06 Februari 2008

[Internasional] Dunia di dalam Krisis!


(antara terjun ke jurang atau membangun tangga-tangga alternatif)

Oleh: Zely Ariane

Pengantar [1]

Dunia sedang dilanda krisis. Globalisasi neoliberal terbukti memanen kemiskinan dan memperdalam ketimpangan ketimbang kemakmuran dan pemerataan.[2] Tak perlu tesis yang terlalu rumit untuk dapat menyimpulkannya, walaupun membutuhkan suatu studi yang seksama untuk mengukur tingkat dan kadar krisis tersebut, khususnya yang terkait dengan produksi dan produktivitas. Menyusutnya legitimasi terhadap neoliberalisme dari hari ke hari, dari negeri ke negeri, adalah jawaban terhadap krisis ekonomi. Kehancuran tenaga produktif muda; kemiskinan; kehancuran industri; pengangguran; hilangnya kemampuan negara untuk mengontrol kenaikan harga dan memberikan berbagai jaminan sosial (welfare state), adalah sebagian wujud dari krisis ekonomi tersebut.

Namun, kelompok mayoritas dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS) yang dengan sembrono menyimpulkan bahwa belum tersedia syarat bagi krisis ekonomi (di Indonesia) yang berdampak luas, mendalam dan tiba-tiba terhadap rakyat, sehingga (mereka mengatakan) kalaupun potensi krisis akan muncul, maka tidak akan sampai menghasilkan krisis revolusioner. Sembrono sekali kesimpulan tersebut hingga sanggup melawan kekhawatiran para ekonom kapitalis sendiri:

”...Walaupun para ekonom anti-kapitalisme di dunia saat ini belum sampai pada kesimpulan bahwa ekonomi kapitalisme-neoliberal akan segera bergerak menuju kiamat, namun ‘para penjaga’ ekonominya—lembaga-lembaganya, para ekonom dan akademisinya—masih sangat was-was mengenai kondisi pasar ekonomi dan keuangan yang bisa saja lebih memburuk berdasarkan pengalaman siklus ‘krisis’ terakhir (sejak krisis Mexico tahun 1994 hingga gelembung ‘ekonomi baru’ AS tahun 2001). Membumbungnya defisit keuangan (CADs) AS, seiring dengan surplus keuangan (CASs) di kawasan Asia Timur (khususnya Cina, Jepang, Taiwan dan Korea Selatan), menjadi perhatian utama ‘para penjaga ekonomi’ itu. Hal itu tercermin dari keresahan-kerasahan berikut:

· Peringatan IMF terhadap para investor yang dianggapnya ‘mengabaikan kenyataan bahwa perekonomian global sedang menghadapi resiko besar’. Resiko itu termasuk perlambatan perekonomian AS; turunnya harga perumahan; kenaikan harga minyak; dan kenaikan tingkat suku bunga untuk menghambat tekanan inflasi.[3]
· Data penjualan rumah AS menunjukkan terjadinya penurunan sebesar 4,1%, pada Juli, 2006, yang merupakan titik terendah sejak Januari, 2004 (angka penjualan rumah yang terkecil dalam 13 tahun terakhir). "Dengan pasar perumahan di AS yang turun lebih cepat dibandingkan perkiraan, ada resiko lebih besar: perlambatan perekonomian AS, yang dapat juga menurunkan ekspansi global.[4]” [catatan tambahan: perusahaan sekuritas terbesar Jepang, Nomura Holdings Inc., Senin 15/10 mengumumkan keputusannya keluar dari pasar surat berharga kredit perumahan dengan nasabah beresiko tinggi di AS, setelah membukuka kerugiaan besar―511 juta dolar AS―akibat krisis (kerugian dari bencana subprime mortgage) [5]. Menurutnya, kredit macet bukan satu-satunya penyebab karugiannya di AS, basis nasabah yang juga melemah adalah sebab lainnya.]
· Di tahun 2005, ketika pertumbuhan ekonomi dunia mencapai 4,8%, konfigurasi ekonominya justru menunjukkan keanehan. Sejak era 1980-an, tak pernah terjadi tingkat defisit (CADs) yang lebih tinggi [6]; harga minyak juga lebih tinggi [7]; nilai tabungan personal di AS lebih rendah; dan suku bunga riil jangka panjang yang lebih rendah di Eropa, Jepang dan AS.... [8]” [Situasi Internasional hasil Kongres Papernas, Januari, 2007).
Kelimpahan barang tanpa daya beli (excess supply) adalah bentuk krisis yang sudah ada di depan mata. Bila pada Malaise 1929, modal hancur karena tidak bisa diinvestasikan ke dalam sektor riil, maka di masa kini modal lebih untung ditanamkan ke sektor finansial (perdagangan saham dan uang) karena sudah lama tidak bisa (baca: tidak cepat menguntungkan) ditanamkan ke sektor riil. Itulah (baca: tidak ada ekspansi modal ke sektor produktif) yang menjadi penyebab utama pengangguran, sebagai wujud krisis massal di dunia saat ini.[9]

Memang, walaupun kapitalisme tambah menyengsarakan rakyat, dan siklus resesi-resesi kecilnya bertambah sering, tapi konsentrasi/sentralisasi tenaga produktifnya juga makin mengerucut ke beberapa kapitalis [10] serta produktivitasnya masih meningkat, sehingga BELUM menyebabkan kebangkrutan atau kehancuran produksi. Ketidakmampuan daya beli terhadap barang-barang pokok; pengangguran ekstrem; dan proyek imperialisme yang gagal di hampir semua negeri yang dihisapnya—biasanya karena perlawanan atau karena siklus krisis di negeri imperialis—belum menyebabkan kehancuran produksi. Krisis kapitalisme di negeri-negeri imperialis utama BELUM menyebabkan krisis global yang disebabkan oleh kehancuran produksi karena ketidakmampuan daya beli (baca: over produksi) yang ekstrim.

Namun, yang mutlak untuk selalu dicatat adalah, bahwa perlawanan yang berhasil (baca: kemandirian) di negeri-negeri yang dihisap/dijajahnya akan mempercepat krisis tersebut. Kapitalisme hanya sedang akan menurun—selain oleh sebab-sebab di atas, juga karena krisis pasar keuangan masih dapat ditoleransi dengan mendukung pelonggaran kebijakan fiskal dan moneter—dan syarat-syarat pematangan krisisnya serta gerakan perlawanannya harus terus kita persiapkan.

1. Krisis legitimasi neoliberalisme

Bukti-bukti yang memperkuat kesimpulan bahwa neoliberalisme mulai kehilangan legitimasi, kehilangan landasannya, semakin bertambah.

Di negeri-negeri Dunia Ketiga (baca: negeri terjajah/terhisap), neoliberalisme tak lagi mampu tampil dengan gaya aslinya.[11] Ia terpaksa meniru gaya negara kesejahteraan (Keynesianisme) (walfare state), agar terlihat manusiawi dan seakan-akan berhasil menabur derma kesejahteraan melalui: Millenium Development Goals (MDGs) [12]; atau/dan program-program konpensasi semacam Jaring Pengaman Sosial. Pemberian Nobel untuk Muhammad Yunus, yang berhasil mengembangkan sistem mikro kredit untuk orang miskin lewat Greemen Bank-nya, adalah bukti (baca: pengakuan) bahwa neoliberalisme tidak mampu menyejahterakan orang miskin. Sehingga sistem tersebut membutuhkan pihak-pihak ‘swasta’ maupun pemerintah untuk dapat membantunya menambal kemiskinan, agar sistim bisa tetap tegak.[13]

Dengan demikian, kita bisa berkesimpulan: bahwa pemilihan Dominique Strauss-Kahn, mantan menteri ekonomi Prancis dan tokoh Partai Sosialis Prancis, untuk memimpin IMF, adalah bentuk upaya untuk memperbaiki citra IMF (sebagai alat utama kebijakan neoliberalisme) yang sedang mengalami krisis legitimasi. Kahn langsung mengangkat sebagian isu yang sudah meluas didukung dan diperjuangkan oleh gerakan massa bersama NGO anti neoliberalisme selama ini, yakni: reformasi dan demokratisasi IMF (selama ini, hak suara/sistem pengambilan keputusan dikelola berdasarkan kuota suara—AS memiliki kuota terbesar dengan hak suara 16,83% dari total 185 negara anggota, yang hanya memiliki hak suara 32%) (Kompas, 2 Oktober, 2007).

Pemberian nobel ekonomi tahun 2007 kepada Trio Ekonomi AS, Leonid Hurwicz, Erick S Maskin, dan Roger B Myerson, dengan teorinya yang membantu neoliberalisme menjelaskan kapan mekanisme pasar bisa bekerja secara efektif (Teori Desain Mekanisme), adalah cermin kebutuhan neoliberalisme menemukan landasannya kembali di tengah pengakuan mereka sendiri bahwa tidak semua negeri yang menjalankan mekanisme perekonomian pasar akan otomatis meraih sukses. Namun teori tersebut juga dipaksa kembali ke resep-resep dasar negara kesejahteraan, dengan melihat bagaimana berbagai lembaga bisa mengalokasikan sumber daya sebaik-baiknya dan kapan intervensi pemerintah diperlukan dalam perekonomian.

2. Penjajahan modal asing (imperialisme AS) dalam krisis

Semua modifikasi resep neoliberalisme tersebut hanya bertujuan untuk mengokohkan penjajahan modal asing di negeri-negeri Dunia Ketiga. Dan penjajahan modal tersebut berpusat pada penguasaan sumber-sumber enerji dunia (khususnya migas) oleh perusahaan-perusahaan enerji raksasa. Di dalam bukunya, Oil and World Politic (1991), Ted Wheelwright menyebutkan bahwa sejarah industri minyak dunia adalah kisah ekonomi
politik abad ke-20 yang luar biasa. Hal tersebut meliputi hubungan yang penuh intrik dan penipuan antar kekuatan ekonomi, politik dan militer; yang menghasilkan perang, revolusi, konspirasi, korupsi, nasionalisme dan imperialisme.

Nasionalisme Skotlandia; perkembangan Amerika Latin; kemerdekaan Puerto Rico; isolasi Kuba; kedaulatan Samoal; perlawanan sipil di Indonesia dan Nigeria; batas Israel; perseteruan AS-Sovyet [hingga yang paling terkini, serangan terhadap Axis of Evil (Kuba, Venezuela, dan Iran) oleh AS], masing-masing memiliki komponen minyak yang masuk dalam agenda paling utama korporasi internasional. Masing-masing memberikan dimensi global ekonomi politik minyak (Engler, 52).

