28 Agustus 2008

Tantangan Politik untuk Pergerakan di Zaman Tidak Bervisi

Oleh Candra J N

(1)

Politik anti-nasional dan anti buruh-tani Orde Baru menghancurkan berbagai pencapaian revolusi nasional demokratik selama 1900-1965.

YANG DIHANCURKAN

1. Partisipasi rakyat banyak (proletar, semi-proletar, burjuis kecil melarat dan petani) dalam kehidupan politik dan perjuangan menentukan arah perkembangan masyarakat melalui politik mobilisasi massa dihancurkan,

2. Ingatan-ingatan (pengetahuan) tentang riwayat perjuangan kemerdekaan dan perjuangan menentukan arah perkembangan masyarakat sesudah kemerdekaan dibasmi dan hilag sebagai sumber nilai, inspirasi dan pelajaran.

3. Pencapaian budaya yang terdiri dari pengetahuan tentang ilmu politik yang tercernin dalam semua tulisan-tulisan dan pidato-pidato pempimpin gerakan pembebasan nasional (1900-1965) dan di dalam sastra dan perfilman Indonesia dilarang, dibasmi, dihilangkan atau dikucilkan.

4. Perjuangan untuk membangun sebuah ekonomi nasional yang berdiri di atas industrialisasi di segala bidang, sebuah masyarakat yang berilmua pengetahuan dan dengan sebuah angkatan kerja yang semakin produktif ditindas sebelum bisa dimulai dan dibuka jalan untuk meneruskan kehidupan ekonomi yang kapitalis tetapi tidak berindustri, tidak berilmu pengetahuan, dengan produktivats angkatan kerja yang serendah-rendahnya. Industri yag ada hanya yang diperlukan oleh imperialisme. Pendidikan yang tertinggi tetap harus dicara ke negeri imperialis.

Penghancuran tersebut adalah pekerjaan kelas kapitalis dalam negeri Indonesia, baik ketika dipimpin segelintir kapitalis bersenjata, maupun kemudian dipimpin oleh konglomerat dan antek politiknya maupu sekarang ketika "dipimpin" oleh kombinasi konglomerat, yang ingin jadi konglomerat dan konglomerat-konglomerat daerah. Kalau kaum kapitalis dalam negeri Indonesia mengeluh tentang penindasan ekonomi dari "asing", itu karena merasa kurang dapat porsinya saja.

Orde Baru bukan hasil penjajahan asing tetapi hasil sebuah tindakan pendahuluan kontra-revolusioner oleh kelas kapitalis dalam negeri Indonesia. Pihak imperialis diundang masuk; bukan memaksa masuk.

(2)

Hasil penghancuran ini adalah terpecah-belahnya (fragmentasi) setiap aspek kehidupan negeri, masyarakat dan juga kelas-kelas rakyat.

Dalam kebudayaan dan politik:

Dengan ditindaknya politik mobilisasi massa, yang berkembang selama 1900-1965, hancurlah semuah organisasi rakyat yang bergerak dengan berwawasan nasional. Buat rakyat kebanyakan, organisasi massa tersebut merupakan sekolah utama yang mengurus segala hal tentang bernegeri dan bernegara. Sekolah tersebut hancur. Ini berlangsur selama 33 tahun 53 tahun proklamasi kemerdekaan. Selama 33 tahun rakyat tak bersekolah.

Dan selama 33 tahun tersebut (sampai sekarang), sejarah yang diajarkan di sekolah adalah bohong, yang diajarkan sebagai takhayul (menghafal kebohongan tanpa ada bukti). Sementara selama 33 tahun sastera Indonesia kemerdekaan, dari Kartini sampai Rendra, sampai Bumi Manusia, sampai Wiji Thukul, tidak diajarkan.

Tanpa pendidikan yang keduanya tersebut, rakyat Indonesia menjadi bukan rakyat Indonesia tetapi sekadar rakyat yang hidup dalam negeri geografis Indonesia. Mereka jatuh menjadi rakyat yang hidup di bawah kungkungan (setingkat) kelas kapital dalam negeri Indonesia yang terdiri dari federasi elit-elit lokal dengan elit pusat di Jakarta.

Dalam situasi tersebut, kesadaran kelas pun kalah oleh kesadaran-kesadaran sektarian (baik secara isyu, etnis maupun wilayah). Kesadaran kelas, bila tidak berwawasan nasional—yakni, mengerti bahwa semua jalan keluar masalah-masalah rakyat harus diselesaikan oleh seluruh nasion, bangsa—tidak akan bisa ada atau berkembang.

