03 Februari 2008

[Debat-Papernas] Mengharap Hujan Dari Langit, Air di Tempayan Jangan Ditumpahkan

Zely Ariane [1]
(tawaran kepada forum presnas Papernas 29/08/07)

PAPERNAS adalah alat politik milik rakyat. Siapa pun yang mendukung program-program perjuangan PAPERNAS berhak ambil bagian dalam politik-organisasi dengan hak dan kewajiban yang sejajar. Dalam wadah ini rakyat menjadi pelaku politik aktif, dan tidak sekedar menjadi obyek dari para elit partai yang berpolitik tanpa ketahuan kepentingan-kepentingan sempit di baliknya.

Dalam perjalanannya, setiap kader dan pengurus PAPERNAS dijaga oleh prinsip-prinsip perjuangan, program dan strategi-taktik yang tegas dan kongkrit. Program dan strategi taktik inilah yang menjadi panduan bagi setiap langkah politik-organisasi. Langkah politik-organisasi yang melenceng dari prinsip-prinsip program dan stratak segera disikapi dan pihak yang bertanggungjawab mendapatkan tindakan disiplin organisasi. Selain itu, unsur-unsur pendiri PAPERNAS adalah organisasi-organisasi dan individu-individu yang selama bertahun-tahun telah terbukti pengabdian dan keteguhannya dalam memperjuangkan kepentingan rakyat di berbagai sektor.[2]

1. Tujuan Intervensi Pemilu dan Pembangunan PAPERNAS

Intervensi pemilu adalah sebuah bentuk tindakan politik dan organisasional yang sadar untuk mencampuri jalannya proses Pemilihan Umum (dalam hal ini Pemilu 2009). Tujuannya adalah sebagai salah satu taktik untuk mencapai perubahan mendasar dan sistemik bagi rakyat Indonesia, yakni: mewujudkan sistem masyarakat yang adil, modern, sejahtera, demokratik dan setara sepenuh-penuhnya di bidang sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya dalam prinsip demokrasi-kerakyatan. [3] Bentuk intervensi pemilu bermacam-macam tergantung kapasitas (daya juang) dan kesadaran rakyat pada rentang waktu tertentu, seperti: memperjuangkan paket UU Politik (Pemilu, Susunan dan Kedudukan, dan Kepartaian) yang demokratik dan menguntungkan bagi partisipasi rakyat, menjadi peserta/kontestan pemilu dengan partai sendiri, mendukung/bergabung dengan salah satu peserta/kontestan pemilu dengan platform yang menguntungkan rakyat dan menyerang musuh bersama yang lebih besar, mencoblos pada hari H, Golput, melakukan boikot aktif, merusak kertas suara, memblokade TPS-TPS, serta menjadi pemantau pemilu.

Tujuan pembangunan PAPERNAS adalah sebagai wadah/alat politik alternatif tertinggi (yaitu partai politik) yang memungkinkan rakyat sebagai pelaku politik langsung dengan kesadaran akan kepentingan-kepentingan strategis dan mendesaknya. [4] PAPERNAS dibangun diatas landasan bahwa sampai saat ini, kekuatan-kekuatan politik yang ambil bagian dalam kekuasaan pemerintahan tidak pernah berpihak ke rakyat. Presiden, wakil presiden, menteri-menteri, dan partai-partai besar yang berhasil meraup suara rakyat tidak akan pernah memperjuangkan apa yang menjadi kebutuhan rakyat pemilihnya. Mereka hanya sibuk mengurusi kepentingan kelompoknya dan memperkaya diri saja. [5]

Ketika Kesempatan PAPERNAS Menjadi Kontestan Pemilu Ditutup oleh Negara…

Penghormatan setinggi-tingginya kepada seluruh struktur PAPERNAS yang masih terus bertahan ditengah gempuran tak berkesudahan dari kelompok-kelompok reaksioner dan struktur pemerintahan setempat—walaupun secara sistematis dan terencana belum mendapatkan pendidikan (bekal) politik yang memadai dari struktur partainya (program pendidikan tidak diprioritaskan selama konsentrasi penstrukturan dan perluasan April-Juni 2007). 134 kota/kabupaten, 561 kecamatan yang terstruktur selama lebih kurang 1 tahun perjalanan sejak pembentukan KP-PAPERNAS, merupakan prestasi dan harta paling berharga yang berfungsi sebagai otot-otot perjuangan rakyat selanjutnya. Kenyataan ini bermakna bahwa:
(i) kehendak rakyat (struktur PAPERNAS) untuk bergabung ke dalam sebuah wadah alternatif dengan program-program yang lebih tinggi—yang dihimpun melalui popularitas yang telah dimiliki ormas-ormas/partai pendukung PAPERNAS, konsolidasi kontak-kontak, maupun popularitas PAPERNAS sendiri—dalam kurun 1 tahun sudah merupakan capaian yang luar biasa;
(ii) harapan rakyat untuk perubahan (mendukung program perjuangan PAPERNAS) diwujudkannya lewat kesadaran bergabung dengan PAPERNAS. Kesadaran ini didapatkan melalui pengolahan basis-basis sektor dan komunitas serta kampanye. Struktur Papernas DKI Jakarta adalah salah satu contoh pengolahan basis massa dengan metode ini, hingga secara sadar bersedia bergabung dengan PAPERNAS.[6]

Pada prinsipnya, capaian kesadaran untuk berpolitik kepartaian (walaupun belum mencukupi syarat Pemilu) ini tidak boleh diturunkan. Karena inilah tabungan kita untuk perjuangan yang berdaya jangkau lebih panjang.

Bergulirnya RUU Politik yang sangat memberatkan politik kepartaian di Indonesia saat ini merupakan batu sandungan PAPERNAS berikutnya, dalam kepentingannya menjadi peserta pemilu, yang paling pokok setelah intimidasi. Situasi ini juga mencerminkan bahwa ruang demokrasi mulai ditutup (stabilisasi politik) bagi partisipasi politik kerakyatan, ditambah dengan beberapa indikator lainnya (pembakaran buku, pelarangan buku sejarah, kriminalisasi perburuhan, dst).

2. Bagimana Kita Memaknai Peluang Persatuan Elektoral bersama PBR dan Partai Pelopor?

Tentu saja demi kepentingan perjuangan melawan imperialisme yang lebih besar kita membutuhkan sekutu yang lebih banyak, arena (medan) juang yang seharusnya lebih banyak juga, dengan metode yang tentu harus lebih beragam pula. Dalam proses ini kita bahkan bisa menerima sekutu yang paling tidak stabil/khianat sekalipun, NAMUN potensi khianat tersebut harus ditunjukkan di depan massa kita seteguh-teguhnya. Arena elektoral memberikan peluang persatuan, yakni, seperti yang dilaporkan oleh petugas politik DPP PAPERNAS, menjadi kontestan pemilu atas nama PBR.

Harus dipahami bahwa peluang persatuan elektoral dengan PBR dan Partai Pelopor bukanlah bentuk Koalisi, melainkan Fusi [7] atau merger/melebur. Peluang untuk GPP sudah semakin kecil, sehingga peluang untuk bisa setara sebagai suatu ‘front demokratik’ tidak ada. Apalagi PAPERNAS belum menjadi partai secara de-Jure—akta notarispun sepertinya belum/tidak jadi dibuat. Hal ini seharusnya membuat kita lebih waspada untuk tidak serta merta menyerahkan leher kita untuk diikat, tanpa perhitungan strategis yang lebih matang. Perhitungan-perhitungan tersebut, antara lain:
· Kita harus membedakan ikut pemilu dengan partai sendiri dan dengan partai orang lain—apalagi di tengah ketidakpercayaan/apatisme rakyat terhadap partai politik yang ada saat ini. Konsentrasi yang diputuskan untuk membangun PAPERNAS setahun ini tidak sama dengan konsentrasi untuk PBR—yang platform-nya lebih rendah. Menjadi peserta pemilu dengan PAPERNAS berbeda kualitas dibandingkan dengan PBR. Kualitas program PAPERNAS lebih tinggi, dan metode perjuangannya lebih maju. Apakah dengan demikian PBR bisa dikatakan sebagai Partai Alternatif (pengganti PAPERNAS) bagi rakyat? Apakah karena semakin sulitnya ruang gerak PAPERNAS maka kini dia harus mengganti baju—padahal PAPERNAS tidak pernah telanjang?
· PBR adalah partai Islam borjuasi, reformis gadungan, yang tidak punya basis massa riil (tradisional); peserta pemilu 2004 yang mendukung pemerintahan SBY-Kalla. Hingga detik ini, tidak ada satupun tindakan politik PBR yang memberikan keuntungan politik pada rakyat (kecuali inisiatifnya bersama partai gurem lainnya untuk melakukan Judicial Review terhadap UU Politik ke Mahkamah Konstitusi). PBR juga diragukan komitmennya terhadap pembebasan perempuan—walau ada program kesetaraan—karena keterlibatan wakil-wakil PBR di sebagian DPRD yang mendukung disahkannya perda-perda syari’ah (contoh: Sulteng dan Tangerang).
· Tentu kita sanggup berkompromi (untuk program-program seminimal apapun yang disetujui PBR, dan menguntungkan kita/rakyat), karena demikianlah seni berjuang untuk memperluas sekutu dan penerimaan program (esensi dari taktik front persatuan). Namun kompromi berbeda dengan menyerahkan diri (kapitulasi), karena dengan kompromi, kita tetap dapat mempropagandakan hal-hal/program yang tak disetujui melalui alat kita sendiri (tidak terikat/kebebasan berpropaganda). Di dalam front yang paling bejat sekalipun, yang harus terus kita pertahankan/perjuangkan adalah: (i) keteguhan dan kesetiaan berjuang terhadap ­platform yang telah disepakati bersama, dan (ii) platform bersama tersebut harus secara terbuka dinyatakan TIDAK CUKUP dijadikan solusi (tidak menyelesaikan persoalan mendasar rakyat)—agar tidak membohongi rakyat.
· Ada pendapat yang menyatakan bahwa arena di daerah-daerah pemilihan (DAPIL) bisa dimaksimalkan (untuk program-program yang maksimum sekalipun), padahal pada saat yang bersamaan arena tersebut mengandung keterbatasan-keterbatasan yang mengikat PAPERNAS—apalagi jika target utama kita adalah tiket (kursi) ke parlemen. Keterbatasan tersebut antara lain: (1) politik pemenangan caleg di dalam partai borjuis bukanlah politik yang bersih, (2) mengkritik PBR atau calegnya secara terbuka selama proses elektoral akan merugikan PBR dan mengancam eksistensi kita di dalam PBR, (3) mengkampanyekan program-program yang lebih tinggi (di luar platform yang disepakati dengan PBR) di wilayah Dapil dapat berkontradiksi dengan politik PBR setempat, di wilayah lain, atau di nasional (4) otoritas pusat (DPP) begitu besar untuk memveto (caleg) daerah—seperti yang dilakukan DPP PKB yang mengganti caleg jadi dari Jatim dengan semena-mena pada pemilu 2004, (5) terbatasnya jangkauan kita terhadap potensi gelombang politik non elektoral yang manifest di luar atau di dalam Dapil.
· Merger/lebur dengan PBR seharusnya ditempatkan sesuai kapasitas politik dan organisasionalnya, yakni hanya sanggup mengemban program-program minimum (mendesak dan darurat) PAPERNAS. Program-program tersebut tidak boleh abstrak, karena dapat menyulitkan rakyat untuk menagihnya (seperti perlindungan kekayaan alam, kemandirian ekonomi dsb sebagai pengganti Tripanji yang sudah keburu di cap komunis, padahal bisa lebih kongrit seperti yang sudah disuarakan banyak kelompok, yakni peninjauan kontrak karya atau renegosiasi). Inipun tidak bisa dipercayakan begitu saja tanpa tekanan politik dari luar arena elektoral. Peningkatan kualitas arena elektoral selalu disebabkan oleh tekanan dari arena non-elektoral—baik pada proses pemilu maupun sebelumnya (contoh: Fauzi Bowo saja sanggup menyandang program pendidikan dan kesehatan gratis akibat kampanye kedua program itu yang massif oleh gerakan sebelumnya). Berkonsentrasi untuk memaksimalkan peluang elektoral bersama PBR ini bermakna bahwa seluruh kerja politik organisasi dan ideologi PAPERNAS diarahkan untuk hanya mensukseskan DAPIL. Bagaimana tanggung jawab kita terhadap struktur dan potensi di luar DAPIL? .
· Jika target utama dari peluang merger ini adalah kursi, maka ia akan memaksa kita berkonsentrasi di DAPIL—yang lebih banyak menguntungkan PBR/Pelopor. Hal ini akan berkonsekuensi mengikat kaki, tangan, dan lidah kita pada kepentingan PBR. Membatasi kita dalam melakukan kritik terbuka terhadap PBR sebelum ‘aman untuk mendapat kursi’. Apalagi kita hanya akan diberikan DAPIL dimana mereka tidak kuat (dan sayangnya kita juga kurang kuat).
· Makna kursi bagi kita merupakan wujud dukungan massa terhadap program-program kita, yang diperoleh dari keberhasilan kita memperjuangkan kepentingan mereka: bukan hasil dari money politic. Untuk mendapatkan kursi dengan metode ini, maka tidak boleh kita meninggalkan arena non-elektoral/ekstraparlementer, karena dari sanalah justru potensi suara untuk kita berasal—selain bahwa tanggung jawab terbesar kita justru untuk memajukan kualitas gerakan, bukan sekadar kursi. Dan, semestinya kita paham, bahwa kursi tersebutpun tidak serta merta dapat memberi manfaat banyak pada rakyat—dalam banyak kasus parlemen justru mandul dalam menjawab persoalan rakyat—tanpa partisipasi rakyat sendiri secara langsung untuk menyelesaikan persoalannya sendiri. PAPERNAS tidak boleh membohongi rakyat dengan mempertahankan ilusi rakyat terhadap parlemen—padahal ilusi tersebut sedikit demi sedikit mulai menurun.
· Konsentrasi juga akan membatasi ruang gerak kita untuk melakukan respon politik non-elektoral (sekalipun dengan kualitas program dan metode juang yang lebih tinggi), karena tidak secara langsung menguntungkan politik dapil PBR. Padahal kita sadar, tanpa mengolah gerakan atau politik non-elektoral, semakin kecil kemungkinan kita untuk menang pemilu (mendapat kursi)—kecuali menang dengan money politic atau politik menjilat ke atas menginjek ke bawah.
· Maka jika prinsip konsentrasi diterapkan pada arena merger ini, maka ia akan berkonsekuensi kontraproduktif bagi masa depan PAPERNAS dan rakyat.

