24 September 2008

[Debat] Bualan PRD-PAPERNAS

Arah Perjuangan Sebenarnya
dan Taktik Peleburan PRD-PAPERNAS Ke Partai Bintang Reformasi (PBR)
(Siapakah Sebenarnya kekuatan Anti-Neoliberalisme)[1]



Oleh: Budi Wardoyo [2]

Seperti yang sudah di tulis oleh Rudi Hartono, dalam artikelnya Menyikapi Partai Yang Hanya Bisa Menjual Mimpi, jurnal online arahkiri2009.blogspot.com, ia mengambarkan situasi arena pemilu 2009 sebagai berikut:

1. Bahwa GOLPUT yang terjadi di ajang-ajang PILKADAL bukan semata-mata persoalan teknis, namun persoalan politis, persoalan kesadaran rakyat yang bosan dengan janji-janji kosong partai dan elit politik, dan sangat mungkin GOLPUT dalam jumlah yang signifikan akan terjadi pada Pemilu 2009 nanti [3];
2. Janji-janji (atau program-program) yang ditawarkan oleh Parpol atau Elit Politik, mengambil posisi politik yang membela rakyat, atau dalam bahasa Rudi, begitu luhur.
3. Ketidakkonsistenan [4] Partai Politik dan Elit Politik dalam kampanye dan praktek politik sehari-hari, menurut Rudi, disebabkan tiga hal, pertama, Partai tidak punya Ideologi, sehingga tidak punya pijakan dan arah untuk memenuhi kehendak kolektif rakyat. Kedua, belum ada instrumen politik rakyat yang mampu mengontrol para elit politik ini, Ketiga, persoalan budaya. [5]

Terlepas dari solusi yang ditawarkan Rudi, saya akan mengajak kita untuk menilai dulu situasi yang dijelaskan oleh Rudi, kemudian menganalisa posisi PRD-PAPERNAS yang meleburkan diri dalam PBR.

Saya akan mulai dulu dari kesimpulan Rudi: bahwa Partai-Partai di Indonesia tidak punya Ideologi. Kesimpulan ini menurut saya jelas salah besar. Justru, sebaliknya, Partai-Partai di Indonesia mempunyai Ideologi—dan bukan sembarang Ideologi, melainkan Ideologi yang sudah berumur sangat tua, yakni Ideologi Kapitalis. Dan seluruh praktek politik semua partai (peserta pemilu) dilandaskan pada keyakinan: bahwa ideologi yang berlandaskan pengusaan modal oleh segelintir orang, dan pengisapan terhadap mayoritas orang lainnya, merupakan satu-satunya ideologi yang bisa sangat baik buat rakyat Indonesia.


Cara pandang seperti itulah yang membuat kenapa semua partai dengan mudah melakukan program privatisasi, program pencabutan subsidi atau program penanaman modal yang liberal. Dengan demikian, sesungguhnya, semangat kemandirian yang disebut-sebut dalam banyak statement Elit-Elit Politik Indonesia saat ini hanyalah retorika belaka; sebenarnya, dalam praktek (bahkan di benak mereka) tak pernah ada keberanian membangun, mensejahterakan rakyat, dengan kemandirian.

Ketergantungan tersebut memang ada alasannya (tapi bukan untuk dimaklumi): karena secara material, secara manajerial dan, yang terpenting, secara politik mereka tidak memiliki kapasitas untuk mandiri. [6] Padahal, selama masih ada swastanisasi oleh segelintir orang terhadap alat-alat produksi sosial, maka sudah jelas akan ada pengisapan (tidak perduli pemilik modalnya orang Asing atau Indonesia)—dan cilakanya, para pemodal Indonesia tak memiliki kapasitas (sekali lagi) material (terutama alat-alt produksi berteknologi tinggi), kapasitas manajerial, dan kapasitas politik untuk melepaskan diri (secara bertahap pun) dan mengembangkan diri (secara mandiri) dari modal Asing. Apalagi, setelah krisis 1997, hampir sebagian besar kapasitas mereka ambruk. Dan sekarang hanya sebagain kecil saja yang masih memiliki tersebut, itupun dalam arti kapasitas manajerial—Arifin Panigoro, Bakri; Jodi Setiawan, untuk menyebut sedikit contoh—bukan kapasitas material/alat-alat produksi berteknologi tinggi, dalam istilah ekonom Orde Baru: kandungan lokalnya terlalu rendah. Apakah bisa dibayangkan mereka berani melepaskan diri dari ketergantungan terhadap (modal) asing? Tidak, bagi pengusaha (bahkan politisi) “realistis [7]”; dan, walaupun mereka memiliki keberanian, kehendak politik, namun mereka tidak mengandalkan dirinya pada kekuatan rakyat yang sadar (ideologis), maka nasibnya sudah pasti, seperti juga terjadi pada rejim-rejim “nasionalis” yang pernah ada: ambruk. Kenapa harus menyandarkan diri pada rakyat? Kekuatan rakyat harus dipandang dalam arti: 1) sebagai tenaga produktif; 2) pelindung dari gempuran/tekanan kapitalis/modal asing (yang sering menggunakan negaranya dan badan-badan internasional) untuk meruntuhkan bargain ekonomi-politik dalam negeri—apalagi bila kita masih harus berkompromi dengan modal asing (seperti di Venezuela) karena kita masih belum sepenuhnya memiliki kapasitas memproduksi tenaga produktif (terutama alat-alat produksi berteknologi tinggi), juga belum sepenuhnya memiliki kapasitas manajerial. [8]

