23 Januari 2008

[Debat-Papernas] Koalisi (Ala PAPERNAS) Mematikan Pembangunan Gerakan Alternatif--Kritikan terhadap Proposal PRD

PEMBEBASAN NO.1 JANUARI 2008
Oleh: Gregorius Budi Wardoyo

1. Kritikan terhadap Latar Belakang proposal PRD:

§

Disampaikan bahwa mayoritas kelas elit adalah perantara sekaligus mandor bagi kepentingan imperialisme (modal asing).

Apakah pernyataan tersebut bermaksud mengataka: ada sebagaian kecil kelas elit yang tidak menjadi mandor imperialis. Jika memang ada, mestinya ada penjelasan siapa saja mereka dan apa kepentingan ideologi politiknya, karena tidak menjadi mandor bukan sertamerta anti terhadap imperialis, apalagi melawannya.

§

Disampaikan juga bahwa keresahan rakyat terus meningkat dan melahirkan perlawanan-perlawanan namun masih fragmentatif, dapat dikanalisasi secara prosedural dalam demokrasi liberal, dan miskin orientasi politik.

Sekalipun upaya rejim untuk mengkanalisasi perlawanan rakyat terhadap imperialisme dilakukan dengan memaksakan demokrasi prosedural, namun bisa dikatakan upaya rejim tidak sepenuhnya berhasil, karena aksi–aksi massa tiap hari terus terjadi bahkan, di banyak tempat, dengan metode-metode yang radikal, sehingga demokrasi prosedural bukan makin menguat legitimasinya melainkan makin melemah. Demikian juga dengan angka golput yang tinggi dalam pemilihan kepala daerah, atau juga survey banyak lembaga yang menyatakan bahwa rakyat makin tidak percaya kepada parpol pemenang pemilu 2004, tidak percaya pada DPR, tidak pada percaya Pemerintah, tidak percaya pada elit-elit politik, tidak percaya pada birokrasi maupun aparatus keamanan, dan tidak percaya pada hukum. Kenapa perlawanan rakyat masih fragmentasi dan “miskin orientasi politik”? Itu karena campur tangan kaum pelopor masih kurang baik secara ideologi, politik maupun organisasi. Seharusnya ini diakui oleh PRD dan kaum revolusioner lainnya, bahwa kemampuan mereka (secara subyektif) untuk mengintervensi perlawanan rakyat belum cukup kuat, baik dalam pekerjaan ideologi, pekerjaan politik maupun pekerjaan organisasi, bukan malah menyalahkan kondisi obyektifnya (yang sebenarnya kondusif bagi perlawanan politik yang sadar dan terorganisir). Karena rakyat Indonesia, juga rakyat di negeri manapun, hanya akan mendapatkan kesadaran sejatinya—kesadaran sosialisme—jika kaum pelopor terus menerus mengintervensi dengan berbagai macam cara, dengan ketekunan, dengan ketelitian, dengan kesabaran yang tinggi. Pasca reformasi, rakyat Indonesia terus melawan karena tidak ada perubahan yang siginifikan buat mereka, malah makin dimiskinkan. Itulah sumber utama enerji partai revolusioner yang, kalau tepat diolah dengan baik, akan menjadi kekuatan sesungguhnya bagi pergantian sistem ekonomi-politik di Indonesia, dan akan menular ke negri-negeri lainnya.

§

Juga dikatakan, dalam pendahuluan, bahwa belum ada alternatif yang sanggup tampil ke arena politik untuk memimpin, mengolah, dan mengarahkan keresahan rakyat tersebut menjadi perjuangan anti imperialisme yang efektif.

Jelas, jelas sekali. Memang belum ada alternatif. Untuk kepentingan itulah PAPERNAS kita dirikan, agar rakyat miskin, rakyat yang melawan, mempunyai saluran perlawanannya, mempunyai ideologinya sendiri, mempunyai politiknya sendiri, dan mempunyai alat perjuangannya sendiri yang akan berhadapan dengan semua kekuatan politik anti rakyat baik Imperialis maupun boneka-bonekanya di Indonesia. Dan pekerjaan untuk menjadikan PAPERNAS sebagai alternatif belum selesai, dan tidak akan pernah selesai sekalipun nantinya rakyat Indonesia sudah menang, karena masih ada tanggung jawab untuk membebaskan rakyat di negeri-negeri lain. PAPERNAS tidak didirikan semata-mata untuk PEMILU, tetapi sejatinya adalah untuk memimpin dan membesarkan gerakan rakyat, sehingga hidup matinya PAPERNAS bukan ditentukan oleh penguasa atau oleh siapapun (musuh rakyat), melainkan oleh rakyat sendiri, karena PAPERNAS adalah milik rakyat miskin.

§

PRD juga menyampaikan: dalam proses sebelumnya, upaya membangun persatuan tersebut belum membuahkan hasil yang signifikan, baik dengan unsur-unsur gerakan [lewat KPGR (Konferensi Persatuan Gerakan Rakyat), ABM (Aliansi Buruh Menggugat), dan PPR (Partai Perserikatan Rakyat)] ataupun dengan unsur-unsur moderat (intelektual, tokoh-tokoh politik, agamawan, ekonom, tokoh LSM, budayawan, dan lain sebaginya).