3. Bagaimana Masa Depan PAPERNAS?

· Tentu saja kita harus mempertahankan PAPERNAS sebagai PARTAI, karena massa bergabung dengan PAPERNAS sebagai partai, bukan yang lainnya. Secara terbuka rakyat harus tahu bahwa kita tetap sebagai partai (Kalaupun UU menghendaki PAPERNAS bubar karena sudah melebur dengan PBR, maka kita seharusnya bisa bernegosiasi dengan PBR untuk mempertahankan PAPERNAS sebagai partai—secara formal bubar di depan Dephukham/KPU tapi secara de fakto kita tetap ada. Esensi perubahan PAPERNAS menjadi Partisan Pembebasan Nasional (PAPERNAS), misalnya, tidak perlu, karena akan membingungkan rakyat kembali setelah mereka memilih PAPERNAS sebagai partai. Karena kalau PBR/UU memang menghendaki PAPERNAS bubar, maka sebenarnya singkatan PAPERNAS (apapun kepanjangannya) memang sudah tak diinginkan oleh mereka. Ini akan merugikan kita. PRD sendiri sampai sekarang bukanlah partai legal, tapi tidak pernah ada persoalan terhadap PRD. Jangan massa pendukung PAPERNAS justru ditakut-takuti dengan namanya sendiri (PAPERNAS), karena itu akan mempengaruhi kasadarannya di masa yang akan datang untuk berprinsip membela kepentingannya dan alat politik hasil kerjanya. Jangan mengajari rakyat untuk dengan mudahnya gonta ganti baju. Fanatik terhadap alat, dalam kasus ini, PERLU dan HARUS, karena ini masalah prinsip. PAPERNAS bukan sekadar baju, tapi martabat dan prinsip politik rakyat.
· Sejatinya menjadi partai tak perlu pengakuan negara, namun agar kita aman sebaiknya PAPERNAS tetap membuat akte notaris pendiriannya serta didaftarkan ke Dephukham, berapapun jumlahnya. Kenapa demikian? Karena tak bisa menjadi peserta pemilu 2009 bukanlah akhir dari perjuangan PAPERNAS sebagai partai. Bila kita mundur sekarang, maka semakin kecil landasan kita untuk menjadi partai alternatif di masa yang akan datang.
· Jikalaupun mayoritas peserta Presnas tetap berkehendak untuk berkonsentrasi di arena Dapil atas nama PBR, maka yang seharusnya kita pertahankan, adalah:
(1) Tripanji dan program-program demokratisasi dapat dilaksanakan di Dapil
(2) Perluasan struktur ormas/PAPERNAS (jangan dibubarkan)
(3) Metode mobilisasi dan radikalisasi massa tetap dipertahankan
(4) Agar program maksimum (ekonomi, politik dan social budaya) PAPERNAS seluruhnya bisa diangkat, karena merger arenanya terbatas, maka kita seharusnya bisa menggarap potensi non elektoral, sekaligus berfungsi meningkatkan kualitas politik merger tersebut.
· Sebenarnya PAPERNAS bisa terus hidup dan berkembang sebagai partai—hingga berhasil memaksa Negara untuk mengakuinya. Banyak metode yang bisa digunakan, seperti yang dilakukan HAMAS—Palestina—dalam memperluas strukturnya secara tertutup (tanpa plang) dibawah tekanan Israel dan Fatah melalui koperasi-koperasi dan organisasi perempuan. Walau tertutup, namun propaganda terhadap partai tidak pernah berhenti, sehingga HAMAS bisa memenangkan pemilu dengan metode tersebut, bahkan dengan program yang lebih maksimum (radikal) yakni: kemerdekaan Palestina sepenuhnya dan penghentian pendudukan Israel..

4. Penutup

Sebagai penutup, ada baiknya kita menyimak kutipan yang sangat penting dari pamphlet PAPERNAS berikut ini, sebagai landasan kita untuk meneguhkan jalan dalam politik elektoral yang menguntungkan rakyat, bukan sekadar menjanjikan perubahan dari atas (dari dalam pemerintahan) tanpa pertisipasi langsung rakyat:

Sebagai partai politik, kepentingan PAPERNAS adalah berkuasa dalam pemerintahan, namun berkuasa bukan menjadi tujuan. Berkuasa hanyalah sarana untuk dapat menjalankan program-program yang berpihak kepada rakyat.

Selain melakukan perjuangan lewat jalur parlamen (ikut berkompetisi melalui pemilu), PAPERNAS juga meyakini bahwa jalur ekstra parlemen (aksi massa) merupakan suatu jalan yang dibutuhkan dalam perjuangan sekarang. Turut aktifnya massa rakyat dalam perjuangan politik sehari-hari merupakan wujud yang paling kongkrit dari dukungan rakyat terhadap program perjuangan kita.[8]

Demikian sumbangan pemikiranku kepada sidang Presnas yang terhormat ini. Semoga perjuangan kita untuk membentuk wadah alternatif bagi rakyat tidak surut dipukul mundur oleh hambatan UU dan intimidasi.***

Catatan Kaki:
[1] Staff Departemen Kaderisasi dan Komunikasi Massa DPP-PAPERNAS, Koordinator Urusan Pendidikan dan Bacaan Komite Nasional Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika (KN-JNPM).
[2] Naskah Pamflet PAPERNAS Oleh Dominggus Octavianus: “Tolak Jadi Bangsa Kuli, Bangkit Jadi Bangsa Mandiri. Bangun PAPERNAS!” pada bagian “Mengapa PAPERNAS Patut didukung oleh Rakyat?”
[3] Naskah Pamflet PAPERNAS Oleh Dominggus Octavianus: “Tolak Jadi Bangsa Kuli, Bangkit Jadi Bangsa Mandiri. Bangun PAPERNAS!”, hal.1, tidak dapat terbit secara nasional (sempat dijadikan pamflet dengan cetak terbatas oleh PAPERNAS DKI Jakarta).
[4] Ibid.
[5] Ibid
[6] Berdikari Edisi 01 Tahun Pertama (2007), Inspirasi, hal 4.
[7] Fusi pada masa Soeharto yang dilakukan partai-partai nasionalis ke dalam PDI tidak menghilangkan entitas kepartaiannya. Namun makna fusi secara umum adalah peleburan.
[8] Op cit bagian “Bagaimana Papernas Memperjuangkan Program-programnya?”
Read More......

[Debat-Papernas] MEMPERTAHANKAN DAN MEMPERKUAT PAPERNAS SEBAGAI PARTAI POLITIK RAKYAT MISKIN

Budi Wardoyo [1]

Landasan Kenapa Pemilu harus di Intervesi :

1. Bahwa PEMILU sebagai TAKTIK untuk meluaskan propaganda jalan keluar alternatif dari krisis ekonomi politik sosial budaya (lihat program – program eknomi, politik dan sosial budaya PAPERNAS)
2. Bahwa PEMILU sebagai TAKTIK untuk meluaskan struktur perlawanan gerakan rakyat miskin ( menyatukan dan meluaskan )
3. Bahwa PEMILU sebagai TAKTIK untuk meningkatkan kapasitas perlawanan gerakan rakyat miskin agar pada saatnya berkesanggupan untuk mengambil alih kekuasaan dan mempertahankannya.

Prakteknya :
Dari pengalaman capaian yang kita dapat :
A. Meluasnya struktur PAPERNAS kita hingga tingkat kecamatan
B. Masih sedikitnya organisasi gerakan yang bergabung dalam PAPERNAS
C. Munculnya hambatan dari Rezim berkaitan dengan Kehadiran PAPERNAS, terutama dengan membiarkan – bahkan di beberapa tempat mendung – Milisi Sipil Reaksioner melakukan serangan – serangan fisik kepada PAPERNAS
D. Belum efektifnya organisasi – organisasi massa atau organisasi pendukung PAPERNAS dalam memimpin perjuangan massa di sektornya masing – masing
E. Belum berjalannya bacaan, pendidikan dan mobilisasi secara simultan, yang bermuara pada penguatan dan perluasan struktur

Situasi Obyektif :

1. Krisis yang terjadi di Indonesia, tidak kunjung mereda, bahkan makin mendalam, hal ini di tandai dengan :
a. Peningkatan jumlah pengangguran. [2] Terutama karena PHK – PHK massal dan bertambahnya jumlah pencari kerja.
b. Menurunnya daya beli rakyat ( Bank Dunia, dalam penelitian mutakhirnya, mengumumkan bahwa sekitar 109 juta rakyat Indonesia hidup dengan pengeluaran di bawah 2 dolar (sekitar Rp 18 ribu) per hari. Data dari Badan Pusat Statistik tak jauh beda: 17,76% rakyat Indonesia hidup dalam garis kemiskinan dengan penghasilan tak lebih dari 1,55 dolar per hari. Malahan, terdapat sekitar 7% dari total penduduk Indonesia yang cuma mampu belanja untuk hidup di bawah 1 dolar per hari) [3]
c. Secara makro ekonomi, investasi di sektor riil tidak juga berkembang, karena para investor ( baik asing maupun dalam negeri ) lebih banyak menanamkan modalnya ke pasar modal dan pasar saham, [4] dan menurut Hendri Saparini, derasnya modal jangka pendek ini, justru menunjukan krisis ( indikator ) sekarang, hampir sama dengan krisis tahun 1997/1998. [5] Bahkan pada bulan mei 2007, Tim Indonesia Bangkit telah memberikan analisa, krisis finansial akan terjadi pada tahun 2008 dengan tingkat kemungkinan 65%.[6]

2. Demokrasi yang telah di perjuangkan oleh gerakan revolusioner dan rakyat melalui aksi – aki massa, mengalami ancaman :
1. Partisipasi rakyat tidak di dorong lebih maju oleh rezim borjuis ini, melainkan makin dipersempit dalam berbagai bentuk terutama dalam bentuk UU anti demokrasi (termasuk makin banyaknya daerah yang menerapkan perda – perda syariah).[7] Dalam momentum Pilkadalpun, tidak ada kehendak dari partai – partai busuk itu untuk membuka ruang bagi rakyat dalam bentuk calon – calon independen misalnya, termasuk dalam pemilu 2009 nanti di mana RUU yang akan di bahas jelas – jelas, mengebiri hak – hak berpolitik rakyat.
2. Aksi – aksi perlawanan rakyat, juga di hadapi dengan tuduhan – tuduhan kriminal, bahkan di beberapa derah dengan kekerasan (termasuk dengan penembakan hingga mati) [8]
3. Pembubaran oleh milisi – milisi maupun oleh aparat terhadap kegiatan – kegiatan yang tidak dalam maintream rezim (bukan hanya kegiatan kelompok kiri [9] atau terbitan kiri yang mulai di berangus melainkan juga kelompok – kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan lain sebagainya) [10]
4. Kasus – kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu ( termasuk pelanggaran HAM sekarang ) semakin tidak terungkap, bahkan para pelaku sekarang ini mendapatkan posisi yang strategis ( Wiranto yang jadi Ketua Umum Partai Hanura, dan bahkan menjadi kandidat calon Presiden atau para penculik yang tergabung dalam TIM MAWAR Kopasus malah mendapatkan jabatan – jabatan strategis seperti Letjen Sjafri Syamsuddin sekarang menjabat Sekjen Dephan, Muchdi PR sebagai Deputi V BIN dan Chairawan sebagai Kaposwil NAD BIN.

