya keluar dari pasar surat berharga kredit perumahan dengan nasabah beresiko tinggi di AS, setelah membukuka kerugiaan besar―511 juta dolar AS―akibat krisis (kerugian dari bencana subprime mortgage) [5]. Menurutnya, kredit macet bukan satu-satunya penyebab karugiannya di AS, basis nasabah yang juga melemah adalah sebab lainnya.]
· Di tahun 2005, ketika pertumbuhan ekonomi dunia mencapai 4,8%, konfigurasi ekonominya justru menunjukkan keanehan. Sejak era 1980-an, tak pernah terjadi tingkat defisit (CADs) yang lebih tinggi [6]; harga minyak juga lebih tinggi [7]; nilai tabungan personal di AS lebih rendah; dan suku bunga riil jangka panjang yang lebih rendah di Eropa, Jepang dan AS.... [8]” [Situasi Internasional hasil Kongres Papernas, Januari, 2007).
Kelimpahan barang tanpa daya beli (excess supply) adalah bentuk krisis yang sudah ada di depan mata. Bila pada Malaise 1929, modal hancur karena tidak bisa diinvestasikan ke dalam sektor riil, maka di masa kini modal lebih untung ditanamkan ke sektor finansial (perdagangan saham dan uang) karena sudah lama tidak bisa (baca: tidak cepat menguntungkan) ditanamkan ke sektor riil. Itulah (baca: tidak ada ekspansi modal ke sektor produktif) yang menjadi penyebab utama pengangguran, sebagai wujud krisis massal di dunia saat ini.[9]

Memang, walaupun kapitalisme tambah menyengsarakan rakyat, dan siklus resesi-resesi kecilnya bertambah sering, tapi konsentrasi/sentralisasi tenaga produktifnya juga makin mengerucut ke beberapa kapitalis [10] serta produktivitasnya masih meningkat, sehingga BELUM menyebabkan kebangkrutan atau kehancuran produksi. Ketidakmampuan daya beli terhadap barang-barang pokok; pengangguran ekstrem; dan proyek imperialisme yang gagal di hampir semua negeri yang dihisapnya—biasanya karena perlawanan atau karena siklus krisis di negeri imperialis—belum menyebabkan kehancuran produksi. Krisis kapitalisme di negeri-negeri imperialis utama BELUM menyebabkan krisis global yang disebabkan oleh kehancuran produksi karena ketidakmampuan daya beli (baca: over produksi) yang ekstrim.

Namun, yang mutlak untuk selalu dicatat adalah, bahwa perlawanan yang berhasil (baca: kemandirian) di negeri-negeri yang dihisap/dijajahnya akan mempercepat krisis tersebut. Kapitalisme hanya sedang akan menurun—selain oleh sebab-sebab di atas, juga karena krisis pasar keuangan masih dapat ditoleransi dengan mendukung pelonggaran kebijakan fiskal dan moneter—dan syarat-syarat pematangan krisisnya serta gerakan perlawanannya harus terus kita persiapkan.

1. Krisis legitimasi neoliberalisme

Bukti-bukti yang memperkuat kesimpulan bahwa neoliberalisme mulai kehilangan legitimasi, kehilangan landasannya, semakin bertambah.

Di negeri-negeri Dunia Ketiga (baca: negeri terjajah/terhisap), neoliberalisme tak lagi mampu tampil dengan gaya aslinya.[11] Ia terpaksa meniru gaya negara kesejahteraan (Keynesianisme) (walfare state), agar terlihat manusiawi dan seakan-akan berhasil menabur derma kesejahteraan melalui: Millenium Development Goals (MDGs) [12]; atau/dan program-program konpensasi semacam Jaring Pengaman Sosial. Pemberian Nobel untuk Muhammad Yunus, yang berhasil mengembangkan sistem mikro kredit untuk orang miskin lewat Greemen Bank-nya, adalah bukti (baca: pengakuan) bahwa neoliberalisme tidak mampu menyejahterakan orang miskin. Sehingga sistem tersebut membutuhkan pihak-pihak ‘swasta’ maupun pemerintah untuk dapat membantunya menambal kemiskinan, agar sistim bisa tetap tegak.[13]

Dengan demikian, kita bisa berkesimpulan: bahwa pemilihan Dominique Strauss-Kahn, mantan menteri ekonomi Prancis dan tokoh Partai Sosialis Prancis, untuk memimpin IMF, adalah bentuk upaya untuk memperbaiki citra IMF (sebagai alat utama kebijakan neoliberalisme) yang sedang mengalami krisis legitimasi. Kahn langsung mengangkat sebagian isu yang sudah meluas didukung dan diperjuangkan oleh gerakan massa bersama NGO anti neoliberalisme selama ini, yakni: reformasi dan demokratisasi IMF (selama ini, hak suara/sistem pengambilan keputusan dikelola berdasarkan kuota suara—AS memiliki kuota terbesar dengan hak suara 16,83% dari total 185 negara anggota, yang hanya memiliki hak suara 32%) (Kompas, 2 Oktober, 2007).

Pemberian nobel ekonomi tahun 2007 kepada Trio Ekonomi AS, Leonid Hurwicz, Erick S Maskin, dan Roger B Myerson, dengan teorinya yang membantu neoliberalisme menjelaskan kapan mekanisme pasar bisa bekerja secara efektif (Teori Desain Mekanisme), adalah cermin kebutuhan neoliberalisme menemukan landasannya kembali di tengah pengakuan mereka sendiri bahwa tidak semua negeri yang menjalankan mekanisme perekonomian pasar akan otomatis meraih sukses. Namun teori tersebut juga dipaksa kembali ke resep-resep dasar negara kesejahteraan, dengan melihat bagaimana berbagai lembaga bisa mengalokasikan sumber daya sebaik-baiknya dan kapan intervensi pemerintah diperlukan dalam perekonomian.

2. Penjajahan modal asing (imperialisme AS) dalam krisis

Semua modifikasi resep neoliberalisme tersebut hanya bertujuan untuk mengokohkan penjajahan modal asing di negeri-negeri Dunia Ketiga. Dan penjajahan modal tersebut berpusat pada penguasaan sumber-sumber enerji dunia (khususnya migas) oleh perusahaan-perusahaan enerji raksasa. Di dalam bukunya, Oil and World Politic (1991), Ted Wheelwright menyebutkan bahwa sejarah industri minyak dunia adalah kisah ekonomi
politik abad ke-20 yang luar biasa. Hal tersebut meliputi hubungan yang penuh intrik dan penipuan antar kekuatan ekonomi, politik dan militer; yang menghasilkan perang, revolusi, konspirasi, korupsi, nasionalisme dan imperialisme.

Nasionalisme Skotlandia; perkembangan Amerika Latin; kemerdekaan Puerto Rico; isolasi Kuba; kedaulatan Samoal; perlawanan sipil di Indonesia dan Nigeria; batas Israel; perseteruan AS-Sovyet [hingga yang paling terkini, serangan terhadap Axis of Evil (Kuba, Venezuela, dan Iran) oleh AS], masing-masing memiliki komponen minyak yang masuk dalam agenda paling utama korporasi internasional. Masing-masing memberikan dimensi global ekonomi politik minyak (Engler, 52).

Lebih lanjut, Wheelwright menyebutkan bahwa studi klasik mengenai dinamika internal hubungan antara kapitalisme dan imperialisme—yang telah mempengaruhi banyak pihak, dari Lenin hingga seterusnya—dilakukan oleh Hobson pada permulaan menurunnya Imperium Inggris di awal abad 20. Ia memberikan perhatian tidak saja pada kebutuhan paling penting dari imperium, yakni penguasaan bahan mentah; namun juga pada meningkatnya ketimpangan pendapatan yang mengarah pada akumulasi kapital, dan tekanan untuk menginvestasikannya ke luar negeri ketika pasar domestik kering (over supply). Kebutuhan untuk membiayai, mengelola, dan melindungi investasi mengarahkannya pada pertumbuhan/peningkatan suatu kelas finansial, pertumbuhan kekuatan militer, serta meningkatnya konsentrasi industri minyak.

Kini para ekonom imperium dipaksa berfikir keras: bagaimana agar akumulasi modal dari hasil ekspansi pasar ke negeri jajahan dapat terus meningkatkan keuntungan dan tidak beralih tangan/kepemilikan. Sementara ekspansi modal tidak pernah secara nyata terjadi ke negeri-negeri terjajah, karena sebagian besar keuntungan yang mereka peroleh dibawa kembali ke negeri asal penjajah. Hanya ceceran kecil saja diperuntukkan bagi Corporate Social Responsibility/CSR di negeri-negeri setempat—itupun tidak ada paksaan legal. Sementara, kalaupun singgah di dalam negeri, maka tempat persinggahannya bukanlah sektor-sektor produktif yang dapat meningkatkan nilai tambah, melainkan sektor-sektor spekulatif (baca: perjudian portofolio, valuta asing, obligasi, spekulan properti, dan kredit konsumsi).

Mekanisme yang sudah berlangsung lama tersebut bertambah rakus dan kalap ketika bertemu dengan situasi meningkatnya konsumsi enerji (migas) negeri-negeri imperialis, khususnya AS dan Cina, yang luar biasa pesat. Afganistan dan Irak kini sudah dianggap ‘berhasil’ ditundukkan. Iran akan menjadi sasaran berikutnya, karena negeri itu ibarat duri di dalam daging gemuk Timur Tengah yang penuh minyak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Iran adalah satu-satunya penghambat kepentingan AS atas cadangan minyak bumi di Laut Kaspia (206 miliar barrel) dan pembuatan (plus pengamanan) jalur pipa migas sepanjang Asia Tengah sampai Asia selatan. UNOCAL berencana membangun jalur pipa melalui Turkmenistan, Afganistan dan Pakistan (Iran terletak di antara kedua negara terakhir ini) untuk menyuplai minyak bumi dan gas bagi pasar Asia; demikian halnya Halliburton, yang hendak memulai eksplorasi besar-besaran atas 16% cadangan minyak bumi dunia yang terletak di Laut Kaspia itu. Oleh sebab itu Iran harus ditaklukkan. Dengan isu nuklir dan senjata pemusnah massal—sebelumnya hal yang sama juga dituduhkan pada Irak sebagai pembenaran pendudukan—melalui PBB dan IAEA, penaklukkan Iran hendak dimulai.