Betul, sudah ada upaya. Tapi, jika mau jujur, upaya untuk membangun persatuan tersebut, dalam rencana yang disusun pada saat itu, hanyalah dengan mencoba meluluskan proposal, bukan dengan kerja-kerja bersama dalam merespon momentum-momentum politik atau momentum-momentum perlawanan rakyat. Memang ada KPGR, namun itu bukan rencana kita, itu adalah usulan dari kawan lain di luar kita, yang kemudian kita sepakati dan kita coba kerjakan. Dalam prekteknya, memang unsur-unsur gerakan, terutama yang ada di Jakarta, tidak bersungguh-sungguh tapi, di luar Jakarta, sambutan terhadap KPGR ini cukup luas. Sayangnya, karena kelemahan kepemimpinan di Jakarta, sambutan yang luas di berbagai daerah tersebut tidak dapat dipertahankan dan diperluas. Padahal, terbukti, ketika kita memutuskan untuk membangun KP-PAPERNAS, sebagian unsur KPGR juga terlibat. Demikian juga halnya dengan ABM: sekalipun intervensi kita minimal, namun penerimaan ABM untuk menjadikan isian TRIPANJI menjadi PLATFORM ABM merupakan sebuah langkah maju, apalagi ABM bukan semata-mata aliansi taktis, melainkan aliansi semi permanen—bahkan, dalam perjalanannya, sekarang akan dimajukan menjadi aliansi permanen dalam bentuk konfederasi serikat buruh; dan, lebih dari itu, ABM telah mendorong terjadinya pembangunan persatuan dengan sektor/gerakan rakyat di luar buruh. Kerja-kerja tersebut, sayangnya, kemudian makin diminimalkan setelah KP-PAPERNAS terbentuk, karena sebagaian kawan menjadi anti atau tidak percaya bahwa capaian yang telah didapat akan bisa dimajukan. Alasan utama beberapa kawan itu: gerakan tersebut tidak mau ikut pemilu. Padahal gerakan tersebut memiliki platform anti imperialis dan punya jaringan yang juga luas. Apakah gerakan anti imperialis harus mau ikut pemilu dulu baru boleh diajak untuk bersatu oleh kita? Naïf alias bodoh: karena sesungguhnya persatuan anti imperialis adalah berkali-kali lebih penting, berkali-kali lebih utama daripada sekadar ikut pemilu. Dan sejarah di banyak negeri, juga di Indonesia, telah menunjukan bahwa pemerintahan borjuis bisa dikalahkan oleh gerakan rakyat di luar mekanisme pemilu. Apalagi pemilu di Indonesia, sistemnya jauh dari demokratik, bahkan menjauhkan rakyat dalam partisipasi yang sesungguhnya sehingga, seharusnya, ketika PAPERNAS memutuskan mengintervensi pemilu, maka kerja utama PAPERNAS adalah mendobrak hambatan-hambatan demokratis yang dibuat oleh rejim, bukannya mengamini. Dan upaya mendobrak hambatan demokrasi tersebut, tidak cukup bersandar pada Aliansi Parpol untuk Keadilan, harus bersandar pada gerakan-gerakan mobilisasi massa, terutama massa yang sadar, massa yang militan, tentunya—dengan demikian membutuhkan pengorganisiran terlebih dahulu. Sedangkan Aliansi Parpol untuk Keadilan bisa dikatakan sangat cair—semua partai yang dirugikan oleh UU Pemilu atau RUU Pemilu bisa bergabung, termasuk partai Hanura maupun PKPB, yang pimpinan-pimpinanya adalah antek-antek Suharto/Orde Baru, pelanggar HAM, anti demokrasi. Bagaimana bisa: mengharapkan komitmen demokrasi pada mereka yang sejatinya anti demokrasi?

§

Dalam Latar Belakang, PRD juga mengajukan pertanyaan apakah intervensi Pemilu 2009 tetap dipandang sebagai sesuatu yang obyektif dibutuhkan—dalam kerangka taktik menghadapi imperialisme? Bila tidak, seperti apakah garis politik lain yang dapat dijalankan oleh struktur Papernas sampai Pemilu 2009? Bila ya, terdapat kenyataan Papernas belum sanggup (berdasarkan laporan organisasi) memenuhi syarat-syarat yang diciptakan rejim, dan apakah melakukan koalisi dengan partai lain dapat menjadi kesepakatan kita untuk pilihan kerja politik ke depan?

Ya, pemilu, sebagaimana juga panggung/momentum politik lainnya, harus di intervensi, tapi intervensi tidak selamanya bermakna harus menjadi peserta agar mendapatkan keuntungan yang maksimal. Mega-Bintang-Rakyat (MBR), yang merupakan taktik intervensi pemilu oleh PRD pada tahun 1997, berhasil mengajak jutaan rakyat tumpah ruah ke jalan dalam mobilisasi-mobilisasi kampanye PPP di banyak kota, dengan mengusung semangat/program Gulingkan Soeharto, Cabut Dwi Fungsi ABRI, Cabut Paket 5 UU Politik dan program demokratik lainnya. Jutaan rakyat tersebut jelas merupakan hasil intervensi PRD, karena Pimpinan PPP maupun PDI Mega justru melarangnya, termasuk Rejim Soeharto pun melarang arak-arakan massa. Namun massa rakyat tidak mengindahkan larangan-larangan tersebut, mereka tetap tumpah dan bergerak di jalan-jalan sehingga, kemudian, dengan intervensi kaum pelopor yang terus berkelanjutan, akhirnya berhasil menjatuhkan Soeharto di tahun 1998—padahal pada Pemilu 1997 GOLKAR menang mutlak, dan Soeharto terpilih kembali menjadi Presiden hingga 2002. Selain itu, tindakan politik tersebut berhasil memukul mundur ABRI hingga ke pojok. Siapakah di antara kita yang berani mengatakan bahwa penjatuhan Soeharto dan kesanggupan memukul mundur ABRI bukan capaian yang luar biasa—padahal, pada waktu itu, PRD adalah partai terlarang, bergerak di bawah tanah, sedang dikejar-kejar, dan dengan jumlah anggota yang sangat sedikit. Ada juga pengalaman Intervensi lainnya yang dilakukan oleh Chavez pada pemilu 1994 di Venezuela: melakukan golput aktif dengan propaganda utama Bukan Pemilu, tapi Majelis Konstituante sehingga, kemudian, pada tahun 1998 berhasil memenangkan Chavez menjadi Presiden dengan program kerakyatannya. Padahal pada pemilu 1994, Chavez ditawarkan menjadi calon Presiden dari Partai Cauza R—partai kiri yang sudah punya kursi lumayan besar di parlemen pada watu itu—namun Chavez menolaknya, karena pemilu masih dikuasai oleh elit/parpol anti rakyat sementara kekuatan rakyat belum teroragnisir dengan cukup kuat. Chavez kemudian mengkampanyekan Bukan Pemilu,Tapi Majelis Konstituante dan terus mengkampayekan kebutuhan akan majelis konstituante pada tahun-tahun berikutnya sekaligus membangun struktur organisasi dan legalitas legal untuk memperjuangkannya. Dan, pada tahun 1996, dua tahun sebelum pemilu 1998, Chavez mengadakan survey pada 100 ribu rakyat [1], yang isinya menanyakan pada rakyat: apakah rakyat menghendaki dirinya mencalonkan diri menjadi Presiden pada Pemilu 1998 atau tidak. Dari 100 ribu orang responden, 87 % menyatakan, Chavez harus mencalonkan diri; survey berikutnya menanyakan: apakah mereka akan memilih Chavez atau tidak. Dari 100 ribu orang responden, 57 % menyatakan akan memilih Chavez. Akhirnya Chavez membentuk partai politik, berpartisipasi dalam pemilu 1998, dan berhasil memenangkan pemilu dengan dukungan 57 % suara, sama dengan hasil survey sebelumnya. Dan kita semua tahu bahwa Chavez kemudian melakukan perombakan UUD secara radikal, sehingga UUD di Venezuela adalah UUD yang paling demokratik baik proses pembuatannya maupun isinya—termasuk banyak sekali program-program kerakyatan seperti pendidikan gratis hingga universitas, kesehatan gratis, menasionalisasi aset-aset negara yang telah dikuasai Asing dan lain sebagainya. Apakah ini bukan capaian yang maksimal, sekalipun Chavez tidak ikut pemilu pada tahun 1994. Dalam kepentingan PAPERNAS SEBAGAI ALTERNATIF, apakah PAPERNAS harus IKUT PEMILU dengan TAKTIK KOALISI—sebenarnya bukan koalisi, tapi MERGER (melebur)—BERSAMA PARTAI BORJUIS (PBR, salah satunya)? Tentu tidak, karena: 1) rakyat Indonesia, seperti kesimpulan di atas, makin tidak percaya pada elit/parpol borjuis, termasuk mekanisme borjuisnya. Rakyat justru membutuhkan ALTERNATIF di luar PARTAI DAN ARENA MEKANISME BORJUIS, sehingga seharusnya KONSENTRASI/PRIORITAS kerja PAPERNAS bukan di situ; 2) merger dengan borjuis (ala PEPRNAS) jelas akan mengikat tangan dan kaki PAPERNA karena, belum apa-apa, sudah meminta TUMBAL, yakni: PAPERNAS sebagai PARTAI POLITIK DIBUBARKAN, diganti PAPERNAS sebagai ORGANISASI MASSA (yang didaftarkan ke DEPDAGRI, walaupun esensinya, katanya, tetap partai. Satu taktik yang membingungkan rakyat). 3) tidak ada satupun partai borjuis yang ada di PARLEMEN sekarang punya persepektif ANTI IMPERIALIS dan PERSPEKTIF DEMOKRASI, apalagi PBR dan PELOPOR bahkan MENJADI PARTAI PENDUKUNG SBY-JK; 4) Papernas belum cukup kuat secara ideologi, politik dan organisasi untuk mencegah pengaruh-pengaruh busuk borjuis, jika terjadi MERGER.

