28 Agustus 2008

TAKTIK Memimpin Gerakan Rakyat dan Perlawanan Spontan Rakyat Miskin

Oleh: Gregorius Budi Wardoyo

Dalam pembacaan data perlawanan, telah terlihat bahwa kepemimpinan organisasi gerakan terhadap perlawanan spontan massa (yang terus muncul di banyak tempat) belum menunjukan signifikansinya, termasuk kepemimpinan kaum pelopor. Oleh karena itu, dibutuhkan taktik yang tepat untuk mengemban tugas memimpin dan memberikan arah bagi perjuangan rakyat miskin sesuai dengan hukum obyektifnya—terutama dalam hal membuka ruang demokrasi dan melawan penjajahan modal asing.

Secara programatik, masihlah tepat tujuan menuntaskan revousi demokratik di Indonesia—dengan melawan imperialisme; mendelegitimasi pemerintahan boneka imperialis; dan menggantikannya dengan pemerintahan rakyat miskin. Demikian juga, masihlah tepat kesimpulan tentang musuh-musuh pokok rakyat miskin Indonesia: penjajahan modal asing (imperialisme); pemerintahan boneka imperialis; tentara; Golkar; reformis gadungan; dan milisi Sipil.

Taktik

1. Di tengah tekanan kekuatan borjuis, yang dengan segala upaya mencoba melemahkan kekuatan rakyat—baik secara prosedural (dalam makna peraturan-peraturan dan mekanisme yang sebenarnya tidak demokratik), maupun dengan tindakan-tindakan represif—maka kita harus berdiri paling depan untuk membuka ruang demokrasi, sepenuh-penuhnya, termasuk membongkar Undang-Undang Pemilu atau Pilkadal yang anti demokrasi;

2. Dan Tuntutan tersebut, harus diiringi dengan propaganda bahwa rakyat harus berkuasa, dengan TRIPANJI [1] sebagai jalan keluar ekonominya;

3. Namun, kenyataan obyektif menunjukan bahwa sebagian besar rakyat masih bergerak dengan tuntutan yang reformis, sehingga kita harus terlibat dalam perjuangan reformis massa dan memimpinnya (jangan seperti taktik sebelumnya, demi pengerjaan memperluas struktur PAPERNAS, kita meninggalkan tugas memimpin perlawanan rakyat).

Alat

Koran yang reguler dan luas jangkauannya—sebagi taktik utama

Tak bisa dipungkiri bahwa banyaknya perlawanan rakyat jelas membutuhkan alat propaganda dan pengorganisiran yang sanggup menjangkau semuanya, yang mampu mengambil setiap hal maju dari peralawanan rakyat di satu tempat dan membagi pengalaman tersebut ke tempat lain. Alat tersebut terutama dimaksudkan agar bisa memberikan arah revolusi bagi rakyat miskin, yakni yang bisa memberikan bukan saja landasan-landasan teoritik progesif—agar massa rakyat tidak lagi jatuh pada empirisme, tidak lagi berjuang dalam persepektif perjuangan jangka pendek yang reformis, tidak lagi sekedar aktifisme yang tidak punya arah—melainkan juga memberikan kesimpulan-kesimpulan praktek perjuangan yang menjadi landasan gerak maju selanjutnya.

Kebutuhan koran yang regular dan luas jangkauannya menjadi keharusan, di tengah tidak meratanya pengetahuan dan pengalaman perjuangan, baik di kalangan massa rakyat maupun di kalangan aktifis pergerakan dan, selain itu, karena jumlah aktifis gerakan masih sangat kecil dibandingkan dengan luasnya area perlawanan rakyat.

Aku mengusulkan agar koran tersebut utamanya ditujukan bagi aktifis pergerakan, dengan isian materi mengenai strategi-taktik dan polemiknya (termasuk dengan kaum Mayoritas di PAPERNAS/PRD). Kenapa isian strategi-taktik menjadi penting dalam koran tersebut? Itu karena salah satu hambatan kemajuan gerakan saat ini adalah kelemahan strategi-taktik, sehingga pemahaman strategi-taktik yang tepat benar-benar menjadi kebutuhan mendesak bagi gerakan dan massa rakyat. Sementara polemik strategi-taktik dengan kaum Mayoritas (PRD/PAPERNAS) menjadi penting karena sejarah PRD sebagai kaum pelopor telah banyak memberikan inspirasi bagi kaum gerakan dan massa rakyat [2]—agar apa yang dilakukan oleh kaum Mayoritas sekarang tidak akan menjadi preseden (contoh buruk) bagi kaum pergerakan dan massa rakyat. Tentu saja terdapat kaum pergerakan maupun massa rakyat yang bisa menilai bahwa apa yang dilakukan kaum Mayoritas PRD/PAPERNAS [dengan taktik berupaya melebur (merger)dengan Partai Bintang Reformasi dan masuk secara tertutup ke dalam Partai Demokrasi Pembaruan] adalah SALAH namun, tetap saja, akan menghambat kemajuan gerakan secara keseluruhan karena walupun sebagaian besar pimpinan massa yang selama ini dikenal sebagai tokoh pergerakan telah menyimpang namun tidak banyak dipersoalkan secara terbuka oleh kaum pergerakan, seolah-olah dibenarkan—bagaimana bila menjadi preseden bagi massa luas sehingga juga menganggapnya benar. Oleh karena itu, polemik terbuka terhadap strategi-taktik mayoritas harus dilakukan dengan terus menerus agar kaum gerakan dan massa rakyat menjadi tahu kesalahan yang dilakukan kaum Mayoritas dan menerima strategi-taktik alternatif.