Di Asia Tenggara, penjajahan modal asing—yang sudah kuat dengan kehadiran Singapore—semakin diperkuat dengan mekanisme ASEAN Plus Three (ASEAN+3) bersama Cina, Jepang, dan Korea Selatan, ditambah dengan berbagai perjanjian bilateral. Para menteri perdagangan ASEAN, pada pertemuan di Kuala Lumpur tahun lalu, bahkan merekomendasikan percepatan pembentukan pasar tunggal regional Asia Tenggara dari semula pada tahun 2020 menjadi pada tahun 2015. Bahkan Jepang sudah mengusulkan proposal pembiayaan sebesar US$ 100 juta untuk penjajakan inisiatif tersebut. Tujuannya adalah menciptakan zona perdagangan bebas (free trade area) yang melibatkan 16 negara (10 negara ASEAN + Cina, India, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan Selandia Baru). Jika FTA ini terwujud, maka akan melibatkan sekitar setengah dari penduduk dunia dan seperlima dari total perdagangan global.[14]

Di Indonesia, pembentukan Free Trade Zone (FTZ), Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas di Batam, Bintan, dan Karimun, sebagai hasil dari persetujuan kerjasama ekonomi Indonesia-Singapura, yang bertujuan untuk mendongkrak investasi, sudah disahkan menjadi UU. Di tengah ketidakmampuan (baca: ketiadaan rencana dan keberpihakan terhadap) industri nasional, upaya tersebut akan menjadi penyebab bencana jangka panjang karena industri Indonesia masih bergantung pada impor bahan baku dari negeri-negeri imperialis—sementara bahan mentah pun sudah dimiliki oleh imperialis. Sehingga FTZ, dalam kondisi tersebut, akan menyaratkan lumbung akumulasi modal borjuasi Asia dan imperium modal internasional, serta hanya akan menguntungkan segelintir elit pengusaha dan pemerintah, namun menghancurkan masa depan industri nasional.

Perjanjian ekstradiksi Indonesia-Singapura [dalam bidang keamanan (latihan kemiliteran) dan politik (isu anti korupsi)] adalah ladang dominasi selanjutnya. Diketahui, ternyata lokasi kerjasama pertahanan meliputi ladang-ladang gas, seperti blok Natuna D Alfa, yang merupakan blok penghasil gas bumi terbesar di Asia Pasifik, yang mencapai 46,3 triliun kaki kubik (Trillion Cubic Feed/TCF). Rencana eksploitasi gas bahkan sudah dimulai dengan pengajuan proposal oleh Conocophilips, Premier Oil dan Exxon Mobile (perusahaan pemasok gas utama ke Singapura) untuk membangun pipa-pipa gas bawah laut.[15]

Bau imperium yang busuk tersebut semakin tercium melalui sikap mereka yang tidak konsisten terhadap demokrasi di Burma. Pemain-pemain baru, seperti India dan Cina, lepas tangan terhadap kejahatan junta. India menyatakan: bahwa hubungan dekat ke Timur melalui go east policy (kebijakan mengarah ke Timur) harus diperkuat lewat perdagangan, lalu lintas perbatasan darat, jaringan telekomunikasi, dan pembangkit tenaga listrik. Sementara, Cina, memiliki kepentingan terhadap akses ke gerbang yang menuju Samudra Hindia, yang menjadi lalu lintas perdagangan Cina. Tak ketinggalan Rusia, yang demi Atom Story Export (pusat riset nuklir Rusia)-nya; Zarubezhneft (perusahaan dagang enerji Rusia); Itera (penghasil gas); dan Silver Wave Sputnik Petroleum, yang sudah mengeksplorasi minyak lepas pantai bersama Petro China, berani tampil bodoh dengan tidak membela demokrasi di Burma.

Namun, apakah kemudian Barat, yang diwakili oleh imperium AS, bersih dalam kasus tersebut? Tidak kah AS hanya sedang berusaha mencuci tangan, dan sedang memainkan peran bodoh dengan berlagak mendukung demokratisasi di Burma, namun melanggar demokrasi di Irak dan Venezuela? Menurut ulasan Ramzy Baroud, yang dikutip Kompas, 10 Oktober, 2007, dukungan AS terhadap Aung San Su Kyi hanyalah sekadar memelihara pijakannya di Burma jika suatu saat terjadi ketegangan dengan Cina (baca: jika suatu saat terjadi pergantian rejim/penjatuhan junta). Lebih lanjut Harian New Jersey Jewish Standard, seperti di kutip Kompas, mengatakan bahwa sulit bagi AS mengorbankan kepentingannya karena ada bisnis minyak AS di Burma. Harvard Bussiness Review menegaskannya, bahwa dukungan terhadap junta memang harus dilakukan demi cadangan gas Burma yang dikontrol rejim, yang selama ini sudah bermitra dengan raksasa minyak AS (Chevron) dan raksasa minyak Prancis (Total). Bahkan Menlu AS, Condolezza Rice, diketahui termasuk pejabat AS yang memiliki jabatan di Chevron. Sehingga tidak heran jika PBB, melalui petugas khususnya, Gambari, hanya melakukan serangkaian pertemuan tertutup dengan Junta dan seruan moral agar Junta menghentikan kekerasan. Tak ada pasukan ‘perdamaian’ PBB ke sana; tak ada embargo; apalagi misi ‘perang melawan teror’ hingga ‘pergantian rejim secara demokratik’ ala AS, seperti yang dilakukannya terhadap Irak, Afganistan, dan percobaan-percobaannya terhadap Iran, Kuba, Bolivia serta Venezuela.

3. Krisis Politik

Selain ditentukan oleh perlawanan terhadap penjajahan neoliberalisme, konfigurasi politik dunia masih ditentukan oleh dampak peristiwa 9/11, 2001. Peristiwa 9/11 adalah gerbang bagi perubahan peta politik dunia saat ini: pintu dari suatu bencana perang melawan terorisme yang tak berkesudahan; awal sebuah krisis politik yang tak mereda dan terus menajam. Hasilnya malah mengejutkan AS sendiri sebagai pencetus perang dan otak neoliberalisme: dia lah yang justru mulai didaulat sebagai musuh bersama. Paling tidak oleh negeri-negeri Dunia Ketiga yang menjadi korban keganasan perang terhadap terorisme, serta korban kejahatan kebijakan neoliberalisme. Sebagian negeri di Timur Tengah mewakili yang pertama, dan sebagian lainnya di Amerika Latin mewakili yang kedua.

Di AS sendiri sudah menyebar sentimen bahwa AS sudah kalah di Irak, dan mayoritas rakyat AS sekarang percaya bahwa kemenangan, dalam pengertian yang masuk akal, semakin mustahil. Serangan terhadap pasukan pendudukan masih mendekati rekor tertinggi; selain penahanan terhadap rakyat Irak, yang meningkat sebesar 50% sejak penyerbuan dimulai. Washington Post sendiri mempertimbangkan bahwa pengalaman pasukan AS ditembaki oleh rakyat Irak di Kadhimiyah, dekat Baghdad, memberi kesan kegagalan Irakisasi. Surat kabar tersebut melaporkan bahwa pasukan AS meminta pertolongan/dukungan dari pasukan Irak, namun tak satupun dari mereka merespon, padahal terdapat 2.700 pasukan Irak di tempat tersebut. Salah seorang prajurit Irak mengatakan bahwa, di Kadhimiyah, tentara Moqtada al Sadr’s, Tentara Mahdi “sekarang mengontrol Tentara dan Polisi Irak. Tidak ada yang dapat mengeksekusi perintah langsung untuk melakukan serangan dalam rangka menangkap mereka.”

Sesuai laporan dari kantor akuntabilitas pemerintah AS, pandangan Washington bahwa pembangunan suatu pemerintahan boneka AS di Irak sudah cukup kredibel, ternyata untuk berfungsi sangat minimal saja sejauh ini sudah menunjukkan tanda-tanda kegagalan. Parlemen Irak tak kunjung mampu meloloskan perundangan penting yang telah lama disokong/diharapkan oleh AS: undang-undang perminyakan, yang secara formal akan membuka pintu bagi korporasi Barat untuk mulai pindah ke Irak. Sudah mulai terbuka pula wacana penyingkiran pemerintahan Irak saat ini (dibawah Perdana Menteri boneka AS, Malik al Maliki). Rencana penyingkiran tersebut merupakan suatu kemunduran politik yang sangat serius bagi Gedung Putih, serta akan menjadi penilaian yang buruk terhadap elit AS. Rencana untuk menyingkirkan kekuatan politik yang masih patuh menjalankan kehendak Washington dapat beresiko meningkatkan instabilitas.

Perlawanan terhadap pendudukan Irak di AS sendiri menjadi semacam rutinitas, walaupun gerakan perlawanan tersebut masih terjebak sektarianisme, di satu sisi, dan elektoralisme di sisi lain. Berbagai jajak pendapat menyatakan AS sudah gagal di Irak, dan menghendaki penarikan pasukan AS dari Irak sesegera mungkin. Film dokumenter terbaru Michael Moore, Sicko, memberikan pengertian baru bagi rakyat AS terhadap persoalan yang lebih mendasar dihadapi rakyat AS ketimbang mengirimkan tentara ke Irak, yakni: kemiskinan dan ketiadaan perlindungan sosial yang parah.

Krisis utang subprime (tangan kedua) mulai menghantam sektor kelas pekerja paling lemah di AS[16]--walaupun belum berbuah radikalisasi massa yang militan, namun perkembangan gerakan hak-hak imigran, termasuk kulit hitam[17], memberikan landasan untuk memupuk investasi guna memanifestasikan radikalisasi tersebut.