Namun jika koalisi terpaksa dilakukan karena ada situasi-situasi khusus—seperti ada potensi keuntungan yang sangat besar, atau ada ancaman terhadap demokrasi yang nyata dan sangat signifikan—maka bisa saja koalisi dijalankan dengan prinsip-prinsip yang tidak merugikan (kontra-produktif terhadap) kepentingan PAPERNAS sebagai PARTAI ALTERNATIF: 1) landasan Platform koalisi harus jelas, tidak boleh abstrak—sekalipun moderat—dan tidak boleh kontradiktif serta kontra-produktif terhadap program–program PAPERNAS; 2) paling tidak di luar arena merger, harus ada kebebasan bagi PAPERNAS untuk melakukan aktifitas Ideologi, Politik dan Organisasinya—dalam hal ini, bebas mengkampanyekan Tripanji [2] dan program-program lainnya, bebas melakukan metode-metode perjuangannya, bebas menggunakan PAPERNAS sebagai PARTAI (tidak boleh dilarang, apalagi dibubarkan menjadi ormas), dan bebas melakukan kritikan terhadap sekutu baik karena kesalahan masa lalu, masa kini atau jika ada kesalahan sekutu di masa depan; 3) jika syarat tersebut terpenuhi, tetap saja pekerjaan koalisi merupakan PEKERJAAN SEKUNDER, BUKAN PEKERJAAN UTAMA, karena PEKERJAAN UTAMA PAPERNAS adalah MEMBANGUN POLITIK ALTERNATIF, POLITIK RAKYAT MISKIN.


2. Kritikan dalam Hal Analisa Situasi Nasional


§

PRD menyatakan: demikian halnya dalam lapangan politik, belum ada suatu gambaran data maupun kejadian yang mengindikasikan adanya perubahan—yang mengharuskan kita meninggalkan arena elektoral—yang juga diamanatkan oleh Kongres Pembentukan Papernas di Kaliurang.