Berandai-andai, bila memang mereka mau mengandalkan, bersandar, pada rakyat, lalu apa bagian yang akan diberikan pada rakyat? Apakah imbalan (pada rakyat) seperti yang diberikan oleh “nasionalisme” fasis Jerman?; atau apakah imbalan (pada rakyat) layaknya sosial-demokrasi ala Eropa?; atau imbalan (pada rakyat) seperti yang dipersembahan oleh negeri (yang sedang menuju sosialisme) venezuela? Yang jelas, bila kita membangun kemandirian bersama (dari dan oleh) rakyat, maka secara obyektif bayarannya adalah: sosialisasi kekayaan (program darurat) dan alat-alat produksi. [9] Jadi, dengan demikian, kehendak kemandirian bukanlah sekadar retorika (normatif) layaknya bual-bualan partai-partai dan politisi-politisi (sipil dan militer) busuk itu; atau tipu-tipuan (tukang obat jalanan) menjelang Pemilu, bak Visi dan Misi PBR yang diajukan ke KPU, atau perubahan (bersolek) AD-ART PBR; kita harus melihatnya dari LANDASAN KAPASITAS mereka; jadi, dengan demikian, faktual, kehendak kemandirian mereka (sering digembar-gemborkan sebagai “nasionalisme”) adalah FIKTIF; jadi, dengan demikian, persatuan dengan mereka (dengan platform anti-neoliberalisme) adalah FIKTIF. [10]

Sebenarnya, sangat jelas buat kita untuk memberikan penilaian terhadap ideologi apa yang dikandung oleh Partai-Partai Politik ini, bahkan terhadap PDIP yang saat ini mengambil posisi oposisi di nasional; Juga penilaian kita terhadap PKS yang membawa semangat Islam. Dalam konteks PDIP, kita sudah tahu bahwa selama PDIP berkuasa (sekarangpun PDIP masih menjadi salah satu partai yang paling banyak mendudukan anggotanya di DPR), program privatisasi sangat banyak disetujui, demikian juga dengan program pencabutan subsidi, atau secara umum, seluruh program neoliberalisme berjalan mulus pada zaman itu. Bahkan dalam posisinya sekarang pun, PDIP tidak pernah terlihat sungguh-sungguh berani dalam melawan neoliberalisme (paling jauh dari “keberanian” PDIP adalah melakukan walk out dalam sidang-sidang tertentu di DPR; mogok makan pun hanya dilakukan oleh seorang anggota parlemen dari PDIP.)

Sedangkan PKS: walaupun posisinya bisa dikategorikan sebagai sebagai salah satu partai besar, namun tidak mencerminkan sebagai kekuatan politik yang anti-neoliberalisme/kapitalisme. Kekuatan PKS di eksekutif dan parlemen, terutama kekuatan politik PKS di luar parlemen (jumlah massa dan simpatisan PKS yang sangat besar), tidak pernah dikerahkan untuk melawan program-program neoliberalisme/kapitalisme dengan sekuat-kuatnya. Sikap “hati-hati” yang ditunjukan oleh PKS sejatinya adalah sikap ketertundukan pada neoliberalisme, sebagai wujud pengakuan terhadap Ideologi kapiltalisme. Demikian juga dengan partai-partai baru yang karakter politiknya pun tidak berbeda, sekalipun dengan embel-embel kemandirian ( palsu).

