03 Februari 2008

[Debat-Papernas] Mengharap Hujan Dari Langit, Air di Tempayan Jangan Ditumpahkan

Zely Ariane [1]
(tawaran kepada forum presnas Papernas 29/08/07)

PAPERNAS adalah alat politik milik rakyat. Siapa pun yang mendukung program-program perjuangan PAPERNAS berhak ambil bagian dalam politik-organisasi dengan hak dan kewajiban yang sejajar. Dalam wadah ini rakyat menjadi pelaku politik aktif, dan tidak sekedar menjadi obyek dari para elit partai yang berpolitik tanpa ketahuan kepentingan-kepentingan sempit di baliknya.

Dalam perjalanannya, setiap kader dan pengurus PAPERNAS dijaga oleh prinsip-prinsip perjuangan, program dan strategi-taktik yang tegas dan kongkrit. Program dan strategi taktik inilah yang menjadi panduan bagi setiap langkah politik-organisasi. Langkah politik-organisasi yang melenceng dari prinsip-prinsip program dan stratak segera disikapi dan pihak yang bertanggungjawab mendapatkan tindakan disiplin organisasi. Selain itu, unsur-unsur pendiri PAPERNAS adalah organisasi-organisasi dan individu-individu yang selama bertahun-tahun telah terbukti pengabdian dan keteguhannya dalam memperjuangkan kepentingan rakyat di berbagai sektor.[2]

1. Tujuan Intervensi Pemilu dan Pembangunan PAPERNAS

Intervensi pemilu adalah sebuah bentuk tindakan politik dan organisasional yang sadar untuk mencampuri jalannya proses Pemilihan Umum (dalam hal ini Pemilu 2009). Tujuannya adalah sebagai salah satu taktik untuk mencapai perubahan mendasar dan sistemik bagi rakyat Indonesia, yakni: mewujudkan sistem masyarakat yang adil, modern, sejahtera, demokratik dan setara sepenuh-penuhnya di bidang sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya dalam prinsip demokrasi-kerakyatan. [3] Bentuk intervensi pemilu bermacam-macam tergantung kapasitas (daya juang) dan kesadaran rakyat pada rentang waktu tertentu, seperti: memperjuangkan paket UU Politik (Pemilu, Susunan dan Kedudukan, dan Kepartaian) yang demokratik dan menguntungkan bagi partisipasi rakyat, menjadi peserta/kontestan pemilu dengan partai sendiri, mendukung/bergabung dengan salah satu peserta/kontestan pemilu dengan platform yang menguntungkan rakyat dan menyerang musuh bersama yang lebih besar, mencoblos pada hari H, Golput, melakukan boikot aktif, merusak kertas suara, memblokade TPS-TPS, serta menjadi pemantau pemilu.

Tujuan pembangunan PAPERNAS adalah sebagai wadah/alat politik alternatif tertinggi (yaitu partai politik) yang memungkinkan rakyat sebagai pelaku politik langsung dengan kesadaran akan kepentingan-kepentingan strategis dan mendesaknya. [4] PAPERNAS dibangun diatas landasan bahwa sampai saat ini, kekuatan-kekuatan politik yang ambil bagian dalam kekuasaan pemerintahan tidak pernah berpihak ke rakyat. Presiden, wakil presiden, menteri-menteri, dan partai-partai besar yang berhasil meraup suara rakyat tidak akan pernah memperjuangkan apa yang menjadi kebutuhan rakyat pemilihnya. Mereka hanya sibuk mengurusi kepentingan kelompoknya dan memperkaya diri saja. [5]