Apa yang dimaksud dengan belum ada satu gambaran data atau kejadian yang mengindikasikan adanya perubahan yang mengharuskan kita meninggalkan arena elektoral? Jika pertanyaan ini dibalik secara negatif, apakah ada data-data yang menunjukan bahwa PARLEMEN di Indonesia bisa menjadi ajang bagi perubahan sejati?Apakah ada data-data yang menunjukan partaip-partai Borjuis di Indonesia punya perspektif anti Imperialis dan demokrasi? Jika PRD memahami dialektika sejarah meereka seharusnya mengerti bahwa aksi-aksi, YANG sekarang terus-menerus terjadi, adalah buah dari kegagalan sistem demokrasi prosedural dan neoliberalisme, adalah buah dari kegagalan partai-partai politik borjuis dalam memberikan jalan keluar, sehingga dapat manjadi potensi yang luar biasa besarnya bagi POLITIK ALTERNATIF, bagi POLITIK EKSTRA PARLEMEN, bagi PAPERNAS sebagai PARTAI RAKYAT MISKIN. Namun potensi tersebut harus diolah secara tepat, dengan kesabaran yang sepenuh-penuhnya dalam melatih massa, mendidik massa, menggorganisir massa dan menyatukan massa dalam kepemimpinan program/politik, sehingga tidak mustahil akan lahir perubahan yang sejati dengan cara EKSTRA PARLEMEN. Namun jika PRD bermaksud MENUNGGU ADANYA GERAKAN RAKYAT YANG REVOLUSIONER TANPA MENGOLAHNYA, maka ITU BERARTI PRD mengambil sikap BUNTUTISME, mengekor pada kesadaran massa—yang sekarang justru sedang tanpa pengolahan kaum revolusioner. Bagi PRD: harus ada PARASMANAN kesadaran massa yang maju—dan hal itu, katanya, disebut realistis, disebut sebagai tindakan politik kongkrit. Bagaimana mungkin ada parasmanan kesdaran massa yang maju bila tidak diolah oleh kaum pelopor, yang memasokan kesadaran maju? MIMPI. PRD malah menganggap mengolah potensi tersebut sebagai mimpi, karena itu lebih baik mengambil jalan politik yang tidak bertumpu pada kesadaran maju massa (KARENA BELUM ADA), atau jalan pintas politik: menjadi peserta pemilu, APAPUN TUMBALNYA. Ada istilah untuk tindakan tersebut: PRAGMATIK, bahkan kapitulasi (baca: menyerah pada skenario musuh). Padahal, seharusnya, menjadi peserta pemilu (yang tidak mengorbankan segalanya) tujuannya justru untuk membantu pengolahan memajukan potensi kesadaran, tindakan politik, dan organisasi massa (sebagai yang pokok). Bisa saja PRD mengaku bahwa itulah sebenarnya yang akan dilakukan: memanfaatkan peluang pemilu dan duduk di parlemen/pemerintahan untuk menyadarkan massa. Bagaimana mungkin penyadaran massa akan efektif bila sebelumnya saja potensi kesadaran maju dan radikalisasi massa sudah dicemoohkan, dinilai rendah. Sejatinya, apa yang harus dikatakan PRD: Mari, kita mengolah kekuatan bakyat untuk berkuasa (salah satunya dengan cara menjadi peserta pemilu, tanpa mengorbankan segalanya) dan revolusi; dan jadikan pemilu serta parlemen untuk membantu membangkitkan kekuatan rakyat lebih jauh: revolusi. (Harus diingat kesadaran massa saat ini bisa saja dimanipulasi oleh borjuis bila tidak dipasokkan program sejati oleh kaum pelopor.) PRD mencoba agar taktiknya tidak menjadi mimpi, tidak sekadar menunggu kesadaran dan tindakan politik massa menjadi maju, yakni dengan menjadi OPPURTUNIS: 1) memanfaatkan keresahan rakyat, radikalisasi massa, dari parlemen (parlementaris); 2) atau mengambil untung dari hasil pekerjaan (tindakan/mobilisasi politik) orang/kelompok lain, juga dari parlemen Ini persis sama seperti sikap PKS dan ormas-ormasnya—dulu, saat mereka masih di bawah tanah, saat PRD dan kelompok-kelompok demokratik lainnya menggorganisir gerakan penjatuhan kediktaktoran Soeharto (pada tahan 1980an hingga 1990an), PKS tidak terlibat sama sekali dalam gerakan tersebut, namun sedikit demi sedikit mereka membangun dan memperluas struktur seiring dengan terbukannya ruang demokrasi yang diperjuangkan PRD dan kelompok-kelompok demokratik lainnya, dan baru pada detik-detik terkahir penggulingan Soeharto, senat-senat yang mereka kuasai ikut turun ke jalan. Hasilnya, mereka sekarang besar, tetapi besar di atas darah pejuang-pejuang demokrasi, darah kader-kader PRD saat itu, darah rakyat yang telah melawan kedikaktoran Soeharto. Dan bagaimana bila semua orang dan kelompok berpendirian sama dengan PKS/ormas-ormasnya, bisakah ruang demokrasi dibuka lebih lebar (Baca: sehingga bisa membesarkan PKS dan ormas-ormasnya). Benalu dan buntutisme (karenanya pemimpi).

§

Dalam hal analisa politik, PRD menyatakan bahwa, sekalipun ruang demokrasi menyempit dan kekuatan konservatif semakin menguat, celah untuk melawan imperialisme tetap terbuka, baik di arena parlementer maupun ekstra parlamenter. Kita juga sekata, bahwa upaya memundurkan demokrasi ini harus dilawan, agar semakin lapang jalan bagi rakyat untuk berdaulat sepenuhnya. Perlawanan ini nyata sedang kita lakukan.


PRD mengatakan bahwa ada celah untuk melawan Imperialisme di arena PARLEMENTER dan EKSTRA PARLEMETER.. Sebenarnya, seberapa besar celah perlawnan terhadap imperialis di arena parlementer dibandingkan dengan arena di luar parlemen? Bila dianalisa dari partai-partai yang ada sekarang, dari aturan-aturan yang ada di arena parlemen, bahkan dari situasi di parlemen, sangat jelas bahwa celah itu sangat kecil. Sekalipun ada anggota PAPERNAS yang menjadi anggota DPR, celah itu masih sangat kecil, apalagi jika tidak ada gerakan massa di luar parlemen. Namun bandingkan dengan arena di luar parlemen, banyak sekali organisasi gerakan yang mengusung program anti imperialisme—walaupun belum bersikap soal taktik arena parlemen—banyak sekali aksi-aksi di luar arena parlemen yang sangat maju metodenya, banyak sekali perlawanan rakyat (di luar arena perlemen) yang menolak dampak-dampak neoliberalisme, dan semakin meningkat ketidakpercayaannya terhadap arena parlemen. Ekspresi GOLPUT jangan dianggap remeh menjadi semata teknis, tidak bisa bangun pagi, karena kerja, tidak terdaftar sebagai pemilih dan lain sebagainya. Karena rakyat akan bersemangat mengikuti pemilu dengan segala tetek-bengeknya kalau ada harapan perubahan yang akan diberikan setelah pemilu. Juga jangan anggap remeh ekpresi pengulingan Kepala Daerah-Kepala Daerah yang anti rakyat. Ini adalah celah yang luas sekali, belum lagi cakupan teritori dan sektornya, yang menyebar di seluruh Indonesia. Bahkan Hizbut Tahrir Indonesia— fundamentalis Islam—justru mengangkat program anti imperialis yang lebih maju dibandingkan dengan PDIP maupun PKB, apalagi PBR dan PELOPOR. Dengan demikian, jika berangkat dari politik kongkrit, politik nyata, politik rakyat, maka arena di luar parlemen lah yang memungkinkan menjadi arena utama untuk diolah oleh PAPERNAS, walaupun pada awalnya sulit populer—yang bisa diatasid engan program persatuan.

§

Dalam hal kesadaran massa, PRD menyatakan bahwa sebagian besar dari aksi-aksi perlawanan tersebut masih berada di bawah pengaruh kesadaran reformis, yang dapat diselesaikan, bisa dihentikan, dengan sogokan dan konsesi-konsesi. Karena itu, masih ada potensi rakyat akan kembali terseret menuruti kehendak partai-partai dan elit tradisional dalam suatu momentum politik yang muncul.

Tentu saja kesadaran mayoritas rakyat adalah kesadaran reformis—kesadaran borjuis—dan ini asal usulnya sangat mudah dianalisa, yakni: ideologi borjuis jauh lebih tua, jauh lebih lama, dibandingkan dengan ideologi demokrasi kerakyatan, apalagi ideologi demokrasi kerakyatan di Indonesia telah dihancur-luluh-lantakan pada tahun 1965 dan sepanjang Orde Baru berkuasa, bahkan hingga sekarang ideologi demokrasi kerakyatan tidak sepenuhnya bebas dipropagandakan. Dan kesadaran reformis rakyat ini, selamanya akan selalu begitu, jika kaum pelopor, kaum revolusioner, tidak mengintervensinya dengan penuh dalam situasi apaun dan dengan alasan apapun.