3. Krisis ini telah meningkatkan perlawanan rakyat :

a. Peningkatan terutama dalam hal metode perlawanan, seperti yang di tunjukan oleh kaum buruh di tahun 2006 ( banyak yang menilai, aksi buruh pada tahun ini adalah yang terbesar semenjak Orde Baru ), dimana metode aksi serentak, dengan metode pemogokan gedor pabrik, telah menakutkan rezim. Mogok serentak bukan lagi menjadi milik Cimahi atau kota – kota Industri di Jawa Timur, melainkan menjalar ke Makasar, Tangerang dan kota – kota industri lainnya, hingga lumpuh total. Sedikit gambaran bagaimana sikap rezim menghadapi 1 mei 2006, seperti yang di tulis oleh Detik.com

“ Menghadapi rencana demo besar-besaran pada hari buruh sedunia, Pemprov DKI dan Polda Metro Jaya tampaknya tidak mau main-main. Hal itu dibuktikan dengan mulai diberlakukannya status siaga I di Jakarta secara resmi mulai hari ini.

"Siaga I mulai hari ini, artinya kekuatan sudah ada ditempat mulai hari ini," kata Kapolda Irjen Pol Firman Gani usai menghadiri apel kesiapan pasukan di silang Monas , Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (28/4/2006).

Apel dipimpin Gubernur DKI Sutiyoso yang bertindak sebagai inspektur upacara. Tampak hadir Pangdam Jaya Agustadi Sasongko Purnomo, Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Rusdi Taher, Panglima Armabar Laksda TNI Moekhlas Sidik, Panglima Korps TNI AU Marsda TNI Mardjono, Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta Ben Suhenda Sjah, dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Fauzie Bowo “

Termasuk TNI juga menyiapkan pasukan :

"Kita siapkan 5.000 personel dari darat, laut, dan udara yang disebar ke masing-masing satuan. Baik di satuan Kodim, Koter, dan Babinsa," kata Pangdam Jaya Mayjen Agustadi Sasongko Purnomo.

Hal itu disampaikan Agustadi saat ditemui detikcom usai Apel Siaga menjelang 1 Mei di Lapangan Monas, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Jumat (28/4/2006).

Sementara respon rezim untuk may day tahun 2007, sekalipun atomosfirnya tidak sepanas tahun 2006, nemun tetap saja menakutkan rezim :

“ Menyambut Hari Buruh (Mayday) 1 Mei, polisi menyiapkan 30.000 personel. Para personel ini dikerahkan untuk mengamankan jalannya demo yang bakal digelar ribuan buruh di Jakarta.

Personel yang diturunkan antara lain satuan Polantas, Reserse, Intelkam, Samapta, Densus 88, Polres dan Polsek, terutama di wilayah Jakarta Utara, Jakarta Barat dan Jakarta Timur.

Untuk di luar Jakarta, Polda menyiagakan Polres Bekasi, Polres Bogor, Polres Tangerang, Polres Depok, dan BKO Mabes Polri.”


b. Metode lain adalah metode blokir jalan ( yang esensinya adalah menghentikan jalur produksi ), yang di lakukan oleh korban lapindo berkali – kali, ratusan warga di Purwakarta yang memblokir jalan Plered – Ajun hingga lumpuh total selama 5 jam. Pemblokiran jalan juga terjadi di Aceh, ketika warga memblokir jalan Banda Aceh – Calang menuntut ganti rugi tanah. Pemblokiran jalan juga terjadi di Dumai ( Pekanbaru ) ketika ratusan warga memblokir jalan Datuk Laksamana untuk menuntut Fasilitas Drainase ke PT PELINDO I Dumai. D Maros ( Sulawesi Selatan ) Ratusan warga Desa Moncongloe Bulu, Kecamatan Moncongloe, Maros, memblokir jalan di desa. Aksi ini dilakukan setelah jalanan mereka rusak karena sering dilewati truk berukuran besar yang digunakan mengangkut tanah dan material lain.[11]

c. Dalam hal persatuan juga telah ada kemajuan di gerakan rakyat, paling tidak ditunjukan dengan terbangunnya Aliansi Buruh Menggugat (ABM)sebagai hasil dari radikalisasi kaum buruh menentang revisi UU 13/2003. Bukan hanya karena Konferensi Nasional I ABM, di hadiri oleh kurang lebih 300 delegasi dari 16 propinsi (yang mewakili puluhan serikat buruh baik nasional maupun lokal), namun yang lebih penting ABM menegaskan dirinya sebagai konsolidasi gerakan buruh yang menentang neoliberalisme dengan platform : Penghapusan Hutang Luar Negeri, Nasionalisasi Aset – Aset vital yang di kuasai asing, Industrialisasi Nasional dan pemberantasan KKN. [12] Dan sebagai langkah awal untuk mengkongkritkan persatuan kaum buruh, konferensi nasional telah membentuk struktur kepengurusan (sebagai Badan Pekerja Nasional) dan Sekretariat Bersama (Sekber). Belakangan telah terbentuk Badan Pekerja Wilayah ABM Jabodetabek.

d. Dalam bentuk persatuan yang lebih tertutup, kelompok – kelompok kiri di luar AGRA [13] (seperti jaringan PRP – termasuk KASBI - kelompok Ellly Salomo – Serikat Mahasiswa Indonesia dan Federasi Perjuangan Buruh Jabotabek - dan beberapa Eks Kader PRD sedang mencoba membangun alat baru, sekalipun masih sangat embrional.

e. Belakangan ini, kaum pergerakan di Jakarta (baik secara organisasi maupun individu) sedang mencoba membangun alat propaganda bersama (dalam bentuk terbitan) sekaligus media untuk menjembatani perdebatan – perdebatan di antara kelompok gerakan, di samping meregulerkan forum – forum diskusi.[14]

f. Dalam hal tuntutan, sekalipun masih bergerak dalam respon terhadap dampak, namun tuntutan – tuntutan yang menohok pada jantung kepentingan imperialisme juga sudah mulai muncul, terutama soal hutang luar negeri, [15] Isu Nasionalisasi Industri Tambang, [16] juga mulai di angkat, walau kebanyakan oleh elit – elit politik, [17] sementara unsur – unsur gerakan masih sangat sedikit yang mengangkat ini, demikian juga dengan Industrialisasi Nasional.

g. Dalam hal kesadaran untuk berkuasa, masih sedikit kelompok gerakan yang memiliki kesadaran itu – dengan kapasitas gerakannya masing – masing – seperti yang di tunjukan oleh kelompok tani dan didukung oleh LSM yang kemudian membentuk Partai Perserikatan Rakyat – yang awalnya diarahkan untuk bertarung dalam pemilu 2009 – atau WALHI yang juga berencana membentuk partai politik. Di lingkaran PRP cs, wacana – wacana merebut kekuasaan makin sering di munculkan, termasuk dalam slogan – slogan aksi “buruh berkuasa, rakyat sejahtera “. Bahkan dalam kongres Federasi Serikat Buruh Karya Utama (salah satu anggota KASBI yang paling signifikan) ada desakan agar membentuk partai politik.

h. Peningkatan perlawanan rakyat, sayangnya tidak terpimpin oleh gerakan revolusioner, sehingga energi yang besar dari perlawanan rakyat tidak terakumulasi menjadi kekuatan perubahan atau dengan bahasa lain, terjadi kekosongan kepemimpinan perlawanan rakyat, padahal rakyat sudah tidak percaya lagi pada kepemimpinan elit ( parpol ) yang ada di parlemen. [18]

Pertarungan Elit Politik Busuk ( Parpol ) di tengah perlawanan rakyat melawan Neoliberalisme :

SBY – JK yang sedari awal adalah Boneka Imperialis, dengan segala upaya tetap menjalankan agenda – agenda neoliberalisme di Indonesia ( Instruksi Presiden no 3 tahun 2006, tentang paket kebijakan perbaikan iklim investasi yang turunannya antara lain revisi UUK 13/2003 – walupun gagal, namun di siasati dengan Peraturan Pemerintah dan RUU Penanaman Modal – sekarang telah jadi UU semakin mempertegas posisi agen imperialis.
Tentu saja pelaksanaan neoliberlisme di Indonesia, mendapatkan perlawanan dari rakyat dalam berbagai bentuk seperti yang telah di sebutkan di atas, sehingga mau tidak mau, SBY – JK terpaksa harus memberikan konsesi/sogokan kecil dan sementara, yang sesungguhnya tidak akan mampu menjawab keresahan massa.
Disisi lain, seluruh kekuatan politik mainstream (kekuatan politik parlemen ), sedang berlomba – lomba menjadi agen imperialis, sehingga sangat nampak dalam pertarungan politik sehari – hari ( apalagi tahun – tahun kemarin, tahun ini dan hingga tahun 2009, banyak momentum pergantian kekuasaan, Pilkadal maupun Pemilu). Terbongkarnya skandal korupsi KPU, DKP, Reshufle kabinet, Interpelasi DPR adalah bukti – bukti semakin kuatnya pertarungan di antara partai – partai besar. Disisi lain, perpecahan partai juga meluas. PDIP pecah dengan muculnya PDP, PKB dengan munculnya PKNU, demikian juga partai Demokrat yang di tinggalkan banyak tokoh – tokoh pendirinya. Kemunculan Hanura yang di ketuai oleh Jendral Wiranto – yang sebelumnya adalah Capres dari Partai Golkar – juga menunjukan persaingan ini.
Di sisi lain, tekanan dari DPD untuk mengamandemen UUD 1945, agar DPD juga mempunyai fungsi yang sama dengan DPR, menunjukan bahwa borjuasai lokal sedang bergeliat dan bertarung dengan borjuasi nasional.
Pertemuan Politik PDIP dan Golkar di Medan baru – baru ini, menurut saya lebih menegaskan semakian menguatnya pertarungan politik di antara faksi – faksi borjuis.