Instabilitas lainnya rentan terjadi di negeri-negeri sekutu AS lainnya di Timur Tengah seperti Saudi Arabia dan Mesir. Saudi Arabia sejauh ini tidak berhasil membangun mekanisme demokratik yang akan mampu mengatasi ketegangan di dalam kerajaan, khususnya menyangkut besarnya porsi kelas kapitalis di luar keluarga kerajaan, sementara kerajaan tetap mempertahankan posisi istimewanya menyangkut perekonomian. Rejim pemerintahan Mesir pasca Mubarrak, sebagai sekutu kunci berikutnya, mengalami krisis legitimasi yang parah, setelah tahun lalu menghadapi gelombang pemogokan yang cukup signifikan. Awal September lalu, Standard & Poor menekankan perhatiannya terhadap kemungkinan terjadinya transisi rejim pemerintahan di Mesir.[18]

Oleh sebab itu, AS berkepentingan meningkatkan bantuan militernya untuk sekutu-sekutunya di Timur Tengah sebesar $63 Milyar AS selama 10 tahun ke depan, yang akan dialokasikan untuk persenjataan, termasuk kepada Israel sebesar $3 Milyar AS setahun; janji bantuan sebesar $1,3 Milyar AS untuk militer Mesir; dan menjual senjata ke Arab Saudi dan monarki-monarki Teluk Persia lainnya seharga $20 Milyar AS (Economist, 2 Agustus, 2007).

Kekalahan AS dan Israel mengusir Hamas dari Jalur Gaza merupakan kelanjutan kemunduran dominasi AS sejak tahun lalu, pasca kemenangan Hamas dalam pemilu Palestina. Namun pekerjaan Hamas akan semakin diperberat oleh kekuatan rejim Abbas yang memecah belah rakyat Palestina, melalui serangkaian negosiasi damai dengan Israel (baca: pengakuan Israel sebagai negara) yang difasilitasi oleh AS, serta krisis kemanusiaan di Jalur Gaza. (Untuk itu, seharusnya, selain politik bersenjata, politik mobilisasi massa haruslah diletakkan lebih ke depan untuk melawan adu domba serta meraih dukungan internasional kembali.)

Kemunduran lainnya juga tampak pada kegagalan AS dalam mengisolasi Iran lewat IAEA dan PBB. Menyusul, krisis yang melanda rejim Musharraf (boneka AS) di Pakistan. Peningkatan gerakan militan, tuntutan perubahan konstitusi, dan pemogokan pengacara adalah guncangan yang tak tanggung-tanggung bagi diktator militer tersebut.

Perlawanan yang berhasil oleh Kuba, Venezuela dan Bolivia, diikuti setapak demi setapak oleh negeri-negeri Amerika Latin lainnya, khususnya Nikaragua dan Ekuador (dalam kadar yang berbeda dengan tiga negeri pertama), telah memberi dampak yang tidak kecil terhadap penurunan dominasi ekonomi dan politik AS di dunia. Walk-outnya delegasi Kuba pada pidato Bush dalam sidang tahunan PBB bulan Agustus lalu adalah bentuk rangkaian protes pemerintah negeri-negeri tersebut, setelah setahun sebelumnya Chavez (Venezuela) serta Morales (Bolivia) dalam pidatonya membongkar kejahatan-kejahatan AS dan korporasinya di hadapan delegasi PBB.

Perkembangan menggembirakan juga akan menggemparkan industri film, khususnya Hollywood, dengan masuknya kampanye budaya anti-imperialisme AS, melalui sineas AS sendiri: Kevin Spacey dan Danny Glover. Venezuela tahun lalu sudah mengumumkan akan memberikan bantuan jutaan dollar AS bagi kampanye kebudayaan anti imperialisme (seperti produksi buku bacaan, teater dan film). Baru-baru ini pemerintah Venezuela memberikan dana yang cukup besar bagi pembangunan industri film Venezuela untuk memulai kampanye tersebut. Kevin Spacey dilibatkan dalam proyek tersebut, termasuk untuk memfilmkan sejarah perjuangan anti kolonialisme Simon Bolivar, yang membebaskan Amerika Latin. Venezuela juga mendanai proyek film sejarah perjuangan pembebasan budak di Haiti, yang akan dikerjakan oleh Glover.

Proses yang semakin radikal di Venezuela meningkatkan pengaruh ke level internasional. Terdapat tiga aspek pengaruh yang dapat disimpulkan disini: satu, dorongan integrasi Amerika Latin yang dipimpin Venezuela semakin meningkat dan nyata; dua, pembangunan blok anti imperialis internasional dan solidaritas internasional yang dipasokkan Venezuela pada negeri-negeri tertindas; dan tiga, peran Hugo Chavez serta revolusi yang, secara politik, memberikan inspirasi bagi rakyat di dunia untuk bersikap terhadap imperialisme dan neoliberalisme.

ALBA (alternatif Bolivarian untuk Amerika Latin) adalah langkah kongkrit integrasi, yang disebut pada point pertama di atas. ALBA tak lagi sekadar hanya suatu gagasan dan cita-cita yang baik, ia mulai berbentuk langkah-langkah kongkrit setelah bergabungnya Bolivia, menyusul Nikaragua dan Ekuador—bahkan Iran mulai menjadi peninjau. Menurut Kantor Informasi Venezuela di Washington, sejak ALBA ditandatangani pada bulan Desember, 2004, Venezuela telah menandatangani 15 persetujuan dengan 18 negeri-negeri di Amerika Latin dan Karibia. Kuba dan Venezuela sedang mengeksplorasi pembangunan industri agrikultur yang bertujuan untuk melindungi ketahanan pangan.

Pada pertemuan tingkat tinggi ALBA ke-5 di Caracas April lalu, didiskusikan mengenai pembentukan 12 “perusahaan raksasa-nasional” yang akan “dikelola oleh negeri-negeri anggota ALBA, yang aktivitasnya akan berfokus pada penguatan sektor-sektor kunci perekonomian nasional”, termasuk “pertanian, infrastruktur, telekomunikasi, pemasok (supply) industri, dan produksi semen”. Suatu perusahaan enerji akan melingkupi “produksi, pengolahan (refining), penyimpanan, transportasi, dan distribusi minyak serta gas, termasuk pembangunan enerji alternatif di seluruh kawasan tersebut”.

Inisiatif ALBA lainnya termasuk pembentukan bank untuk mendanai proyek “suatu rantai pasar ALBA termasuk barang-barang dari negeri-negeri anggota” dan “program pelatihan bagi masa depan pekerja-pekerja sosial”. Suatu badan ALBA untuk pergerakan sosial bahkan sudah dibentuk. Sebelum pertemuan Presiden-Presiden Dewan ALBA selanjutnya, direncanakan untuk menggelar suatu pertemuan akbar gerakan sosial untuk mendiskusikan perjuangan melawan neoliberalisme di benua tersebut. Meski sudah memperlihatkan langkah-langkah kongkrit, alternatif terhadap ‘perdagangan bebas’ tersebut masih dalam tahap embrional (cikal bakal) nya. Pertumbuhannya masih kecil dan hanya mewakili sedikit ruang lingkup perdagangan Venezuela.

Pada bulan Agustus lalu, diselenggarakan pertemuan tingkat tinggi Petro Caribe, yakni sebuah contoh yang baik tentang bagaimana model integrasi ekonomi yang dipromosikan Venezuela bekerja secara nyata melawan imperialisme dan demi meningkatkan pembangunan. Sejak dibentuk tahun pada tahun 2004, 14 negeri-negeri Karibia telah menandatangani persetujuan yang memberikan kepada mereka akses terhadap minyak Venezuela dalam bentuk-bentuk yang saling menguntungkan, termasuk membiayai pembeliannya melalui kredit bunga rendah jangka panjang dan membayarnya (secara barter) dengan barang-barang dan pelayanan. Venezuela menyediakan minyak untuk mengembangkan perusahaan minyak milik negeri-negeri Karibia, dan tidak mengikutsertakan pemain korporasi multinasional dalam berbagai kesepakatan.

Proyek solidaritas internasional, yang juga sedang didorong semakin kongkrit oleh Venezuela adalah Bancosur, bank rakyat selatan. Bank tersebut sejak awal pembentukannya, tahun 2004, sudah diproyeksikan untuk mengganti peran IMF—yang merampok negeri-negeri miskin lewat kebijakan neoliberalnya sebagai syarat utang. Bank tersebut akan mendanai berbagai proyek publik untuk kemajuan tenaga produktif negeri-negeri lain (Amerika Latin menjadi proyek percontohannya). Pada tanggal 12 Oktober, 2007, pertemuan di Rio De Jeneiro dihadiri oleh Venezuela, Argentina, Bolivia, Brazil, Ekuador, Paraguay, dan Uruguay, untuk merumuskan dasar-dasar pendirian bank tersebut. Rencananya bank tersebut akan dideklarasikan pada awal November mendatang.

Memang terdapat kontradiksi di antara pemerintah-pemerintah pendirinya, seperti pendapat Eric Toussaint, Presiden Komite Penghapusan Utang Luar Negeri Dunia Ketiga, yang mengatakan bahwa rancangan (draft) statuta yang dipresentasikan oleh Argentina dan Venezuela mengandung banyak elemen-elemen neoliberal, dan berspekulasi bahwa rancangan tersebut ‘ditentukan’ oleh Argentina dan, secara personal, tidak mungkin disetujui oleh Chavez.

Brazil dan Argentina adalah dua di antara yang memanfaatkan kelemahan imperialisme AS, serta hubungan yang menguntungkan antar berbagai kekuatan, untuk bermanuver mendapatkan kesepakatan yang lebih baik bagi kelas kapitalis lokal mereka dalam hubungannya dengan imperialisme (seperti Argentina yang memutus ikatan dengan IMF dan melawan FTAA); sementara itu, pemerintahan-pemerintahan yang berbasiskan gerakan popular tak hanya mencari kesepakatan yang lebih baik saja, namun lebih pada tujuan untuk membebasakan diri dari imperialisme, menghendaki revolusi berbasiskan mobilisasi rakyat tertindas untuk mengambil alih kekuasaan, seperti Kuba, Venezuela, Bolivia, dan sangat mungkin Ekuador.