Dalam ekonomi:

Strategi ekonomi yang dijalankan sejak 1966 menyatukan ekonomi Indonesia dengan ekonomi internasional berdasarkan keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan modal imperialis serta fraksi kelas kapitalis klik militer Suharto. Akibatnya, sektor-sektor ekonomi yang tumbuh sangat terbatas. Industri berat dan menengah tetap menjadi haknya negeri imperialis. Manufaktur ringan pun hanya di sektor-sektor yang terpilih pula dan, sejak 1997, merekapun mulai ditarik kembali. Produktivitas hanya meningkat riil dan luas di pertanian sawah (hasil revolusi hijau), tetapi itu pun berhenti setelah peningkan produktivas melalui bibit baru, pupuk dan pestisida sudah mencapai jalan buntu. Modernisasi selanjutanya tak bisa diwujudkan (karena membutuh kooperasi atau kolektivasi yang luas dan sukarela.)

Masyarakat tetap terbagi menjadi dua secara dahsyat: kaya dan miskin semakin jauh terpisah; kota besar dan kota kecil semakin jauh budaya dan cara hidupnya; apalagi kota dan desa; Jakarta dan kebupaten.

Yang kaya semakin menjadi bangsa tersendiri, menyekolahkan anaknya dalam bahasa Inggeris; berselera kosmpolitan; berapartemen di Singapura atau Melbourne dan (mereka) dipersatukan karena merasa terganggu oleh kaum miskin yang harus ditertibkan itu.

Sebagian besar yang miskin atau tinggal di kota kecil dan desa yang serba kecil itu produktivitasnya rendah dan disatukan secara budaya hanya oleh sinetron.

(3)

Gerakan anti-kediktatoran sebagai pemersatu fragmentasi dan kegagalannya.

Gerakan anti-kediktatoran yang militant, yang berkembang 1989-98, mulai mempersatukan rakyat yang terpecah-belah tersebut. Gerakan tersebut, dengan tuntutan-tuntutannya—cabut Dwifungsi ABRI, cabut Paket 5 Undang-Undang politik, hapusakan KKN, naikkan gaji dan sebagainya termasuk, kemudian, turunkan Suharto—betul-betul menyatukan rakyat dari Sabang sampai Merauke. Metode perjuangan aksi massa menyebar ke semua pelosok—sampai sekarang.

Tetapi, sesudah tahun 1998, persatuan tersebut tidak bertahan lama. Sebabnya ada beberapa hal.

Pertama, periode perkembangan tersebut masih terlalu pendek, secara intensif hanya berlangsung antara tahun 1992-1998 dan, secara sangat intensif, hanya sejak tahun 1996 hingga tahun 1998. Periode tersebut tak cukup lama untuk mengembangkan bentuk-bentuk pengorganisiran massa yang dapat bertransisi dari bentuk temporer (sementara) menjadi tetap (permanen).

Kedua, gerakan tersebut hanya bersifat taktis, tidak strategis, kalau dipandang dari kebutuhan mendasar rakyat kebanyakan. Gerakan tersebut, sebagai gerakan anti-diktator, adalah gerakan yang maknanya hanyalah membuka ruang untuk perjuangan selanjutnya.

Mengingat (a) semua kemunduran yang dialami selama 33 tahun sebelumnya dan (b) bahwa gerakan taktis tersebut hanya sempat berkembang intensif selama 2-6 tahun, mulai dari nol, atau tak memiliki kesempatan bertransformasi dari gerakan taktis menjadi gerakan strategis, apalagi di dalam bidang ideologi—yaitu teori, termasuk pendidikan teori pada massa. Bahkan, sesudah Mei 1997, semakin pesat, luas dan intensif perkembangan unsur spontan, maka ideologi gerakan yang luas ersebut semakin dibanjiri oleh sentimen-sentimen taktis (yakni terbatas pada anti-kediktatoran). Perkataan reformasi total sempat beredar tapi tak sempat berkembang.

Pada saat pimpinan "opposisi elit" di Ciganjur menyatakan akan mematuhi jalur pemilihan umum dalam mengurus transisi pasca kedikatoran, kesadaran politik gerakan masih dalam tahapan "taktis", belum bisa berwawasan strategis; belum bisa membayangkan harus kemana: bubar.

(4)

Fragmentasi kepeloporan pasca 1998

Selama periode 1989-1998, dengan catatan bahwa banyak juga kelompok yang berjuang dan berkorban demi pembebasan dari kediktatoran, namun yang menjadi kekuatan pelopor adalah kubu Partai Rakyat Demokratik (PRD). PRD lah yang sadar dan secara sistematis memperjuangan dihidupkannya kembali metode perjuangan aksi massa. PRD lah yang menemukan slogan-slogan dan tuntutan-tuntutan anti-kediktatoran yang kemudian diterima oleh massa luas.