Maka, wajar saja, bila rakyat menjadi tidak percaya terhadap partai-partai borjuis dan elit-elit politik borjuis—apalagi partai-partai dan elit-elit tersebut juga korup, sekorup-korupnya—dan memilih untuk GOLPUT dalam berbagai ajang pemilihan kepala daerah, pun kemungkinannya di Pemilu-2009 nanti. Sebelum rakyat memilih untuk GOLPUT, eksepresi ketidakpercayaan rakyat terhadap Partai, Elit Politik maupun Mekanisme Politik/Hukum, sudah meluas dan sangat jelas, dalam bentuk aksi-aksi mobilisasi menuntut massa. Tiap hari rakyat melakukan aksi-aksi massa, dari yang jumlah kecil hingga yang jumlahnya besar. Dari yang tuntutannya lokal, hingga yang tuntutannya nasional. Dari yang metodenya moderat hingga yang metodenya radikal. Setiap hari, ekspresi kemarahan rakyat itu terjadi, dan bahkan bisa dikatakan menyamai eksepresi kemarahan rakyat di tahun 1996-1997, tahun-tahun yang menentukan sebelum Suharto dijatuhkan pada tahun 1998 (bahkan mungkin kwantitasnya saat ini lebih banyak)

Dan situasi tersebut bukannya tidak diketahui oleh Partai-partai Politik, Elit-elit Politik dan militer. Mereka tahu dan sadar, bahwa rakyat sudah tidak lagi percaya pada mereka, sehingga mau tidak mau mereka harus membuat/mengembalikan citra yang “baik” mereka di hadapan rakyat—sejauh ini PKS lah yang paling berhasil membangun citra tersebut; atau dengan memilih nama partai yang baik seperti Hati Nurani Rakyat; atau dengan menjual empati (norak) di media massa—melalui iklan-iklan politik; atau dengan menjaring para aktifis gerakan sebagai pengurus partai dan/atau sebagai caleg; atau dengan cara-cara lainnya. Apakah upaya mereka untuk mengembalikan citra baik mereka akan berhasil? Jelas tidak. Bahkan untuk meningkatkan citra “baik”nya saja sudah sangat sulit. Bukankah upaya mengangkat citra mereka dengan memasukan calon-calon kepala daerah dari kalangan muda, dan bahkan dari kalangan artis, di berbagai daerah, tetap saja tak sanggup menurunkan jumlah GOLPUT? [11]

Jelas situasi tersebut sangat mengawatirkan mereka [12], namun kekawatiran tersebut belum sebesar kekawatiran jika ada alat politik yang sanggup bergerak bersama rakyat. Itulah yang menjadi alasan utama mengapa PAPERNAS (juga PRD di masa sebelumnya) dihambat keikutsertaannya dalam Pemilu, dan diserang secara brutal—sayangnya PRD-PAPERNAS (sekarang) bukannya mengambil jalan untuk tetap teguh berjuang bersama rakyat (dengan segala resikonya), melainkan justru mengambil jalan lain, yakni bersekutu dengan para kapitalis dan agen-agennya itu (antara lain PBR).

PBR, yang sekarang menjadi alat politik PRD-PAPERNAS, sejarahnya adalah pecahan dari Partai Persatuan Pemabangunan (partai yang menunjukan loyalitas tinggi terhadap rezim Orde Baru-Suharto) sehingga wajar, ketika PBR terbentuk, tidak ada prestasi PBR dalam memperjuangkan demokrasi, kesejahteraan rakyat, dan KEMANDIRIAN BANGSA. Bahkan, dalam pemilu 2004, PBR adalah salah satu Partai yang mendukung pasangan SBY-JK, sehingga SBY-JK bisa menjadi Presiden-Wakil Presiden.