Lebih lanjut, Wheelwright menyebutkan bahwa studi klasik mengenai dinamika internal hubungan antara kapitalisme dan imperialisme—yang telah mempengaruhi banyak pihak, dari Lenin hingga seterusnya—dilakukan oleh Hobson pada permulaan menurunnya Imperium Inggris di awal abad 20. Ia memberikan perhatian tidak saja pada kebutuhan paling penting dari imperium, yakni penguasaan bahan mentah; namun juga pada meningkatnya ketimpangan pendapatan yang mengarah pada akumulasi kapital, dan tekanan untuk menginvestasikannya ke luar negeri ketika pasar domestik kering (over supply). Kebutuhan untuk membiayai, mengelola, dan melindungi investasi mengarahkannya pada pertumbuhan/peningkatan suatu kelas finansial, pertumbuhan kekuatan militer, serta meningkatnya konsentrasi industri minyak.

Kini para ekonom imperium dipaksa berfikir keras: bagaimana agar akumulasi modal dari hasil ekspansi pasar ke negeri jajahan dapat terus meningkatkan keuntungan dan tidak beralih tangan/kepemilikan. Sementara ekspansi modal tidak pernah secara nyata terjadi ke negeri-negeri terjajah, karena sebagian besar keuntungan yang mereka peroleh dibawa kembali ke negeri asal penjajah. Hanya ceceran kecil saja diperuntukkan bagi Corporate Social Responsibility/CSR di negeri-negeri setempat—itupun tidak ada paksaan legal. Sementara, kalaupun singgah di dalam negeri, maka tempat persinggahannya bukanlah sektor-sektor produktif yang dapat meningkatkan nilai tambah, melainkan sektor-sektor spekulatif (baca: perjudian portofolio, valuta asing, obligasi, spekulan properti, dan kredit konsumsi).

Mekanisme yang sudah berlangsung lama tersebut bertambah rakus dan kalap ketika bertemu dengan situasi meningkatnya konsumsi enerji (migas) negeri-negeri imperialis, khususnya AS dan Cina, yang luar biasa pesat. Afganistan dan Irak kini sudah dianggap ‘berhasil’ ditundukkan. Iran akan menjadi sasaran berikutnya, karena negeri itu ibarat duri di dalam daging gemuk Timur Tengah yang penuh minyak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Iran adalah satu-satunya penghambat kepentingan AS atas cadangan minyak bumi di Laut Kaspia (206 miliar barrel) dan pembuatan (plus pengamanan) jalur pipa migas sepanjang Asia Tengah sampai Asia selatan. UNOCAL berencana membangun jalur pipa melalui Turkmenistan, Afganistan dan Pakistan (Iran terletak di antara kedua negara terakhir ini) untuk menyuplai minyak bumi dan gas bagi pasar Asia; demikian halnya Halliburton, yang hendak memulai eksplorasi besar-besaran atas 16% cadangan minyak bumi dunia yang terletak di Laut Kaspia itu. Oleh sebab itu Iran harus ditaklukkan. Dengan isu nuklir dan senjata pemusnah massal—sebelumnya hal yang sama juga dituduhkan pada Irak sebagai pembenaran pendudukan—melalui PBB dan IAEA, penaklukkan Iran hendak dimulai.

Di Asia Tenggara, penjajahan modal asing—yang sudah kuat dengan kehadiran Singapore—semakin diperkuat dengan mekanisme ASEAN Plus Three (ASEAN+3) bersama Cina, Jepang, dan Korea Selatan, ditambah dengan berbagai perjanjian bilateral. Para menteri perdagangan ASEAN, pada pertemuan di Kuala Lumpur tahun lalu, bahkan merekomendasikan percepatan pembentukan pasar tunggal regional Asia Tenggara dari semula pada tahun 2020 menjadi pada tahun 2015. Bahkan Jepang sudah mengusulkan proposal pembiayaan sebesar US$ 100 juta untuk penjajakan inisiatif tersebut. Tujuannya adalah menciptakan zona perdagangan bebas (free trade area) yang melibatkan 16 negara (10 negara ASEAN + Cina, India, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan Selandia Baru). Jika FTA ini terwujud, maka akan melibatkan sekitar setengah dari penduduk dunia dan seperlima dari total perdagangan global.[14]

Di Indonesia, pembentukan Free Trade Zone (FTZ), Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas di Batam, Bintan, dan Karimun, sebagai hasil dari persetujuan kerjasama ekonomi Indonesia-Singapura, yang bertujuan untuk mendongkrak investasi, sudah disahkan menjadi UU. Di tengah ketidakmampuan (baca: ketiadaan rencana dan keberpihakan terhadap) industri nasional, upaya tersebut akan menjadi penyebab bencana jangka panjang karena industri Indonesia masih bergantung pada impor bahan baku dari negeri-negeri imperialis—sementara bahan mentah pun sudah dimiliki oleh imperialis. Sehingga FTZ, dalam kondisi tersebut, akan menyaratkan lumbung akumulasi modal borjuasi Asia dan imperium modal internasional, serta hanya akan menguntungkan segelintir elit pengusaha dan pemerintah, namun menghancurkan masa depan industri nasional.

Perjanjian ekstradiksi Indonesia-Singapura [dalam bidang keamanan (latihan kemiliteran) dan politik (isu anti korupsi)] adalah ladang dominasi selanjutnya. Diketahui, ternyata lokasi kerjasama pertahanan meliputi ladang-ladang gas, seperti blok Natuna D Alfa, yang merupakan blok penghasil gas bumi terbesar di Asia Pasifik, yang mencapai 46,3 triliun kaki kubik (Trillion Cubic Feed/TCF). Rencana eksploitasi gas bahkan sudah dimulai dengan pengajuan proposal oleh Conocophilips, Premier Oil dan Exxon Mobile (perusahaan pemasok gas utama ke Singapura) untuk membangun pipa-pipa gas bawah laut.[15]

Bau imperium yang busuk tersebut semakin tercium melalui sikap mereka yang tidak konsisten terhadap demokrasi di Burma. Pemain-pemain baru, seperti India dan Cina, lepas tangan terhadap kejahatan junta. India menyatakan: bahwa hubungan dekat ke Timur melalui go east policy (kebijakan mengarah ke Timur) harus diperkuat lewat perdagangan, lalu lintas perbatasan darat, jaringan telekomunikasi, dan pembangkit tenaga listrik. Sementara, Cina, memiliki kepentingan terhadap akses ke gerbang yang menuju Samudra Hindia, yang menjadi lalu lintas perdagangan Cina. Tak ketinggalan Rusia, yang demi Atom Story Export (pusat riset nuklir Rusia)-nya; Zarubezhneft (perusahaan dagang enerji Rusia); Itera (penghasil gas); dan Silver Wave Sputnik Petroleum, yang sudah mengeksplorasi minyak lepas pantai bersama Petro China, berani tampil bodoh dengan tidak membela demokrasi di Burma.

Namun, apakah kemudian Barat, yang diwakili oleh imperium AS, bersih dalam kasus tersebut? Tidak kah AS hanya sedang berusaha mencuci tangan, dan sedang memainkan peran bodoh dengan berlagak mendukung demokratisasi di Burma, namun melanggar demokrasi di Irak dan Venezuela? Menurut ulasan Ramzy Baroud, yang dikutip Kompas, 10 Oktober, 2007, dukungan AS terhadap Aung San Su Kyi hanyalah sekadar memelihara pijakannya di Burma jika suatu saat terjadi ketegangan dengan Cina (baca: jika suatu saat terjadi pergantian rejim/penjatuhan junta). Lebih lanjut Harian New Jersey Jewish Standard, seperti di kutip Kompas, mengatakan bahwa sulit bagi AS mengorbankan kepentingannya karena ada bisnis minyak AS di Burma. Harvard Bussiness Review menegaskannya, bahwa dukungan terhadap junta memang harus dilakukan demi cadangan gas Burma yang dikontrol rejim, yang selama ini sudah bermitra dengan raksasa minyak AS (Chevron) dan raksasa minyak Prancis (Total). Bahkan Menlu AS, Condolezza Rice, diketahui termasuk pejabat AS yang memiliki jabatan di Chevron. Sehingga tidak heran jika PBB, melalui petugas khususnya, Gambari, hanya melakukan serangkaian pertemuan tertutup dengan Junta dan seruan moral agar Junta menghentikan kekerasan. Tak ada pasukan ‘perdamaian’ PBB ke sana; tak ada embargo; apalagi misi ‘perang melawan teror’ hingga ‘pergantian rejim secara demokratik’ ala AS, seperti yang dilakukannya terhadap Irak, Afganistan, dan percobaan-percobaannya terhadap Iran, Kuba, Bolivia serta Venezuela.

3. Krisis Politik

Selain ditentukan oleh perlawanan terhadap penjajahan neoliberalisme, konfigurasi politik dunia masih ditentukan oleh dampak peristiwa 9/11, 2001. Peristiwa 9/11 adalah gerbang bagi perubahan peta politik dunia saat ini: pintu dari suatu bencana perang melawan terorisme yang tak berkesudahan; awal sebuah krisis politik yang tak mereda dan terus menajam. Hasilnya malah mengejutkan AS sendiri sebagai pencetus perang dan otak neoliberalisme: dia lah yang justru mulai didaulat sebagai musuh bersama. Paling tidak oleh negeri-negeri Dunia Ketiga yang menjadi korban keganasan perang terhadap terorisme, serta korban kejahatan kebijakan neoliberalisme. Sebagian negeri di Timur Tengah mewakili yang pertama, dan sebagian lainnya di Amerika Latin mewakili yang kedua.

Di AS sendiri sudah menyebar sentimen bahwa AS sudah kalah di Irak, dan mayoritas rakyat AS sekarang percaya bahwa kemenangan, dalam pengertian yang masuk akal, semakin mustahil. Serangan terhadap pasukan pendudukan masih mendekati rekor tertinggi; selain penahanan terhadap rakyat Irak, yang meningkat sebesar 50% sejak penyerbuan dimulai. Washington Post sendiri mempertimbangkan bahwa pengalaman pasukan AS ditembaki oleh rakyat Irak di Kadhimiyah, dekat Baghdad, memberi kesan kegagalan Irakisasi. Surat kabar tersebut melaporkan bahwa pasukan AS meminta pertolongan/dukungan dari pasukan Irak, namun tak satupun dari mereka merespon, padahal terdapat 2.700 pasukan Irak di tempat tersebut. Salah seorang prajurit Irak mengatakan bahwa, di Kadhimiyah, tentara Moqtada al Sadr’s, Tentara Mahdi “sekarang mengontrol Tentara dan Polisi Irak. Tidak ada yang dapat mengeksekusi perintah langsung untuk melakukan serangan dalam rangka menangkap mereka.”