Ketika Kesempatan PAPERNAS Menjadi Kontestan Pemilu Ditutup oleh Negara…

Penghormatan setinggi-tingginya kepada seluruh struktur PAPERNAS yang masih terus bertahan ditengah gempuran tak berkesudahan dari kelompok-kelompok reaksioner dan struktur pemerintahan setempat—walaupun secara sistematis dan terencana belum mendapatkan pendidikan (bekal) politik yang memadai dari struktur partainya (program pendidikan tidak diprioritaskan selama konsentrasi penstrukturan dan perluasan April-Juni 2007). 134 kota/kabupaten, 561 kecamatan yang terstruktur selama lebih kurang 1 tahun perjalanan sejak pembentukan KP-PAPERNAS, merupakan prestasi dan harta paling berharga yang berfungsi sebagai otot-otot perjuangan rakyat selanjutnya. Kenyataan ini bermakna bahwa:
(i) kehendak rakyat (struktur PAPERNAS) untuk bergabung ke dalam sebuah wadah alternatif dengan program-program yang lebih tinggi—yang dihimpun melalui popularitas yang telah dimiliki ormas-ormas/partai pendukung PAPERNAS, konsolidasi kontak-kontak, maupun popularitas PAPERNAS sendiri—dalam kurun 1 tahun sudah merupakan capaian yang luar biasa;
(ii) harapan rakyat untuk perubahan (mendukung program perjuangan PAPERNAS) diwujudkannya lewat kesadaran bergabung dengan PAPERNAS. Kesadaran ini didapatkan melalui pengolahan basis-basis sektor dan komunitas serta kampanye. Struktur Papernas DKI Jakarta adalah salah satu contoh pengolahan basis massa dengan metode ini, hingga secara sadar bersedia bergabung dengan PAPERNAS.[6]

Pada prinsipnya, capaian kesadaran untuk berpolitik kepartaian (walaupun belum mencukupi syarat Pemilu) ini tidak boleh diturunkan. Karena inilah tabungan kita untuk perjuangan yang berdaya jangkau lebih panjang.

Bergulirnya RUU Politik yang sangat memberatkan politik kepartaian di Indonesia saat ini merupakan batu sandungan PAPERNAS berikutnya, dalam kepentingannya menjadi peserta pemilu, yang paling pokok setelah intimidasi. Situasi ini juga mencerminkan bahwa ruang demokrasi mulai ditutup (stabilisasi politik) bagi partisipasi politik kerakyatan, ditambah dengan beberapa indikator lainnya (pembakaran buku, pelarangan buku sejarah, kriminalisasi perburuhan, dst).

2. Bagimana Kita Memaknai Peluang Persatuan Elektoral bersama PBR dan Partai Pelopor?

Tentu saja demi kepentingan perjuangan melawan imperialisme yang lebih besar kita membutuhkan sekutu yang lebih banyak, arena (medan) juang yang seharusnya lebih banyak juga, dengan metode yang tentu harus lebih beragam pula. Dalam proses ini kita bahkan bisa menerima sekutu yang paling tidak stabil/khianat sekalipun, NAMUN potensi khianat tersebut harus ditunjukkan di depan massa kita seteguh-teguhnya. Arena elektoral memberikan peluang persatuan, yakni, seperti yang dilaporkan oleh petugas politik DPP PAPERNAS, menjadi kontestan pemilu atas nama PBR.