PRD-PAPERNAS Tidak Membangun Persatuan Yang Berlandaskan Program Anti-Neoliberalisme

PRD-PAPERNAS menyimpulkan bahwa PBR adalah partai yang tepat untuk dijadikan kekuatan utama (bahkan saking yakinnya, PRD-PAPERNAS secara “taktis” rela meleburkan dirinya secara Ideologi-politik-organisasi ke PBR) karena, katanya, PBR memiki platform kemandirian bangsa—platform yang abstrak, seperti halnya platform kesejahteraan rakyat, keadilan sosial atau yang lainnya. (Dalam hal ini, saya sepenuhnya sepakat dengan Data, bahwa platform itu harus kongkrit bukan abstrak.) Tentu saja, platform PBR tersebut bisa jadi “benar” [13]. Namun, dalam situasi menjelang pemilu 2009 nanti, maka bukan hal yang aneh bila partai-partai peserta pemilu kemudian mengambil posisi demikian. Rudi, dalam artikelnya, juga sudah menyimpulkan hal tersebut, sehingga platform PBR (termasuk partai-partai lain) tidak bisa dijadikan ukuran dalam menyimpulan apakah sebuah partai benar-benar akan membela kepentingan rakyat. Yang harus dinilai justru praktek politik partai selama ini, apakah sungguh-sungguh memperjuangan rakyat atau tidak. Seharusnya PRD-PAPERNAS jauh lebih jeli ketimbang massa rakyat, yang sudah menyimpulkan untuk tidak lagi percaya.

PRD-PAPERNAS mungkin sadar bahwa PBR bukan partai yang membela rakyat, namun dengan hadirnya PRD-PAPERNAS secara organisasi [14] maka ada kemungkinan PBR bisa berubah. Seberapa besar kemungkinan PBR itu bisa berubah? Membayangkan PBR akan berubah secara signifikan, jelas mimpi kosong. Sejarah kelahiran PBR, komposisi pembentuknya dan praktek politiknya selama ini sangat jelas menunjukan siapakah PBR itu: dalam pengertian ideologis, PBR adalah partai dengan ideologi borjuis, sehingga sulit membayangkan PBR, yang berideologi borjuis itu, akan berubah menjadi partai dengan ideologi (kerakyatan) atau mati-matian meperjuangkan platform anti-neoliberalisme, seperti yang diharapkan oleh PRD/PAPERNAS, seperti yang diharapkan Data (sehingga beraninya dia secara idealis mengajak bersatu, mengajak bersatu dengan PBR, dengan platform anti-neoliberalisme).

Sungguh, menggelikan membandingkan ceramah Data dengan praktek politik PRD-PAPERNAS. Namun, agar lebih jelas, baiknya kita mengambil kutipan dari tulisan Data Kesepakatan Tuntutan Minimum Kongkrit Anti-Neoliberal Dalam Perjuangan Elektoral; Sebuah Sumbangan Pemikiran Untuk Pembangunan Persatuan Pro-Rakyat; ketika memberikan contoh soal program minimum: “….Misalnya, dalam tujuan strategis mengembalikan penguasaan kekayaan alam ke tangan rakyat, pertama-tama harus ditentukan sasaran dan tujuan taktis yang harus dihadapi. Satu contoh sasaran taktis yang merupakan salah satu pertahanan musuh adalah UU Migas.” Tentu saja kita tidak akan menolak logika tersebut, bahwa dalam persatuan ada hal-hal yang bisa di kompromikan—bedakan kompromi dengan kapitulasi—sehingga bisa saja, dalam membangun persatuan gerakan, kita hanya mengangkat tuntutan pencabutan UU Migas sebagai tuntutan persatuan atau tuntutan bersama. Dan, sebenarnya, pengertian pembangunan persatuan seperti itu sudah lama dikerjakan, yang justru sekarang mulai ditinggalkan oleh PRD terutama ketika memulai pembangunan PAPERNAS. Sedangkan konsekwensi kata-kata “Dalam Perjuangan Elektoral” dalam tulisan Data, akan menimbulkan pertanyaan: 1) apakah makna “dalam perjuangan elektoral” itu menggunakan alat PBR?; 2) apakah makna “dalam perjuangan elektoral” itu menggunakan Partai Perserikatan Rakyat (PPR)—yang juga mendaftarakan diri dalam Pemilu 2009, tapi gagal? 3) Atau persatuan kaum gerakanlah (dengan platform minimum kongkrit anti-neoliberal) yang membentuk partainya sendiri untuk ikut dalam ajang elektoral? Dan apakah Data tahu bahwa jawaban terhadap masing-masing pertanyaan tersebut memiliki konsekwensi ideologisnya sendiri?