Sesuai laporan dari kantor akuntabilitas pemerintah AS, pandangan Washington bahwa pembangunan suatu pemerintahan boneka AS di Irak sudah cukup kredibel, ternyata untuk berfungsi sangat minimal saja sejauh ini sudah menunjukkan tanda-tanda kegagalan. Parlemen Irak tak kunjung mampu meloloskan perundangan penting yang telah lama disokong/diharapkan oleh AS: undang-undang perminyakan, yang secara formal akan membuka pintu bagi korporasi Barat untuk mulai pindah ke Irak. Sudah mulai terbuka pula wacana penyingkiran pemerintahan Irak saat ini (dibawah Perdana Menteri boneka AS, Malik al Maliki). Rencana penyingkiran tersebut merupakan suatu kemunduran politik yang sangat serius bagi Gedung Putih, serta akan menjadi penilaian yang buruk terhadap elit AS. Rencana untuk menyingkirkan kekuatan politik yang masih patuh menjalankan kehendak Washington dapat beresiko meningkatkan instabilitas.

Perlawanan terhadap pendudukan Irak di AS sendiri menjadi semacam rutinitas, walaupun gerakan perlawanan tersebut masih terjebak sektarianisme, di satu sisi, dan elektoralisme di sisi lain. Berbagai jajak pendapat menyatakan AS sudah gagal di Irak, dan menghendaki penarikan pasukan AS dari Irak sesegera mungkin. Film dokumenter terbaru Michael Moore, Sicko, memberikan pengertian baru bagi rakyat AS terhadap persoalan yang lebih mendasar dihadapi rakyat AS ketimbang mengirimkan tentara ke Irak, yakni: kemiskinan dan ketiadaan perlindungan sosial yang parah.

Krisis utang subprime (tangan kedua) mulai menghantam sektor kelas pekerja paling lemah di AS[16]--walaupun belum berbuah radikalisasi massa yang militan, namun perkembangan gerakan hak-hak imigran, termasuk kulit hitam[17], memberikan landasan untuk memupuk investasi guna memanifestasikan radikalisasi tersebut.

Instabilitas lainnya rentan terjadi di negeri-negeri sekutu AS lainnya di Timur Tengah seperti Saudi Arabia dan Mesir. Saudi Arabia sejauh ini tidak berhasil membangun mekanisme demokratik yang akan mampu mengatasi ketegangan di dalam kerajaan, khususnya menyangkut besarnya porsi kelas kapitalis di luar keluarga kerajaan, sementara kerajaan tetap mempertahankan posisi istimewanya menyangkut perekonomian. Rejim pemerintahan Mesir pasca Mubarrak, sebagai sekutu kunci berikutnya, mengalami krisis legitimasi yang parah, setelah tahun lalu menghadapi gelombang pemogokan yang cukup signifikan. Awal September lalu, Standard & Poor menekankan perhatiannya terhadap kemungkinan terjadinya transisi rejim pemerintahan di Mesir.[18]

Oleh sebab itu, AS berkepentingan meningkatkan bantuan militernya untuk sekutu-sekutunya di Timur Tengah sebesar $63 Milyar AS selama 10 tahun ke depan, yang akan dialokasikan untuk persenjataan, termasuk kepada Israel sebesar $3 Milyar AS setahun; janji bantuan sebesar $1,3 Milyar AS untuk militer Mesir; dan menjual senjata ke Arab Saudi dan monarki-monarki Teluk Persia lainnya seharga $20 Milyar AS (Economist, 2 Agustus, 2007).

Kekalahan AS dan Israel mengusir Hamas dari Jalur Gaza merupakan kelanjutan kemunduran dominasi AS sejak tahun lalu, pasca kemenangan Hamas dalam pemilu Palestina. Namun pekerjaan Hamas akan semakin diperberat oleh kekuatan rejim Abbas yang memecah belah rakyat Palestina, melalui serangkaian negosiasi damai dengan Israel (baca: pengakuan Israel sebagai negara) yang difasilitasi oleh AS, serta krisis kemanusiaan di Jalur Gaza. (Untuk itu, seharusnya, selain politik bersenjata, politik mobilisasi massa haruslah diletakkan lebih ke depan untuk melawan adu domba serta meraih dukungan internasional kembali.)

Kemunduran lainnya juga tampak pada kegagalan AS dalam mengisolasi Iran lewat IAEA dan PBB. Menyusul, krisis yang melanda rejim Musharraf (boneka AS) di Pakistan. Peningkatan gerakan militan, tuntutan perubahan konstitusi, dan pemogokan pengacara adalah guncangan yang tak tanggung-tanggung bagi diktator militer tersebut.

Perlawanan yang berhasil oleh Kuba, Venezuela dan Bolivia, diikuti setapak demi setapak oleh negeri-negeri Amerika Latin lainnya, khususnya Nikaragua dan Ekuador (dalam kadar yang berbeda dengan tiga negeri pertama), telah memberi dampak yang tidak kecil terhadap penurunan dominasi ekonomi dan politik AS di dunia. Walk-outnya delegasi Kuba pada pidato Bush dalam sidang tahunan PBB bulan Agustus lalu adalah bentuk rangkaian protes pemerintah negeri-negeri tersebut, setelah setahun sebelumnya Chavez (Venezuela) serta Morales (Bolivia) dalam pidatonya membongkar kejahatan-kejahatan AS dan korporasinya di hadapan delegasi PBB.

Perkembangan menggembirakan juga akan menggemparkan industri film, khususnya Hollywood, dengan masuknya kampanye budaya anti-imperialisme AS, melalui sineas AS sendiri: Kevin Spacey dan Danny Glover. Venezuela tahun lalu sudah mengumumkan akan memberikan bantuan jutaan dollar AS bagi kampanye kebudayaan anti imperialisme (seperti produksi buku bacaan, teater dan film). Baru-baru ini pemerintah Venezuela memberikan dana yang cukup besar bagi pembangunan industri film Venezuela untuk memulai kampanye tersebut. Kevin Spacey dilibatkan dalam proyek tersebut, termasuk untuk memfilmkan sejarah perjuangan anti kolonialisme Simon Bolivar, yang membebaskan Amerika Latin. Venezuela juga mendanai proyek film sejarah perjuangan pembebasan budak di Haiti, yang akan dikerjakan oleh Glover.

Proses yang semakin radikal di Venezuela meningkatkan pengaruh ke level internasional. Terdapat tiga aspek pengaruh yang dapat disimpulkan disini: satu, dorongan integrasi Amerika Latin yang dipimpin Venezuela semakin meningkat dan nyata; dua, pembangunan blok anti imperialis internasional dan solidaritas internasional yang dipasokkan Venezuela pada negeri-negeri tertindas; dan tiga, peran Hugo Chavez serta revolusi yang, secara politik, memberikan inspirasi bagi rakyat di dunia untuk bersikap terhadap imperialisme dan neoliberalisme.

ALBA (alternatif Bolivarian untuk Amerika Latin) adalah langkah kongkrit integrasi, yang disebut pada point pertama di atas. ALBA tak lagi sekadar hanya suatu gagasan dan cita-cita yang baik, ia mulai berbentuk langkah-langkah kongkrit setelah bergabungnya Bolivia, menyusul Nikaragua dan Ekuador—bahkan Iran mulai menjadi peninjau. Menurut Kantor Informasi Venezuela di Washington, sejak ALBA ditandatangani pada bulan Desember, 2004, Venezuela telah menandatangani 15 persetujuan dengan 18 negeri-negeri di Amerika Latin dan Karibia. Kuba dan Venezuela sedang mengeksplorasi pembangunan industri agrikultur yang bertujuan untuk melindungi ketahanan pangan.

Pada pertemuan tingkat tinggi ALBA ke-5 di Caracas April lalu, didiskusikan mengenai pembentukan 12 “perusahaan raksasa-nasional” yang akan “dikelola oleh negeri-negeri anggota ALBA, yang aktivitasnya akan berfokus pada penguatan sektor-sektor kunci perekonomian nasional”, termasuk “pertanian, infrastruktur, telekomunikasi, pemasok (supply) industri, dan produksi semen”. Suatu perusahaan enerji akan melingkupi “produksi, pengolahan (refining), penyimpanan, transportasi, dan distribusi minyak serta gas, termasuk pembangunan enerji alternatif di seluruh kawasan tersebut”.

Inisiatif ALBA lainnya termasuk pembentukan bank untuk mendanai proyek “suatu rantai pasar ALBA termasuk barang-barang dari negeri-negeri anggota” dan “program pelatihan bagi masa depan pekerja-pekerja sosial”. Suatu badan ALBA untuk pergerakan sosial bahkan sudah dibentuk. Sebelum pertemuan Presiden-Presiden Dewan ALBA selanjutnya, direncanakan untuk menggelar suatu pertemuan akbar gerakan sosial untuk mendiskusikan perjuangan melawan neoliberalisme di benua tersebut. Meski sudah memperlihatkan langkah-langkah kongkrit, alternatif terhadap ‘perdagangan bebas’ tersebut masih dalam tahap embrional (cikal bakal) nya. Pertumbuhannya masih kecil dan hanya mewakili sedikit ruang lingkup perdagangan Venezuela.

Pada bulan Agustus lalu, diselenggarakan pertemuan tingkat tinggi Petro Caribe, yakni sebuah contoh yang baik tentang bagaimana model integrasi ekonomi yang dipromosikan Venezuela bekerja secara nyata melawan imperialisme dan demi meningkatkan pembangunan. Sejak dibentuk tahun pada tahun 2004, 14 negeri-negeri Karibia telah menandatangani persetujuan yang memberikan kepada mereka akses terhadap minyak Venezuela dalam bentuk-bentuk yang saling menguntungkan, termasuk membiayai pembeliannya melalui kredit bunga rendah jangka panjang dan membayarnya (secara barter) dengan barang-barang dan pelayanan. Venezuela menyediakan minyak untuk mengembangkan perusahaan minyak milik negeri-negeri Karibia, dan tidak mengikutsertakan pemain korporasi multinasional dalam berbagai kesepakatan.