Dengan kosongnya kepemimpinan gerakan rakyat yang sedang melawan dan sangat mungkin berkembang menjadi huru – hara , dan di tengah persaingan politik antara antek – antek imperialis, akan ada bahaya manipulasi gerakan perlawanan rakyat oleh salah satu faksi Borjuis demi memantapkan posisinya sebagai agen imperialis ( bukankah PDIP mencari muka dengan menjadi partai oposisi, [19] PKS dengan citra bersih, PKB mencoba membangun citra sebagai partai hijau – partai peduli lingkungan – Bahkan Partai Cendana, membangun citranya sebagai Partai yang mendengar Nurani Rakyat – Partai Hanura - )

Taktik intervensi pemilu :

1. Intervensi pemilu dalam banyak pengalaman, tidak hanya dalam bentuk ikut menjadi peserta pemilu, ada bentuk intervensi lain, seperti Boikot Pemilu (menggagalkan pemilu dengan gerakan massa, demi kepentingan massa rakyat luas), atau Golput Aktif (seperti yang dilakukan oleh PRD tahun 1997 dengan mengkampanyekan Mega-Bintang-Rakyat untuk melawan Orde Baru – Gokar, Tentara, Birokrasi, Soeharto – atau seperti yang dilakukan Chavez tahun 1994, dengan mendelegitimasi pemilu dengan Propaganda Bukan Pemilu, tapi Majelis Konstituante. Kedua contoh di atas, secara nyata menunjukan keberhasilannya, Soeharto Jatuh tahun 1998 termasuk mendesak Militerisme hingga terpojok. Chaves menang pemilu di tahun 1998, dan berhasil membuat UUD yang sangat demokratis.

2. Kegagalan Papernas (dianggap demikian oleh sebagaian kawan), menjadi peserta pemilu, di sebabkan oleh 3 faktor utama, yakni :
a. Syarat pemilu yang sedemikian tidak demokrataisnya
b. Upaya menghancurkan Papernas secara fisik
c. Kemampuan Papernas menghadapi 2 hal di atas.

Semua kawan tentu saja sudah tahu(harusnya), bahwa membangun Partai Orang Miskin, Partai Alternatif, Partai Perjuangan, Partai yang anti Imperialis dan Bonekanya, pasti akan dihambat sekuat-kuatnya oleh siapapun yang menjadi musuh – musuh rakyat, sehingga seharusnya sedari awal PAPERNAS disiapkan untuk sanggup menghadapi kemungkinan ini. Jikapun kemarin, tidak ada serangan, atau dalam penstrukturan, kita mampu memenuhi syarat administrasi, maka PAPERNAS pasti lolos? Belum tentu, karena sangat mudah bagi siapapun musuh rakyat untuk menggagalkan PAPERNAS. Bisa dengan menyogok satu struktur, sehingga mundur, atau menangancam satu struktur, atau menyogok intansi terkait agar tidak meloloskan papernas, dan lain – dan lain kemungkinan. Dan kemungkinan itu selalu ada, selama PAPERNAS adalah Partai Perjuangan Rakyat Miskin.

Sekalipun terlambat dalam hal menguatkan PAPERNAS, namun bukan berati tidak bisa dilakukan kedepannya, apalagi kemunculan PAPERNAS telah memberikan harapan (dilihat dari luasnya struktur yang bisa didapat PAPERNAS) bagi rakyat, sehingga justru kedepan ini penguatan PAPERNAS menjadi keharusan, agar sanggup menanggung beban harapan rakyat miskin, yang penuh dengan rintangan, penuh dengan perjuangan, penuh dengan pengorbanan. Aksi, Pendidikan, Bacaan harus menjadi kombinasi pekerjaan penguatan, yang bermuara pada perluasan struktur.

Dengan semakin menguatnya PAPERNAS – tentu dengan dukungan rakyat yang makin meluas pula – hambatan UU maupun Respresif akan semakin sanggup diatasi, bahkan bisa dikalahkan. Atau dengan kata lain, PAPERNAS bisa ikut PEMILU atau PAPERNAS malah berhasil memimpin penggulingan Rezim sebelum pemilu.

Lalu bagaimana dengan peluang koalisi yang sebenarnya peleburan/menyatu dengan partai lain :

1. Harus di invetarisir partai mana yang bisa diajak menyatu. Tentunya berbasis pada kebijakan – kebijakan mereka selama ini terhadap rakyat miskin. Apakah ada partai yang lolos pemilu 2004, membela rakyat miskin? Tidak ada. Kalau ada, tidak perlu kita bangun PAPERNAS, cukup kita masuk ke partai tersebut.
2. Jika tidak ada partai yang membela rakyat miskin, apakah ada potensi partai yang nantinya mau membela rakyat miskin. Ini tentunya mesti dibuktikan dengan adanya kesepakatan programatik yang jelas,tegas membela rakyat miskin sekalipun tidak semua program perjuangan rakyat miskin disepakati.
3. Karena tidak semua program(apalagi karena fakta-fakta sejarah partai tersebut tidak membela rakyat miskin), maka harus ada kesepakatan di intenal PAPERNAS, bahwa PAPERNAS tetap akan melakukan kritik kepada Partai-partai yang menjadi sekutu dalam koalisi atau peleburan disamping PAPERNAS bebas melakukan aktifitas Ideologi, Politik, Organisasinya di luar hal – hal yang bisa disepakati bersama. Kesepakatan Intenal PAPERNAS ini, juga di bawa ke koalisi, dan jika tidak diterima, maka PAPERNAS harus keluar dari koalisi ini.
4. Dalam hal koalisi atau peleburan, kehendak untuk menjadikan PAPERNAS sebagai Ormas harus ditolak atau di siasati kalau mungkin. Jika UU yang mengatur koalisi atau peleburan mengharuskan PAPERNAS dibubarkan, maka dicari siasatnya agar PAPERNAS tidak bubar. Jika tidak ditemukan siasat, maka PAPERNAS harus keluar dari koalisi.
5. Jikapun semua syarat ini dipenuhi, tetap saja pekerjaan koalisi bukan pekerjaan pokok, melainkan sekunder, pekerjaan pokok PAPERNAS adalah membangun Ideologinya sendiri, Politiknya Sendiri, Membangun Organisasinya sendiri yaitu IPO pembebasan rakyat miskin.

1 Mempertahankan Politik Papernas Sebagai Alternatif

- Kehendak untuk membangun PAPERNAS sebagai PARTAI POLITIK sepenuhnya di sadari sebagai jawaban atas TIDAK ADANYA PARTAI POLITIK (tentu saja ada PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK namun kekuatannya kecil, dan PAPERNAS inipun adalah salah satu upaya PRD untuk membesarkan kekuatan RAKYAT) yang mampu memberikan jalan keluar bagi rakyat miskin Indonesia yang sedang di hancurkan oleh Imperialis (dengan kebijakan neoliberalisme) melalui boneka – bonekanya, bahkan bisa di katakan SEMUA PARTAI POLITIK di PARLEMEN adalah BONEKA-BONEKA IMPERIALIS.
- Itulah yang kemudian di rumuskan dalam Plafform Anti Imperialis ( dengan TRIPANJI) dan Program Demokratisasi termasuk budaya.
- Tentu saja kehendak ini tidak mudah, karena kekuatan politik pro imperilisme dengan berbagai cara telah dan akan terus berupaya menghancurkan PAPERNAS. serangan-serangan yang dilakukan oleh milisi-milisi reaksioner menunjukan bahwa kekuatan anti rakyat tidak menghendaki adanya PAPERNAS.
- Dengan demikian, keberadaan PAPERNAS sebagai PARTAI POLITIK sekalipun nantinya TIDAK LOLOS sebagai PESERTA PEMILU, HARUS TETAP DIPERTAHANKAN, untuk memberikan JALAN TERANG BAGI PERJUANGAN RAKYAT.

2. Mendorong Pembukaan Ruang Demokrasi Dengan Melakukan Mobilisasi–Mobilisasi Massa yang simultan dengan pendidikan dan bacaan

- Karena saat ini, demokrasi yang dibangun oleh kekuatan politik anti rakyat adalah demokrasi semu, demokrasi bagi orang kaya, maka tugas PAPERNAS adalah menjadi pelopor bagi perjuangan untuk membongkar keterbatasan dari demokrasi ( termasuk mekanisme pemilu) dan menuntut pembukaan ruang demokrasi yang lebih luas.
- Pembukaan ruang demokrasi ini, tidak bisa diletakkan dengan cara – cara lobby ataupun konspirasi elit, melainkan dengan melakukan mobilisasi – mobilisasi massa yang terorganisir.
- Dengan semakin terbukanya ruang demokrasi-sebagai hasil perlawanan rakyat yang dikobarkan oleh PAPERNAS-akan semakin memudahkan rakyat dan PAPERNAS untuk mendapatkan kemenangan-kemenangannya.
- Mobilisas massa sadar, itulah kuncinya, karena mobilisasi massa rakyat sadar, adalah sejatinya kekuatan perubahan. Mobilisasi – mobilisasi yang simultan dengan pendidikan, bacaan, akan terus meningkatkan kapasitas rakyat, meluaskan struktur dan akhirnya kekuatan besar rakyat miskin yang sanggup menentukan sejarhanya sendiri

3. Mengefektifkan Kepemimpinan Organisasi-Organisasi massa yang tergabung dalam PAPERNAS dalam perjuangan di sektornya masing – masing

- Dalam hal membesarkan PAPERNAS ( sebagai PARTAI FRONT ) maka, organisasi – organisasi yang mendukung dan terlibat dalam pembangunan Papernas selama ini, harus di dorong untuk membangun gerakan dan memimpin di sektornya masing – masing sekaligus membesarkan dirinya ( melakukan perluasan struktur)
- PAPERNAS sebagai PARTAI memberikan arah bagi perjuangan sektor yang di pimpin oleh ormas-ormas pendukung papernas. Ini salah satu kelemahan yang menonjol dalam kerja – kerja kemarin. Karena ini hanya kelemahan, maka kedepan ini bisa diperbaiki, dengan membuat rumusan yang tepat mengenai perjuangan masing – masing sektor ( tentu dengan perpesktif perjuangan teritorial )
- Potensi pembangunan ormas (ataupun ormas lokal yang telah terbentuk) hasil dari kerja pembangunan Papernas segera di satukan dengan ormas nasional. Sebagai contoh, di buruh saja, ada 3 serikat buruh yang tergabung yaitu SBTPI, FNPBI dan GSPB, namun belum terpimpin dalam satu kepemimpinan ormas, yang membuat gerak masing – masing ormas ini masih fragmentasi.

4. Mendorong Persatuan Dengan Kelompok Gerakan Lain.

- PAPERNAS sebagai Front dalam Bentuk Partai, bukanlah akhir dari pembangunan persatuan, melainkan baru tahap awal untuk membangun persatuan gerakan rakyat yang lebih luas. Oleh karena itu, ke depan, titik tekan pekerjaan pembangunan persatuan menjadi kerja utama dengan membuat panggung – pangung bersama yang terus dimajukan hingga menjadi alat persatuan yang permanen ( bisa bergabung ke papernas, bisa alat persatuan lain di mana papernas menjadi salah satu unsurnya )
- Pembangunan Front Persatuan yang lebih luas, dilakukan dengan Organisasi – Organisasi yang paling banyak irisan kesamaannya dengan papernas baik irisan programatik, irisan metode, irisan struktur maupun wilayah, sekalipun semua potensi lainnya harus tetap diajak untuk bersatu.

5. Menguatkan Intenal PAPERNAS

- Meregulerkan koran Berdikari, dan membangun komite – komite berdikari
- Membuat terbitan internal (khusus pengurus papernas)
- Membuat sekolah partai dan meregulerkan pendidikan alternatif
- Membuat satgas – satgas pengaman partai- di PKS namanya kepanduan –
- Membangun budaya mandiri dalam hal pendanaan, dalam berbagai bentuk mulai dari iuran hingga pembentukan unit usaha partai.