Baru-baru ini, Venezuela menyodorkan gagasan untuk memperluas sebagian proyek persatuan Amerika Latin-nya dengan Afrika. Pada bulan Juli diselenggarakan suatu pertemuan persiapan pertama bagi para koordinator pertemuan tingkat tinggi Amerika Selatan-Afrika yang ke-2. Pertemuan tersebut rencananya akan diselenggarakan di Venezuela, November, 2008.

Sementara Bolivia, sebagai sekutu utama Venezuela, sedang menghadapi fase yang sangat berbahaya. Proses perubahan konstitusi masih mandeg akibat manuver dan berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh sayap kanan. Terjadi serangkaian mobilisasi kekerasan oleh sayap kanan; di sisi lain sektor-sektor sosial utama yang mendukung Morales dan pergerakan kaum pribumi, yang tak berhenti membantu, memulai melakukan kontra-mobilisasi terhadap sayap kanan; konferensi nasional kaum pribumi Bolivia baru-baru ini adalah salah satu bentuk konsolidasi untuk menggelar kontra-mobilisasi tersebut.

Venezuela sendiri saat ini sedang menghadapi tiga persoalan besar dalam revolusinya: pertama, pembangunan instrumen politik bagi penuntasan revolusi (pesoalan Partai Persatuan Sosialis Venezuela-PSUV, yang akan dijadian alat tumpuan revolusi); kedua, perjuangan untuk reformasi konstitusional, yang akan melapangkan jalan bagi sosialisme; ketiga, perjuangan untuk membangun kekuatan rakyat. Perdebatan seputar pembentukan PSUV dan reformasi konstitusional mulai membuka kontradiksi di dalam kubu Chavista sendiri.

Sekarang kita akan tinjau perlawanan terhadap neoliberalisme di negeri-negeri kapitalis maju, dengan mengambil contoh Prancis. Mengapa Prancis? Karena sejarah liberalisme politik dimulai di Prancis lewat Revousi Prancis; negeri kapitalis maju ini tak pernah sepi dari perlawanan; dengan posisi kelas pekerja yang kuat (meski dalam beberapa hal masih terkooptasi oleh aristokrasi serikat buruh dan politik reformis ala sosial liberal/keynesianisme); dan politisasi kaum imigran yang cukup cepat.

Dalam film dokumenter Sicko, Moore memperlihatkan bahwa bertahannya—walaupun untuk meningkat di masa yang akan datang masih sangat sulit—jaminan sosial dan pelayanan publik (seperti mendapatkan pelayanan kesehatan gratis yang berkualitas di Prancis) amat sangat ditentukan oleh mobilisasi rakyat dalam mempertahankannya. “Tanpa demonstrasi, rakyat Prancis tak mungkin mendapatkan pelayanan kesehatan gratis semacam itu hingga pelayanan-pelayanan sosial lainnya, yang harus terus difasilitasi negara,[19]” demikian peryataan salah seorang responden Moore dalam film tersebut.

Baru-baru ini, setelah setahun sebelumnya terjadi rangkaian pemogokan massal yang menghidupkan jalan-jalan berbagai kota untuk menolak UU wajib kerja, Prancis kembali diguncang pemogokan buruh transportasi, khususnya kereta api, yang menolak perpanjangan usia pensiun yang ditetapkan oleh pemerintahan baru pimpinan Sarkozy.

Perlawanan terhadap setiap jenis penurunan perlindungan sosial (wujud degradasi Keynesianisme), yang selama ini diterima rakyat, paling gencar terjadi di negeri tersebut. Rencana perpanjangan usia pensiun adalah bentuk kegagalan pemerintah Sarkozy meluaskan lapangan pekerjaan (semakin sedikit orang yang bekerja), sehingga semakin banyak pekerja calon pensiunan yang harus ditanggung oleh pajak—diambil dari pemotongan pendapatan untuk jaminan hari tua. Itulah bukti paling kongkrit kegagalan Keynesianisme mempertahankan derajat kesejahteraan rakyat tanpa menghisap tenaga kerja rakyat dan melucuti hak-hak yang sebelumnya sempat diterimanya.

Sementara itu di Asia, pergerakan juga tidak berhenti, walaupun secara umum perkembangan politiknya masih lambat, dan gerakan kiri tidak cukup berkembang. Thailand, pasca mobilisasi besar rakyat menurunkan Thaksin, kini dihadapkan pada tantangan politik menuntut demokratisasi dari tangan tentara. Upaya-upaya rejim militer menggunakan kekuatan senjata untuk memobilisasi rakyat ke TPS—untuk memilih konstitusi baru—adalah arena perjuangan berikutnya yang cukup sulit di tengah fragmentasi kekuatan gerakan pasca tergulingnya Thaksin.

Di Nepal, perjuangan rakyat terus berkembang dengan meningkatnya tuntutan yang kini dimenangkan dalam kekuasaan. Konstitusi baru yang memangkas habis kekuasaan monarki adalah lapangan perjuangan yang kini dikonsentrasikan oleh CPN-Maois. Penyerahan sebagian senjata adalah salah satu upaya kompromi yang dilakukan di dalam front untuk memenangkan syarat penghapusan monarki tersebut. Ketika proses tersebut berjalan lambat, CPN-M kembali memobilisasi perang rakyat di beberapa tempat, hingga mengancam untuk keluar dari parlemen (CPN-M termasuk mayoritas di parlemen) apabila konstitusi yang memasukkan pasal penghapusan monarki tidak dimenangkan.

Krisis legitimasi terhadap pemerintahan Arroyo, di Filipina, terus berlanjut. Dipicu oleh kasus kecurangan suara dalam pemilu, yang sepanjang tahun lalu memanen mobilisasi besar, krisis politik kini membuka kasus korupsi dan penyuapan yang dilakukan Arroyo. Walau politisasi mobilisasi belum mampu menjatuhkan Arroyo, namun front persatuan Laban Ng Masa hingga saat ini masih bertahan—belum cukup informasi sejauh mana ia berkembang.

Di dalam salah satu workshop, pada acara Latin America Asia Pasific Internasional Solidarity Confrence (LAAPISC) di Sidney baru-baru ini, Ric Rayes, seorang aktivis dari Laban Ng Masa, dalam merespon pertanyaan menyangkut bagaimana sikap kaum kiri Filipina menanggapi kekecewaan terhadap pemerintahan kapitalis, menyatakan bahwa: kaum muda Filipina terlalu memberikan peluang bagi para politisi korup. Mereka melakukan banyak kesepakatan dan aliansi dengan siapapun, dan kadang kaum kiri melakukan kesalahan serupa. Situasi tersebut hanya dapat diatasi dengan berkonsentrasi dan berupaya maksimal untuk tampil bersih. Menolak segala yang berhubungan dengan politik tradisional—politik uang, dan lain sebagainya. Terdapat kecenderungan bahwa taktik-taktik kaum kiri serupa dengan politik tradisional. Situasi tersebut tampaknya serupa pula dengan yang sedang dialami oleh para aktivis di Indonesia.

4. Perkembangan Politik Alternatif

Seluruh situasi ekonomi politik dunia saat ini memberikan basis bagi politik alternatif. Karena itu membutuhkan kesimpulan situasi objektif dan strategi-taktik yang tepat di dalam negeri masing-masing.

Secara umum, kecenderungan dan spektrum politik alternatif tidak begitu banyak berbeda. Namun beberapa perkembangan pentingnya, yang terkait dengan strategi-taktik perjuangan di dalam negeri, yang meliputi isu-isu seperti politik front persatuan; pembangunan partai dan gerakan; sikap terhadap pemilu; dan pemerintahan koalisi kiri-tengah, akan diangkat secara ringkas disini (selain akan dibedah secara khusus pada kesempatan lain).

Persoalan besar yang sedang dihadapi oleh partai kiri revolusioner, di tengah peluang politik alternatif yang terbuka saat ini, hampir sama di manapun di dunia: bagaimana membangun partai dan membesarkan gerakan untuk merebut kekuasaan. Persoalan tersebut kemudian membawa pada perdebatan yang mendalam seputar strategi-taktik politik dan organisasi seperti apa yang tepat digunakan untuk merespon situasi tersebut. Perpecahan yang sedang terjadi di dalam PRD dan PAPERNAS sekarang merupakan cermin dari respon terhadap situasi tersebut, yang cepat atau lambat, dengan berbagai stimulus, pasti akan terjadi. Namun mayoritas di dalam partai ternyata lebih berani bodoh untuk menstimulus pembelahan PRD dengan sangat kasar dan anti demokrasi, demi mengamankan metode politik oportunis mereka.

Broad left party (partai kiri-luas-BLP), adalah taktik pembangunan partai yang belakangan ini ramai menjadi bahan diskusi, perdebatan, dan analisa oleh partai-partai serta kelompok-kelompok kiri, utamanya di Eropa dan yang berafiliasi dengan internasionale ke-4 (Fourth Internasional-FI). Diluar FI, Democratic Socialist Perspective-Australia (DSP-Australia), sejak 3 tahun belakangan ini menghadapi perdebatan serupa. BLP menekankan taktik pembangunan partai melalui pembentukan partai persatuan kiri-luas yang baru, berbasiskan penyatuan organisasi-organisasi/partai-partai anti liberalisme atau kapitalisme yang hijau, demokratik, hingga revolusioner, termasuk aktivis-aktivis individual yang non afiliasi, dengan paltform perjuangan yang lebih rendah/transisional (sesuai kadar penerimaan anggota-anggota front). Politik semacam itu, di Eropa, diuji melalui intervensi peluang-peluang elektoral (sebagai partai politik persatuan).