Mengutip kembali kata-kata Data, dalam artikel yang sama, yakni soal persatuan perlawanan kaum buruh: “…Dalam beberapa tahun terakhir kaum buruh juga menunjukkan potensi kesatuan dan militansi tinggi dalam menentang UU Ketenagakerjaan 13 yang semakin menancapkan kuku neo-liberalisme dalam bidang perburuhan, di mana peran negara dalam mengatur kesejahteraan buruh dan keberlangsungan industri semakin dipersempit.“ Apaka Data tidak tahu—atau mungkin pura-pura tidak tahu—bahwa, pada saat itu, PRD yang tengah membangun PAPERNAS, tidak mau melibatkan diri dalam penolakan Revisi UU 13 itu, dengan alasan (yang bertolak-belakang dengan apa yang di sampaikan Data): yakni, gerakan penolakan Revisi UU 13 tidak ada kaitannya dengan Pemilu, sehingga tidak perlu di-intervensi. Tidak ada (bahkan) satu selebaran pun atas nama PRD-PAPERNAS yang bertujuan mengintervensi perlawanan kaum buruh tersebut. Malah Aliansi Buruh Menggugat (ABM), yang merupakan satu aliansi (yang lebih permanen), yang KEMUDIAN memiliki platform anti-neoliberalisme—platform ABM sangat mirip dengan platform PAPERNAS—sebagai buah perlawanan menolak Revisi UU 13. Dan PRD-PAPERNAS tidak pernah menganggap ABM sebagai calon sekutu potensial untuk melawan neoliberalisme di Indonesia.

Alasannya sangat sederhana (tapi bodoh): karena ABM belum mengambil posisi untuk mengikuti pemilu 2009. Alasan, posisi, seperti itu dipakai terus sampai sekarang—tentu Data sudah tahu: bahwa FNPBI, salah satu organisasi massa yang tergabung dalam PAPERNAS, menarik diri dari ABM pada saat buruh sedang mati-matian melakukan perlawanan terhadap Revisi UU 13 (termasuk menarik diri pada momentum May Day kemarin). Entah mendapatkan wahyu dari mana, FNPBI, bersama PAPERNAS dan ormas PAPERNAS lainnya, merayakan May Day pada tanggal 29 april, 2009, dan sama sekali tidak terlibat dalam aksi persatuan tanggal 1 Mei, 2009. Lalu, sekarang, Data mencoba menceramahi kita tentang platform minimum, tentang persatuan. Sudahlah, jangan membuat kami lebih tergelak-gelak, dan anda jangan terus mempermalukan diri sendiri.

Cara pandang yang sama juga digunakan oleh PRD-PAPERNAS pada organisasi-organisasi lainnya. Sebagai contoh, PRP, SMI atau organ-organ gerakan lainnya—yang jumlahnya semakin meningkat—yang juga mengusung platform anti Neoliberalisme, tidak dengan sabar dijadikan sebagai calon sekutu yang harus diajak dalam pembangunan persatuan gerakan rakyat. Itu karena, katanya, PRP, SMI atau organ-organ gerakan yang lainnya belum/tidak mengambil posisi untuk terlibat dalam pemilu 2009. Padahal, agar Data tahu (dan memang harus lebih banyak tahu, agar JANGAN CONGKAK): PRP dan organ-organ gerakan lainnya (termasuk kami) pernah melakukan diskusi/perundingan dengan PPR untuk mencari kemungkinan maju (terlibat) Pemilu 2009.

Artinya, landasan utama PRD-PAPERNAS dalam membangun persatuan bukanlah platform anti-neoliberalisme atau platform kerakyatan lainnya [15], melainkan berdasarkan pada posisi organisasi/individu terhadap Pemilu 2009. Jika organisasi/individu tersebut bersepakat untuk mengikuti Pemilu 2009, maka merekalah calon sekutu PRD/PAPERNAS. Posisi itulah yang menjelaskan kenapa PRD-PAPERNAS mau bergabung ke dalam PBR, sekalipun semua ORANG YANG WARAS MENGERTI bahwa PBR adalah partai borjuis pendukung neoliberalisme. [16]