(Yang tidak terima secara luas adalah seruan strategis: yakni seruan mendirikan dewan-dewan rakyat. Kesadaran mssa belum sempat berkembang sedemikian jauh, meskipun mendekati tahap tersebut.)

Sejak 1998, kepeloporan pun sudah mengalami fragmentasi—dalam dua bentuk. Pertama, PRD sendiri mengalami fragementasi. Kedua, berkembang elemen-elemen kepeloporan di luar PRD.

Fragementasi PRD tercermin saat kehilangan banyak kader, masuk organisasi non-partai/LSM (baik yang progressif maupun yang tidak), menyeberangnya banyak pimpinan PRD ke partai borjus atau borjuis kecil, dan terjadi perpecahan (split). Dari kader PRD tahun 90-an, tinggal hanya segelintir saja yang tinggal, yang sekarang berada di Komite Politik Rakyat Miskin-Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD). Asal-usul dari fragmentsi tersebut sama dengan yang digambarkan di atas dan tak sempat dilawan dengan meningkatkan pendidikan ideologis. Selain itu, sesudah gagalnya Koalisi Nasional (yang berusaha melibatkan kubu PNBK dan Partai Pelopor), kurang ada pengambilan kesimpulan tegas bahwa: dengan kegalan tersebut, kesempatan untuk mengambil momentum peluang alliansi dengan unsur borjuis kecil yang anti-Orde Baru sudah selesai. Mental “taktis” (kontra “strategis”) sempat berkembang secara ekstrim.

Sementara fragmentasi di dalam PRD terjadi, fragmen-fragmen kepeloporan lain mulai tumbuh, meskipun wataknya belum sepenuhnya jelas. Yang bisa dicatat sebagai cerminan proses tersebut—antara lain, mungkin—organisasi-organisasi seperti Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP)/Kongres Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI)/Federasi Perjuangan Buruh Jabotabek (FPSBJ), Rumah Kiri, jaringan di sekitar toko buku Ultimus dan penerbit Resist. Juga ada individu-individu yang secara sporadis bisa memainkan peranan kepeloporan dalam waktu-waktu yang hanya sebentar. Tetapi semua itu berkembang secara fragmentatif, sehingga pasti banyak ke-parsial-an dalam proses pertumbuhan masing-masing fragmen. Semua itu harus lebih diselidiki sebelum bisa mengambil kesimpulan yang lebih teliti.

(5)

Perjuangan ideologis untuk gerakan ‘strategis.

a. Tema-tema propaganda (pendidikan politik seluas yang dimungkinkan)
Prioritas dalam mempersatukan fragmen-fragmen kepeloporan adalah sama dengan prioritas dan memperluas elemen kepeloporan: yaitu mempertegas dan menyebarluaskan keyakinan terhadap basis ideologis yang mau diperjuangkan. Penjajagan dan perundingan dengan berbagai fragmen kepeloporan yang berkembang harus berdiri di atas basis ideologi yang jelas dan meluas.
Yang dibutuhkan sekarang adalah meluaskan propaganda yang sistimatik melalui setiap lini pengorganisiran, baik dengan terbitan cetakn maupun lisan. Sistematika tersebut berarti: di mana dan kapan pun tema-tema penjelasan YANG SAMA harus dijelaskan—tentu saja dengan semakin lihai dan mendalam. (Itu berarti bahwa kader sendiri harus semakin belajar dan membaca.)

Dalam bangun sistematikanya, ada tiga bidang yang harus digarap:
- Asal-usul krisis ekonomi, politik, dan budaya Indonesia;
- Siapa yang berjuang mati-matian, siapa yang berjuang setengah hati, dan siapa musuh-mu
- Jalan keluar dan solusi.