Menurutku, soal regularitas koran tersebut sebaik-baiknya adalah harian namun, jika tidak memungkinkan, maka paling tidak menjadi mingguan. Secara obyektif, perlawanan rakyat (yang bergerak setiap hari di berbagai tempat) adalah enerji yang sangat besar bagi koran kita tersebut, sehingga regularitasnya tidak boleh terlalu lama. Kendala utama yang selama ini dialami kita, yakni masalah pendanaan, penulisan dan distribusi haruslah dicari pemecahannya—yang sangat mungkin kita pecahkan, jika koran dijadikan sebagai taktik utama.

Dan bentuk koran tersebut, menurutku, dibuat yang sederhana, dengan jumlah halaman yang tak terlalu banyak (agar lebih mudah digandakan). Dan, agar bisa terwujud, maka soal koran harus menjadi salah satu agenda rapat rutin di setiap tingkatan struktur perjuangan, bahkan hingga ke tingkat massa.

Adalah benar pernyataan bahwa kesadaran kelas proletariat akan meningkat jika ada dialektika antara propaganda (yang terus menerus dari kaum revolusioner) dengan pengalaman perjuangan koletif massa. Dan sekarang coba kita lihat berapa banyak alat propganda kita dan berapa luas jangkaunnya ke tengah massa rakyat yang sedang terus berlawan? Lalu bandingkan dengan media massa borjuis, yang terus menerus meninabobokan massa, memanipulasi kesadaran palsu massa, bahkan hingga melakukan black propaganda terhadap ide-ide sosialisme—pada tahun 2006 media massa yang dikuasai borjuis mencapai 6,026 juta eksemplar untuk jenis surat kabar harian; dan jika seluruh media cetak dijumlahkan maka totalnya mencapai mencapai 17,374 juta eksemplar; itu artinya 1 media massa borjuis di baca 38 orang Indonesia [3].

Coba bandingkan dengan Harian Rakjat [4], organ PKI yang pertama kali terbit tahun 1951, tirasnya mencapai 2.000 eks per hari, dan berkembang dalam waktu dua tahun menjadi 12.500 eks. Pada 1956, Harian Rakjat meningkat menjadi 55.000 eks, mengungguli penerbitan lain seperti Pedoman (koran Partai Sosialis Indonesia) dengan 40.000 eks; atau Abadi (koran Masjumi) dengan 34.000 eks. PKI juga menerbitkan bulanan dalam bahasa Inggris, Monthly Review, yang pada tahun 1954 diubah menjadi Review of Indonesia. Oplah tersebut jelas sangat besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia pada saat itu dan dengan tingkat buta huruf yang masih tinggi.

Apakah kita masih berpikir, koran bukan sebagai taktik utama?

Pembangunan persatuan (front) gerakan

Landasan obyektif kenapa persatuan Gerakan adalah keharusan (lagipula memungkinan untuk dibentuk) adalah:

1. Musuh-musuh rakyat terlalu kuat, baik musuh dalam negeri maupun musuh dari luar negeri. Musuh yang dimaksud adalah kekuatan politik yang menjadi kaki tangan imperialis maupun kekuatan politik yang anti demokrasi, atau keduanya. Kekuatan politik yang menjadi musuh rakyat cenderung mengambil posisi sebagai agen imperialis sekaligus anti demokrasi—dalam kadar tertentu bisa kelihatan pro demokrasi, namun sejatinya hingga sekarang tidak mampu melepaskan diri dari kekuatan politik tentara.

2. Mayoritas rakyat mengalami penindasan, dan sebagian di antaranya sedang berlawan (baik dengan platform tuntutan yang lebih programatik maupun yang spontan).

3. Semakin banyak organisasi rakyat yang bermunculan terutama di kalangan kaum buruh dan kaum tani, baik yang bersifat nasional maupun lokal.