Proyek solidaritas internasional, yang juga sedang didorong semakin kongkrit oleh Venezuela adalah Bancosur, bank rakyat selatan. Bank tersebut sejak awal pembentukannya, tahun 2004, sudah diproyeksikan untuk mengganti peran IMF—yang merampok negeri-negeri miskin lewat kebijakan neoliberalnya sebagai syarat utang. Bank tersebut akan mendanai berbagai proyek publik untuk kemajuan tenaga produktif negeri-negeri lain (Amerika Latin menjadi proyek percontohannya). Pada tanggal 12 Oktober, 2007, pertemuan di Rio De Jeneiro dihadiri oleh Venezuela, Argentina, Bolivia, Brazil, Ekuador, Paraguay, dan Uruguay, untuk merumuskan dasar-dasar pendirian bank tersebut. Rencananya bank tersebut akan dideklarasikan pada awal November mendatang.

Memang terdapat kontradiksi di antara pemerintah-pemerintah pendirinya, seperti pendapat Eric Toussaint, Presiden Komite Penghapusan Utang Luar Negeri Dunia Ketiga, yang mengatakan bahwa rancangan (draft) statuta yang dipresentasikan oleh Argentina dan Venezuela mengandung banyak elemen-elemen neoliberal, dan berspekulasi bahwa rancangan tersebut ‘ditentukan’ oleh Argentina dan, secara personal, tidak mungkin disetujui oleh Chavez.

Brazil dan Argentina adalah dua di antara yang memanfaatkan kelemahan imperialisme AS, serta hubungan yang menguntungkan antar berbagai kekuatan, untuk bermanuver mendapatkan kesepakatan yang lebih baik bagi kelas kapitalis lokal mereka dalam hubungannya dengan imperialisme (seperti Argentina yang memutus ikatan dengan IMF dan melawan FTAA); sementara itu, pemerintahan-pemerintahan yang berbasiskan gerakan popular tak hanya mencari kesepakatan yang lebih baik saja, namun lebih pada tujuan untuk membebasakan diri dari imperialisme, menghendaki revolusi berbasiskan mobilisasi rakyat tertindas untuk mengambil alih kekuasaan, seperti Kuba, Venezuela, Bolivia, dan sangat mungkin Ekuador.

Baru-baru ini, Venezuela menyodorkan gagasan untuk memperluas sebagian proyek persatuan Amerika Latin-nya dengan Afrika. Pada bulan Juli diselenggarakan suatu pertemuan persiapan pertama bagi para koordinator pertemuan tingkat tinggi Amerika Selatan-Afrika yang ke-2. Pertemuan tersebut rencananya akan diselenggarakan di Venezuela, November, 2008.

Sementara Bolivia, sebagai sekutu utama Venezuela, sedang menghadapi fase yang sangat berbahaya. Proses perubahan konstitusi masih mandeg akibat manuver dan berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh sayap kanan. Terjadi serangkaian mobilisasi kekerasan oleh sayap kanan; di sisi lain sektor-sektor sosial utama yang mendukung Morales dan pergerakan kaum pribumi, yang tak berhenti membantu, memulai melakukan kontra-mobilisasi terhadap sayap kanan; konferensi nasional kaum pribumi Bolivia baru-baru ini adalah salah satu bentuk konsolidasi untuk menggelar kontra-mobilisasi tersebut.

Venezuela sendiri saat ini sedang menghadapi tiga persoalan besar dalam revolusinya: pertama, pembangunan instrumen politik bagi penuntasan revolusi (pesoalan Partai Persatuan Sosialis Venezuela-PSUV, yang akan dijadian alat tumpuan revolusi); kedua, perjuangan untuk reformasi konstitusional, yang akan melapangkan jalan bagi sosialisme; ketiga, perjuangan untuk membangun kekuatan rakyat. Perdebatan seputar pembentukan PSUV dan reformasi konstitusional mulai membuka kontradiksi di dalam kubu Chavista sendiri.

Sekarang kita akan tinjau perlawanan terhadap neoliberalisme di negeri-negeri kapitalis maju, dengan mengambil contoh Prancis. Mengapa Prancis? Karena sejarah liberalisme politik dimulai di Prancis lewat Revousi Prancis; negeri kapitalis maju ini tak pernah sepi dari perlawanan; dengan posisi kelas pekerja yang kuat (meski dalam beberapa hal masih terkooptasi oleh aristokrasi serikat buruh dan politik reformis ala sosial liberal/keynesianisme); dan politisasi kaum imigran yang cukup cepat.

Dalam film dokumenter Sicko, Moore memperlihatkan bahwa bertahannya—walaupun untuk meningkat di masa yang akan datang masih sangat sulit—jaminan sosial dan pelayanan publik (seperti mendapatkan pelayanan kesehatan gratis yang berkualitas di Prancis) amat sangat ditentukan oleh mobilisasi rakyat dalam mempertahankannya. “Tanpa demonstrasi, rakyat Prancis tak mungkin mendapatkan pelayanan kesehatan gratis semacam itu hingga pelayanan-pelayanan sosial lainnya, yang harus terus difasilitasi negara,[19]” demikian peryataan salah seorang responden Moore dalam film tersebut.

Baru-baru ini, setelah setahun sebelumnya terjadi rangkaian pemogokan massal yang menghidupkan jalan-jalan berbagai kota untuk menolak UU wajib kerja, Prancis kembali diguncang pemogokan buruh transportasi, khususnya kereta api, yang menolak perpanjangan usia pensiun yang ditetapkan oleh pemerintahan baru pimpinan Sarkozy.

Perlawanan terhadap setiap jenis penurunan perlindungan sosial (wujud degradasi Keynesianisme), yang selama ini diterima rakyat, paling gencar terjadi di negeri tersebut. Rencana perpanjangan usia pensiun adalah bentuk kegagalan pemerintah Sarkozy meluaskan lapangan pekerjaan (semakin sedikit orang yang bekerja), sehingga semakin banyak pekerja calon pensiunan yang harus ditanggung oleh pajak—diambil dari pemotongan pendapatan untuk jaminan hari tua. Itulah bukti paling kongkrit kegagalan Keynesianisme mempertahankan derajat kesejahteraan rakyat tanpa menghisap tenaga kerja rakyat dan melucuti hak-hak yang sebelumnya sempat diterimanya.

Sementara itu di Asia, pergerakan juga tidak berhenti, walaupun secara umum perkembangan politiknya masih lambat, dan gerakan kiri tidak cukup berkembang. Thailand, pasca mobilisasi besar rakyat menurunkan Thaksin, kini dihadapkan pada tantangan politik menuntut demokratisasi dari tangan tentara. Upaya-upaya rejim militer menggunakan kekuatan senjata untuk memobilisasi rakyat ke TPS—untuk memilih konstitusi baru—adalah arena perjuangan berikutnya yang cukup sulit di tengah fragmentasi kekuatan gerakan pasca tergulingnya Thaksin.

Di Nepal, perjuangan rakyat terus berkembang dengan meningkatnya tuntutan yang kini dimenangkan dalam kekuasaan. Konstitusi baru yang memangkas habis kekuasaan monarki adalah lapangan perjuangan yang kini dikonsentrasikan oleh CPN-Maois. Penyerahan sebagian senjata adalah salah satu upaya kompromi yang dilakukan di dalam front untuk memenangkan syarat penghapusan monarki tersebut. Ketika proses tersebut berjalan lambat, CPN-M kembali memobilisasi perang rakyat di beberapa tempat, hingga mengancam untuk keluar dari parlemen (CPN-M termasuk mayoritas di parlemen) apabila konstitusi yang memasukkan pasal penghapusan monarki tidak dimenangkan.

Krisis legitimasi terhadap pemerintahan Arroyo, di Filipina, terus berlanjut. Dipicu oleh kasus kecurangan suara dalam pemilu, yang sepanjang tahun lalu memanen mobilisasi besar, krisis politik kini membuka kasus korupsi dan penyuapan yang dilakukan Arroyo. Walau politisasi mobilisasi belum mampu menjatuhkan Arroyo, namun front persatuan Laban Ng Masa hingga saat ini masih bertahan—belum cukup informasi sejauh mana ia berkembang.

Di dalam salah satu workshop, pada acara Latin America Asia Pasific Internasional Solidarity Confrence (LAAPISC) di Sidney baru-baru ini, Ric Rayes, seorang aktivis dari Laban Ng Masa, dalam merespon pertanyaan menyangkut bagaimana sikap kaum kiri Filipina menanggapi kekecewaan terhadap pemerintahan kapitalis, menyatakan bahwa: kaum muda Filipina terlalu memberikan peluang bagi para politisi korup. Mereka melakukan banyak kesepakatan dan aliansi dengan siapapun, dan kadang kaum kiri melakukan kesalahan serupa. Situasi tersebut hanya dapat diatasi dengan berkonsentrasi dan berupaya maksimal untuk tampil bersih. Menolak segala yang berhubungan dengan politik tradisional—politik uang, dan lain sebagainya. Terdapat kecenderungan bahwa taktik-taktik kaum kiri serupa dengan politik tradisional. Situasi tersebut tampaknya serupa pula dengan yang sedang dialami oleh para aktivis di Indonesia.

4. Perkembangan Politik Alternatif

Seluruh situasi ekonomi politik dunia saat ini memberikan basis bagi politik alternatif. Karena itu membutuhkan kesimpulan situasi objektif dan strategi-taktik yang tepat di dalam negeri masing-masing.

Secara umum, kecenderungan dan spektrum politik alternatif tidak begitu banyak berbeda. Namun beberapa perkembangan pentingnya, yang terkait dengan strategi-taktik perjuangan di dalam negeri, yang meliputi isu-isu seperti politik front persatuan; pembangunan partai dan gerakan; sikap terhadap pemilu; dan pemerintahan koalisi kiri-tengah, akan diangkat secara ringkas disini (selain akan dibedah secara khusus pada kesempatan lain).