BLP sendiri merupakan produk dari situasi objektif yang, secara umum, menurut Francois Sabado—pimpinan Liga Komunis Revolusioner Prancis-LCR dan FI—adalah respon terhadap serangan neoliberalisme di Eropa, yang semakin brutal; tensi sosial dan politik yang meningkat akibat brutalitas tersebut; yang berkonsekwensi terhadap munculnya krisis politik perwakilan—terlihat dari tingginya angka golput; atau ditandai dengan meningkatnya kekecewaan terhadap partai-partai politik tradisional dan reformis, utamanya Partai Buruh.

Partai sosialis Skotlandia (SSP), RESPECT-Inggris (sebelumnya Socialist Alliance), Left Bloc-Portugal, Die Linke-PDS-Jerman, adalah sebagian contoh partai persatuan kiri[20] yang melakukan strategi-taktik politik semacam itu, dengan tipe yang berbeda-beda satu sama lainnya.

Terhadap taktik BLP ini, François Vercammen, anggota biro eksekutif FI, pada bulan Desember, 2004, berpendapat dalam International Viewpoint: “

... di sisi lain, hubungan partai politik/gerakan sosial dipengaruhi oleh kekuatan ‘pergerakan’, mobilisasi, dan potensi politiknya—walau sangat tidak sama antara satu negeri ke negeri lainnya di Eropa. Salah satu aspek dari hal tersebut, dan bukan satu-satunya, adalah memenangkan kembali ruang politik oleh generasi baru. Namun, ruang tersebut cenderung merendahkan partai politik hanya pada fungsinya yang paling dasar: menawarkan deretan calon dalam pemilu. Aktivis-aktivis ‘gerakan’ menganggap dirinya sebagai suatu ‘entitas politik’ (subyek politik) yang belum siap untuk mendelegasikan suara dan pendapat mereka dalam rangka mendirikan partai politik. Demikian pula ‘partai revolusioner’, atau paling tidak lingkaran dari partai semacam itu, yang sering kali sangat kecil dan sektarian. Untuk membangun suatu ‘partai’ anti kapitalis yang pluralis, yang dapat bergerak mengatasi situasi ‘subjektif’ yang baru ini, membutuhkan sebuah pendekatan yang baru pula.

Pengalaman PRC (Party Refoundation Communista-Italy) sangatlah menarik: sebuah partai yang memposisikan dirinya setara dengan gerakan sosial, tanpa mencari-cari hegemoni atau memanipulasinya. Aktivitasnya dalam Europe Sosial Forum, dan dalam demonstrasi satu juta massa, adalah salah satu contohnya.

Beberapa pengalaman pembangunan BLP menghendaki pemindahan konsentrasi kekuatan dan sumber daya partai kiri-revolusioner kepada tujuan membangun partai persatuan kiri-luas yang baru. Konsentrasi dikehendaki karena partai persatuan kiri yang luas itulah yang rencananya akan dibangun sejak sekarang. Soal konsentrasi itulah yang dua tahun lalu memunculkan faksi LPF (faksi partai Leninis) di dalam DSP, yang tidak setuju partai dikonsentrasikan pada pembangunan Socialist Alliance (SA). Ketidaksetujuan tersebut utamanya disebabkan karena tidak terdapat situasi objektif yang mendukung untuk menerapkan taktik partai persatuan ala SA saat ini (baca: SA tidak mencerminkan partai persatuan, hanya DSP yang berganti nama). Terakhir, LPF mulai menegaskan bahwa melanjutkan politik tersebut (dengan SA sebagai alat utamanya) sesungguhnya bermakna melikuidasi partai revolusioner (DSP).

FI sendiri sepertinya belum memiliki pakem tertentu terhadap taktik tersebut, kecuali bahwa pembangunan BLP adalah kebutuhan mendesak. Perdebatan masih terbuka apakah BLP mutlak dilakukan dalam berbagai situasi, atau disesuaikan dengan situasi masing-masing negeri, atau hanya sekedar wacana untuk memperkaya taktik perjuangan. Masih terdapat perbedaan dalam memandang model BLP yang harus dibangun, apakah diperlakukan sebagai partai elektoral semata? Atau diproyeksikan sebagai partai massa revolusioner yang harus dibangun sejak sekarang? Atau hanya aliansi untuk berkampanye? Termasuk di dalamnya perdebatan mengenai siapa yang harus membangunnya. Apakah kelompok yang anti kapitalis semata? Atau yang anti neoliberalisme namun belum/tidak anti kapitalisme?

Yang pasti, liga komunis revolusioner (LCR) Prancis menerapkan taktik tersebut dalam konteks yang berbeda. Dalam pemilu Prancis beberapa waktu lalu, LCR tidak beraliansi/berafiliasi dengan partai politik manapun, termasuk tidak mendukung calon Presiden satu-satunya dari ‘kubu kiri-partai sosialis’ (Segolene Royale—yang anti liberalisme ekonomi tapi tidak anti kapitalisme), yang lolos pada putaran pemilu kedua. Hasilnya, suara untuk capres LCR, Olivier Besancenot, malah meningkat hingga 4% dibandingkan pemilu sebelumnya. Baru-baru ini LCR mengeluarkan resolusi yang mengajak seluruh elemen anti kapitalis—tak termasuk partai sosialis dan partai komunis Prancis, karena keduanya tidak anti kapitalis—untuk bersatu dalam proyek pembangunan sebuah partai anti kapitalis baru dengan platform menjatuhkan pemerintahan Sarkozy.[21]

Taktik tersebut mungkin bersesuaian dengan pendapat Sabado, yakni: poros dari partai kiri baru tersebut kemungkinan adalah di luar dari organisasi-organisasi tradisional. Basis sosial dan politiknya akan mengandalkan pada generasi-generasi, pengalaman perjuangan, dan gerakan sosial baru. Ia akan menarik benang merah dari sejarah revolusionernya untuk menggambarkan kebijakan revolusioner di abad 21. Namun partai baru ini tidak akan terbentuk oleh dekrit. Ia harus merupakan hasil dari keseluruhan proses dari pengalaman politik yang ditandai oleh berbagai peristiwa atau penyatuan kekuatan-kekuatan yang signifikan yang menjadi landasan bagi reorganisasi gerakan kelas pekerja dan sebuah partai baru.

Ia melanjutkan, bahwa signifikansi suatu partai politik yang baru adalah membangun sebuah strategi mediasi antara organisasi revolusioner yang ada saat ini dan pembangunan suatu partai massa revolusioner, yang tak terpisahkan dengan kemenangan kekuasaan revolusioner oleh kelas pekerja. Jika syarat-syarat untuk terjadinya suatu transformasi dari organisasi revolusioner tidak tersedia; jika bentuk kekuatan baru itu tidak lebih signifikan dari organisasi revolusionernya; dan kita tetap mempercepat irama serta modalitas pembangunan partai semacam itu, maka kita sudah kehilangan substansi—program, sejarah dan pengalaman revolusioner—tanpa mendapatkan perbesaran politik dan organisasi.

Persoalan kemudian berkembang ketika taktik semacam itu dianggap sebagai SUATU FASE YANG HARUS DILEWATI/DILAKUKAN untuk melahirkan partai revolusioner. Setidaknya sebagian angota pimpinan mayoritas DSP, yang mengembangkan tesis itu, sudah bersetuju. Sedangkan yang minoritas (LPF) mengangap bahwa front persatuan hanyalah SALAH SATU TAKTIK perbesaran partai yang dapat dilakukan dalam beragam situasi, ia adalah salah satu saja dari seni pembesaran gerakan dan partai, yang tak akan habis-habisnya digunakan oleh partai revolusioner sebelum hingga sesudah revolusi sekalipun.

Lalu bagaimana taktik BLP ini disikapi? Siapa yang harus dilibatkan? Bagaimana seharusnya sikap terhadap pemerintahan kiri-tengah? Model BLP ala SSP berbeda dengan RESPECT, demikian halnya sikap terhadap pemerintahan kiri-tengah ala PRC-Italia dan LCR. PRC ‘mendukung dengan kritis’ (terlibat dalam) pemerintahan koalisi kiri-tengah Prodi. Sementara LCR bahkan tidak sudi mendukung calon Presiden dari Partai Sosialis yang kiri-tengah (padahal partai Sosialis begitu aktif dan terbuka mengajak berbagai kekuatan politik kiri untuk mendukungnya menjelang pemilu lalu).[22]

Terakhir model BLP ala SSP dan RESPECT mulai mengalami krisis dan kemunduran. Menurut ISM, tendensi di dalam SSP, kemunduran tersebut utamanya terletak pada penurunan (bahkan tidak adanya) program pendidikan dan kaderisasi Marxis yang terstruktur di dalam SSP. Sepertinya keseluruhan debat tersebut pada akhirnya harus dapat menyimpulkan bagaimana posisi partai pelopor Marxis-Leninis harus kita letakkan dalam beragam taktik untuk merespon perkembangan situasi objektif.

Pengalaman LPP (partai buruh Pakistan)[23] membentuk aliansi sosialis untuk merespon pemilu tahun 2007 di Pakistan, dilandasi oleh situasi ketika tidak ada satu kekuatan politikpun yang maju dalam pemilu akan mendapatkan dukungan mayoritas, kecuali jika kelompok religius fundamentalis ikut bertarung dalam pemilu. Untuk kepeningan tersebut, rejim diktator Musharraf secara de-fakto melakukan aliansi dengan partai-partai relijius fundamentalis tersebut. Sementara itu, krisis ekonomi terus berlanjut akibat resep-resep neoliberal IMF dan Bank Dunia.

Merespon situasi tersebut, LPP memandang perlu untuk menggagas persatuan kekuatan kiri untuk maju menjadi alternatif partai elektoral yang independen dalam pemilu, melawan partai-partai orang kaya dan partai-partai religius fanatik. Persatuan tersebut kemudian terbentuk, berkat inisiatif enam kekuatan politik progressif: partai pekerja nasional (NWP), yang memiliki program-program pro sosialis dan terlibat dalam beberapa aliansi anti neoliberalisme; LPP sendiri; pergerakan rakyat (AT), yang merupakan partai nasionalis radikal (dengan anggota paling banyak dibandingkan anggota aliansi lainnya); PMKP, bekas partai Maois yang masih memiliki basis tani yang cukup signifikan di beberapa tempat; MMKG yang dipimpin oleh aktivis-aktivis kiri dengan track record yang cukup bersih; dan front buruh (PMM), yang berbasis di Karachi serta banyak mengorganisir buruh.