§

Lebih jauh PRD menyatakan: Lebih gamblang dapat dijelaskan bahwa perkembangan kuantitatif tersebut belum sanggup mengatasi kelemahan mendasar dari seluruh perlawanan tersebut, yaitu; fragmentatif dan ketidakjelasan orientasi politik.

Benar, PRD benar sekali, bahwa perkembangan kuantitatif perlawanan spontan belum sanggup mengatasi fragmentatif dan ketidakjelasan orientasi politik, serta seusungguhnya bukan hanya belum sanggup, melainkan tidak akan pernah sanggup. Massa rakyat, dengan pengalaman ditindas dan perlawanannya (yang tak tersadarkan)—juga harus dicatat, masih banyak lagi yang ditindas tetapi tidak melawan—akan memiliki kesanggupan untuk mengatasi persoalan fragmentasi dan orientasi politik seperti yang di maksudkan PRD, karena persoalan persatuan perlawanan, persoalan perebutan kekuasaan, persoalan sosialisme, hanya mungkin didapatkan oleh massa rakyat jika ada kekuatan politik pelopor yang memasoknya, mendidiknya dengan tak kenal lelah, dengan bacaannya, dengan aksi-aksinya, dengan organisasinya, dengan persatuan-persatuannya, dengan vergadering dan lain sebagainya. Sehingga keberadaan PRD dan organisasi politik lainnya, yang mengaku dirinya sebagai kekuatan politik kelas, kekuatan politik termaju dari massa rakyat miskin, seharusnya diabdikan ke arena tersebut, bukan sebaliknya: meninggalkan arena tersebut dan menunggu massa rakyat untuk sadar sendiri; baru kemudian setelah massa rakyat sadar, PRD akan bergerak di arena tersebut. Apalagi alasan meninggalkan arena tersebut? Karena ada arena lain, yakni arena parlemen yang sangat “nyata”, “kongkrit” yang, nyatanya, kongkritnya, tidak memiliki kesanggupan untuk membebebaskan massa rakyat miskin dari cengkraman penjajahan imperialisme dan boneka-bonekanya.

§

Dalam hal memandang gerakan, PRD menyatakan: Kaum pergerakan adalah salah satu fragmen dari luasnya fragmen rakyat yang berlawan. Sebagai salah satu fragmen, kaum pergerakan juga masih terpisah-pisah lagi ke dalam detail fragmen yang lebih luas, baik dalam hal pilihan praktik politik maupun pilihan alat yang digunakan. Mayoritas dari fragmen kaum pergerakan (yang relatif kecil dalam perimbangan dengan kekuatan elit secara keseluruhan) belum mempunyai orientasi politik, atau masih ragu-ragu dan lamban menentukan sikap.

Sebagai fakta, betul apa yang disampaikan oleh PRD, namun tentu saja akan salah jika fakta tersebut kemudian dijadikan pembenaran untuk meninggalkan gerakan, karena selemah-lemahnya iman kaum pergerakan (katakanlah pimpinan dan organisasi kerakyatan), merekalah yang paling maju dalam perjuangan melawan dominasi penjajahan imperialisme dan boneka-bonekanya. Apakah PRD buta (mata dan hati) bahwa salah satu elemen pergerakan, yakni Aliansi Buruh Menggugat, adalah Organisasi yang dalam tindakan politiknya telah bergerak dengan mengusung TRIPANJI; atau KAU, yang sekalipun masih sangat elitis dalam makna organisi, namun kampanye-kampanye mereka soal penghapusan utang luar negeri, cukup efektif; apakah PRD juga buta (politik), bahwa Walhi (dengan jaringannya) cukup efektif mengkampanyekan tuntutan-tuntutan anti neoliberal; demkian juga dengan beberapa organ permanen kampus yang mengusung program anti neoliberal; dan banyak pula organ-organ pergerakan yang mengusung program demokratisasi atau kombinasi keduannya. Sebagai fakta, tidak dapat dipungkiri bahwa jaringan organ pergerakan tersebut masih kecil, juga kemampuan propaganda dan mobilisasinya, namun fakta tersebut tidak bisa dijadikan alasan bagi partai pelopor untuk meninggalkannya, karena tugas menyadarkan, menyatukan, memperbesar gerakan adalah tugas partai pelopor.

3. Kritikan dalam hal Program Perjuangan

Tidak ada kritikan dalam hal program perjuangan.


4. Kritikan terhadap Strategi-Taktik Front Persatuan dan Koalisi Elektoral

§

Sejauh unsur-unsur pendukung imperialis di dalam negeri masih dominan di lapangan politik, dan menguasai alat-alat kekuasaan negara, dan di lain pihak terdapat potensi unsur-unsur yang menentangnya, maka politik front persatuan mutlak kita butuhkan.

Dalam logika front persatuan yang dimaksud oleh PRD, tidak ada keraguan sedikitpun bahwa kesamaan program anti dominasi imperialis adalah salah satu ukuran dalam hal penggalangan sekutu—logika yang kemudian dibantah sendiri oleh juru bicara–juru bicara PRD dalam Sidang Presidium Nasional PAPERNAS—bahkan PRD mengatakan, potensi unsur-unsur yang menentang dominasi imperialis pun wajib dijadikan sekutu. Artinya, kaum pergerakan, perlawanan spontan rakyat—karena perlawanan spontan rakyat menyimpan potensi anti dominasi imperialis—adalah sekutu sejati PRD, yang harus terus menerus diajak untuk membangun persatuan anti dominasi imperialis.

§

Pada point selanjutnya , PRD menyatakan: Namun realitasnya kita (PAPERNAS) tidak bisa lolos sendiri, dan kesempatan untuk memanen keuntungan politik-organisasi pun tetap terbuka lewat koalisi.