Persoalan besar yang sedang dihadapi oleh partai kiri revolusioner, di tengah peluang politik alternatif yang terbuka saat ini, hampir sama di manapun di dunia: bagaimana membangun partai dan membesarkan gerakan untuk merebut kekuasaan. Persoalan tersebut kemudian membawa pada perdebatan yang mendalam seputar strategi-taktik politik dan organisasi seperti apa yang tepat digunakan untuk merespon situasi tersebut. Perpecahan yang sedang terjadi di dalam PRD dan PAPERNAS sekarang merupakan cermin dari respon terhadap situasi tersebut, yang cepat atau lambat, dengan berbagai stimulus, pasti akan terjadi. Namun mayoritas di dalam partai ternyata lebih berani bodoh untuk menstimulus pembelahan PRD dengan sangat kasar dan anti demokrasi, demi mengamankan metode politik oportunis mereka.

Broad left party (partai kiri-luas-BLP), adalah taktik pembangunan partai yang belakangan ini ramai menjadi bahan diskusi, perdebatan, dan analisa oleh partai-partai serta kelompok-kelompok kiri, utamanya di Eropa dan yang berafiliasi dengan internasionale ke-4 (Fourth Internasional-FI). Diluar FI, Democratic Socialist Perspective-Australia (DSP-Australia), sejak 3 tahun belakangan ini menghadapi perdebatan serupa. BLP menekankan taktik pembangunan partai melalui pembentukan partai persatuan kiri-luas yang baru, berbasiskan penyatuan organisasi-organisasi/partai-partai anti liberalisme atau kapitalisme yang hijau, demokratik, hingga revolusioner, termasuk aktivis-aktivis individual yang non afiliasi, dengan paltform perjuangan yang lebih rendah/transisional (sesuai kadar penerimaan anggota-anggota front). Politik semacam itu, di Eropa, diuji melalui intervensi peluang-peluang elektoral (sebagai partai politik persatuan).

BLP sendiri merupakan produk dari situasi objektif yang, secara umum, menurut Francois Sabado—pimpinan Liga Komunis Revolusioner Prancis-LCR dan FI—adalah respon terhadap serangan neoliberalisme di Eropa, yang semakin brutal; tensi sosial dan politik yang meningkat akibat brutalitas tersebut; yang berkonsekwensi terhadap munculnya krisis politik perwakilan—terlihat dari tingginya angka golput; atau ditandai dengan meningkatnya kekecewaan terhadap partai-partai politik tradisional dan reformis, utamanya Partai Buruh.

Partai sosialis Skotlandia (SSP), RESPECT-Inggris (sebelumnya Socialist Alliance), Left Bloc-Portugal, Die Linke-PDS-Jerman, adalah sebagian contoh partai persatuan kiri[20] yang melakukan strategi-taktik politik semacam itu, dengan tipe yang berbeda-beda satu sama lainnya.

Terhadap taktik BLP ini, François Vercammen, anggota biro eksekutif FI, pada bulan Desember, 2004, berpendapat dalam International Viewpoint: “

... di sisi lain, hubungan partai politik/gerakan sosial dipengaruhi oleh kekuatan ‘pergerakan’, mobilisasi, dan potensi politiknya—walau sangat tidak sama antara satu negeri ke negeri lainnya di Eropa. Salah satu aspek dari hal tersebut, dan bukan satu-satunya, adalah memenangkan kembali ruang politik oleh generasi baru. Namun, ruang tersebut cenderung merendahkan partai politik hanya pada fungsinya yang paling dasar: menawarkan deretan calon dalam pemilu. Aktivis-aktivis ‘gerakan’ menganggap dirinya sebagai suatu ‘entitas politik’ (subyek politik) yang belum siap untuk mendelegasikan suara dan pendapat mereka dalam rangka mendirikan partai politik. Demikian pula ‘partai revolusioner’, atau paling tidak lingkaran dari partai semacam itu, yang sering kali sangat kecil dan sektarian. Untuk membangun suatu ‘partai’ anti kapitalis yang pluralis, yang dapat bergerak mengatasi situasi ‘subjektif’ yang baru ini, membutuhkan sebuah pendekatan yang baru pula.

Pengalaman PRC (Party Refoundation Communista-Italy) sangatlah menarik: sebuah partai yang memposisikan dirinya setara dengan gerakan sosial, tanpa mencari-cari hegemoni atau memanipulasinya. Aktivitasnya dalam Europe Sosial Forum, dan dalam demonstrasi satu juta massa, adalah salah satu contohnya.

Beberapa pengalaman pembangunan BLP menghendaki pemindahan konsentrasi kekuatan dan sumber daya partai kiri-revolusioner kepada tujuan membangun partai persatuan kiri-luas yang baru. Konsentrasi dikehendaki karena partai persatuan kiri yang luas itulah yang rencananya akan dibangun sejak sekarang. Soal konsentrasi itulah yang dua tahun lalu memunculkan faksi LPF (faksi partai Leninis) di dalam DSP, yang tidak setuju partai dikonsentrasikan pada pembangunan Socialist Alliance (SA). Ketidaksetujuan tersebut utamanya disebabkan karena tidak terdapat situasi objektif yang mendukung untuk menerapkan taktik partai persatuan ala SA saat ini (baca: SA tidak mencerminkan partai persatuan, hanya DSP yang berganti nama). Terakhir, LPF mulai menegaskan bahwa melanjutkan politik tersebut (dengan SA sebagai alat utamanya) sesungguhnya bermakna melikuidasi partai revolusioner (DSP).

FI sendiri sepertinya belum memiliki pakem tertentu terhadap taktik tersebut, kecuali bahwa pembangunan BLP adalah kebutuhan mendesak. Perdebatan masih terbuka apakah BLP mutlak dilakukan dalam berbagai situasi, atau disesuaikan dengan situasi masing-masing negeri, atau hanya sekedar wacana untuk memperkaya taktik perjuangan. Masih terdapat perbedaan dalam memandang model BLP yang harus dibangun, apakah diperlakukan sebagai partai elektoral semata? Atau diproyeksikan sebagai partai massa revolusioner yang harus dibangun sejak sekarang? Atau hanya aliansi untuk berkampanye? Termasuk di dalamnya perdebatan mengenai siapa yang harus membangunnya. Apakah kelompok yang anti kapitalis semata? Atau yang anti neoliberalisme namun belum/tidak anti kapitalisme?

Yang pasti, liga komunis revolusioner (LCR) Prancis menerapkan taktik tersebut dalam konteks yang berbeda. Dalam pemilu Prancis beberapa waktu lalu, LCR tidak beraliansi/berafiliasi dengan partai politik manapun, termasuk tidak mendukung calon Presiden satu-satunya dari ‘kubu kiri-partai sosialis’ (Segolene Royale—yang anti liberalisme ekonomi tapi tidak anti kapitalisme), yang lolos pada putaran pemilu kedua. Hasilnya, suara untuk capres LCR, Olivier Besancenot, malah meningkat hingga 4% dibandingkan pemilu sebelumnya. Baru-baru ini LCR mengeluarkan resolusi yang mengajak seluruh elemen anti kapitalis—tak termasuk partai sosialis dan partai komunis Prancis, karena keduanya tidak anti kapitalis—untuk bersatu dalam proyek pembangunan sebuah partai anti kapitalis baru dengan platform menjatuhkan pemerintahan Sarkozy.[21]

Taktik tersebut mungkin bersesuaian dengan pendapat Sabado, yakni: poros dari partai kiri baru tersebut kemungkinan adalah di luar dari organisasi-organisasi tradisional. Basis sosial dan politiknya akan mengandalkan pada generasi-generasi, pengalaman perjuangan, dan gerakan sosial baru. Ia akan menarik benang merah dari sejarah revolusionernya untuk menggambarkan kebijakan revolusioner di abad 21. Namun partai baru ini tidak akan terbentuk oleh dekrit. Ia harus merupakan hasil dari keseluruhan proses dari pengalaman politik yang ditandai oleh berbagai peristiwa atau penyatuan kekuatan-kekuatan yang signifikan yang menjadi landasan bagi reorganisasi gerakan kelas pekerja dan sebuah partai baru.

Ia melanjutkan, bahwa signifikansi suatu partai politik yang baru adalah membangun sebuah strategi mediasi antara organisasi revolusioner yang ada saat ini dan pembangunan suatu partai massa revolusioner, yang tak terpisahkan dengan kemenangan kekuasaan revolusioner oleh kelas pekerja. Jika syarat-syarat untuk terjadinya suatu transformasi dari organisasi revolusioner tidak tersedia; jika bentuk kekuatan baru itu tidak lebih signifikan dari organisasi revolusionernya; dan kita tetap mempercepat irama serta modalitas pembangunan partai semacam itu, maka kita sudah kehilangan substansi—program, sejarah dan pengalaman revolusioner—tanpa mendapatkan perbesaran politik dan organisasi.

Persoalan kemudian berkembang ketika taktik semacam itu dianggap sebagai SUATU FASE YANG HARUS DILEWATI/DILAKUKAN untuk melahirkan partai revolusioner. Setidaknya sebagian angota pimpinan mayoritas DSP, yang mengembangkan tesis itu, sudah bersetuju. Sedangkan yang minoritas (LPF) mengangap bahwa front persatuan hanyalah SALAH SATU TAKTIK perbesaran partai yang dapat dilakukan dalam beragam situasi, ia adalah salah satu saja dari seni pembesaran gerakan dan partai, yang tak akan habis-habisnya digunakan oleh partai revolusioner sebelum hingga sesudah revolusi sekalipun.

Lalu bagaimana taktik BLP ini disikapi? Siapa yang harus dilibatkan? Bagaimana seharusnya sikap terhadap pemerintahan kiri-tengah? Model BLP ala SSP berbeda dengan RESPECT, demikian halnya sikap terhadap pemerintahan kiri-tengah ala PRC-Italia dan LCR. PRC ‘mendukung dengan kritis’ (terlibat dalam) pemerintahan koalisi kiri-tengah Prodi. Sementara LCR bahkan tidak sudi mendukung calon Presiden dari Partai Sosialis yang kiri-tengah (padahal partai Sosialis begitu aktif dan terbuka mengajak berbagai kekuatan politik kiri untuk mendukungnya menjelang pemilu lalu).[22]

Terakhir model BLP ala SSP dan RESPECT mulai mengalami krisis dan kemunduran. Menurut ISM, tendensi di dalam SSP, kemunduran tersebut utamanya terletak pada penurunan (bahkan tidak adanya) program pendidikan dan kaderisasi Marxis yang terstruktur di dalam SSP. Sepertinya keseluruhan debat tersebut pada akhirnya harus dapat menyimpulkan bagaimana posisi partai pelopor Marxis-Leninis harus kita letakkan dalam beragam taktik untuk merespon perkembangan situasi objektif.