Keenam kelompok tersebut membentuk pergerakan rakyat demokratik (AJT), yang telah mengumumkan kampanye melawan peningkatan militerisasi, cengkeraman imperialisme, dan fundamentalisme religius di Pakistan. Platformnya bahkan meliputi program-program anti imperialis, anti kapitalis, dan anti feodalisme, serta pembebasan perempuan dan kaum minoritas dari segala diskriminasi. Dalam tahap awal pembentukannya, AJT masih merupakan forum aktivitas bersama dan belum berbentuk alinsi. “Kami harus memberikan ruang bagi kelompok-kelompok yang ada untuk bekerja bersama dalam berbagai aktivitas dan melihat kemungkinannya ke depan, termasuk melibatkan lebih banyak kelompok kiri ke dalamnya. Selutuh partai di dalam AJT akan bekerja secara independen sekaligus bersama-sama sebagai AJT”, demikian menurut pimpinan LPP, Farooq Tariq.

Pengalaman Partai Sosialis Malaysia (PSM), dalam memperjuangkan legalitas partainya, harus kita tiru. Status PSM saat ini sama dengan PRD ataupun PAPERNAS—negara tidak membiarkan partai-partai ini berdiri; dan mobilisasi rakyat pendukungnya belum cukup kuat untuk mendobrak hambatan tersebut. Tapi berbeda dengan PAPERNAS, PSM mati-matian memperjuangkan partainya agar diakui secara hukum sebagai partai politik dengan berbagai upaya yang sangat militan: baik di jalan-jalan maupun di ruang-ruang pengadilan. Sempat dalam pemilu beberapa waktu lalu PSM melakukan aliansi taktis dengan PKR (Partai Kedaulatan Rakyat-Anwar Ibrahim), dengan di dasarkan pada pertimbangan bahwa PKR adalah partai oposisi pemerintah. Namun aliansi tersebut tidak selangkahpun menyurutkan PSM dari upayanya memperjuangkan pendirian dan legalitas partainya sendiri sebagai satu-satunya alternatif bagi masa depan rakyat Malaysia.

Guna merespon oportunisme kaum mayoritas PRD—yang menganggap bahwa bergabung dengan PBR membuka peluang untuk merebut struktur, dan memperbaiki citra atau merubah PBR menjadi partai ‘progressif’ (ada-ada saja J), atau bahkan merubah Indonesia menjadi mandiri melalui PBR di parlemen—ada baiknya kita berangkat ke Afrika Selatan, untuk memeriksa apa yang terjadi dengan partai komunis Afrika Selatan (SACP) dan serikat buruh Afrika Selatan (COSATU), yang menerapkan taktik “merubah dari dalam” ketika beraliansi—bahkan bukan melebur/merger seperti rencana PAPERNAS merger kepada PBR)—dengan Kongres Nasional Afrika (ANC) untuk membentuk pemerintahan bersama.

Dale Y McKinley[24] mengulas keputusan rapat kerja ANC dan kongres ke-12 SACP bulan Juni, 2007.

“… selama 15 tahun, SACP dan Cosatu telah menipu: dengan berkutat pada strategi dan pilihan politik yang sama. Pilihan pertama adalah menjadi partner junior dalam sebuah aliansi yang tak akan pernah mereka kuasai/kontrol (namun boleh jadi bisa menempati posisi-posisi kunci); melakukan politik ‘dukungan kritis’ terhadap (dan menuntut) implementasi kebijakan-kebijakan yang lebih pro rakyat miskin/pro intervensi negara; terlibat dalam kampanye-kampanye momentual yang ditujukan untuk memperlihatkan bahwa kelas pekerja masih merupakan kekuatan yang dapat diandalkan; sementara, secara bersamaan, terus menjadi bagian dalam mesin elektoral ANC dan berpartisipasi dalam pemerintahan (yang dijalankan oleh ANC melalui berbagai mekanisme kelembagaannya).

Pilihan kedua: kembali ke landasan politik pengorganisasian dan mobilisasi kaum miskin serta kelas pekerja (yang harus secara nyata berbentuk aliansi praktis bersama organisasi-organisasi komunitas dan gerakan sosial) berdasarkan pada program tuntutan radikal untuk meredistribusi kepemilikan dan kekayaan, yang akan menjadi sebuah basis organisasional dan politik, baik untuk merubah kebijakan pemerintah/ANC—bukan melalui politiking/bargain ‘orang dalam’, namun melalui mobilisasi massa dan perjuangan kelas—maupun membangun kembali kekuatan basis organisasional dan politik kiri yang sejati, untuk mengubah hubungan kekuasaan di dalam masyarakat Afrika Selatan (sesuatu yang tak semata-mata bergantung pada pemilu, dan maju sebagai kekuatan elektoral yang terpisah dari ANC).

…Namun persoalannya adalah… pilihan kedua tak pernah sungguh-sungguh masuk dalam agenda. Sehingga hasilnya, mereka terus bermain dalam permainan politik aliansi.

…Hasil yang sangat disayangkan, namun sudah dapat diramalkan: kerja-kerja politik praktis SACP dan Cosatu, selama beberapa tahun belakangan ini, telah terikat langsung dengan apa yang sedang terjadi di dalam aliansi ANC, suatu hubungan proporsional dalam rangka mengintensifkan perjuangan untuk posisi dan kekuasaan personal. Hal tersebut merupakan wujud logis dari suatu pendekatan/politik semacam itu, dan dengan efektif telah membuat loyo kemampuan SACP/Cosatu dalam mengorganisir dan memobilisir sektor kaum miskin dan kelas pekerja dalam praktek (politik) yang sejati, padahal program dan kritikan mereka sebenarnya diuji dalam perjuangan nyata yang terjadi di lapangan pertarungan demokratik untuk mendirikan kekuasaan rakyat.

…Di dalam ketiadaan pilihan lain yang dapat dipertimbangkan, apa yang terus menerus kita saksikan adalah pengulangan mantra yang sama—bahwa kaum kiri di dalam aliansi harus ‘mengelola/mengatur/mengotak-atik’ hubungannya dengan ANC, dan sekarang justru semakin erat mengelola implementasi dari ‘agenda-agenda pembangunan’ (pemerintahan ANC). Sekretaris Jenderal Cosatu, Zwlenzima Vavi, sekali lagi menegaskan hal tersebut dengan pernyataannya dalam kongres SACP: bahwa persoalan sebenarnya adalah “aliansi tersebut tidak mendorong transformasi secara bersama-sama, yang menghasilkan pembedaan loyalitas”. Kemudian Vavi mengatakan bahwa Cosatu “telah menyerukan restrukturisasi aliansi sehingga tidak ada satupun komponen atau individu di dalam aliansi yang lebih menentukan strategi dan pengaturan”. Seakan-akan jika sesuatu dinyatakan dengan berulang-ulang maka orang (dalam hal ini para peserta kongres SACP/Cosatu) akan percaya. Apakah Vavi atau yang lainnya… percaya bahwa ‘restrukturisasi’ aliansi (berapa kali strukturisasi tersebut bisa dilakukan?) akan membuat anggota/pengambil keputusan SACP/Cosatu menjadi lebih setara dengan ANC?

…Apa yang tanpa sengaja terbongkar di dalam kongres SACP adalah, bahwa, ternyata, sangat sedikit upaya yang sudah dilakukan oleh mereka untuk merespon suara-suara rakyat. Sehingga syah lah pertanyaan: kemana saja SACP dan Cosatu selama ini, ketika ratusan protes warga/komunitas melancarkan tuntutan seputar pelayanan-pelayanan pokok; represi/penghancuran yang dilakukan negara terhadap aktivis-aktivis/komunitas tersebut?; dan terjadinya upaya untuk mempengaruhi mekanisme penyampaian suara dan politik pada pemerintahan lokal yang, sebenarnya, akan dibuat lebih partisipatif oleh rakyat?

…Sangat disayangkan, karena jawabannya adalah: mereka tidak ada disana. Tekanan dalam kongres hanya terkait dengan mobilisasi dan dukungan perjuangan komunitas serta gerakan sosial ini… tak lebih dari sekadar ‘angin panas’, akibat berlanjutnya politik pemasungan aliansi kiri (untuk alasan-alasan yang sudah dikemukakan di atas).

…Ini merupakan alasan utama mengapa SACP/Cosatu menganggap gerakan sosial menjadi ‘masalah’ (bukan meletakkannya sebagai sekutu kiri untuk membangun pergerakan politik—yang bisa dilaksanakan di lapangan dan yang merakyat/membasis—dalam rangka perlawanan langsung terhadap kapitalisme pemerintah/ANC). Walaupun bagi mereka tidak menjadi ‘masalah’ menghujat pimpinan-pimpinan tertentu ANC dan ‘kekuatan kelas’nya (hujatan dan kemarahan yang bahkan tak pernah dilakukan oleh gerakan sosial) namun, yang menjadi ‘masalah’, adalah ketika gerakan sosial membongkar alasan-alasan politik, ideologis, dan organisasional yang sesungguhnya dibalik meningkatnya kemarahan, dan oposisi praktis, terhadap ANC dan kebijakan yang mereka jalankan...

Semua itu memang disebabkan karena SACP dan Cosatu menolak untuk memutus ikatannya dengan ANC, sehingga mereka harus mengadopsi politik/posisi yang seluruhnya kontradiktif—begitu kontradiktifnya sehingga, dalam perjuangannya, mereka lebih cocok untuk diterima dan memiliki hubungan yang lebih dekat dengan para kapitalis dan liberal, ketimbang rakyat miskin.