Secara teoritik (yang umum dan abstrak), tidak bisa dibantah bahwa taktik koalisi—bahkan (dalam hal ini) koalisi dengan kekuatan borjuis—dimungkinkan. Namun, koalisi dengan borjuis memiliki syarat-syarat situasi obyektif maupun subyektif yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu: 1) ada musuh bersama yang sedang mengancam perjuangan demokrasi dan sosialisme ke depan [FPI dan kelompok-kelompok anti-komunis tidak bisa disimpulkan sebagai ancaman serius, tebukti rakyat bisa mengalahkannya saat ada upaya penghancuran (crackdown) terhadap PRD pada tahun 1996; juga rakyat bisa mengalahkannya pada saat kaum raksioner mengerahkan PAMSWAKARSA; bagaimana mungkin peluang demoktrasi liberal (sebagaimana yang disimpulkan PRD) yang lebih tebuka ketimbang sebelumnya tidak bisa dimanfaatkan untuk melawa FPI?]; 2) karena sifatnya yang momentual—lihat point pertama—maka koalisi tersebut tidak bisa diharapkan berjalan dalam jangka panjang, kecuali jika momentumnya bisa diprediksi akan panjang; 3) secara subyektif, harus ada kebebasan untuk melakukan aktifitas agitasi propganda revolusioner dan aktifitas politik partai di luar arena/kesepakatan koalisi (apa yang diistilahkan: kita punya program dan politik sendiri yang tidak boleh dikerangkeng); 4) termasuk melakukan kritik/oposisi terbuka terhadap program/tindakan politik sekutu yang mendukung imperialisme; 5) Program-program perjuangan koalisi haruslah program yang kongkrit dan spesifik—sekalipun minimum—agar mudah diterima oleh massa rakyat sekaligus mudah pula ditagih konsistensi perjuangannya. Dan yang tidak termasuk ke dalam kesepakatan platform koalisi, tentu saja boleh diwujudkan oleh kita sendiri, tanpa ikatan); 6) karena salah satu tujuan koalisi adalah memperbesar mobilisasi massa rakyat, maka sandaran utama koalisi adalah organ-organ gerakan dan perlawanan spontan rakyat. Dari kenyataan saat ini, ancaman musuh bersama belum manifes di antara partai-partai borjuis; yang ada adalah: semua partai borjuis menjadi musuh bersama rakyat. Kalaupun ada rencana koalisi Golkar-PDIP, yang bisa saja akan menghambat perjuangan rakyat kedepan, namun belum terlihat kegelisahan di antara partai borjuis lainnya untuk melakukan perlawanan secara kuat, malah yang menjadi musuh bersama partai-partai borjuis adalah PKS, sekalipun PKS juga tidak kelihatan tindakan politiknya yang membela rakyat miskin—kecuali dalam bentuk karitatif.

§

Koalisi obyektif dapat dijalankan selama masih dalam batas-batas politik yang menguntungkan bagi front persatuan. Kongkritnya, koalisi ini jangan sampai bertentangan dengan program perjuangan, harus mencerminkan persatuan dalam aspek program, struktur, dan sebagainya.

Pernyataan PRD tersebut benar. Namun jika tidak ada syarat obyektifnya, maka koalisi tersebut hanyalah menjadi keinginan subyektif, sehingga harapan agar koalisi (dengan partai/pihak borjuis) dapat berjalan sesuai dengan tujuan-tujuan perjuangan partai adalah omong kosong, apalagi dalam situasi di Indonesia saat ini tidak ada satupun partai borjuis pun—yang ada di parlemen—yang dapat disimpulkan tindakan politik-organisasinya membela kepantingan rakyat miskin, bahkan dalam program darurat/mendesak sekalipun, apalagi memperjuangkan demokrasi dan melawan dominasi imperialis.

§

Lebih lanjut PRD menetapkan syarat sekutu koalisi, yaitu: Syarat-syarat atau batasan dalam pembangunan Partai Koalisi secara prinsip: a) calon sekutu menerima platform dasar kita yaitu anti imperialisme atau ”dalam bahasa lainnya” (tanda kutip dari penulis tulisan ini, untuk menunjukkan bagaimana PRD bersilat kata); b) calon sekutu bukan berasal dari unsur kekuatan pokok penopang orde baru atau kekuatan reaksi yang anti demokrasi.