Terpaksa, kita kembali mengutip kata-kata Data dengan lebih panjang: “Sebagaimana disinggung di atas, neoliberalisme merupakan kapitalisme dalam krisis, yang mengutamakan kepentingan kapital monopoli transnasional. Dalam upayanya merebut pasar domestik dan menjual-belikan saham dan komoditas dalam negeri, terdapat beberapa pengusaha nasional yang dirugikan. Ini paralel dengan suatu konflik yang inheren dalam kapitalisme; yakni antara kapitalis besar dengan borjuasi kecil. Dalam konteks Indonesia, secara umum-bukan secara keseluruhan-keduanya terpisahkan oleh garis kebangsaan; yang kapitalis besar berupa kapital transnasional yang sebagian besar milik asing, cukup besar dan berkuasa untuk memindahkan operasinya ke berbagai negeri; yang kecil, berupa kapital lokal yang bergantung pada pasar domestik atau kapasitas produksi domestik.
…..Padahal pengusaha seperti ini sebenarnya dapat menjadi kawan potensial kaum pergerakan dalam tahap perjuangan anti-neoliberalisme.“ (cetak tebal oleh saya.) [17]

Kita kutip juga kata-kata I Gede Sandra (Kader PRD saat menjabat Pemimpin Redaksi Berdikari, Terbitan resmi PAPERNAS): “Pasang politik merespon pencabutan subsidi BBM telah mendorong sebagian besar spektrum gerakan demokratik beroposisi keras terhadap Negara.  Cukup keras karena (bagusnya) sebagian elit oposan Negara yang pro Kemandirian Bangsa ikut menggalang barisan bersama. Sebut saja: Rizal Ramli, Amin Rais, Drajat Wibowo, (serta di kalangan mantan perwira militer) Hendropriyono, Wiranto, Prabowo dll. (cetak tebal oleh saya.) Hanya saja, karena elit-elit tersebut masih ragu (terutama terhadap gerakan massa), polarisasi politik menuju pada sebuah persatuan nasional belumlah jelas.” Yang kemudian dilanjutkan dengan “Elemen lain di luar gerakan demokratik, seperti: militer (termasuk itu purnawirawan), pengusaha nasional, akademisi, polisi, elit politik, budayawan, dsb yang pro terhadap kemandirian bangsa adalah sekutu utama yang wajib dirangkul. (cetak tebal oleh saya.) [18]

Jika apa yang disampaikan oleh Data maupun Gede adalah kebenaran yang obyektif, maka kita tidak akan bisa menolaknya, namun jika itu hanyalah bunga-bunga pembenaran taktik peleburan PRD-PAPERNAS ke PBR, maka sudah pasti harus ditelanjangi, agar keliahatan segala tipu dayanya.

Data mengambil contoh bahwa kenaikan harga BBM—yang merupakan salah satu agenda neoliberalisme di Indonesia—juga merugikan pengusaha nasional, sehingga pengusaha nasional punya potensi untuk melakukan perlawanan terhadap dominasi modal internasional. Saya tidak habis pikir, kenapa DATA ini selalu saja salah membaca DATA, apa DATA ini tidak pernah membaca koran, menonton berita-berita di TV atau di radio (dalam hal ini, mungkin kita patut memaklumi karena Data ini posisinya memang tidak di Indonesia, melainkan di Kanada).

Sebagai bentuk pemakluman atas kesalahan DATA, baiklah kita ambil beberapa berita di koran, sebelum kenaikan BBM.

1. Suara Karya, 29/04/08: “Sejalan dengan pendapat Bambang Soesatyo, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sofyan Wanandi mengatakan bahwa sebagai solusi strategis mengurangi beban tambahan APBNP 2008 adalah dengan menaikkan harga BBM bersubsidi.”
2. Koran Sindo, 02/05/08: “APINDO, menurutnya (Djimanto, Ketua APINDO), mendukung sepenuhnya langkah pemerintah untuk segera menaikkan harga BBM bersubsidi. Kenaikan harga BBM diperlukan untuk mengamankan ketahanan APBN-P 2008 dari ancaman terus berlanjutnya kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional. Tapi kenaikannya harus bertahap, 6% paling tidak setiap bulan.”
3. Koran Sindo, 01/05/08: “Menurut Hidayat, Kadin berharap pemerintah menaikkan harga BBM maksimal 30% dan dilakukan sekaligus. Kenaikan harga BBM, kata Hidayat, telah dihitung secara matang dan sudah dibahas secara informal di antara para menteri terkait.”
4. Antara, 07/05/08: “Kadin, menurutnya (Hidayat), sangat mendukung rencana kenaikan harga BBM bersubsidi ini, karena kesinambungan APBN bisa terus dipertahankan dan para investor tidak lagi mengkhawatirkan dananya yang sudah ditanam di Indonesia.”
5. Kompas, 20/04/08: “Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kamar Dagang dan Indonesia (Kadin) Djimanto mendukung opsi pemerintah berencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dengan catatan pemerintah diminta memerangi pungutan liar yang banyak membebani pengusaha.”
6. Rapat Komite ekonomi Nasional Bidang Pengembangan Industri dan Perdagangan, 15/05/08; Pada point pertama tercantum: “Para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin Indonesia) mendukung kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak( BBM).”