Harus dipahami bahwa peluang persatuan elektoral dengan PBR dan Partai Pelopor bukanlah bentuk Koalisi, melainkan Fusi [7] atau merger/melebur. Peluang untuk GPP sudah semakin kecil, sehingga peluang untuk bisa setara sebagai suatu ‘front demokratik’ tidak ada. Apalagi PAPERNAS belum menjadi partai secara de-Jure—akta notarispun sepertinya belum/tidak jadi dibuat. Hal ini seharusnya membuat kita lebih waspada untuk tidak serta merta menyerahkan leher kita untuk diikat, tanpa perhitungan strategis yang lebih matang. Perhitungan-perhitungan tersebut, antara lain:
· Kita harus membedakan ikut pemilu dengan partai sendiri dan dengan partai orang lain—apalagi di tengah ketidakpercayaan/apatisme rakyat terhadap partai politik yang ada saat ini. Konsentrasi yang diputuskan untuk membangun PAPERNAS setahun ini tidak sama dengan konsentrasi untuk PBR—yang platform-nya lebih rendah. Menjadi peserta pemilu dengan PAPERNAS berbeda kualitas dibandingkan dengan PBR. Kualitas program PAPERNAS lebih tinggi, dan metode perjuangannya lebih maju. Apakah dengan demikian PBR bisa dikatakan sebagai Partai Alternatif (pengganti PAPERNAS) bagi rakyat? Apakah karena semakin sulitnya ruang gerak PAPERNAS maka kini dia harus mengganti baju—padahal PAPERNAS tidak pernah telanjang?
· PBR adalah partai Islam borjuasi, reformis gadungan, yang tidak punya basis massa riil (tradisional); peserta pemilu 2004 yang mendukung pemerintahan SBY-Kalla. Hingga detik ini, tidak ada satupun tindakan politik PBR yang memberikan keuntungan politik pada rakyat (kecuali inisiatifnya bersama partai gurem lainnya untuk melakukan Judicial Review terhadap UU Politik ke Mahkamah Konstitusi). PBR juga diragukan komitmennya terhadap pembebasan perempuan—walau ada program kesetaraan—karena keterlibatan wakil-wakil PBR di sebagian DPRD yang mendukung disahkannya perda-perda syari’ah (contoh: Sulteng dan Tangerang).
· Tentu kita sanggup berkompromi (untuk program-program seminimal apapun yang disetujui PBR, dan menguntungkan kita/rakyat), karena demikianlah seni berjuang untuk memperluas sekutu dan penerimaan program (esensi dari taktik front persatuan). Namun kompromi berbeda dengan menyerahkan diri (kapitulasi), karena dengan kompromi, kita tetap dapat mempropagandakan hal-hal/program yang tak disetujui melalui alat kita sendiri (tidak terikat/kebebasan berpropaganda). Di dalam front yang paling bejat sekalipun, yang harus terus kita pertahankan/perjuangkan adalah: (i) keteguhan dan kesetiaan berjuang terhadap ­platform yang telah disepakati bersama, dan (ii) platform bersama tersebut harus secara terbuka dinyatakan TIDAK CUKUP dijadikan solusi (tidak menyelesaikan persoalan mendasar rakyat)—agar tidak membohongi rakyat.
· Ada pendapat yang menyatakan bahwa arena di daerah-daerah pemilihan (DAPIL) bisa dimaksimalkan (untuk program-program yang maksimum sekalipun), padahal pada saat yang bersamaan arena tersebut mengandung keterbatasan-keterbatasan yang mengikat PAPERNAS—apalagi jika target utama kita adalah tiket (kursi) ke parlemen. Keterbatasan tersebut antara lain: (1) politik pemenangan caleg di dalam partai borjuis bukanlah politik yang bersih, (2) mengkritik PBR atau calegnya secara terbuka selama proses elektoral akan merugikan PBR dan mengancam eksistensi kita di dalam PBR, (3) mengkampanyekan program-program yang lebih tinggi (di luar platform yang disepakati dengan PBR) di wilayah Dapil dapat berkontradiksi dengan politik PBR setempat, di wilayah lain, atau di nasional (4) otoritas pusat (DPP) begitu besar untuk memveto (caleg) daerah—seperti yang dilakukan DPP PKB yang mengganti caleg jadi dari Jatim dengan semena-mena pada pemilu 2004, (5) terbatasnya jangkauan kita terhadap potensi gelombang politik non elektoral yang manifest di luar atau di dalam Dapil.
· Merger/lebur dengan PBR seharusnya ditempatkan sesuai kapasitas politik dan organisasionalnya, yakni hanya sanggup mengemban program-program minimum (mendesak dan darurat) PAPERNAS. Program-program tersebut tidak boleh abstrak, karena dapat menyulitkan rakyat untuk menagihnya (seperti perlindungan kekayaan alam, kemandirian ekonomi dsb sebagai pengganti Tripanji yang sudah keburu di cap komunis, padahal bisa lebih kongrit seperti yang sudah disuarakan banyak kelompok, yakni peninjauan kontrak karya atau renegosiasi). Inipun tidak bisa dipercayakan begitu saja tanpa tekanan politik dari luar arena elektoral. Peningkatan kualitas arena elektoral selalu disebabkan oleh tekanan dari arena non-elektoral—baik pada proses pemilu maupun sebelumnya (contoh: Fauzi Bowo saja sanggup menyandang program pendidikan dan kesehatan gratis akibat kampanye kedua program itu yang massif oleh gerakan sebelumnya). Berkonsentrasi untuk memaksimalkan peluang elektoral bersama PBR ini bermakna bahwa seluruh kerja politik organisasi dan ideologi PAPERNAS diarahkan untuk hanya mensukseskan DAPIL. Bagaimana tanggung jawab kita terhadap struktur dan potensi di luar DAPIL? .
· Jika target utama dari peluang merger ini adalah kursi, maka ia akan memaksa kita berkonsentrasi di DAPIL—yang lebih banyak menguntungkan PBR/Pelopor. Hal ini akan berkonsekuensi mengikat kaki, tangan, dan lidah kita pada kepentingan PBR. Membatasi kita dalam melakukan kritik terbuka terhadap PBR sebelum ‘aman untuk mendapat kursi’. Apalagi kita hanya akan diberikan DAPIL dimana mereka tidak kuat (dan sayangnya kita juga kurang kuat).
· Makna kursi bagi kita merupakan wujud dukungan massa terhadap program-program kita, yang diperoleh dari keberhasilan kita memperjuangkan kepentingan mereka: bukan hasil dari money politic. Untuk mendapatkan kursi dengan metode ini, maka tidak boleh kita meninggalkan arena non-elektoral/ekstraparlementer, karena dari sanalah justru potensi suara untuk kita berasal—selain bahwa tanggung jawab terbesar kita justru untuk memajukan kualitas gerakan, bukan sekadar kursi. Dan, semestinya kita paham, bahwa kursi tersebutpun tidak serta merta dapat memberi manfaat banyak pada rakyat—dalam banyak kasus parlemen justru mandul dalam menjawab persoalan rakyat—tanpa partisipasi rakyat sendiri secara langsung untuk menyelesaikan persoalannya sendiri. PAPERNAS tidak boleh membohongi rakyat dengan mempertahankan ilusi rakyat terhadap parlemen—padahal ilusi tersebut sedikit demi sedikit mulai menurun.
· Konsentrasi juga akan membatasi ruang gerak kita untuk melakukan respon politik non-elektoral (sekalipun dengan kualitas program dan metode juang yang lebih tinggi), karena tidak secara langsung menguntungkan politik dapil PBR. Padahal kita sadar, tanpa mengolah gerakan atau politik non-elektoral, semakin kecil kemungkinan kita untuk menang pemilu (mendapat kursi)—kecuali menang dengan money politic atau politik menjilat ke atas menginjek ke bawah.
· Maka jika prinsip konsentrasi diterapkan pada arena merger ini, maka ia akan berkonsekuensi kontraproduktif bagi masa depan PAPERNAS dan rakyat.