Catatan Kaki:
[1] Koordinator Departemen Perjuangan Rakyat DPP PAPERNAS
[2] Data statistik yang di keluarkan oleh BPS bulan mei 2007 menunjukan, bahwa saat ini ada 10,55 juta orang. Namun menurut Drajad Wibowo, jumlah pengangguran di Indonesia lebih tinggi dari data yang di keluarkan BPS. Republika Online, 16 mei 2007.
[3] Dr.Ir Eddy Yusuf dalam tulisannya di Harian Pikiran Rakyat 16 januari 2007
[4] Investasi di sektor riil dalam kurun waktu 2006, hanya 2,91 % lebih rendah di bandingkan tahun 2005 yang mencapai 10,8 %. Sementara untuk pasar saham dan modal mencapai Rp 142,5 triliun. Dana tersebut terdiri dari Rp 77,2 triliun yang ditempatkan di SUN, Rp 45,3 triliun di SBI, dan sekitar Rp 20 triliun diinvestasikan di pasar modal.
[5] Kompas, 2 juni 2007.
[6] Kompas, 3 mei 2007.
[7] Secara keseluruhan proyek syarihaisasi daerah telah meliputi 6 Propinsi, 38 Kab. 12 Kotamadya dengan total aturan syariah 8 Perda Propinsi, 6 Qanun Propinsi, 1 SK Gubernur, 41 Perda Kabupaten, 8 Surat Edaran Bupati, 7 SK Bupati, 2 Renstra (Rencana Strategis) Kabupaten, 7 Perda Kota dan 2 Intruksi Walikota. (Jurnal Reform Review,Vol I, april – juni 2007).
[8] Yang paling mendapatkan perhatian dan solidaritas adalah penembakan petani di Pasuruan oleh TNI AL, yang menyebakan terbunuhnya 4 orang petani.
[9] Yang paling sering di intimidasi adalah partai persatuan kita, PAPERNAS. Juga ada kelompok – kelompok lain yang mengalami intimidasi seperti diskusi toko buku ultimus, pertemuan eks gerwani dll.
[10] Yang terakhir (22/07) adalah pembubaran Diskusi Lintas Agama di Solo “ Membangun Ketahanan Masyarakat Sipil Tanpa Kekerasan “ oleh aparat kepolisian karena desakan dari Laskar Umat Islam Solo.
[11] Ini hanya sebagian kecil dari aksi – aksi pemblokiran jalan yang di lakukan rakyat pada tahun 2007. Belum termasuk aksi – aksi pemblokiran jalan pada tahun 2006 atau sebelumnya.
[12] Dokumen hasil – hasil konferensi nasioanal ABM juli 2006. Bisa juga di baca dalam Max Lane "Bangsa yang belum selesai, Indonesia sebelum dan sesudah Soleharto"
[13] Khusus untuk jaringan AGRA, upaya persatuan yang dilakukan masih sebatas lingkaran mereka sendiri – dan cenderung sektarian -
[14] Awalnya gagasan ini muncul pada saat pertemuan Parung, yang di fasilitasi oleh ABM dan FSPI pada bulan januari 2007, namun baru terlaksana sekarang.
[15] Sebagaian gerakan buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota dan juga LSM telah mengangkat isu penghapusan hutang luar negeri dalam aksi – aksi nya.
[16] Survey LSI bulan meret 2007 menunjukan bahwa 49,2 % rakyat (responden) menghendaki pertambangan di kelola oleh negara bukan asing. Dalam survey yang sama; 76, 7 % tidak setuju penjualan perusahaan negara ke swasta (privatisasi).
[17] Bukan karena kesungguhan untuk melawan Imperialisme, melainkan sekedar menaikan bargain di depan faksi – faksi borjuis lainnya.
[18] Survey LSI di bulan maret 2007 menunjukan bahwa 65 % responden merasa kepentingan, aspirasi, dan keinginan politiknya tak terwakili oleh sikap dan perbuatan partai politik yang ada, dan hanya 23 % yang mempunyai loyalitas terhadap partai – partai parlemen sekarang ini. Popularitas SBY – JK pun menurun tajam, dari 80% dan 77 % pada awal berkuasa, menjadi 49,7% dan 46,9%.
[19] Survey LSI yang sama juga menunjukan bahwa jika pemilihan di lakukan pada saat ini (saat survey di lakukan), maka PDIP menempati urutan pertama (19,7 %) namun masih jauh di bawah rakyat (responden) yang belum menentukan pilihan (30,6%).
Read More......

[Debat-Papernas] Kita Lanjutkan Politik Alternatif dengan Papernas dan Ormas

MW Sadmoko
(tawaran untuk Presidium nasional Papernas 29/8/07)

Ini hanya point-point yang penting untuk memilih taktik kita ke depan

- Perlawanan rakyat terus bergerak, meluas, juga meningkat metode dan serangan politiknya. Aksi massa dengan blokade jalan dan pendudukan bukan jarang lagi, aksi massa untuk penggulingan kekuasaan teritorial semakin sering, aksi massa berhari-hari dan berlanjut lain hari terus berjalan. Belum lagi menghitung potensi, seperti keresahan rakyat atas kelangkaan minyak tanah yang terjadi belakangan ini yang terus mengumpulkan massa, juga kekurangan air dan sebagainya. Inilah kenyataan saat ini, gerak yang secara umum adalah spontan, ekonomis dan masih belum tersatukan (atau masih fragmentatif).

- Di kalangan organisasi gerakan pun masih belum ada bentuk persatuan yang kokoh, sehingga muncul sebagai alternatif yang diterima rakyat secara luas. Tapi bukan sama sekali diam; ada saja bentuk-bentuk persatuan (sektoral maupun multi-sektor), ada juga perluasan struktur (seberapapun), terus juga memberikan propaganda politik melawan kekuasaan dan imperialisme, dan sebagainya. Sekali lagi ini memang belum besar (politik-organisasi), selain juga ada yang mengintegrasikan diri dengan partai besar di parlemen.

- Tentu masih lebih banyak lagi massa rakyat yang belum berlawan, sekalipun dengan himpitan persoalan yang sama. Sekaligus menjelaskan bahwa kesadaran adalah basis munculnya perlawanan, bukan semata karena himpitan persoalan. Itulah kenapa gerak rakyat melawan penindasan Belanda, juga Soeharto-Orde Baru, tidak sejak adanya penindasan itu sendiri, tapi sejak kesadaran berlawan menguat dan membentuk tindakan perlawanan. Menjadi perlawanan pun, membutuhkan kesadaran baru lagi, untuk menjadi perlawanan yang politis.

- Kehendak perubahan yang disodorkan kalangan gerakan secara politik pasti lebih maju. Banyak kelemahan politik di kalangan gerakan, dalam hal program dan stratak, tidak bisa dianggap bahwa belum ada kesadaran merubah kekuasaan dan kehendak berkuasa itu sendiri. Begitu ada kesadaran dan kehendak berkuasa, memang belum sekaligus bermakna adanya kesanggupan dan ketepatan membangun kesanggupan tersebut. Upaya membangun kesanggupan memenangkan politik misalnya, terpenting bagi organisasi dan persatuan organisasi gerakan adalah memenangkan dukungan dari massa rakyat luas, dengan berbagai bentuk taktik. Namun dalam hal taktik ini, secara umum organisasi gerakan tidak memilih taktik parlementer.

- Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) didirikan untuk menjadi partai alternatif bagi rakyat, tapi tanpa keterlibatan dan dukungan organisasi gerakan yang luas. Perluasan telah dijalankan dan menghasilkan banyak struktur, tapi belum cukup untuk memenuhi syarat dari negara, sebagai peserta pemilu. Hambatan terhadap Papernas jelas, baik berupa undang-undang yang selalu memberikan syarat yang sangat berat (dan mengarah lebih berat lagi), maupun secara khusus adanya represi terhadap Papernas, juga hambatan yang lain. Namun sejak awal kita menyadari sepenuhnya, selalu saja akan ada hambatan bagi kehendak rakyat membangun sistem kekuasaannya. Sejak awal juga kita tahu bahwa mengatasi hambatan ini utamanya adalah dari seberapa besar kekuatan Papernas, seberapa besar dukungan rakyat terhadap Papernas, tidak ada jalan lain. Sebab nanti sudah besarpun, nanti sudah berkuasa pun, hambatan dari kekuatan politik anti rakyat dan anti Papernas terus saja akan datang. Sehingga terang bagi kita, Papernas tidak sanggup menjadi peserta pemilu adalah karena kurang besarnya kekuatan kita untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Dengan kata lain, politik kita, politik rakyat miskin, politik Papernas, untuk sanggup ditampilkan sepenuhnya sebagai salah satu pilihan bagi rakyat dalam pemilu, adalah hanya dengan bekerja untuk mendapatkan dukungan rakyat. Karena untuk membangun sistem yang menguntungkan rakyat miskin harus dibangun pemerintahan rakyat miskin, yang untuk itu membutuhkan dijalankannya politik rakyat miskin dengan kekuatan utama adanya kekuatan rakyat miskin itu sendiri, yang untuk itu membutuhkan partai yang sebenar-benarnya adalah partainya rakyat miskin sendiri.

- Di tengah ketidaksanggupan Papernas menjadi peserta pemilu 2009, datang peluang koalisi dengan PBR dan Pelopor. Semakin hari semakin jelas peluang ini, dan tepatnya adalah peluang penggabungan atau merger atau fusi partai, bersama dua partai yang sekarang sudah duduk di DPR/DPRD. Peluang ini jika diambil akan memungkinkan Papernas menjadi bagian dari satu partai yang bisa mengikuti pemilu 09 tanpa harus verifikasi, Depkumham maupun KPU. Jika undang-undang pemilu nanti membolehkan bentuk penggabungan ini, dan Papernas masuk dalam fusi ini, maka dengan atas nama PBR, caleg-caleg dari Papernas memungkinkan tampil dalam pemilu dan memungkinkan duduk di DPR atau DPRD.

- Peluang penggabungan Papernas ke partai lain (baik partai yang sudah ada di parlemen maupun partai baru) mungkin saja lebih dari satu. Bahkan sejak awal sebelum mendirikan Papernas, bisa saja persatuan organisasi dan individu dalam Papernas sekarang memilih untuk masuk dan menjadi bagian dari partai lain yang lebih mungkin sebagai peserta pemilu. Jika ini dilakukan sejak awal tentu saja tidak diperlukan kerja keras penstrukturan mengejar syarat negara, mungkin juga tidak perlu mendapatkan represi dari kalompok reaksioner. Atau sejak awal kalaupun melakukan perluasan dan mobilisasi politik, secukupnya saja untuk memperbesar peluang penggabungan ke partai lain, karena semakin luas struktur semakin juga posisi dihargai.

- Namun sejak awal posisi kita adalah membangun Papernas (dengan Tri Panji dan program mendesak rakyat), mendirikan partai sendiri, meluaskan struktur dengan sekuat tenaga dari setiap massa rakyat yang mendukung partai dan program partai, dan bukan mencari-cari untuk dipilih mana partai lain yang bisa kita bergabung. Posisi ini menjelaskan sekaligus apa kepentingan politik-organisasi kita, dalam upaya membangun kekuatan alternatif bagi rakyat. Dari semua partai yang ada sekarang, yang stabil ataupun tidak stabil ataupun yang sedang ada perubahan internal, kita anggap tidak bisa menjadi kekuatan alternatif itu sendiri. Kita tidak memilih mana partai yang kalau dimasuki akan sanggup menjadi partai alternatif, tidak, tidak begitu karena memang tidak ada yang sanggup demikian. Kita mendirikan Papernas karena tidak ada partai lain yang sanggup menjawab persoalan rakyat, kita mendirikan Papernas karena tidak ada partai yang kalau kita masuk didalamnya akan menjadi partai yang sanggup memberikan jalan keluar bagi rakyat. Kualitas partai-partai lain ini tidak akan mudah berubah, bahkan situasi politik besar pun belum tentu bisa merubahnya (ingat pengalaman PDI, kemudian jadi PDIP, pengalaman politik massanya melawan kediktatoran Soeharto luar biasa besar, tapi politik PDIP tetap saja seperti sekarang, kalaupun ada Budiman hanyalah Budiman yang mengusung politik PDIP dan bukan sebaliknya). Apalagi hanya karena Papernas gagal jadi peserta pemilu, tentu jauh dari kesanggupan untuk mengubah partai lain menjadi partai rakyat, partai alternatif, partai yang ke depan akan memberikan jalan keluar bagi persoalan rakyat.