Baru-baru ini, mobilisasi rakyat menolak IMF, yang berbuah kerusuhan, terjadi di Afrika Selatan—terkait kebijakan neoliberal yang melambungkan harga-harga kebutuhan pokok.

Tidak ada satupun contoh empirik di dunia ini, dimana partai kiri berhasil memenangkan kekuasaan rakyat, atau paling tidak memenangkan tuntutan ekonomi rakyat jangka panjang, dengan taktik hanya ‘merubah dari dalam’. Seluruh taktik yang demikian justru memakan korban sang partai kiri itu sendiri—perpecahan, kehilangan anggota-anggota militan, terkooptasi dan berubah menjadi kanan. Pengalaman PRC-Italia adalah yang paling terkini: ketika mereka harus berhadapan dengan perpecahan, akibat kecenderungan menghentikan politik mobilisasi massa melawan kebijakan Prodi (yang ternyata tidak konsisten menarik pasukan Italia dari Irak). PRC dianggap mulai terkooptasi (terikat tangan dan kakinya) dengan tetap bertahan di dalam pemerintahan Prodi yang sudah melanggar janji utamanya. Kini elemen-elemen militan dari PRC menyerukan diadakannya suatu kongres luar biasa agar memungkinkan terjadinya perdebatan dan konfrontasi ide/gagasan yang luas dan transparan. Bahkan mereka telah menyiapkan proposal jalan keluar dari krisis yang dihadapi oleh kaum kiri, sebagai proyek alternatif “membangun kembali sosialis”.

Mereka mendukung pendekatan persatuan yang mampu membangun mobilisasi yang paling luas di atas landasan situasi objektif yang tersedia. Namun, berlandaskan pengalaman baru-baru ini—yakni mobilisasi menuntut penarikan pasukan Italia dari Irak pada tanggal 6 dan tanggal 16 Juni, 2007; termasuk serangkaian perlawanan di tingkat lokal (untuk mempertahankan pelayanan kesehatan dan lingkungan)—mereka yakin bahwa pembangunan kesepakatan untuk kerja-kerja bersama di tingkat lokal dan nasional (di seputar tujuan-tujuan spesifik dan dalam kerangka oposisi terhadap pemerintahan Prodi), harus menjadi suatu kerja prioritas saat ini.

Di Jerman, Internasional Socialist Left—satu di antara dua organisasi FI di Jerman—mendukung lingkaran-lingkaran radikal yang berada di luar partai Die Linke PDS, seperti BAS di Berlin [yang melawan WASG (Berlin) dan PDS]. Mereka tak setuju dengan strategi Die Linke berkooperasi dengan pemerintah Merkel (di daerah/negara bagian); menyerukan untuk melawan opini mayoritas pimpinan nasional; tidak berpartisipasi dalam Die Linke; dan terus berjuang melawan kebijakan kooperatif.

Mereka menyerukan pertemuan berbagai aliran dan individual yang konsisten berkesadaran anti-kapitalis “baik di dalam maupun di luar” partai baru tersebut pada tanggal 14 Oktober, 2007, di Berlin[25]. Pertemuan tersebut akan mendiskusikan posisi fusi, sekaligus tentang aktivitas bersama fusi tersebut pada tingkat kerja-kerja ekstra-parlementer, pendidikan, dan koordinasi yang ketat antara kekuatan individual di Jerman yang bersepakat terhadap penggantian sistem kapitalis dengan ekonomi yang berlandaskan solidaritas: sosialis demokratik.
Di Prancis, LCR menyatakan bahwa kemenangan elektoral tidak secara otomatis merupakan kemenangan sosial/popular. Untuk meraih kemenangan popular dibutuhkan mobilisasi dengan ukuran tertentu dan kesatuan dari seluruh kekuatan sosial dan politik kiri di negeri tersebut. Kehendak tersebut hanya mungkin terjadi bila bertumpu pada kekuatan perlawanan gerakan dalam menentang politik tradisional.

Penutup: Apa yang Harus Kita Selesaikan?

Dalam hal pekerjaan solidaritas internasional, beberapa pekerjaan yang harus kita tekankan adalah: pekerjaan pembangunan kelompok-kelompok/aliansi-aliansi/studi-studi solidaritas untuk Venezuela-Amerika Latin, dengan memprioritaskan pekerjaan pada kampus-kampus di kota/wilayah di mana kita ada. Tujuan pokoknya ada dua: (1) rekruitmen mahasiswa di kampus-kampus tersebut, dan (2) perluasan kampanye alternatif dalam melawan neoliberalisme di lingkungan kampus dan politik nasional hingga mampu menstimulus perdebatan strategi-taktik alternatif di kalangan gerakan.

Pekerjaan lainnya yang aku anggap penting adalah mendesak elemen-elemen progresif, utamanya di Malaysia, untuk melakukan kampanye pembelaan terhadap kaum buruh migran yang diperlakukan sewenang-wenang oleh pemerintahan Malaysia. Upaya tersebut bisa berbentuk komite-komite solidaritas buruh migran di negeri-negeri sasaran buruh migran.

Kemudian, sebagai salah satu elemen partai revolusioner di dunia, kita juga harus turut memperdebatkan strategi-taktik pembangunan partai yang, tentu saja, harus didasarkan pada situasi objektif dan subjektif organisasi—termasuk sejarah masyarakat dan politik kita sendiri. Bukan tak mungkin taktik BLP akan dibajak oleh sekelompok petualang oportunis partai yang bermimpi partainya akan cepat besar berdasarkan peluang-peluang elektoral semata, bahkan dengan menyatukan diri ke dalam partai borjuasi (dan berjuang di bawah bendera mereka). Usulan untuk mengubah PRD menjadi partai massa kini bertemu dengan taktik ‘pembesaran’ partai (entah partai yang mana) melalui fusi-koalisi dengan partai borjuasi dalam pemilu tahun 2009. Keinginan untuk perbesaran partai adalah positif, namun menanggalkan prinsip-prinsip strategisnya adalah sama dengan terjun ke jurang dan membunuh alternatif.

Menyikapi potensi krisis revolusioner, adalah sepenuhnya sesat pendapat (kaum mayoritas PRD-oportunis) yang menyatakan bahwa syarat-syaratnya belum ada; juga salah bila berpendapat: kalaupun potensinya ada, maka tak akan memiliki watak revolusioner. Mereka sampai-sampai buta pengetahuan sosialisme ilmiah, teori Marxisme revolusioner, mengenai potensi—sebuah potensi merupakan sesuatu yang dapat terjadi, sesuai dengan landasan-landasannya, sesuai dengan hukum-hukum ilmiahnya, bukan sesuatu yang sudah pernah terjadi atau harus terjadi pada waktu tertentu. Tentu saja, jika sesuatu telah terjadi maka terbuktilah potensi tersebut; untuk peristiwa tersebut, terbukti nyata terjadi. Namun suatu fakta yang sudah terjadi/tercapai tidak mesti menunjukkan/melambangkan potensi. Jadi, yang dianggap potensi (oleh PRD-oportunis) adalah sesuatu yang telah terjadi (yang akan dijadikan sebagai landasan strategi-taktiknya). SALAH. Itulah mengapa mereka tidak menghargai potensi gerakan perlawanan rakyat, dan mengambil jalan pintas: merger (menyubordinasikan diri) ke dalam PBR[26].

Di dalam tulisannya, Kampanye Pemilihan untuk Duma ke IV dan Tugas-tugas Kaum Sosial Demokrat Revolusioner, April, 1912, Lenin menegaskan bahwa krisis revolusioner yang sedang tumbuh itu tidak tergantung hanya pada kita; ia tergantung pada seribu satu sebab, pada revolusi di Asia dan pada sosialisme di Eropa. Akan tetapi apa yang hanya tergantung pada kita ialah melakukan pekerjaan yang gigih dan mantap di kalangan massa dalam semangat Marxisme, dan hanyalah pekerjaan semacam itu yang, kapanpun dilakukan, tak akan sia-sia.

Jauh sebelumnya, di dalam Dari mana Kita Mulai (1901), ia sudah mengatakan bahwa pembangunan sebuah organisasi perjuangan dan memimpin agitasi-politik selalu menjadi pekerjaan pokok di bawah situasi apapun, dalam segala periode, termasuk periode yang ‘membosankan dan penuh kedamaian’, tak perduli ia ditandai oleh suatu ‘penurunan semangat revolusioner’. Justru dalam periode-periode yang begitu, dan di bawah situasi-situasi seperti itulah, kerja-kerja demikian (membangun organisasi dan memimpin agitasi-politik) sangat dibutuhkan, karena akan sangat terlambat untuk membentuk organisasi di masa-masa terjadinya ledakan dan riuh rendah pergolakan, atau partai itu harus berada dalam kondisi kesiagaan untuk beraksi sewaktu-waktu.