Pengalaman LPP (partai buruh Pakistan)[23] membentuk aliansi sosialis untuk merespon pemilu tahun 2007 di Pakistan, dilandasi oleh situasi ketika tidak ada satu kekuatan politikpun yang maju dalam pemilu akan mendapatkan dukungan mayoritas, kecuali jika kelompok religius fundamentalis ikut bertarung dalam pemilu. Untuk kepeningan tersebut, rejim diktator Musharraf secara de-fakto melakukan aliansi dengan partai-partai relijius fundamentalis tersebut. Sementara itu, krisis ekonomi terus berlanjut akibat resep-resep neoliberal IMF dan Bank Dunia.

Merespon situasi tersebut, LPP memandang perlu untuk menggagas persatuan kekuatan kiri untuk maju menjadi alternatif partai elektoral yang independen dalam pemilu, melawan partai-partai orang kaya dan partai-partai religius fanatik. Persatuan tersebut kemudian terbentuk, berkat inisiatif enam kekuatan politik progressif: partai pekerja nasional (NWP), yang memiliki program-program pro sosialis dan terlibat dalam beberapa aliansi anti neoliberalisme; LPP sendiri; pergerakan rakyat (AT), yang merupakan partai nasionalis radikal (dengan anggota paling banyak dibandingkan anggota aliansi lainnya); PMKP, bekas partai Maois yang masih memiliki basis tani yang cukup signifikan di beberapa tempat; MMKG yang dipimpin oleh aktivis-aktivis kiri dengan track record yang cukup bersih; dan front buruh (PMM), yang berbasis di Karachi serta banyak mengorganisir buruh.

Keenam kelompok tersebut membentuk pergerakan rakyat demokratik (AJT), yang telah mengumumkan kampanye melawan peningkatan militerisasi, cengkeraman imperialisme, dan fundamentalisme religius di Pakistan. Platformnya bahkan meliputi program-program anti imperialis, anti kapitalis, dan anti feodalisme, serta pembebasan perempuan dan kaum minoritas dari segala diskriminasi. Dalam tahap awal pembentukannya, AJT masih merupakan forum aktivitas bersama dan belum berbentuk alinsi. “Kami harus memberikan ruang bagi kelompok-kelompok yang ada untuk bekerja bersama dalam berbagai aktivitas dan melihat kemungkinannya ke depan, termasuk melibatkan lebih banyak kelompok kiri ke dalamnya. Selutuh partai di dalam AJT akan bekerja secara independen sekaligus bersama-sama sebagai AJT”, demikian menurut pimpinan LPP, Farooq Tariq.

Pengalaman Partai Sosialis Malaysia (PSM), dalam memperjuangkan legalitas partainya, harus kita tiru. Status PSM saat ini sama dengan PRD ataupun PAPERNAS—negara tidak membiarkan partai-partai ini berdiri; dan mobilisasi rakyat pendukungnya belum cukup kuat untuk mendobrak hambatan tersebut. Tapi berbeda dengan PAPERNAS, PSM mati-matian memperjuangkan partainya agar diakui secara hukum sebagai partai politik dengan berbagai upaya yang sangat militan: baik di jalan-jalan maupun di ruang-ruang pengadilan. Sempat dalam pemilu beberapa waktu lalu PSM melakukan aliansi taktis dengan PKR (Partai Kedaulatan Rakyat-Anwar Ibrahim), dengan di dasarkan pada pertimbangan bahwa PKR adalah partai oposisi pemerintah. Namun aliansi tersebut tidak selangkahpun menyurutkan PSM dari upayanya memperjuangkan pendirian dan legalitas partainya sendiri sebagai satu-satunya alternatif bagi masa depan rakyat Malaysia.

Guna merespon oportunisme kaum mayoritas PRD—yang menganggap bahwa bergabung dengan PBR membuka peluang untuk merebut struktur, dan memperbaiki citra atau merubah PBR menjadi partai ‘progressif’ (ada-ada saja J), atau bahkan merubah Indonesia menjadi mandiri melalui PBR di parlemen—ada baiknya kita berangkat ke Afrika Selatan, untuk memeriksa apa yang terjadi dengan partai komunis Afrika Selatan (SACP) dan serikat buruh Afrika Selatan (COSATU), yang menerapkan taktik “merubah dari dalam” ketika beraliansi—bahkan bukan melebur/merger seperti rencana PAPERNAS merger kepada PBR)—dengan Kongres Nasional Afrika (ANC) untuk membentuk pemerintahan bersama.

Dale Y McKinley[24] mengulas keputusan rapat kerja ANC dan kongres ke-12 SACP bulan Juni, 2007.

“… selama 15 tahun, SACP dan Cosatu telah menipu: dengan berkutat pada strategi dan pilihan politik yang sama. Pilihan pertama adalah menjadi partner junior dalam sebuah aliansi yang tak akan pernah mereka kuasai/kontrol (namun boleh jadi bisa menempati posisi-posisi kunci); melakukan politik ‘dukungan kritis’ terhadap (dan menuntut) implementasi kebijakan-kebijakan yang lebih pro rakyat miskin/pro intervensi negara; terlibat dalam kampanye-kampanye momentual yang ditujukan untuk memperlihatkan bahwa kelas pekerja masih merupakan kekuatan yang dapat diandalkan; sementara, secara bersamaan, terus menjadi bagian dalam mesin elektoral ANC dan berpartisipasi dalam pemerintahan (yang dijalankan oleh ANC melalui berbagai mekanisme kelembagaannya).

Pilihan kedua: kembali ke landasan politik pengorganisasian dan mobilisasi kaum miskin serta kelas pekerja (yang harus secara nyata berbentuk aliansi praktis bersama organisasi-organisasi komunitas dan gerakan sosial) berdasarkan pada program tuntutan radikal untuk meredistribusi kepemilikan dan kekayaan, yang akan menjadi sebuah basis organisasional dan politik, baik untuk merubah kebijakan pemerintah/ANC—bukan melalui politiking/bargain ‘orang dalam’, namun melalui mobilisasi massa dan perjuangan kelas—maupun membangun kembali kekuatan basis organisasional dan politik kiri yang sejati, untuk mengubah hubungan kekuasaan di dalam masyarakat Afrika Selatan (sesuatu yang tak semata-mata bergantung pada pemilu, dan maju sebagai kekuatan elektoral yang terpisah dari ANC).

…Namun persoalannya adalah… pilihan kedua tak pernah sungguh-sungguh masuk dalam agenda. Sehingga hasilnya, mereka terus bermain dalam permainan politik aliansi.

…Hasil yang sangat disayangkan, namun sudah dapat diramalkan: kerja-kerja politik praktis SACP dan Cosatu, selama beberapa tahun belakangan ini, telah terikat langsung dengan apa yang sedang terjadi di dalam aliansi ANC, suatu hubungan proporsional dalam rangka mengintensifkan perjuangan untuk posisi dan kekuasaan personal. Hal tersebut merupakan wujud logis dari suatu pendekatan/politik semacam itu, dan dengan efektif telah membuat loyo kemampuan SACP/Cosatu dalam mengorganisir dan memobilisir sektor kaum miskin dan kelas pekerja dalam praktek (politik) yang sejati, padahal program dan kritikan mereka sebenarnya diuji dalam perjuangan nyata yang terjadi di lapangan pertarungan demokratik untuk mendirikan kekuasaan rakyat.

…Di dalam ketiadaan pilihan lain yang dapat dipertimbangkan, apa yang terus menerus kita saksikan adalah pengulangan mantra yang sama—bahwa kaum kiri di dalam aliansi harus ‘mengelola/mengatur/mengotak-atik’ hubungannya dengan ANC, dan sekarang justru semakin erat mengelola implementasi dari ‘agenda-agenda pembangunan’ (pemerintahan ANC). Sekretaris Jenderal Cosatu, Zwlenzima Vavi, sekali lagi menegaskan hal tersebut dengan pernyataannya dalam kongres SACP: bahwa persoalan sebenarnya adalah “aliansi tersebut tidak mendorong transformasi secara bersama-sama, yang menghasilkan pembedaan loyalitas”. Kemudian Vavi mengatakan bahwa Cosatu “telah menyerukan restrukturisasi aliansi sehingga tidak ada satupun komponen atau individu di dalam aliansi yang lebih menentukan strategi dan pengaturan”. Seakan-akan jika sesuatu dinyatakan dengan berulang-ulang maka orang (dalam hal ini para peserta kongres SACP/Cosatu) akan percaya. Apakah Vavi atau yang lainnya… percaya bahwa ‘restrukturisasi’ aliansi (berapa kali strukturisasi tersebut bisa dilakukan?) akan membuat anggota/pengambil keputusan SACP/Cosatu menjadi lebih setara dengan ANC?

…Apa yang tanpa sengaja terbongkar di dalam kongres SACP adalah, bahwa, ternyata, sangat sedikit upaya yang sudah dilakukan oleh mereka untuk merespon suara-suara rakyat. Sehingga syah lah pertanyaan: kemana saja SACP dan Cosatu selama ini, ketika ratusan protes warga/komunitas melancarkan tuntutan seputar pelayanan-pelayanan pokok; represi/penghancuran yang dilakukan negara terhadap aktivis-aktivis/komunitas tersebut?; dan terjadinya upaya untuk mempengaruhi mekanisme penyampaian suara dan politik pada pemerintahan lokal yang, sebenarnya, akan dibuat lebih partisipatif oleh rakyat?

…Sangat disayangkan, karena jawabannya adalah: mereka tidak ada disana. Tekanan dalam kongres hanya terkait dengan mobilisasi dan dukungan perjuangan komunitas serta gerakan sosial ini… tak lebih dari sekadar ‘angin panas’, akibat berlanjutnya politik pemasungan aliansi kiri (untuk alasan-alasan yang sudah dikemukakan di atas).

…Ini merupakan alasan utama mengapa SACP/Cosatu menganggap gerakan sosial menjadi ‘masalah’ (bukan meletakkannya sebagai sekutu kiri untuk membangun pergerakan politik—yang bisa dilaksanakan di lapangan dan yang merakyat/membasis—dalam rangka perlawanan langsung terhadap kapitalisme pemerintah/ANC). Walaupun bagi mereka tidak menjadi ‘masalah’ menghujat pimpinan-pimpinan tertentu ANC dan ‘kekuatan kelas’nya (hujatan dan kemarahan yang bahkan tak pernah dilakukan oleh gerakan sosial) namun, yang menjadi ‘masalah’, adalah ketika gerakan sosial membongkar alasan-alasan politik, ideologis, dan organisasional yang sesungguhnya dibalik meningkatnya kemarahan, dan oposisi praktis, terhadap ANC dan kebijakan yang mereka jalankan...