3. Bagaimana Masa Depan PAPERNAS?

· Tentu saja kita harus mempertahankan PAPERNAS sebagai PARTAI, karena massa bergabung dengan PAPERNAS sebagai partai, bukan yang lainnya. Secara terbuka rakyat harus tahu bahwa kita tetap sebagai partai (Kalaupun UU menghendaki PAPERNAS bubar karena sudah melebur dengan PBR, maka kita seharusnya bisa bernegosiasi dengan PBR untuk mempertahankan PAPERNAS sebagai partai—secara formal bubar di depan Dephukham/KPU tapi secara de fakto kita tetap ada. Esensi perubahan PAPERNAS menjadi Partisan Pembebasan Nasional (PAPERNAS), misalnya, tidak perlu, karena akan membingungkan rakyat kembali setelah mereka memilih PAPERNAS sebagai partai. Karena kalau PBR/UU memang menghendaki PAPERNAS bubar, maka sebenarnya singkatan PAPERNAS (apapun kepanjangannya) memang sudah tak diinginkan oleh mereka. Ini akan merugikan kita. PRD sendiri sampai sekarang bukanlah partai legal, tapi tidak pernah ada persoalan terhadap PRD. Jangan massa pendukung PAPERNAS justru ditakut-takuti dengan namanya sendiri (PAPERNAS), karena itu akan mempengaruhi kasadarannya di masa yang akan datang untuk berprinsip membela kepentingannya dan alat politik hasil kerjanya. Jangan mengajari rakyat untuk dengan mudahnya gonta ganti baju. Fanatik terhadap alat, dalam kasus ini, PERLU dan HARUS, karena ini masalah prinsip. PAPERNAS bukan sekadar baju, tapi martabat dan prinsip politik rakyat.
· Sejatinya menjadi partai tak perlu pengakuan negara, namun agar kita aman sebaiknya PAPERNAS tetap membuat akte notaris pendiriannya serta didaftarkan ke Dephukham, berapapun jumlahnya. Kenapa demikian? Karena tak bisa menjadi peserta pemilu 2009 bukanlah akhir dari perjuangan PAPERNAS sebagai partai. Bila kita mundur sekarang, maka semakin kecil landasan kita untuk menjadi partai alternatif di masa yang akan datang.
· Jikalaupun mayoritas peserta Presnas tetap berkehendak untuk berkonsentrasi di arena Dapil atas nama PBR, maka yang seharusnya kita pertahankan, adalah:
(1) Tripanji dan program-program demokratisasi dapat dilaksanakan di Dapil
(2) Perluasan struktur ormas/PAPERNAS (jangan dibubarkan)
(3) Metode mobilisasi dan radikalisasi massa tetap dipertahankan
(4) Agar program maksimum (ekonomi, politik dan social budaya) PAPERNAS seluruhnya bisa diangkat, karena merger arenanya terbatas, maka kita seharusnya bisa menggarap potensi non elektoral, sekaligus berfungsi meningkatkan kualitas politik merger tersebut.
· Sebenarnya PAPERNAS bisa terus hidup dan berkembang sebagai partai—hingga berhasil memaksa Negara untuk mengakuinya. Banyak metode yang bisa digunakan, seperti yang dilakukan HAMAS—Palestina—dalam memperluas strukturnya secara tertutup (tanpa plang) dibawah tekanan Israel dan Fatah melalui koperasi-koperasi dan organisasi perempuan. Walau tertutup, namun propaganda terhadap partai tidak pernah berhenti, sehingga HAMAS bisa memenangkan pemilu dengan metode tersebut, bahkan dengan program yang lebih maksimum (radikal) yakni: kemerdekaan Palestina sepenuhnya dan penghentian pendudukan Israel..