- Peluang penggabungan ke partai lain mungkin saja memberikan keuntungan politik, atau ada manfaat politik jika diambil oleh Papernas. Di sisi lain mungkin juga memberikan kerugian politik-organisasi bagi Papernas dan bagi perjuangan rakyat memenangkan kepentingannya. Dengan cermat seluruh anggota Papernas harus membuat kajian dan penilaian dalam hal ini. Bekerja sama dengan kaum borjuasi memang selalu harus dalam kajian yang mendalam, bukan karena ketakutan personal kita saja, tapi lebih penting adalah untuk memastikan bahwa politik rakyat tidak dirugikan dalam kerja sama atau persatuan tersebut. Apalagi persatuan dengan borjuasi yang dalam pengalaman sebelumnya tidak pernah menjadi bagian dari gerakan rakyat memperjuangkan kepentingan rakyat. Apalagi persatuan dengan borjuasi untuk lolos pemilu. Sebab sangat berbeda persatuan antara kekuatan rakyat dengan kekuatan borjuasi untuk menyerang musuh yang lebih besar, atau persatuan dengan berjuasi ketika sudah di parlemen atau pemerintahan untuk satu program yang juga penting bagi rakyat, dibandingkan dengan persatuan lolos pemilu, dibandingkan dengan persatuan untuk masuk parlemen.

- Partai gabungan ini, dengan Papernas di dalamnya, kalaupun dilakukan tentu saja adalah merupakan arena kompromi bagi kita, sebagai arena minimum bagi Papernas. Tentulah ini bukan persatuan demokratik dari kekuatan politik yang selama ini memperjuangkan kepentingan rakyat (di jalanan maupun di parlemen), tentu saja hanya sebagian saja politik Papernas bisa diusung dalam alat ini. Sehingga jelas tidak bisa kita meninggalkan alat perjuangan kita sendiri, menanggalkan politik kita sendiri, dan hanya menyandarkan pada partai fusi ini.

- Peluang fusi ke partai lain akan memberikan keuntungan dan bisa dilakukan hanya jika:
1. Di luar partai fusi ini, Papernas dan ormas-ormas terus bisa leluasa menjalankan politiknya sendiri. Papernas tetap sebagai partai politik dan terus mengusung politiknya secara utuh, tanpa ada pergantian/penghalusan program, juga dalam istilah-istilah. Dengan disangga oleh efektifitas politik-organisasi ormas, Papernas akan tetap mengambil propaganda di ajang-ajang radikalisasi yang besar (misalnya dalam radikalisasi 3 bulanan dari lintas ormas). Perluasan struktur dan massa Papernas tetap jalan terutama dari perluasan ormas, sekalipun tidak harus ada plang nama sekalipun. (Hati-hati dengan perubahan nama Papernas, karena kalau diumumkan ke rakyat sudah bukan sebagai Partai, sebagai partai hanya dalam hati masing-masing anggota, itu sama saja sudah membubarkan Papernas sebagai partai politik. Bahkan perubahan namapun harus dengan Kongres)
2. Fusi dilakukan dengan landasan kesepakatan program yang jelas. Seberapapun yang disepakati (kita sadar atas keterbatasan ini) oleh partai fusi, haruslah jelas atau tidak abstrak sehingga mudah dipahami rakyat (program abstrak misalnya: Perlindungan Kekayaan Alam. Biar tidak dikira organisasi lingkungan). Termasuk di dalamnya adalah program tentang demokrasi.
3. Jika ada struktur teritorial partai fusi tidak menjalankan program bersama, atau bahkan bertentangan, kita (Papernas dan ormas) di teritori tersebut berhak tidak mendukung dan bahkan mengkritik. Jika banyak struktur partai fusi bertentangan dengan program bersama, maka Papernas harus keluar dari partai fusi.
4. Keleluasaan Papernas dalam partai fusi harus tertuang dalam MoU. Dan sebelum kesepakatan tertulis dilakukan, maka fusi belum bisa dijalankan.
5. Target utama kita dalam partai fusi adalah propaganda, supaya membantu atau mendorong dan memberi keuntungan bagi politik kita di luar partai fusi. Efektifitas politik partai fusi selanjutnya akan diteruskan dan memperbesar politik Papernas atau ormas.

- Kekuatan utama organisasi Papernas dan ormas adalah mengembangkan struktur ormas, menjalankan politik ormas, sekaligus menopang perluasan politik-organisasi Papernas. Secara nasional semua ormas akan melaksanakan radikalisasi 3 bulanan (bukan semata jadwal, tapi konsep pembesaran politik dan organisasi, seperti pengalaman DKI). Efektifitas pelaksanaan radikalisasi 3 bulanan ini, dengan capaian politik dan organisasi, adalah memungkinkan sekaligus menjadi basis suara bagi caleg kita di partai fusi (bukan radikalisasi untuk caleg, tapi radikalisasi karena politik rakyat yang sebenarnya, yang bisa diambil untung untuk basis suara caleg).

- Tidak perlu dilaksanakan konsentrasi tenaga secara nasional untuk partai fusi, termasuk di dapil kita, karena akan menggangu perkembangan organisasi secara nasional, termasuk ormas yang telah sekian lama tidak melaksanakan radikalisasi dan penguatan internal.

- Penguatan politik dan organisasi ormas dan Papernas, dilakukan dengan melaksanakan radikalisasi 3 bulanan (lihat pengalaman DKI). Radikalisasi bisa dimulai dari aksi bulan Januari 2008, serentak di semua wilayah, dengan peluang di pemilu (partai fusi) sebagai salah satu mimbarnya.

Sekilas Belajar dari Pengalaman DKI Menjalankan Radikalisasi Tiga (3) Bulanan

Mari kita mulai dari bagaimana konsep radikalisasi 3 bulanan di DKI, terutama SRMK. Inilah juga penopang kampanye nasional Papernas, dengan mobilisasi ribuan. Kepentingan utama dari pelaksanaan radikalisasi 3 bulanan ini adalah terjadinya mobilisasi dan terjadi peningkatan kesadaran massa. Pertama mobilisasi, adalah wujud dari perluasan struktur dan massa yang menunjukkan kesanggupan rakyat untuk memenangkan kepentingannya. Basis mobilisasi adalah adalah dari struktur sendiri yang sudah ada, teritori perluasan, dan massa dari front. Mimbar bagi mobilisasi ini pada prinsipnya adalah setiap peluang yang paling memungkinkan, untuk membangun kekuatan revolusi. Termasuk di dalamnya, secara konsep, sebenarnya adalah mimbar dari arena elektoral. Tentu saja bukan sebaliknya, diarahkan untuk elektoral, tapi mimbar elektoral untuk memperkuat barisan revolusioner. Kedua peningkatan kesadaran, yang diolah dari kebutuhan mendesak rakyat dan selanjutnya kesanggupan rakyat melawan. Terhadap persoalan yang sedang dihadapi rakyat, sampai bentuk konkret yang menghimpit, diletakkan pada arah politik sejati. Dalam proses berlawan yang terus berlanjut, terus sampai pada program lebih maju, dengan diletakkan pada kesanggupan massa yang lebih siap (massa dilibatkan merumuskan apa persoalan yang hendak diangkat, sekaligus diberi ruang untuk berpendapat tentang kesanggupan mengusung isu).

Tahapan

Investigasi

Tahap investigasi adalah bentuk kerja bertanya kepada rakyat (dengan angket, tanya langsung, atau bahkan dengan ngobrol santai), dengan sasaran di basis sendiri, di daerah perluasan, juga di teritori geo-politik. Dari investigasi ini sekaligus adalah mematerialkan penerimaan massa tentang kesimpulan organisasi mengenai persoalan rakyat yang penting segera diangkat, dan kesanggupan perlawanan massa. Dengan kata lain, untuk bisa mengatasi persoalan rakyat dengan kekuatan rakyat sendiri.
Investigasi ini dijalankan bertingkat dalam hal isi: dari persoalan paling mendesak, persoalan yang tidak mendesak, sampai pada persoalan politik. Aksi pertama belum sebut SBY gagal, baru di aksi kedua. Dari hasil investigasi, disimpulkan arah kesanggupan mobilisasi massa, sekaligus isi politik yang harus semakin dikembangkan. Untuk kepentingan radikalisasi multisektor, investigasi dari basis sektoral baru kemudian diatur, dalam kepentingan untuk adanya . kesadaran politis dan multisektor.

Penyadaran

Tahap penyadaran ini intinya adalah mengobati kesadaran rendah (sektarian, takut dll), juga menyadarkan isu yang akan dituntut (dari hasil investigasi). Dalam tahap ini, isu yang disodorkan harus komprehensif, sekaligus menegaskan bahwa jalan keluar yang dibutuhkan bukan di elit atau pemerintah, tapi dari perjuangan rakyat sendiri. Secara umum penyadaran ini berupa penyadaran kognitif dan penyadaran metode proletariat: aksi massa. Bentuk di masa penyadaran ini bisa macam-macam (seminar, diskusi, selebaran, film dll), dari yang reformis sampai yang revolusioner (termasuk dalam bentuk aksi-aksi, selama tidak mengganggu aksi 3 bulanan itu sendiri). Dalam masa inilah arah revolusi terus dipropagandakan, sehingga misalnya membuat diskusi dengan mendatangkan elit DPR, massa akan tagihkan kepentingannya, sekaligus menyadari mana yang reformis dan mana yang revolusioner, tanpa ada lagi ketakutan untuk bertemu dengan siapapun. Inilah juga upaya menghindari jeratan arena moderat dan sogokan penguasa (BLT, Gakin, dsb, yang jelas reformis tapi efektif mewadahi massa itu). Kepada massa harus jelas, bahwa pengobatan penyakit/persoalan massa ini harus revolusioner.

Mobilisasi

Tahap mobilisasi adalah tahap yang menjadi patokan keberhasilan dukungan massa, sebelum bergerak dalam aksi. Massa sanggup/siap aksi harus jelas, ternyatakan, bahkan dengan tanda tangan. Dalam masa ini isu yang akan diangkat diperjelas, supaya seluruh peserta aksi tahu konkret sampai redaksional isu yang diangkat (setelah massa didiskusikan dalam masa penyadaran). Aksi berjalan dari massa siap aksi tersebut. Secara lengkap setting aksi disampaikan ke massa.

Selain tiga tahap di atas, ada pekerjaan yang dikerjakan simultan sejak tahap awal, yaitu front dan dana juang.

Manajemen diatur dalam bentuk waktu 3 bulan dibagi menjadi Tahap Penyadaran 75% dari 90 hari, kemudian Investigasi dan mobilisasi 25% (biasanya investigasi 10% dan mobilisasi 15% dari waktu 90 hari)

Kemudian Aksi

Paska aksi, keseluruhan hasil proses semua dilihat: Front, Perluasan, Dana juang, Pendidikan, Papernas, Mahardhika dan Jaker, Manajemen, Badan urusan kontradiksi, Unit usaha. Dan kemudian membuat dan menjadwalkan Konferensi Stratak.***
Read More......

[Papernas] Indonesia: Perjuangan Melawan Ketertinggalan*

* Satu-satunya statement terbuka PRD-PAPERNAS yang menyatakan rencananya untuk 'berkoalisi' dengan partai Islam borjuasi. Sejauh ini tidak ada pernyataan terbuka serupa di media nasional terhadap rencana tersebut.

Green Left Weekly, 7 Desember 2007
Jonathan Strauss

Dita Sari, ketua majelis pertimbangan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) serta anggota majelis pertimbangan Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), berbicara pada Green Left Weekly, disela-sela forum Latin America and Asia Pacific International Solidarity (LAAPIS) yang diselenggarakan di Melbourne dari tanggal 11-14 Oktober, mengenai perjuangan kaum buruh Indonesia.

Sari menjelaskan bahwa kampanye industrial yang pokok di Indonesia saat ini adalah melawan upaya pemerintah mengurangi pesangon kaum buruh yang menerima upah lebih tinggi, yang dinilai diskriminatif, serta memudahkan pemehakaan terhadap buruh. Namun, menurutnya, Papernas juga mencoba mengajak kaum buruh melakukan pendekatan yang lebih politis dan mensukseskannya pada kampanye partai yang lebih luas.

Sari mengatakan: “Salah satu kampanye utama Papernas adalah mengatasi keterbelakangan dan mendorong pembangunan ekonomi dan industri nasional, agar lebih mengandalkan pada sumber daya ekonomi nasional, daripada bergantung pada investasi asing. Kami ingin kaum buruh mendukung program ekonomi ini dan meletakkan tuntutan mendesaknya di dalam kerangka tersebut.”