Alat ukur kesepakatan tersebut apa? Menurut juru bicara-juru bicara PRD di Sidang Presidium Nasional PAPERNAS, alat ukurnya adalah kesepakatan di atas kertas, dalam bentuk MOU—yang, padahal, sampai sekarang, belum ada samasekali. Jika alat ukurnya adalah kesepakatan di atas kertas—apalagi cuma obrolan antara pimpinan PRD dengan pimpinan partai borjuis—sudah bisa terbayang bahwa koalisi yang dibangun akan sangat rentan, baik kemampuan berjuangnya maupun konsistensi perjuangannya. Bandingkan koalisi dengan Gus Dur (dengan platform anti sisa-sisa Orde Baru) dan Koalisi Nasional—yang antara lain melibatkan PNBK—(dengan platform anti neoliberal). Yang paling mampu menunjukan serangan politik cukup radikal adalah koalisi dengan Gus Dur, karena situasi obyektif pada saat itu memungkinkan, yakni: adanya ancaman dari kekuatan sisa-sisa Orde Baru yang ingin merestorasi diri dalam panggung kekuasaan Indonesia. Di banyak tempat, kantor-kantor Golkar menjadi sasaran aksi massa; bahkan, di Jawa Timur, kantor Golkar dibakar massa. Sedangkan Koalisi Nasional, sekalipun ada situasi obyektif yang juga menguntungkan, yakni kemarahan rakyat atas kebijakan Megawati untuk menaikkan harga BBM, TDL, tarif telpon secara bersamaan pada awal Januari 2003, namun tidak cukup kuat serangan politiknya, bahkan sekalipun mendapat respon yang cukup baik dari media massa pada saat konferensi pers di Gedung Juang, Jakarta, saat mengumumkan terbentuknya Koalisi Nasional ini. Pada saat Vergadering Koalisi Nasinal di Tugu Proklamsi—pada saat itu PRD dan ormas-ormasnya melakukan mobilisasi secara nasional—tidak ada mobilisasi sama sekali dari PNBK maupun partai/kelompok lainnya yang tergabung dalam Koalisi Nasional, bahkan Eros Djarot sebagai Ketua Umum PNBK, juga tidak hadir. Praktis, di lapangan, yang hadir hanya massa PRD dan ormas-ormasnya, serta dukungan massa dari Komite Anti Penindasan Buruh—Front Persatuan Buruh yang justru tidak tergabung dalam Koalisi Nasional. Jika pengalaman tersebut ditarik dalam konteks sekarang: koalisi yang dicita-citakan PRD berdiri di atas landasan situasi hampa-politik, tanpa terlebih dahulu menciptakan atmosfir gerakan perlawanan, atau tanpa musuh bersama yang akan dilawan. Nasib koalisi tersebut akan jauh lebih buruk dibandingan Koalisi Nasional ataupun koalisi dengan Gus Dur. Dalam point B, dikatakan bahwa calon sekutu bukan berasal dari unsur kekuatan pokok penopang Orde Baru atau kekuatan reaksi yang anti demokrasi. Seharusnya pengertian tersebut diberikan penjabaran yang lebih rinci, agar jelas apa yang dimaksudkan oleh PRD. Jika pengertian kekuatan pokok Orde Baru adalah semata-mata Golkar, maka PPP bisa dikategorikan sebagai calon sekutu (padahal PPP juga merupakan Partai bentukan Orde Baru—hasil fusi yang dipaksakan tanpa perlawanan); atau bisa juga PKPB maupun Hanura dijadikan calon sekutu, karena selama Orde Baru, kedua partai tersebut belum ada, sekalipun pimpinan PKPB maupun Hanura adalah Orang-Orang yang memegang banyak jabatan penting selama Orde Baru. Lalu bagaimana dengan PDIP, apa kriterianya? PDIP bukan penopang utama Orde Baru, tetapi pernah memerintah dan bahkan pernah memberikan peluang menguatnya kembali Orde Baru (Golkar dan tentara) ke panggung kekuasaan politik. Bukankah kejatuhan Gus Dur adalah hasil Kolaborasi PDIP, GOLKAR, tentara, sisa-sisa Orde Baru dan Poros Tengah? Sekarang pun PDIP dan GOLKAR sedang membangun program stabilisasi politik demi kesejahteraan (ingat yang serupa dengan itu: Trilogi Pembangunan Orde Baru!) yang intensif melalui serangkaian pertemuan massal. Lalu Bagimana juga dengan Partai-partai pendukung Pemerintahan SBY-JK, baik yang sudah mendukung sejak pencalonan Sby-Jk di Pilpres 2004 seperti Partai Demokrat dan PKS maupun yang baru belakangan mendukung—dalam hal ini PBR maupun PELOPOR termasuk partai-partai yang mendukung pemerintahan SBY-JK. Artinya, kualifikasi calon sekutu yang diajukan PRD sangat tidak lengkap karena bisa mengasilkan pengertian bahwa PAPERNAS bisa berkoalisi dengan PDIP, PPP, PAN, Partai Demokrat, PKS hingga koalisi dengan PKPB maupun Hanura. Atau dengan bahasa lain: selain Golkar, semua partai bisa diajak berkoalisi. Harusnya, sejarah partai-partai dijabarkan secara rinci, termasuk sepak terjanganya di daerah, agar bisa dilihat mana partai yang ketika diajak berkoalisi dapat memberikan keuntungan bagi perjuangan rakyat miskin ke depan; dan ketika tidak ada yang memenuhi syarat, tidak perlu PAPERNAS dipaksakan untuk berkoalisi. Setelah hal tersebut dijabarkan, baru lah PRD bisa berbicara apa saja potensi keuntungan kalau PAPERNAS berkoalisi; juga harus dijabarkan apa saja potensi kerugiannya—karena secara teoritik, koalisi itu ada di ranah kompromi, sehingga ada potensi kerugian juga yang harus diantisipasi. Namun, dalam Propasal PRD, dengan yakin PRD menyampaikan potensi-potensi keuntungan yang menggiurkan seperti: bisa mempropagandakan program perjuangan melawan imperialisme beserta program-program mendesaknya, menarik unsur-unsur anti imperialis dari kalangan kaum demokrat, mengkonsolidasikan dan memajukan politik partai koalisi agar arah perjuangannya sejalan serta menguntungkan bagi perjuangan rakyat melawan imperialisme dan kaki-tangannya, serta dapat merangkul unsur-unsur maju di dalam partai koalisi, mempengaruhi—atau setidaknya menetralisir—unsur-unsur yang labil, dan mengisolir unsur-unsur yang konservatif di dalam partai koalisi. Tentu saja, secara konsepsi logika formal hal tersebut bisa dianggap ”benar” (sekalipun dalam kenyataannya tidak ada), namun jika diletakan dalam realitas kongkrit partai-partai yang ada sekarang, belum tentu semuanya bisa diwujudkan, apalagi PRD tidak menjabarkan apa saja potensi kerugian yang harus ditanggung oleh PAPERNAS saat berkoalisi.

§

Dalam penjabaran taktik, PRD memegang ”teguh” konsepsi taktik utamanya yang disebut dengan konsentrasi ideologi, politik, organisasi dalam mengerjakan koalisi elektoral di teritorial pada daerah pemilihan (dapil).

Konsepsi tersebut berangkat dari keyakinan bahwa taktik konsentrasi bisa mendorong maju koalisi—hingga sanggup menjadi alat perjuangan anti imperialisme yang efektif (dalam pengertian menjadi alternatif bagi rakyat). Rumusan tersebut sungguh menyedihkan, karena tidak berangkat dari situasi nyata, situasi kongkrit, bahwa partai-partai yang saat ini ada di parlemen sejatinya adalah partai-partai yang mendukung imperialisme. Sehingga mengharapkan adanya perubahan karakter ideologi, politik dan organisasi dari partai-partai ini, sekalipun ada PAPERNAS di dalamnya, adalah mustahil. Hal tersebut bukan permasalahan apakah calon sekutu bersedia menandatangani MOU, tetapi bagaimana karakter partai-partai tersebut, kelas-kelas (apa dalam masyarakat) yang membentuk dan menghidupka partai-partai tersebut, sehingga tidak bisa dengan gampang diberikan kesimpulan bahwa dengan MOU maka karakter partai-partai parlemen ini sudah atau akan berubah. Apalagi rencana koalisi yang sudah dikerjakan oleh DPP PAPERNAS adalah koalisi dengan PBR-PELOPOR—itu artinya akan ada perjuangan internal di partai koalisi tersebut, yakni perjuangan untuk menghadapi dua partai politik yang karakter politik kelasnya adalah pendukung imperialis (yang akan sangat berat untuk memenangkannya). Dan karena konsepsi PRD mengabaikan potensi pembangunan gerakan anti imperlisme di luar koalisi, maka bisa dipastikan perjuangan internal di partai koalisi ini akan sulit dimenangkan karena tidak ada tekanan dari gerakan massa di luar koalisi. Dalam kepentingan menjalankan taktik koalisi (dengan konsentrasi di dapil), maka langkah awal yang harus dilakukan adalah: membalikan citra PBR (yang busuk dan sektarian) menjadi PBR yang berpihak pada rakyat dan demokratik. Itulah, katanya, yang (dalam proposal PRD) menjadi perspektif kerja mendesak. Menurut PRD, itulah tugas PAPERNAS dalam partai koalisi tersebut. Namun, jika tugas tersebut (disepakati secara sepihak) oleh PAPERNAS maka, obyektifnya, PAPERNAS akan berhadap-hadapan secara langsung dengan unsur-unsur dalam partai koalisi tersebut yang, sejatinya, adalah musuh-musuh rakyat. Mana mungkin partai koalisi tersebut akan memenangkan pemilu jika penuh dengan konflik internal. Dan karena PRD mengartikan intervensi pemilu sebagai keharusan menjadi peserta pemilu, itu artinya konflik internal tersebut akan berujung pada kompromi yang merugikan rakyat. Kaitannya dengan organisasi pendukung PAPERNAS, maka tentu saja politik koalisi tersebut akan sangat merugikan karena struktur organisasi yang selama ini terbangun [dengan politik yang baik (dalam ukuran organisasi progresif)] bahkan bisa mengalami kemunduran, akan ditinggal massa yang menyeberang ke organisasi yang lebih progresif.