Semua itu memang disebabkan karena SACP dan Cosatu menolak untuk memutus ikatannya dengan ANC, sehingga mereka harus mengadopsi politik/posisi yang seluruhnya kontradiktif—begitu kontradiktifnya sehingga, dalam perjuangannya, mereka lebih cocok untuk diterima dan memiliki hubungan yang lebih dekat dengan para kapitalis dan liberal, ketimbang rakyat miskin.

Baru-baru ini, mobilisasi rakyat menolak IMF, yang berbuah kerusuhan, terjadi di Afrika Selatan—terkait kebijakan neoliberal yang melambungkan harga-harga kebutuhan pokok.

Tidak ada satupun contoh empirik di dunia ini, dimana partai kiri berhasil memenangkan kekuasaan rakyat, atau paling tidak memenangkan tuntutan ekonomi rakyat jangka panjang, dengan taktik hanya ‘merubah dari dalam’. Seluruh taktik yang demikian justru memakan korban sang partai kiri itu sendiri—perpecahan, kehilangan anggota-anggota militan, terkooptasi dan berubah menjadi kanan. Pengalaman PRC-Italia adalah yang paling terkini: ketika mereka harus berhadapan dengan perpecahan, akibat kecenderungan menghentikan politik mobilisasi massa melawan kebijakan Prodi (yang ternyata tidak konsisten menarik pasukan Italia dari Irak). PRC dianggap mulai terkooptasi (terikat tangan dan kakinya) dengan tetap bertahan di dalam pemerintahan Prodi yang sudah melanggar janji utamanya. Kini elemen-elemen militan dari PRC menyerukan diadakannya suatu kongres luar biasa agar memungkinkan terjadinya perdebatan dan konfrontasi ide/gagasan yang luas dan transparan. Bahkan mereka telah menyiapkan proposal jalan keluar dari krisis yang dihadapi oleh kaum kiri, sebagai proyek alternatif “membangun kembali sosialis”.

Mereka mendukung pendekatan persatuan yang mampu membangun mobilisasi yang paling luas di atas landasan situasi objektif yang tersedia. Namun, berlandaskan pengalaman baru-baru ini—yakni mobilisasi menuntut penarikan pasukan Italia dari Irak pada tanggal 6 dan tanggal 16 Juni, 2007; termasuk serangkaian perlawanan di tingkat lokal (untuk mempertahankan pelayanan kesehatan dan lingkungan)—mereka yakin bahwa pembangunan kesepakatan untuk kerja-kerja bersama di tingkat lokal dan nasional (di seputar tujuan-tujuan spesifik dan dalam kerangka oposisi terhadap pemerintahan Prodi), harus menjadi suatu kerja prioritas saat ini.

Di Jerman, Internasional Socialist Left—satu di antara dua organisasi FI di Jerman—mendukung lingkaran-lingkaran radikal yang berada di luar partai Die Linke PDS, seperti BAS di Berlin [yang melawan WASG (Berlin) dan PDS]. Mereka tak setuju dengan strategi Die Linke berkooperasi dengan pemerintah Merkel (di daerah/negara bagian); menyerukan untuk melawan opini mayoritas pimpinan nasional; tidak berpartisipasi dalam Die Linke; dan terus berjuang melawan kebijakan kooperatif.

Mereka menyerukan pertemuan berbagai aliran dan individual yang konsisten berkesadaran anti-kapitalis “baik di dalam maupun di luar” partai baru tersebut pada tanggal 14 Oktober, 2007, di Berlin[25]. Pertemuan tersebut akan mendiskusikan posisi fusi, sekaligus tentang aktivitas bersama fusi tersebut pada tingkat kerja-kerja ekstra-parlementer, pendidikan, dan koordinasi yang ketat antara kekuatan individual di Jerman yang bersepakat terhadap penggantian sistem kapitalis dengan ekonomi yang berlandaskan solidaritas: sosialis demokratik.
Di Prancis, LCR menyatakan bahwa kemenangan elektoral tidak secara otomatis merupakan kemenangan sosial/popular. Untuk meraih kemenangan popular dibutuhkan mobilisasi dengan ukuran tertentu dan kesatuan dari seluruh kekuatan sosial dan politik kiri di negeri tersebut. Kehendak tersebut hanya mungkin terjadi bila bertumpu pada kekuatan perlawanan gerakan dalam menentang politik tradisional.

Penutup: Apa yang Harus Kita Selesaikan?

Dalam hal pekerjaan solidaritas internasional, beberapa pekerjaan yang harus kita tekankan adalah: pekerjaan pembangunan kelompok-kelompok/aliansi-aliansi/studi-studi solidaritas untuk Venezuela-Amerika Latin, dengan memprioritaskan pekerjaan pada kampus-kampus di kota/wilayah di mana kita ada. Tujuan pokoknya ada dua: (1) rekruitmen mahasiswa di kampus-kampus tersebut, dan (2) perluasan kampanye alternatif dalam melawan neoliberalisme di lingkungan kampus dan politik nasional hingga mampu menstimulus perdebatan strategi-taktik alternatif di kalangan gerakan.

Pekerjaan lainnya yang aku anggap penting adalah mendesak elemen-elemen progresif, utamanya di Malaysia, untuk melakukan kampanye pembelaan terhadap kaum buruh migran yang diperlakukan sewenang-wenang oleh pemerintahan Malaysia. Upaya tersebut bisa berbentuk komite-komite solidaritas buruh migran di negeri-negeri sasaran buruh migran.

Kemudian, sebagai salah satu elemen partai revolusioner di dunia, kita juga harus turut memperdebatkan strategi-taktik pembangunan partai yang, tentu saja, harus didasarkan pada situasi objektif dan subjektif organisasi—termasuk sejarah masyarakat dan politik kita sendiri. Bukan tak mungkin taktik BLP akan dibajak oleh sekelompok petualang oportunis partai yang bermimpi partainya akan cepat besar berdasarkan peluang-peluang elektoral semata, bahkan dengan menyatukan diri ke dalam partai borjuasi (dan berjuang di bawah bendera mereka). Usulan untuk mengubah PRD menjadi partai massa kini bertemu dengan taktik ‘pembesaran’ partai (entah partai yang mana) melalui fusi-koalisi dengan partai borjuasi dalam pemilu tahun 2009. Keinginan untuk perbesaran partai adalah positif, namun menanggalkan prinsip-prinsip strategisnya adalah sama dengan terjun ke jurang dan membunuh alternatif.

Menyikapi potensi krisis revolusioner, adalah sepenuhnya sesat pendapat (kaum mayoritas PRD-oportunis) yang menyatakan bahwa syarat-syaratnya belum ada; juga salah bila berpendapat: kalaupun potensinya ada, maka tak akan memiliki watak revolusioner. Mereka sampai-sampai buta pengetahuan sosialisme ilmiah, teori Marxisme revolusioner, mengenai potensi—sebuah potensi merupakan sesuatu yang dapat terjadi, sesuai dengan landasan-landasannya, sesuai dengan hukum-hukum ilmiahnya, bukan sesuatu yang sudah pernah terjadi atau harus terjadi pada waktu tertentu. Tentu saja, jika sesuatu telah terjadi maka terbuktilah potensi tersebut; untuk peristiwa tersebut, terbukti nyata terjadi. Namun suatu fakta yang sudah terjadi/tercapai tidak mesti menunjukkan/melambangkan potensi. Jadi, yang dianggap potensi (oleh PRD-oportunis) adalah sesuatu yang telah terjadi (yang akan dijadikan sebagai landasan strategi-taktiknya). SALAH. Itulah mengapa mereka tidak menghargai potensi gerakan perlawanan rakyat, dan mengambil jalan pintas: merger (menyubordinasikan diri) ke dalam PBR[26].

Di dalam tulisannya, Kampanye Pemilihan untuk Duma ke IV dan Tugas-tugas Kaum Sosial Demokrat Revolusioner, April, 1912, Lenin menegaskan bahwa krisis revolusioner yang sedang tumbuh itu tidak tergantung hanya pada kita; ia tergantung pada seribu satu sebab, pada revolusi di Asia dan pada sosialisme di Eropa. Akan tetapi apa yang hanya tergantung pada kita ialah melakukan pekerjaan yang gigih dan mantap di kalangan massa dalam semangat Marxisme, dan hanyalah pekerjaan semacam itu yang, kapanpun dilakukan, tak akan sia-sia.

Jauh sebelumnya, di dalam Dari mana Kita Mulai (1901), ia sudah mengatakan bahwa pembangunan sebuah organisasi perjuangan dan memimpin agitasi-politik selalu menjadi pekerjaan pokok di bawah situasi apapun, dalam segala periode, termasuk periode yang ‘membosankan dan penuh kedamaian’, tak perduli ia ditandai oleh suatu ‘penurunan semangat revolusioner’. Justru dalam periode-periode yang begitu, dan di bawah situasi-situasi seperti itulah, kerja-kerja demikian (membangun organisasi dan memimpin agitasi-politik) sangat dibutuhkan, karena akan sangat terlambat untuk membentuk organisasi di masa-masa terjadinya ledakan dan riuh rendah pergolakan, atau partai itu harus berada dalam kondisi kesiagaan untuk beraksi sewaktu-waktu.