Pembangunan Nasional

“Menurut kami, jika ekonomi nasional begitu besar bergantung pada investor asing, kondisi buruh akan bertambah buruk. Investor-investor (tersebut) menginginkan liberalisasi dan ‘fleksibelitas tenaga kerja’. Kami ingin kaum buruh menyadari bahwa ini bukan saja sekedar tuntutan mendesak di dalam pabrik, namun juga menyangkut bagaimana cara agar kaum buruh berkontribusi dan memainkan peran yang signifikan dalam melindungi industri nasional kami.”

Ini merupakan bagian dari program Papernas, lanjut Dita, yang menuntut agar mempertimbangkan peluang, jika akan menguntungkan kerja partai, untuk melakukan aliansi taktis terbatas dengan para pemilik bisnis skala kecil dan menengah. “Mereka juga diserang oleh investasi asing dan kebijakan pemerintah dengan kejam. Distribusi dan jaringan mereka dihancurkan untuk memberikan jalan bagi investasi asing.”

Sari menjelaskan bahwa membangun ekonomi nasional berarti membangun kontrol berskala lebih luas terhadap perusahaan-perusahaan dan menata ulang orientasi ekonomi negeri.

“Semua orang yang berada di dalam kekuasaan politik”, ia berpendapat, “harus memastikan seluruh kontrak dengan perusahaan-perusahaan pertambangan, khususnya minyak dan gas, yang merupakan sumber energi utama kita, ditinjau ulang”. Pajak-pajak terhadap perusahaan-perusahaan tersebut harus dinaikkan. “termasuk apa yang harus dilakukan perusahan-perusahaan tersebut untuk melindungi lingkungan, demikian pula tanggung jawab sosial mereka—apa yang harus mereka keluarkan untuk sekolah-sekolah dan pembangunan infrastruktur di daerah tersebut. Tanggung jawab pemerintah terhadap cost recovery, khususnya bagi perusahaan minyak, harus dikurangi, karena perusahaan-perusahaan tersebut mengambil untung lebih dari sini dan membayar royalti lebih sedikit. Juga, seharusnya tidak ada pelanggaran hak azasi manusia, khususnya terhadap masyarakat pribumi.”

Sari mengatakan: “salah satu hal terpenting adalah transfer teknologi. Perusahaan-perusaahan barat beroperasi di negeri kami selama bertahun-tahun, namun mereka tidak mau mentransfer teknologi. Mereka mambuat kami bergantung pada teknologi mereka. Dalam lima atau sepuluh tahun harus ada suatu transfer teknologi. Ini harus termasuk di dalam kontrak.”

Sari juga mengemukakan mengenai konsentrasi untuk meningkatkan pertanian. “anda harus memroduksi paling tidak makanan pokok yang anda makan. Anda tak bisa begitu saja melakukan impor.” Dampak impor barang-barang adalah satu hal, karena bertambahnya ancaman kehancuran bagi seluruh sektor, termasuk beras. Kebijakan (produksi makanan pokok) ini juga akan mengatasi pengangguran, yang menjadi persoalan utama di pedesaan.”

Sari membandingkan pembangunan pertanian dengan produksi tekstil, pakaian, dan alas kaki. “Sudah terlalu banyak (produksi yang demikian). Perubahan orientasi ekonomi semacam ini sangat penting.”

Kedudukan pemerintahan yang sangat pro-neoliberal, lanjut Sari, merupakan halangan utama untuk mengatasi persoalan-persoalan ini. “(Peremerintah ini) sangat mudah mengatakan ya terhadap banyak proposal dari berbagai institusi keuangan internasional, pemerintah-pemerintah serta perusahaan asing.”

Papernas juga menghadapi lebih banyak persoalan mendesak dalam kampanyenya. Sari mengatakan: “Banyak aktivitas kampanye, konferensi dan bahkan pertemuan internal kami diserang, terkadang secara fisik, oleh kelompok-kelompok yang menamakan diri Islam.”

Fragmentasi sosial, khususnya dalam gerakan, juga merupakan hambatan untuk berkampanye. “Semua orang terpecah-pecah. Semua orang sibuk dengan isu, pertemuan, dan aktivitas harian mereka sendiri-sendiri, seperti urusannya sehari-hari.” Sari mengatakan bahwa memecahkan persoalan ini adalah suatu tantangan. “Kami terus mengetuk pintu-pintu itu. Kami terus mengajak Ayo, Ayo, Ayo, kepada gerakan sosial.”

“Namun saat ini”, Sari melanjutkan, “kami juga memfokuskan pada pembangunan partai, dan membangun suatu koalisi dengan partai lain, yang tidak kiri, revolusioner, atau progressif, namun dalam tingkatan tertentu dapat menerima program kami, sehingga kami dapat berkampanye melalui struktur mereka; bersama basis massanya; memberikan mereka pengertian terhadap program kami; serta mengorganisir dan berkampanye diantara massa dalam kerangka itu.

“Sebelumnya kami memfokuskan kampanye diantara gerakan sosial. Namun kami lihat gerakan sosial sangat terfragmentasi dan kadang sangat sektarian serta apolitis. Apa yang hendak kami lakukan sekarang adalah mengkampanyekan program kami diantara basis massa dan struktur-struktur partai Islam ini yang hendak kami targetkan untuk suatu koalisi.

Menjangkau Massa

“Kami mencari taktik-taktik untuk menjangkau massa. Massa tak hanya di dalam gerakan sosial dan kelompok-kelompoknya. Sebagian besar massa tidak tersentuh oleh gerakan sosial. Kami sedang memikirkan bagaimana menemukan suatu cara agar dapat menjangkau massa tersebut: dengan cara apa, apa alatnya, apa medianya, apa jembatan kepada massa? Lalu kami melihat peluang bersama dengan partai Islam yang menawarkan kami suatu koalisi.

Mereka jauh lebih besar dari kami. Mereka memiliki 14 kursi di DPR, 190 kursi di DPRD, dan 2,8 juta orang yang memilih mereka. Bekerja di dalamnya akan memberi kami suatu cara untuk menjangkau massa dan membuat pesan kami didengar.”

Berbicara (dalam forum) LAAPIS, Sari mengusulkan suatu gagasan mengenai transformasi dari gerakan sosial menjadi gerakan politik. Ia menjelaskan bahwa hal ini bermakna dua hal: “Dalam gerakan sosial itu sendiri, harus ada suatu upaya yang kami lakukan sehingga mereka dapat mengubah cara pandang terhadap politik. Anda tak bisa hanya sebagai kelompok penekan yang melakukan mobilisasi setiap kali (Presiden Amerika Serikat) George Bush atau WTO datang. Anda tak bisa hanya melakukan itu, berdemonstrasi untuk setiap kebijakan pemerintahan baru. Anda harus maju menjadi gerakan yang lebih politis.

“Dan (hal lainnya) adalah bekerja untuk menemukan peluang lain dalam melakukan aliansi serta mendorongnya untuk lebih terpolitisasi. Kami ingin mengatakan bahwa gerakan sosial bukanlah satu-satunya peluang untuk melakukan aliansi dan berbicara pada massa.”

Dalam konferensi, Sari menekankan “dalam hal taktik-taktik baru yang sedang kami coba untuk membangun kiri dan membuat kiri didengar serta mendapatkan basis yang solid, kami (dapat) menjelaskan jalan dan taktik kami, serta dinamika politik dan sosial di Indonesia. Kami menerima masukan, kritisisme, dan gagasan-gagasan dari kawan-kawan di seluruh dunia mengenai taktik ‘kontroversial’ kami ini.

Sari menjelaskan bahwa taktik koalisi dengan partai Islam telah terbukti kontroversial. Sari mengatakan bahwa ia ingin “mengingatkan kawan-kawan bahwa (Partai Rakyat Demokratik—kelompok utama yang membentuk Papernas) melakukan aliansi semasa rejim borjuis Gusdur, yang memiliki karakter yang lebih demokratik. Terdapat banyak kritisisme terhadap kami di masa itu dan bahkan sekarang.

Kami memiliki jalan baru ini, yang menurut kami sesuai dengan perjuangan kami. Kami ingin kawan-kawan lainnya mendengar, memahami, dan memperdebatkan hal ini.

Dari: International News, Green Left Weekly issue No. 735, 12 Desember 2007.

Read More......

29 Januari 2008

[Sikap] Tanggung Jawab KPRM-PRD kepada Rakyat dan Gerakan Demokratik

KOMITE POLITIK RAKYAT MISKIN – PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK
(KPRM – PRD)

pembebasan.kprm@gmail.com; www.kprm-prd.blogspot.com


Kebangkitan demokratik kini adalah suatu kenyataan yang tak terbantahkan.
Ia sedang maju dengan kesulitan yang lebih besar, dengan langkah yang lebih lambat
dan mele­wati jalur yang lebih ruwet ketimbang yang kita bayang­kan,
akan tetapi, walaupun demikian, ia sedang maju.


Tanggung Jawab KPRM-PRD kepada Rakyat dan Gerakan Demokratik Menolak Politik Kooptasi/Kooperasi dengan Sisa-sisa Lama, Tentara dan Reformis Gadungan; Bersatu, Tegakkan Politik (Alternatif) Rakyat Miskin!

Pasca penjatuhan Soeharto di tahun 1998, PRD telah menyadari bahwa tuntasnya reformasi, hanya bisa dilakukan jika sisa-sisa kekuatan lama (yakni Golkar dan Tentara) berhasil dikalahkan oleh kekuatan rakyat namun, sayangnya, bukan saja kekuatan lama tersebut tidak berhasil dihancurkan, kekuataan reformis pun, yang termanifestasikan dalam partai-partai politik baru, semakin menunjukan watak aslinya, yang tidak berbeda dengan kekuatan lama dalam kepentingan mengabdi pada modal barat yang sedang menjajah rakyat Indonesia. Dengan demikian, saat ini, bukan saja sisa-sisa lama yang menjadi musuh rakyat, melainkan juga kekuatan reformis gadungan.

Terhadap situasi ekonomi-politik sekarang, kaum gerakan dituntut untuk sanggup me­neliti, menyimpulkan dan mengambil tanggung jawab. Rakyat semakin hari bertambah gamblang mengerti atas bertumpuknya persoalan yang nyata mereka hadapi. Semakin terbuka pula bagi kaum gerakan untuk menjelaskan kaitan persoalan sehari-hari rakyat dengan jaring penindasan imperialisme, bahkan bisa melampui atau menembus beribu ilusi yang terus dipertebal demi menutupi ketertundukan penguasa terhadap kepentingan imperialisme. Sekaligus terdapat harapan perubahan sejati bagi rakyat, bila kekua­tan rakyat sendiri (dengan kaum gerakan di dalamnya) sanggup mencipta jaring perlawa­nan rakyat, yang luas dan semakin menyatu.

Politik rakyat miskin dalam wujud nyatanya adalah perluasan dan penyatuan perlawanan rakyat, penyatuan mobilisasi-mobilisasi rakyat dengan mengusung tuntutan dan jalan keluar persoalan ekonomi-politik rakyat. Mobilisasi ini harus terus meluas dan mengisi setiap ajang politik rakyat, dan pemilu hanya lah salah satunya. Namun apapun ekspresi politik rakyat miskin, hal utama yang tidak boleh dikompromikan ada­lah posisi untuk TIDAK dicampuri, TIDAK disubordinasi atau lepas dari pengaruh, dan (apalagi) TIDAK boleh dileburkan, dengan kekuatan pemerintah agen imperialis, tentara, sisa ORBA dan reformis gadungan. Ya, politik rakyat miskin adalah politik altenatif (tandingan terhadap politik pro penjajah) yang berbasiskan pada kekuatan perlawanan rakyat sendiri, dengan prinsip non-kooperasi dan non-kooptasi dalam berhadapan dengan musuh-musuh rakyat (Imperialisme dan agen-agennya)
Sesulit apapun, pembangun kekuatan perlawanan rakyat harus tetap dikerjakan, harus diatasi dan tidak boleh dihindari. Karena itu semua unsur kekuatan gerakan sebaiknya menyumbangkan strategi-taktik dan metode (yang terus bisa dikembangkan) untuk memperluas kekuatan perlawanan rakyat, membangun kesadaran politik, sekaligus mewujudkannya dalam metode perjuangan rakyat: menuntut dengan mobilisasi massa. (Dan kami, dengan rendah hati berusaha menyumbangkan metode pengorganisasian gerakan tiga bulanan yang, tentu saja harus disempurnakan kembali oleh sumbangan berbagai unsur gerakan. Lihat PEMBEBASAN, No.1, Tahun 1, Januari, 2008.) Dan, atas nama kemudahan-kemudahan untuk berkuasa (dengan alasan bisa melakuakan revolusi dari atas), termasuk menjadi parle­mentaris-oportunis, sejatinya sudah menanggalkan arah sejati perjuangan rakyat, sudah melepaskan diri dari politik kerakyatan.