4. Pengalaman persatuan gerakan (yang berhasil menjatuhkan Soeharto, atau yang ”berhasil” menolak berbagai kebijakan pemerintah, masih membekas di ingatan kolektif kaum gerakan dan massa rakyat.

5. Belum ada persatuan gerakan yang mampu memberikan harapan—dalam makna perspektif—dalam memimpin gerakan rakyat dan perlawanan massa rakyat.

Sedangkan landasan subyektifnya adalah, kita, kaum pelopor—yang paling mengerti teori dan paling punya kecapakan berjuang—masih sangat sedikit.

Dengan landasan obyektif dan subyektif seperti itu tidak boleh ada kata menyerah dalam kerja-kerja pembangunan persatuan gerakan, sekalipun sangat banyak kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam kerja-kerja membangunnya.

Menurutku, persatuan yang akan dibentuk sebaiknya adalah persatuan yang bisa menjadi magnet di hadapan gerakan dan massa rakyat, persatuan yang bisa memberikan harapan perubahan bagi massa rakyat, sehingga penentuan sekutu persatuan harus lebih berhati-hati, tidak boleh kontra-produktif (seperti yang dilakukan oleh kaum Mayoritas—menggalang persatuan bersama kekuatan politik anti-rakyat).

Sedapat mungkin persatuan yang dibangun didorong untuk melakukan tindakan politik bersama, bahkan seandainyapun tindakan politiknya masih sangat moderat—asal tidak bertentangan secara programatik dengan program kita—karena persatuan hanya akan menjadi lebih bermanfaat jika semakin banyak aktifitas (ekspresi) politik yang dilakukan bersama-sama. Oleh karena itu, sekalipun kita mempunyai program dan stategi-taktik yang maju, kita tidak boleh mencemooh persatuan gerakan yang paling moderat sekalipun karena di sanalah ajang bagi kaum pelopor untuk mempropagandakan program maju dan stategi-taktiknya, juga dalam memberikan contoh konsistensi (kesetiaan) perjuangan—bahkan, dalam program yang moderat sekalipun, kaum pelopor harus menunjukan bahwa merekalah yang paling setia, paling gigih dalam perjuangan.

Untuk memperkuat pengaruh persatuan pada massa rakyat (sekaligus juga memperkuat pengaruh kita) maka, sebisa mungkin, persatuan mempunyai terbitan yang reguler—bahkan, jika hanya mampu mengeluarkan selebaran, maka selebarannya harus didorong terbit secara reguler; apalagi jika mampu mengeluarkan terbitan yang lebih baik seperti koran atau tabloid. Dan, sekali lagi, kita harus menunjukan kesetiaan serta keteguhan kita dalam menjalankan terbitan tersebut.

Dan dalam hal penstrukturan: persatuan yang ada—apalagi yang mempunyai kesanggupan untuk meluaskan strukturnya—sebaiknya melakukan pembangunan persatuan serupa di setiap teritori yang memungkinkan. Agar secepatnya rakyat melihat bahwa persatuan tersebut sebagai alat perjuangan mereka, agar persatuan juga bisa dengan segera menjangkau setiap keresahan massa dan, seiring dengan kesanggupan front—lewat uji kerja berbagai aktifitas bersama—maka struktur front harus segera dipermanenkan.

Jika pun persatuan tersebut masih bersifat lokal atau sektoral, maka persatuan tersebut harus diupayakan untuk berhubungan dengan persatuan lainnya baik yang ada di wilayah lain maupun yang ada di sektor lain, intinya adalah: segala upaya pembangunan persatuan yang kita lakukan harus selalu dalam perspektif nasional dan multisektor.

Dalam konsepsi pembangunan persatuan gerakan, unsur-unsur maju—dalam makna: yang dalam praktek perjuangannya selama ini telah mengusung program anti-penjajahan (dan demokratik)—disatukan terlebih dahulu, agar mempunyai daya juang yang lebih besar. Tentu saja arena dari persatuan yang lebih maju tersebut tetaplah perlawanan spontanitas rakyat dan juga massa rakyat yang belum berjuang, sehingga tugas dari persatuan yang maju tersebut adalah membuat ajang-ajang yang memungkinkan bersatunya persatuan yang lebih maju tersebut dengan perlawanan spontanitas rakyat maupun massa rakyat secara keseluruhan. Itulah sebabnya alat utama dari persatuan, agar berkesanggupan menjangkau/menyatukan perlawanan spontan rakyat dan massa rakyat secara keseluruhan, adalah koran, hanya koran yang bisa menjangkau dan sekaligus MEMUNGKINKAN UNTUK DIKERJAKAN OLEH PERSATUAN dalam kapasitas saat ini.