Asal-usul krisis ekonomi, politik, dan budaya Indonesia


Dalam tahap sekarang, tekanan harus ke penjelasan historis (menjelaskan sejarah) sehingga dapat menghindari penjelasan yang abstrak. Dalam rangka itu, tiga poin utamanya adalah sebagai dicantumkan di atas:

- Kolonialisme 350 tahun:Warisan kolianalisme pada Indonesia Merdeka (massa harus hafal segala sejarah tersebut dan mampu membicarakannya);
- Kekalahan kubu “sosialisme ala Indonesia” (kubu mobilisasi massa buruh-tani) pada tahun 1965 (yang mencari jalan kerakyatan untuk membangun Indonesia yang tidak tergantung pada imperialis) sehingga memungkinkan (i) pendirian rejim Orde Baru; dan (ii) ekonomi kapitalis yang tak berindustri; serta terutama (iii) penghancuran capaian-capaian revolusi nasional demokratik Indonesia selama 1900-1965 di atas kekalahan kubu sosialis pada tahun 1965 (rakyat harus belajar sejarah Orde Baru). Dengan kata lain, merupakan kemenangan (a) kediktatoran politik elit terhadap demokrasi mobilisasi massa dan (b) neo-kolonialisme.
- Neo-liberalisme: Ketidakmampuan rejim politik elit ataupun ekonomi neo-kolonial membela rakyat dan negeri dari serangan globalisasi neo-liberalisme—yang merupakan bentuk ganas yang paling baru neo-kolonialisme—dan krisis kapitalisme internasional—yang kepentingannya memperbesar keuntungan dari investasi-investasinya, sehingga membutuhkan peningkatan pemerasan.

ADALAH SYARAT MUTLAK bahwa KETIGA poin tersebut dipelajari oleh semua kader dan kemudian oleh massa seluas-luasnya.

Siapa yang berjuang mati-matian, siapa yang berjuang setengah hati dan siapa musuh-musuhnya

Yang juga harus dijelaskan secara historis.

(A) Kekuatan sosial (kekuatan kelas) yang bergerak dari masa ke masa. Peranan pemuda, intelektual muda, pedagang miskin, buruh dan tani dalam perlawanan terhadap kolonialisme sampai tahun 1949; terhadap pembangunan gerakan “sosialisme ala Indonesia” periode 1949-65; dan dalam perlawanan terhadap Orde Baru dalam tahap-tahapnya.
(B) Sejarah siapa yang mengorganisir dan memperjuangkan ide (a) aksi massa dan (b) Sosialisme ala Indonesia dalam semua periode tersebut, yang juga harus menggambarkan figur dan ide-idenya, serta juga organisasi politik yang berkembang.
(C) Situasi sekarang.

Penjelasan sejarah harus menjadi landasan untuk kader maupun massa dalam menilai peta politik perjuangan sekarang. Ada tiga aspek yang harus bisa dijelaskan.
§ Kekuatan sosial (kelas) mana yang berkepentingan dan yang mampu melawan (proletar dan mahasiswa, dengan menjelaskan kedudukan khusus dari massa mayoritas,yakni massa semi-proletar dan burjuis kecil yang melarat dan tertindas—kaum miskin kota/Marhaen desa dan kota);
§ Siapa musuh rakyat dalam negeri dan mengapa: sisa-sisa Orde Baru, militer, reformis gadungan, nasionalis gadungan, yang semuanya berdiri di atas kepentingan kelas kapitalis dalam negeri dengan semua konflik-konfliknya. Siapa musah luar negeri: imperialis, pemerintah-pemrintah imperialis, lembaga finansial internasional, perusahaan MNC dan bank-bank internasional;
§ Siapa sekutu strategis dalam dan luar negeri, baik secara kelas maupun organisasi. Dalam menjelaskan aspek organisasi dalam negeri harus disertai dengan penjelasan yang teliti, peka, rendah hati tapi ilmiah terhadap situasi fragementasi kepeloporan. Sekutu strategis adalah calon mitra persatuan.
§ Siapa sekutu taktis: ini berubah dari waktu ke waktu, bisa kekuatan sosial (kelas atau suatu bagian dari sebuah kelas), bisa individu, bisa organisasi.

Jalan keluar dan solusi


Tema pokok:

§ Rakyat miskin harus berkuasa melalui organisasi-organisasi massanya sendiri (berarti harus berkembang massif)—pemerintahan rakyat miskin;
§ Kekuatan politik rakyat miskin terletak dalam jumahnya yang massif (200 juta), yang akan menjadi suatu kekuatan kalau terorganisir dengan kuat—200 juta orang juga merupakan angkatan kerja Indonesia, sumber semua produktivitas: strategi gerakan harus membangun gerakan aksi massa demi mendirikan pemerintahan rakyat miskin;
§ Pemerintahan rakyat miskin harus memperjuangkan sebuah ekonomi dan masykarakat sosialis, yaitu ekonomi yang diatur melalui mobilisasi tenaga, pikiran dan semangat massa; rakyat berdaulat terhadap semua sumber daya alam maupun teknologi yang ada di dalam negeri; masyarakat dibangun berdasarkan solidaritas serta kerjasama di antara massa (gotong-rojong); dan pendidikan, ilmu pengetahuan, pengetahuan umum serta kebudayaan menjadi hak dan alat untuk membangun masyarakat yang harus dimiliki oleh semakin banyak orang dengan cepat.

b. Strategi bawah dan strategi atas


Strategi bawah

Yang dibutuhkan sekarang adalah meluaskan propaganda yang sistematik melalui setiap lini perorganisiran, baik dengan terbitan cetakan maupun lisan.