Politik (alternatif) Rakyat Miskin adalah posisi politik Partai Rakyat Demokratik (PRD) sejak awal berdirinya. Politik yang meletakkan perubahan dan kemenangan rakyat dilandaskan pada kekuatan sendiri, berdasar kekuatan gerakan. Posisi politik tersebut juga lah yang ditanggalkan oleh sebagian Pimpinan PRD [1] saat ini—yang menyebut diri sebagai kaum mayoritas dalam PRD—seiring dengan kepentingan mereka untuk meleburkan PAPERNAS [2] (secara ideologi, politik, organisasi) ke dalam persatuan pemilu bersama partai kaum reformis gadungan dan sekutu pemerintahan agen imperialis, demi mendapatkan kesem­patan masuk parlemen. Karenanya, kami, yang menamakan diri Komite Politik Rakyat Miskin (KPRM)–PRD, adalah sebagian PRD yang menolak menanggalkan politik rakyat miskin, menolak politik parlementaris semata, yang meninggalkan gerakan ekstra parlemen—apalagi politik parlementaris-oportunis.

Politik parlementer, yang kami pahami, adalah politik yang memanfaatkan parlemen untuk memperbesar kekuatan ekstraparlemen, karena sejatinya parlemen sekarang memiliki keterbatasan-keterbatasan untuk memperjuangkan rakyat miskin Indonesia, dan keterbatasan itu hanya bisa didobrak dengan kekuatan ekstraperlemen. Oleh karena itu kami MENOLAK politik parlementer (atas nama JALAN BARU – GERAKAN BANTING SETIR; MERUBAH DARI DALAM) yang mengkanalisasi potensi perjuangan rakyat hanya pada kotak-kotak suara; menumpulkan daya juang rakyat dengan ilusi ‘perubahan dari atas’ – ‘perubahan dari parlemen’; menghancurkan alat politik (alternatif) rakyat dengan mensubordinasikannya pada partai-partai reformis gadungan; menghina martabat rakyat dengan mendudukkannya semeja dengan kekuatan Sisa-sisa Lama, Tentara, dan Reformis Gadungan. Inilah yang kami sebut sebagai politik parlementer oportunis.

KPRM–PRD berdiri memang dimulai dari paksaan (yang, dengan kekuatan otoritas-mayoritas Pimpinan PRD, ke­mudian menjadi keputusan resmi internal PRD) mendesakan terjadinya perpecahan/pembelahan dalam partai atas posisi politik mendukung politik parlementaris-opurtunis atau sebaliknya‒mendukung politik pembangunan gerakan rakyat. Sekarang, posisi tidak demokratik atas pembelahan oleh pimpinan (mayoritas) PRD tersebut sudah kami mengerti sebagai kelaziman yang harus mereka lakukan (sebagai konskwensi posisi politik oprtunisnya); selanjutnya, yang lebih penting bagi KPRM-PRD, adalah berposisi nyata dalam pembangunan politik (alternatif) rakyat miskin bersama kekuatan gerakan rakyat lainnya: PERSATUAN.

Namun demikian, bukan berarti KPRM-PRD berlepas tangan terhadap kehancuran politik kerakyatan PRD, karena seiring dengan dinamika pembangunan gerakan rakyat, sekaligus kami akan lanjutkan dan kuatkan perjuangan internal untuk mengembalikan PRD (dan PAPERNAS) sebagai alat perjuangan politik rakyat miskin. [3] Karena, lewat berbagai cara yang tidak demokratik (sepihak), massa pendukung PRD dan Papernas dibuat tidak (lagi) sepenuhnya mengerti dengan baik--atau tidak bisa menerima berbagai informasi dari berbagai pihak--akan kemana nasib mereka dipertaruhkan demi menjadi peserta pemilu 2009. Mereka tak (lagi) ditanya pendapatnya; dipersempit ruang perdebatannya, untuk turut menentukan arah politiknya di tahun 2009. Massa (bawah) tak diberikan pertanggungjawaban mengapa peluang ‘koalisi’, yang sebelumnya dikabarkan (seolah-olah) begitu besar dan nyata, ternyata gagal di tengah jalan (sebagaimana telah kami peringatkan sebelumnya); dan, bahkan kini bergerak pada ‘peluang koalisi’ lainnya tanpa ada kepentingan untuk mengkonsultasikan pada massa pendukungnya (melanggar janjinya sendiri: bahwa bila peluang koalisi yang pertama gagal maka akan diselenggerakan pertemuan Presidium Nasional kembali). Tentu, kami tidak boleh lepas tangan dari situasi ini.


KOMITE POLITIK RAKYAT MISKIN – PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK
(KPRM – PRD)

Jakarta, 31 januari 2008

ZELY ARIANE

Juru Bicara

Catatan Kaki:
[1] Termasuk semua Ketua Umum PRD yang sudah dikooptasi oleh elit-elit, kelompok-kelompok, partai-partai kaum reformis gadungan.
[2] Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS) yang didirikan oleh PRD bersama beberapa organisasi massa.
[3] Saat ini, politik (alternatif) rakyat miskin PRD-PAPERNAS sudah terkonsolidasi di Sumatra Utara, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jogjakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Kalimantan Timur, dan Papua.
Read More......

[Sikap] Tolak instruksi pengibaran bendera setengah tiang

PERNYATAAN SIKAP
PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA

Tolak instruksi pengibaran bendera setengah tiang !!!
Tolak status kepahlawanan bagi Soeharto !!!
Usut tuntas kasus pelanggaran HAM masa lalu !!!

Pada tanggal 27 Januari 2008, Soeharto telah meninggal dunia. Rencana pemakaman pun ditetapkan pada tanggal 28 Januari 2008 di Astana Giribangun, Karang Anyar. Seluruh media massa elektronik sejak pagi menyiarkan secara langsung prosesi pemberangkatan jenazah Soeharto ke Solo dan pemakaman di Astana Giribangun.

Penggelumbungan opini bahwa Soeharto merupakan pahlawan bagi Indonesia yang harus diingat jasa-jasanya semakin meningkat. Mulai ketika Soeharto sakit sampai meninggalnya Soeharto, selalu saja beberapa tokoh dan media massa menyebarkan ke masyarakat bahwa sebaiknya jasa-jasa Soeharto tidak boleh dilupakan, dan memaafkan segala kesalahannya di masa lalu.

Bahkan pada tanggal 27 Januari 2008, pemerintah mencanangkan hari berkabung nasional selama seminggu, mulai dari tanggal 27 Januari – 2 Febuari 2008. Pemerintah pun menginstruksikan rakyat agar mengibarkan bendera setengah tiang. Hal ini menurut pemerintah berdasarkan PP Nomor 62 tahun 1990. Selain itu, rumor pemerintah akan memberikan status kepahlawanan kepada Soeharto atas jasa-jasanya juga beredar dengan kencang.

Hal ini sebenarnya harus diwaspadai oleh rakyat Indonesia. Karena dengan kencangnya opini pengingatan jasa-jasa Soeharto, ini merupakan upaya sistematis agar rakyat Indonesia melupakan kesalahan-kesalahan Soeharto pada masa kepemimpinannya. Penghembusan opini oleh para mantan pejabat tinggi negara, baik dari sipil maupun militer merupakan upaya mencari perlindungan dari para kroni-kroni Soeharto.

Yang harus diingat oleh rakyat Indonesia adalah pelanggaran HAM pada masa lalu, bukan hanya Soeharto seorang. Pelanggaran HAM pada masa lalu dapat terjadi karena Soeharto didukung oleh kroni-kroninya dalam melaksanakan pelanggaran HAM tersebut.

Selain itu, opini bahwa pada masa pemerintahan Soeharto lebih baik dari pada masa sekarang juga semakin menguat. Namun sebenarnya karena politik otoriterian yang diterapkan oleh Soeharto yang menyebabkan kesenjangan-kesenjangan yang terjadi pada rakyat saat ini. Soeharto lah yang menanamkan benih kesenjangan pada kehidupan rakyat Indonesia saat ini. Sementara pemerintah sekarang melanjutkan kebijakan Soeharto yang ternyata semakin melebarkan kesenjangan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Maka dari itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) menyatakan sikap:
1. Menolak pengibaran bendera setengah tiang selama seminggu yang diinstruksikan oleh pemerintah.
2. Menolak ide pemberian status kepahlawanan kepada Soeharto karena perilaku Soeharto pada masa kepemimpinannya yang menyebabkan berbagai pelanggaran HAM di Indonesia tidak menunjukkan kharisma kepahlawanan.
3. Negara harus mengusut secara tuntas peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi pada masa kepemimpinan Soeharto, dan mengusut kasus korupsi yang melibatkan nama Soeharto.

Jakarta, 28 Januari 2008
Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja

Sekretaris Jenderal
Irwansyah

--
Komite Pusat
Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP)

JL Gading Raya gg Gading IX No 12 Pisangan Timur, Jakarta Timur
Telp : (021) 93094075
Fax: (021) 47881632
Email : prppusat@gmail.com
prppusat@yahoo.com
Blogsite : rakyatpekerja.blogspot.com
Website : www.prp-indonesia.org Read More......

[Sikap] KELUARGA WIJI THUKUL MENOLAK PENGIBARAN BENDERA SETENGAH TIANG

SIARAN PERS

KELUARGA WIJI THUKUL
MENOLAK PENGIBARAN BENDERA SETENGAH TIANG
DAN TETAP MENUNTUT PERTANGGUNGJAWABAN KEJAHATAN SOEHARTO DALAM KASUS PENGHILANGAN PAKSA AKTIVIS ANTI ORDE BARU

Hari ini, Soeharto telah dikuburkan di liang lahat, namun itu bukan berarti menguburkan kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang menjadi tanggungjawabnya selama Soeharto memerintah negeri ini selama 32 tahun. Opini yang berlebihan dan mobilisasi puja-puji terhadap Soeharto tidak membuat kami, keluarga Wiji Thukul (korban penghilangan paksa 1997-1998), berubah sikap. Tindakan Pemerintahan SBY-JK yang memerintahkan pengibaran bendera Merah Putih setengah tiang adalah kebijakan yang berlebihan dan menyakiti hati jutaan rakyat Indonesia yang menjadi korban pelanggaran hak-hak sipil politik dan hak-hak ekonomi sosial budaya semasa Soeharto berkuasa. Hingga saat ini, kami, selaku adik kandung, istri, dan anak-anak Wiji Thukul, tidak pernah melupakan kebengisan kekuasaan Soeharto melalui aparat militer yang mengobrak-abrik rumah kami, mencuri buku-buku dan koleksi kaset kami dan membuat orang yang kami cintai, Wiji Thukul, hilang tak tentu rimbanya.
Untuk itu, sebagai bagian dari korban kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Soeharto, kami, keluarga Wiji Thukul, menolak mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang dan akan terus berjuang bersama seluruh korban menuntut pertanggungjawaban kejahatan kemanusiaan Soeharto, terutama untuk kasus penghilangan paksa aktivis anti Orde Baru.

Solo – Jakarta, 28 Januari 2008

Dyah Sujirah/Sipon (istri Wiji Thukul)
0817250854
Wahyu Susilo (adik kandung Wiji Thukul)
08129307964
Fitri Nganthi Wani (anak Wiji Thukul)
Fajar Merah (anak Wiji Thukul)
Read More......

TERBITAN KPRM-PRD