5. Kritikan dalam hal Organisasi

Dalam proposal PRD, pengertian partai persatuan yang dibangun ke depan dimanipulasi sebagai koalisi (yang, sebenarnya merupakan merger/peleburan). Itulah sebabnya dikatakan bentuk partai koalisi tersebut adalah fusi. Padahal, secara politik maupun organisasi, pengertian antara koalisi dengan peleburan sangat jauh berbeda. Dalam koalisi, di luar hal-hal yang telah disepakati dalam koalisi, unsur-unsur penyusun koalisi masih memiliki independensi politik dan organisasi satu dengan lainnya. Dengan demikian, jika persatuan yang dibangun adalah koalisi, maka PAPERNAS masih memungkinkan menjalankan politiknya sendiri. Namun, jika persatuan yang dibangun bermakna peleburan, maka sedari awal PAPERNAS sudah kehilangan independensinya, karena secara politik dan organisasi sudah dilebur dengan unsur-unsur yang anti rakyat, sehingga politik organisasi PAPERNAS paling banter abu-abu atau, yang paling parah, justru menjadi sama dengan politik-organisasi unsur-unsur anti rakyat tersebut. Dan, tidak perlu menunggu lebih lama lagi, wajar bila PRD kemudian menyetujui agar PAPERNAS berubah “nama”—tekanan “kata PARTAI” dihilangkan diganti dengan persatuan dan lain sebagainya. Tentu saja orang bodoh sekalipun akan memahami bahwa hal tersebut bukan sekadar pergantian nama, melainkan perubahan karakter organisasi, dari sebuah partai politik menjadi organisasi massa, merubah sebuah alat tertinggi perjuangan politik massa menjadi alat pembelajaran perjuangan massa. Hal itu oleh PRD dianggap sebagai kewajaran, karena PAPERNAS harus tetap menjadi peserta pemilu (sekalipun menghilangkan ”kata” partai) karena sebuah partai politik, menurut PRD, harus menjadi peserta pemilu sebagai wujud konkrit politik kepartaiannya, dengan kata lain tidak ada gunanya membangun partai politik jika tidak menjadi peserta pemilu. Argumen itu saja sudah menyalahi sejarah PRD sendiri yang secara legal berdiri pada tahun 1996—dengan kerja-kerja ilegal pada tahun-tahun sebelumnya—karena dalam dokumen-dokumen PRD pun banyak dijelaskan bahwa, sekalipun tujuan partai politik adalah untuk merebut kekuasaa namun, karena kepentingan rakyat yang diutamakan, maka cara menuju kekuasaan bisa bermacam-macam: bisa dengan ikut pemilu; bisa juga dengan boikot pemilu; bisa juga dengan cara-cara yang lainnya—bahkan, di banyak negeri, partai-partai politik terlibat dalam pemberontakan untuk merebut kekuasaan; juga di Indonesia, sebelum kemerdekaan, banyak partai politik yang menjalankan politik anti kompromi (non-kooperasi) dengan Belanda, sekalipun Belanda juga membuat lembaga parlemen yang disebut Volksrad. PKI, PNI, PARTINDO dan banyak partai lainnya menolak memasukan orang-orangnya ke dalam lembaga ini.

KESIMPULAN:

1. Bahwa PRD telah meremehkan kemampuan rakyat dan gerakannya untuk melakukan pembebasan (radikal) bagi dirinya sendiri dari penjajahan imperialisme dan boneka-bonekanya;

2. Bahwa PRD telah meremehkan kemampuan rakyat dan gerakannya untuk membangun persatuan yang kokoh untuk membebaskan dirinya dari penjajahan imperialisme dan boneka-bonekanya;

3. Bahwa PRD telah memberikan ilusi (baca: menipu) rakyat, dengan menyimpulkan bahwa perlawanan anti imperialisme dan bonekannya di parlemen (saat ini) sangat besar peluangnya;

4. Bahwa PRD telah menghancurkan politik dan alat perjuangan alternatif rakyat, yakni PAPERNAS dan organisasi pendukungnya, dengan meleburkan diri kepada partai penindas rakyat, sehingga mempersulit perjuangan rakyat ke depannya;

5. Bahwa PRD telah menjerumuskan PAPERNAS pada GARIS POLITIK PARLEMENTARIS.

Catatan Kaki:

[1] Survey yang sekaligus bermakna pengorganisasian.

[2] Istilah TRIPANJI bisa saja diubah karena memberikan nuansa PKI; namun perubahannya tidak boleh abstrak (tidak kongkret) tidak boleh mengesankan eupimisme seperti: melindungi kekayaan alam untuk menggantikan nasionalisasi.

1 komentar:

SANJAYA mengatakan...

Saya hanya seorang pengamat.

Menurut saya tidak ada yang salah dengan garis politik kawan-kawan KPRM-PRD. Hal tersebut sangat ditentukan oleh jenis dan tingkat kesadaran seorang revolusioner profesional. Harus diamini, bahwa garis politik itu jua lah yang secara dialektis telah memisahkan kawan-kawan KPRM-PRD (selaku minoritas) dengan mayoritas kader pimpinan PRD.

Fenomena yang terjadi dalam internal organisasi PRD ini sangat mirip bentuknya dengan perpecahan internal dalam tubuh PBSDR lebih dari seabad lalu. Sampai kapanpun air dan api memang sulit dipersatukan.

No problem. Kita akan melihat garis politik PRD yang mana yang sesuai dengan realitas objektif.

Selamat berjuang KPRM PRD!

TERBITAN KPRM-PRD