4. Penutup

Sebagai penutup, ada baiknya kita menyimak kutipan yang sangat penting dari pamphlet PAPERNAS berikut ini, sebagai landasan kita untuk meneguhkan jalan dalam politik elektoral yang menguntungkan rakyat, bukan sekadar menjanjikan perubahan dari atas (dari dalam pemerintahan) tanpa pertisipasi langsung rakyat:

Sebagai partai politik, kepentingan PAPERNAS adalah berkuasa dalam pemerintahan, namun berkuasa bukan menjadi tujuan. Berkuasa hanyalah sarana untuk dapat menjalankan program-program yang berpihak kepada rakyat.

Selain melakukan perjuangan lewat jalur parlamen (ikut berkompetisi melalui pemilu), PAPERNAS juga meyakini bahwa jalur ekstra parlemen (aksi massa) merupakan suatu jalan yang dibutuhkan dalam perjuangan sekarang. Turut aktifnya massa rakyat dalam perjuangan politik sehari-hari merupakan wujud yang paling kongkrit dari dukungan rakyat terhadap program perjuangan kita.[8]

Demikian sumbangan pemikiranku kepada sidang Presnas yang terhormat ini. Semoga perjuangan kita untuk membentuk wadah alternatif bagi rakyat tidak surut dipukul mundur oleh hambatan UU dan intimidasi.***

Catatan Kaki:
[1] Staff Departemen Kaderisasi dan Komunikasi Massa DPP-PAPERNAS, Koordinator Urusan Pendidikan dan Bacaan Komite Nasional Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika (KN-JNPM).
[2] Naskah Pamflet PAPERNAS Oleh Dominggus Octavianus: “Tolak Jadi Bangsa Kuli, Bangkit Jadi Bangsa Mandiri. Bangun PAPERNAS!” pada bagian “Mengapa PAPERNAS Patut didukung oleh Rakyat?”
[3] Naskah Pamflet PAPERNAS Oleh Dominggus Octavianus: “Tolak Jadi Bangsa Kuli, Bangkit Jadi Bangsa Mandiri. Bangun PAPERNAS!”, hal.1, tidak dapat terbit secara nasional (sempat dijadikan pamflet dengan cetak terbatas oleh PAPERNAS DKI Jakarta).
[4] Ibid.
[5] Ibid
[6] Berdikari Edisi 01 Tahun Pertama (2007), Inspirasi, hal 4.
[7] Fusi pada masa Soeharto yang dilakukan partai-partai nasionalis ke dalam PDI tidak menghilangkan entitas kepartaiannya. Namun makna fusi secara umum adalah peleburan.
[8] Op cit bagian “Bagaimana Papernas Memperjuangkan Program-programnya?”

Tidak ada komentar:

TERBITAN KPRM-PRD