Krisis revolusioner akan lahir dari kontradiksi di dalam ekonomi kapitalisme sendiri, namun ia tak bisa ditunggu, ia harus terus menerus didorong dan dipersiapkan kedatangannya oleh kekuatan pelopor[27]. Dan kitalah kekuatan itu: sebuah partai politik yang mampu memberikan rumah organisasional sekaligus identitas politik bagi rakyat miskin dan kelas pekerja.***

Catatan Kaki:

[1] Bacaan pelengkap: [1] Situasi Internasional hasil Konferensi Nasional Perempuan Mahardhika, Maret, 2006; [2] Situasi Internasional hasil Kongres PAPERNAS, Februari 2007.
[2] Di tahun 1970 negeri-negeri industri maju mendapatkan 68% dari pendapatan dunia; di tahun 2000 meningkat menjadi 81%, meskipun populasi negeri-negeri tersebut turun 4%. GDP (Gross Domestic Product) per kapita negeri-negeri maju, di tahun 1970, sebesar $10,473; di tahun 2005 meningkat menjadi $26,201. GDP per kapita negeri-negeri lainnya di dunia, setelah mengalami peningkatan dari $1,248, di tahun 1970, menjadi $1,690, di tahun 1980, kemudian melorot lagi menjadi $1,160 per tahun, di tahun 2000. Rasio ketimpangan, menurut IMF, dengan menjumlahkan peningkatan tersebut, di tahun 1970 adalah dari 8.4, dan menjadi 22.6, di tahun 2000. Perusahaan raksasa seperti Nestle, di tahun 2002, dapat meraih keuntungan lebih besar daripada GDP Ghana; serupa dengan Unilever, yang pada tahun 2003, untungnya lebih tinggi daripada GDP Mozambique. (Lihat data dan penjelasan lebih lanjut dalam Hasil Konferensi Nasional Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika, Maret 2006.)
[3] Kompas; Kamis, 14 September, 2006.
[4] Green Left Weekly (GLW), 20 September, 2006, World Economy—Heading towards a Crash?, Dick Nichols.
[5] Semacam permainan sekuritas oleh perusahaan-perusahan raksasa, yang memiliki bisnis properti dengan cara menjual surat utang properti tersebut ke pasar saham atau perusahaan tangan kedua, seperti bank-bank (yang tak jarang dimiliki juga oleh perusahaan-perusahaan tersebut). Banyak bank-bank di Jepang dikabarkan mengalami kerugian akibat pembiayaan subprime mortgage tersebut di AS.
[6] Defisit anggaran dan perdagangan adalah bentuk-bentuk kasus ekonomi yang, biasanya, akan diintervensi oleh IMF dengan segera. Namun karena AS identik dengan IMF, maka ekonomi defisit terbesar yang dialaminya tentu saja tak akan diintervensi IMF.
[7] Tidak pernah terjadi dalam sejarah kapitalisme modern harga minyak mentah dunia melonjak melampaui $85 AS/barrel (Kompas, 16 Oktober, 2007)
[8] Opcit, Green Left Weekly (GLW), 20 September 2006.
[9] Peningkatan tertinggi penganggur muda selama dekade lalu terjadi di Asia Tenggara (85%), disusul Sub-Afrika Sahara (34%), Amerika Latin (23%), Timur Tengah (18%), dan Asia Selatan (16%). Lihat tulisan Toopay untuk pertemuan Presidium Nasional (Presnas) Papernas, yang mengutip laporan Organisasi Buruh Internasional, Global Employment Trends for Youth.
[10] Sekitar 0.13% penduduk dunia mengontrol 25% aset dunia, di tahun 2004; GDP 48 bangsa termiskin (1/4 dari negeri-negeri di dunia) lebih kecil ketimbang gabungan kekayaan tiga orang terkaya di dunia; lima orang terkaya di negeri-negeri terkaya menikmati 82% perluasan ekspor perdagangan dan 68% investasi asing langsung (foreign direct investment) — peringkat lima ke bawah hanya menikmati sedikit lebih banyak dari 1%; 50 juta orang terkaya di Eropa dan Amerika Utara berpendapatan sama denga 2,7 milyar rakyat miskin. Di bidang pertanian, menurut South Centre (2005), 85-90% perdagangan pangan dunia dikontrol 5 TNCs, 75% perdagangan sereal dikuasai 2 TNCs, 50% produksi dan perdagangan pisang dikuasi 2 TNCs, 3 TNCs menguasai 83% perdagangan coklat, 3 TNCs mengusai 85% perdangan teh, 5 TNCs menguasai 70% produksi tembakau, 7 TNCs menguasai 83% produksi dan perdagangan gula, 4 TNCs menguasai hampir 2/3 pasar pestisida, ¼ bibit (termasuk yang memiliki hak paten), dan menguasai 100% pasar global bibit transgenik. (Kompas, Opini, 16 Oktober, 2007).
[11] Gaya asli neoliberalisme (melepas tanggung jawab negara terhadap pasar/free market) malah tak pernah diterapkan oleh negeri-negeri perumusnya sendiri (AS, Inggris dan negeri Eropa lainnya). Dan, menurut PBB, negeri-negeri yang tidak menerapkan kebijakan neoliberalisme lah justru yang terbukti lebih sejahtera.
[12] Baca Materi Propaganda Papernas, 29 Maret, 2007.
[13] Menggunakan solusi ala negara kesejahteraan/Keynesianisme (menghendaki peran negara untuk memberikan subsidi sosial) tidaklah tabu bagi neoliberalisme—walaupun sebenarnya sudah melanggar resepnya sendiri. Namun, karena Keynesianisme dan neoliberalisme sama-sama menghendaki perlindungan terhadap kepemilikan pribadi atas alat produksi, maka keduanya tidak sanggup mengatasi globalisasi kemiskinan di dunia saat ini.
[14] Opcit, tulisan Toopay untuk Presnas Papernas.
[15] Ibid, tulisan Toopay untuk Presnas Papernas.
[16] Reuters melaporkan pada 21 Agustus lalu bahwa surat utang rumah yang jatuh tempo meningkat 9% di bulan Juli, dan itu 93% lebih tinggi dibanding pada bulan yang sama tahun lalu. Terdapat satu surat utang yang jatuh tempo untuk tiap 693 rumah tangga. Di Detroit, Michigan, surat utang yang jatuh tempo meningkat 70% setiap bulannya–8.683 surat utang dalam satu bulan, di kota yang hanya 871,000 jiwa. [Little Insight into US capitalism: “Karena peminjam subprime (tangan kedua) mulai bangkrut akibat surat utang yang tak terbayar dengan jumlah yang meningkat pesat, pencari nasabah kartu kredit pun meningkatkan upaya mereka untuk menarik nasabah yang sejarah keuangannya rentan, menurut suatu firma penelitian pasar”; Boston Globe, September 4: “...penawaran kartu kredit langsung kepada nasabah tangan kedua di AS melompat hingga 41% di paruh pertama tahun ini, dibandingkan paruh pertama tahun lalu, menurut Mintel International Group.”]
[17] Mobilisasi sekitar 20.000 rakyat kulit hitam AS, dalam rangka memperingati peristiwa pemenjaraan remaja kulit hitam, beberapa waktu lalu, adalah capaian yang menggembirakan.
[18] Rohan Pierce, anggota Nasional Committee (NC) Democratic Socialist Perspective, dalam Laporan Situasi Politik Internasional untuk sidang NC, akhir September, 2007; Activist 08, 2007.
[19] Sampai-sampai Negara memberikan pelayanan cuci pakaian gratis bagi setiap rumah tangga pekerja yang tidak sempat mencuci pakaiannya, dengan mendatangi rumah-rumah penduduk.
[20] Kiri dalam perspektif internasional lebih sering dianggap sebagai segala bentuk inisitatif, gerakan dan organisasi yang melawan neoliberalisme—dengan cara reformis maupun revolusioner. Untuk memperlihatkan perbedaannya, sebutan kiri ditambahkan dengan ‘revolusioner’, ‘tengah’, ‘radikal’, ‘sosial demokrasi’ atau ‘sosial liberal’. Secara garis besar penggolongan tersebut menjadi kiri-anti kapitalis (yang membangun alternatif dengan melawan neoliberalisme dan kapitalisme), dan kiri-sosial liberal (yang melawan neoliberalisme tanpa melawan kapitalisme).
[21] Mereka menyatakan: “Tujuan kami bukanlah menyusun kekuatan penekan terhadap Partai Sosialis untuk mendorongnya “lebih ke kiri”. Tujuan kami memenangkan dukungan para aktivis sosialis dan komunis yang militan demi suatu perspektif yang independen. Dari sudut pandang ini, kesuksesan kampanye Olivier Besancenot merupakan poin yang menentukan untuk menciptakan syarat-syarat kemajuan bagi pembentukan partai baru tersebut. Fokus kampanye Olivier telah membentuk kerangka (skeleton) bagi program kekuatan baru tersebut: persoalan-persoalan sosial dan demokrasi dalam berbagai dimensi, seperti hak-hak kaum muda, feminis, ekologis, perlawanan terhadap logika kapitalis, pemilihan majelis rakyat, kontrol rakyat, kekuasaan untuk majelis/dewan yang dipilih di komunitas dan tempat kerja.
[22] Menurut Murray Smith, salah seorang pimpinan FI, pandangan partai sosialis Prancis, yang ‘bersetuju’ pada gagasan “kiri-plural”, tak hanya untuk kepentingan menambah suara di parlemen, namun sekaligus menutupi dan menjebak kekuatan kiri lainnya ke dalam kebijakannya, sehingga mencegah mereka tampil sebagai alternatif. Situasi tersebut juga mengancam PRC-Italia ketika berkoalisi dengan kiri-tengah. Dalam dokumen lain digambarkan bahwa diskusi di antara kaum kiri radikal sedang berkembang di seputar apakah proyek pembangunan (kembali) gerakan (buruh) yang konsisten, serta pembangunan kekuatan kiri yang anti neoliberal atau anti kapitalis, dapat atau tidak dapat dilakukan dengan aliansi atau dukungan perlementer, atau dengan berpartisipasi dalam koalisi bersama pemerintahan sosial-liberal atau kiri tengah. Perdebatan tersebut telah berbuah perpecahan kaum kiri di Italia dan Brazil. Persoalan ini juga merupakan basis perbedaan di antara kaum kiri anti-neoliberal ketika pemilihan Presiden Prancis.
[23] LPP adalah anggota Fourth Internasional.
[24] Seorang aktivis forum anti-privatisasi/gerakan sosial Indaba, yang pada akhir tahun 1990’an merupakan kader full-time dan pimpinan SACP tingkat provinsi, sebelum disingkirkan ol eh komite sentral pada tahun 2000.
[25] Belum diketahui bagaimana perkembangannya sejauh ini.
[26] PRD-oportunis menyimpulkan bahwa PBR adalah partai borjuasi-kerakyatan.
[27] “…Peningkatan (situasi revolusioner) itu tidak datang bagai halilintar di siang bolong. Tidak, ia telah dipersiapkan selama periode yang panjang oleh segala syarat-syarat kehidupan...” Lenin: Peningkatan Situasi Revolusioner, 1912.
Read More......

TERBITAN KPRM-PRD