Strategi atas


Dalam perjuangan melawan kediktatoran Suharto (dan sampai sekarang), gerakan pernah memakai berbagai jenis strategi atas, yaitu strategi untuk menjangkau massa banyak dengan ide, slogan atau tuntutan kita, selain melalui proses pengorganisiran (dalam semua bentuknya)

1989-96—aksi massa besar mahasiswa-petani, kemudian mahasiswa-buruh, yang meraih perhatian media massa;
1996—alliansi dengan sebagian kekuatan kelas burjuis (kecil), yaitu PDI-Megawati dan kekuatan pro-demokrasi lainnya (berhasil);
1997—panggung pengadilan tahanan politik PRD; intervensi PEMILU dengan menyebarluaskan selebaran yang massif;
1998—aksi mahasiswa militant, yang semakin serentak secara nasional;
1999—maju di Pemilu;
2000-2007—percobaan alliansi-alliansi dengan kekuatan burjuis kecil progressif sampai dengan Koalisi Nasional (gagal).

Selama periode 1989-1998 watak gerakan (ternyata) terutama bersifat agitatif: yang diutamakan adalah slogan dan tuntutan yang menyudutkan serta yang membongkar rejim diktator dan sekutunya (kroni dan lain-lain). Dalam periode ke depan, selain agitasi (yang pada suatu saat akan semakin mendesak kebutuhannya), propaganda (pendidikan politik yang mendalam) buat massa akan sama pentingnya, bahkan merupakan syarat mutlak bila gerakan berkehendak mendirikan sebuah pemerintahan rakyat miskin yang akan mampu memimpin perjuangan menciptakan sebuah ekonomi dan masyarakat yang semakin sosialis.

Dalam rangka itu, pertama, semua metode—seperti sudah pernah dijalankan—pasti akan diperlukan lagi kalau kondisinya menunjang; dan, kedua, harus ada kepekaan khusus untuk mengakumulasi panggung ideologis.

Akumulasi panggung ideologis


Panggung-panggung tersebut bisa tersedia sebagai hasil semakin berwibawanya suara radikal, yakni karena mencapai tingkat-tingkat persatuan progressif yang mempesonakan, baik di medan organisasi politik maupun sektoral.

Panggung-panggung tersebut juga bisa tersedia dengan merespon isu-isu yang memiliki makna ideologis tinggi. Contoh-contoh saat ini termasuk:

§ solidaritas terhadap revolusi Venezuela yang mencetuskan “sosialisme abad 21” (yang bisa dikaitkan dengan “sosialisme ala Indonesia”);
§ represi terhadap buku, kurikulum atau acara sejarah (yang berpotensi dapat beraliansi dengan intellectual, yang belum tergarap dengan baik);
§ repressi, kekerasan, diskriminasi terhadap kaum perempuan, karena unsur (ideologis) egaliter dan anti keterbelakangan dalam budaya memiliki makna ideologis yang sangat tinggi dan memiliki potensi bagi revolusi kebudayaan yang dahsyat.

Ada juga contoh-contoh lain—yakni merspon isu-isue yang mebutuhkan perdebatan dengan figur-figur burjuis yang sedang mencari hati massa:

§ Serangan-serangan nasionalis (kanan) terhadap asing, yang mengabaikan aspek kekuasaan rakyat—seperti tuntutan pembaruan kontrak/peninjauan kontrak karya ataupun nasionalisai tanpa SEKALIGUS mempersoalkan SIAPA yang menguasi asset dalam negeri tersebut—dan agitasi para nasionalis gadungan lainnya;
§ Pembelaan borjuis terhadap sistem parlementer dan kepartain yang ada sebagai demokrasi yang ideal; harus dibalas dengan argumentasi bahwa demokrasi tersebut adalah demokrasi yang hanya diperuntukan bagi mereka yang mampu MEMBELInya dan, karena itu, dibutuhkan untuk sistem demokrasi lain, demokrasi sejati yang berdasarkan pada partisipasi (mobilisasi) massa.

Tidak ada komentar:

TERBITAN KPRM-PRD