Pengorganisiran dan mobilisasi/radikalisasi terjadwal (lihat materi Arah Pengorganisasian Massa untuk Revolusi dengan Metode Tiga Bulanan, Resume Diskusi Komite Politik Rakyat Miskin—Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD), PEMBEBASAN, No.1, Januari, 2008)

Konferensi taktik

Dalam berbagai kesempatan sudah dapat disimpulkan bahwa salah satu sebab utama kelemahan kaum pergerakan (yang pelopor maupun bukan) dalam memimpin perjuangan massa rakyat adalah: kelemahan merumuskan strategi-taktik. Dan, hingga saat ini, solusi untuk mengatasi kelemahan tersebut belum juga berwujud secara kongkrit dan meluas.

Cara lain yang juga bisa dilakukan untuk menemukan strategi-taktik yang tepat bagi perjuangan massa rakyat adalah dengan mengagendakan konferensi-konferensi strategi-taktik secara reguler, baik di kalangan serikat-serikat buruh, antar serikat-serikat tani, serikat-serikat mahasiswa, serikat-serikat perempuan, serikat-serikat kaum miskin perkotaan maupun yang sifatnya gabungan, termasuk gabungan antar kota/wilayah.

Konferensi-konferensi tersebut sangat mungkin belum bisa langsung dipermanenkan—oleh karena itu, koran tidak boleh mati guna mengisi kekosongan strategi-taktik atau untuk memperkuat strategi-taktik kaum pergerakan—namun tetap harus diupayakan, sekalipun masih dalam batas-batas strategi-taktik jangka pendek. Lebih bagus jika strategi-taktik hasil dari konferensi tersebut kemudian dikerjakan bersama untuk diuji dalam praktek perjuangan massa rakyat, sekaligus dinilai ketepatannya, sehingga semakin hari semakin memungkinkan diperoleh strategi-taktik perjuangan massa rakyat yang paling tepat dalam pembangunan sosialisme di Indonesia.

Mendirikan struktur-struktur pendidikan teori


Tidak ada yang bisa menolak, bahwa tanpa teori revolusioner tak akan mampu terjadi revolusi. Untuk itulah pendidikan yang memberikan landasan teoritik bagi rakyat miskin untuk mengelorakan revolusinya harus dilakukan, sehingga jurang pengetahuan yang selama ini terjadi semakin terkikis—apalagi selama ini masih aktivis-aktivis yang berasal dari kalangan mahasiswalah yang memilki pengetahuan teoritis yang cukup maju; sementara aktivis yang berasal dari buruh, tani, kaum miskin kota, termasuk perempuan, masih sangat terbelakang; padahal tugas kaum pelopor adalah mengangkat rakyat miskin agar mampu memimpin dirinya sendiri, memimpin revolusinya sendiri dan nantinya memimpin pemerintahannya sendiri. Untuk tujuan itu, dibutuhkan banyak aktivis-aktivis dari rakyat miskin yang cakap dalam pengetahuan revolusioner dan juga praktek revolusioner.

Setiap struktur yang ada diwajibkan mendirikan struktur yang diarahkan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut tersebut secara reguler, sehingga nantinya bisa ditemukan pola penyelenggaraan pendidikan yang paling baik. Atau, jika saat ini ada daerah yang sudah memiliki pengalaman pendidikan yang paling bagus, maka pengalaman tersebut bisa dijadikan pola pendidikan di tempat lain, karena harus ada pola nasional yang bisa diukur efektifitasnnya di tingkatan nasional. Aku membayangkan: di hari-hari nanti, di kontrakan-kontrakan buruh, di desa-desa, di kampung-kampung miskin perkotaan, di kalangan perempuan, buku-buku revolusioner dan progresif telah menjadi bacaan dan bahan perdebatan mereka—misalnya saja buku-buku dan perdebatan tentang Kuba, Venezuela, Bolivia, demikian juga perdebatan dan buku-buku buku-buku Pramoedya atau karya-karya lainnya—tidak lagi hanya berputar di kampus-kampus maupun kontrakan mahasiswa.*

Catatan Kaki
[1] TRIPANJI: 1) Hapuskan utang luar negeri; 2) Nasionalisasi industry pertambangan; 3) Industrialisasi nasional.
[2] Lihat film dokumenter wawancara-wawancara tentang PRD dalam rangka 10 tahun PRD, 2004.
[3] http://www.spsindonesia.or.id/news-detail.php?id=50
[4] Data ini di ambil dari tulisan Hilmar Farid dan kawan-kawan, http://www.xs4all.nl/~badjasur/kreasi/no3/pasangsurutno3.htm

Tidak ada komentar:

TERBITAN KPRM-PRD