Krisis revolusioner akan lahir dari kontradiksi di dalam ekonomi kapitalisme sendiri, namun ia tak bisa ditunggu, ia harus terus menerus didorong dan dipersiapkan kedatangannya oleh kekuatan pelopor[27]. Dan kitalah kekuatan itu: sebuah partai politik yang mampu memberikan rumah organisasional sekaligus identitas politik bagi rakyat miskin dan kelas pekerja.***

Catatan Kaki:

[1] Bacaan pelengkap: [1] Situasi Internasional hasil Konferensi Nasional Perempuan Mahardhika, Maret, 2006; [2] Situasi Internasional hasil Kongres PAPERNAS, Februari 2007.
[2] Di tahun 1970 negeri-negeri industri maju mendapatkan 68% dari pendapatan dunia; di tahun 2000 meningkat menjadi 81%, meskipun populasi negeri-negeri tersebut turun 4%. GDP (Gross Domestic Product) per kapita negeri-negeri maju, di tahun 1970, sebesar $10,473; di tahun 2005 meningkat menjadi $26,201. GDP per kapita negeri-negeri lainnya di dunia, setelah mengalami peningkatan dari $1,248, di tahun 1970, menjadi $1,690, di tahun 1980, kemudian melorot lagi menjadi $1,160 per tahun, di tahun 2000. Rasio ketimpangan, menurut IMF, dengan menjumlahkan peningkatan tersebut, di tahun 1970 adalah dari 8.4, dan menjadi 22.6, di tahun 2000. Perusahaan raksasa seperti Nestle, di tahun 2002, dapat meraih keuntungan lebih besar daripada GDP Ghana; serupa dengan Unilever, yang pada tahun 2003, untungnya lebih tinggi daripada GDP Mozambique. (Lihat data dan penjelasan lebih lanjut dalam Hasil Konferensi Nasional Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika, Maret 2006.)
[3] Kompas; Kamis, 14 September, 2006.
[4] Green Left Weekly (GLW), 20 September, 2006, World Economy—Heading towards a Crash?, Dick Nichols.
[5] Semacam permainan sekuritas oleh perusahaan-perusahan raksasa, yang memiliki bisnis properti dengan cara menjual surat utang properti tersebut ke pasar saham atau perusahaan tangan kedua, seperti bank-bank (yang tak jarang dimiliki juga oleh perusahaan-perusahaan tersebut). Banyak bank-bank di Jepang dikabarkan mengalami kerugian akibat pembiayaan subprime mortgage tersebut di AS.
[6] Defisit anggaran dan perdagangan adalah bentuk-bentuk kasus ekonomi yang, biasanya, akan diintervensi oleh IMF dengan segera. Namun karena AS identik dengan IMF, maka ekonomi defisit terbesar yang dialaminya tentu saja tak akan diintervensi IMF.
[7] Tidak pernah terjadi dalam sejarah kapitalisme modern harga minyak mentah dunia melonjak melampaui $85 AS/barrel (Kompas, 16 Oktober, 2007)
[8] Opcit, Green Left Weekly (GLW), 20 September 2006.
[9] Peningkatan tertinggi penganggur muda selama dekade lalu terjadi di Asia Tenggara (85%), disusul Sub-Afrika Sahara (34%), Amerika Latin (23%), Timur Tengah (18%), dan Asia Selatan (16%). Lihat tulisan Toopay untuk pertemuan Presidium Nasional (Presnas) Papernas, yang mengutip laporan Organisasi Buruh Internasional, Global Employment Trends for Youth.
[10] Sekitar 0.13% penduduk dunia mengontrol 25% aset dunia, di tahun 2004; GDP 48 bangsa termiskin (1/4 dari negeri-negeri di dunia) lebih kecil ketimbang gabungan kekayaan tiga orang terkaya di dunia; lima orang terkaya di negeri-negeri terkaya menikmati 82% perluasan ekspor perdagangan dan 68% investasi asing langsung (foreign direct investment) — peringkat lima ke bawah hanya menikmati sedikit lebih banyak dari 1%; 50 juta orang terkaya di Eropa dan Amerika Utara berpendapatan sama denga 2,7 milyar rakyat miskin. Di bidang pertanian, menurut South Centre (2005), 85-90% perdagangan pangan dunia dikontrol 5 TNCs, 75% perdagangan sereal dikuasai 2 TNCs, 50% produksi dan perdagangan pisang dikuasi 2 TNCs, 3 TNCs menguasai 83% perdagangan coklat, 3 TNCs mengusai 85% perdangan teh, 5 TNCs menguasai 70% produksi tembakau, 7 TNCs menguasai 83% produksi dan perdagangan gula, 4 TNCs menguasai hampir 2/3 pasar pestisida, ¼ bibit (termasuk yang memiliki hak paten), dan menguasai 100% pasar global bibit transgenik. (Kompas, Opini, 16 Oktober, 2007).
[11] Gaya asli neoliberalisme (melepas tanggung jawab negara terhadap pasar/free market) malah tak pernah diterapkan oleh negeri-negeri perumusnya sendiri (AS, Inggris dan negeri Eropa lainnya). Dan, menurut PBB, negeri-negeri yang tidak menerapkan kebijakan neoliberalisme lah justru yang terbukti lebih sejahtera.
[12] Baca Materi Propaganda Papernas, 29 Maret, 2007.
[13] Menggunakan solusi ala negara kesejahteraan/Keynesianisme (menghendaki peran negara untuk memberikan subsidi sosial) tidaklah tabu bagi neoliberalisme—walaupun sebenarnya sudah melanggar resepnya sendiri. Namun, karena Keynesianisme dan neoliberalisme sama-sama menghendaki perlindungan terhadap kepemilikan pribadi atas alat produksi, maka keduanya tidak sanggup mengatasi globalisasi kemiskinan di dunia saat ini.
[14] Opcit, tulisan Toopay untuk Presnas Papernas.
[15] Ibid, tulisan Toopay untuk Presnas Papernas.
[16] Reuters melaporkan pada 21 Agustus lalu bahwa surat utang rumah yang jatuh tempo meningkat 9% di bulan Juli, dan itu 93% lebih tinggi dibanding pada bulan yang sama tahun lalu. Terdapat satu surat utang yang jatuh tempo untuk tiap 693 rumah tangga. Di Detroit, Michigan, surat utang yang jatuh tempo meningkat 70% setiap bulannya–8.683 surat utang dalam satu bulan, di kota yang hanya 871,000 jiwa. [Little Insight into US capitalism: “Karena peminjam subprime (tangan kedua) mulai bangkrut akibat surat utang yang tak terbayar dengan jumlah yang meningkat pesat, pencari nasabah kartu kredit pun meningkatkan upaya mereka untuk menarik nasabah yang sejarah keuangannya rentan, menurut suatu firma penelitian pasar”; Boston Globe, September 4: “...penawaran kartu kredit langsung kepada nasabah tangan kedua di AS melompat hingga 41% di paruh pertama tahun ini, dibandingkan paruh pertama tahun lalu, menurut Mintel International Group.”]
[17] Mobilisasi sekitar 20.000 rakyat kulit hitam AS, dalam rangka memperingati peristiwa pemenjaraan remaja kulit hitam, beberapa waktu lalu, adalah capaian yang menggembirakan.
[18] Rohan Pierce, anggota Nasional Committee (NC) Democratic Socialist Perspective, dalam Laporan Situasi Politik Internasional untuk sidang NC, akhir September, 2007; Activist 08, 2007.
[19] Sampai-sampai Negara memberikan pelayanan cuci pakaian gratis bagi setiap rumah tangga pekerja yang tidak sempat mencuci pakaiannya, dengan mendatangi rumah-rumah penduduk.
[20] Kiri dalam perspektif internasional lebih sering dianggap sebagai segala bentuk inisitatif, gerakan dan organisasi yang melawan neoliberalisme—dengan cara reformis maupun revolusioner. Untuk memperlihatkan perbedaannya, sebutan kiri ditambahkan dengan ‘revolusioner’, ‘tengah’, ‘radikal’, ‘sosial demokrasi’ atau ‘sosial liberal’. Secara garis besar penggolongan tersebut menjadi kiri-anti kapitalis (yang membangun alternatif dengan melawan neoliberalisme dan kapitalisme), dan kiri-sosial liberal (yang melawan neoliberalisme tanpa melawan kapitalisme).
[21] Mereka menyatakan: “Tujuan kami bukanlah menyusun kekuatan penekan terhadap Partai Sosialis untuk mendorongnya “lebih ke kiri”. Tujuan kami memenangkan dukungan para aktivis sosialis dan komunis yang militan demi suatu perspektif yang independen. Dari sudut pandang ini, kesuksesan kampanye Olivier Besancenot merupakan poin yang menentukan untuk menciptakan syarat-syarat kemajuan bagi pembentukan partai baru tersebut. Fokus kampanye Olivier telah membentuk kerangka (skeleton) bagi program kekuatan baru tersebut: persoalan-persoalan sosial dan demokrasi dalam berbagai dimensi, seperti hak-hak kaum muda, feminis, ekologis, perlawanan terhadap logika kapitalis, pemilihan majelis rakyat, kontrol rakyat, kekuasaan untuk majelis/dewan yang dipilih di komunitas dan tempat kerja.
[22] Menurut Murray Smith, salah seorang pimpinan FI, pandangan partai sosialis Prancis, yang ‘bersetuju’ pada gagasan “kiri-plural”, tak hanya untuk kepentingan menambah suara di parlemen, namun sekaligus menutupi dan menjebak kekuatan kiri lainnya ke dalam kebijakannya, sehingga mencegah mereka tampil sebagai alternatif. Situasi tersebut juga mengancam PRC-Italia ketika berkoalisi dengan kiri-tengah. Dalam dokumen lain digambarkan bahwa diskusi di antara kaum kiri radikal sedang berkembang di seputar apakah proyek pembangunan (kembali) gerakan (buruh) yang konsisten, serta pembangunan kekuatan kiri yang anti neoliberal atau anti kapitalis, dapat atau tidak dapat dilakukan dengan aliansi atau dukungan perlementer, atau dengan berpartisipasi dalam koalisi bersama pemerintahan sosial-liberal atau kiri tengah. Perdebatan tersebut telah berbuah perpecahan kaum kiri di Italia dan Brazil. Persoalan ini juga merupakan basis perbedaan di antara kaum kiri anti-neoliberal ketika pemilihan Presiden Prancis.
[23] LPP adalah anggota Fourth Internasional.
[24] Seorang aktivis forum anti-privatisasi/gerakan sosial Indaba, yang pada akhir tahun 1990’an merupakan kader full-time dan pimpinan SACP tingkat provinsi, sebelum disingkirkan ol eh komite sentral pada tahun 2000.
[25] Belum diketahui bagaimana perkembangannya sejauh ini.
[26] PRD-oportunis menyimpulkan bahwa PBR adalah partai borjuasi-kerakyatan.
[27] “…Peningkatan (situasi revolusioner) itu tidak datang bagai halilintar di siang bolong. Tidak, ia telah dipersiapkan selama periode yang panjang oleh segala syarat-syarat kehidupan...” Lenin: Peningkatan Situasi Revolusioner, 1912.

Tidak ada komentar:

TERBITAN KPRM-PRD