Para Pengusaha, yang dikatakan oleh Data dan Gede sebagai calon sekutu potensial dalam melawan neoliberalisme, sayang sekali ternyata mendukung kenaikan harga BBM, bahkan bukan hanya Individu per individu melainkan secara organisasional, sehingga pikiran yang mengharapkan para pengusaha ini bisa menjadi sekutu dalam melawan neoliberalisme, harusnya dibuang jauh-jauh ke tong sampah yang paling busuk.

Dari sejarahnya, lahirnya para pengusaha “nasional” ini bukan dari hasil perjuangan mereka dalam meruntuhkan kekuasaan Feodal maupun Kekuasaan Penjajahan Kolonial, melainkan lahir dari hasil kolaborasi mereka dengan Modal Internasional, terutama semenjak Orde Baru. Mereka dari lahirnya sudah tidak punya kapasitas untuk membangun Industri dalam negeri, terutama dalam memajukan tenaga produktif (teknologi, kecakapan dan kesehatan tenaga kerja). Satu-satunya yang ada dalam benak mereka adalah bergantung pada modal Internasional: membangun berarti Investasi Modal Internasional; membangun berarti menambah Hutang Luar Negeri. Ketergantungan yang kuat terhadap Modal Internasional membuat mereka tidak akan berani melawan Dominasi Modal Internasional, bahkan akan saling berlomba untuk menjadi calo bagi Modal Internasional. Mereka mungkin hanya mengeluh ketika dengan cepat kekayaan alam kita dijarah Modal Internasional, namun dengan cepat pula mereka akan tersenyum ketika ceceran keuntungan Modal Internasional jatuh ke tangan mereka—berupa fee atau sebagai rekanan bisnis. Memang mereka belum memiliki mental borjuis atu industrialis, tapi masih mental calo (merchant capital/society).

Apa lagi yang bisa kita katakan mengenai para purnawirawan Jendral? Mereka itu adalah para Penjahat HAM dan, selama ini (terutama bila sedang memegang kekuasaan), mereka adalah para pendukung setia kapitalisme Orde Baru-Neoliberalisme. Dan DATA harus tahu bahwa hampir semua perusahaan yang dipegang oleh militer itu AMBRUK atau merugi. Seperti juga “borjuis” dalam negeri, militer tak memiliki kapasitas untuk mengelola “nasionalisme” (berbeda sangat jauh dengan militer fasisme Jerman), atau tak memiliki kapasitas mengelola nasionalisasi aset-aset nasional.

Siapakah Kekuatan Utama Yang Harus Disatukan Dalam Melawan Neoliberalisme?

Seperti telah di singgung di atas, dan sebagaimana juga Data menyetujuinya, bahwa buruh dan rakyat miskin (dengan berbagai ekspresi politik perlawanannya) telah bangkit menunjukan kekuatannya. Dan dari berbagai ekpresi politik yang semakin meluas itu, sebagian di antaranya telah menyadari bahwa persoalan utama kemiskinan, kemelaratan Mayoritas Rakyat Indonesia, adalah Neoliberalisme, yang dengan sepenuh hati dijalankan oleh seluruh kekuatan Politik Borjuis Indonesia (baik sipil maupun militer).

Beberapa contoh nyata dari ekspresi politik rakyat miskin yang bersandarkan pada kekuatan rakyat sendiri/mandiri adalah aksi May Day 2008 yang, bahkan, menghasilkan terjadinya polarisasi/kristalisasi antara kekuatan buruh yang non-kooptasi dengan gerakan buruh mau dikooptasi. ABM, yang pada mulanya berusaha menyatukan seluruh kekuatan kaum buruh Indonesia, menjadi semakin sadar bahwa, di antara pimpinan-pimpinan serikat buruh yang dicoba di satukan itu, banyak di antaranya merupakan bagian dari kekuatan pro-neoliberalisme (kooptasi). Hal tersebut dibuktikan dengan tindakan-tindakan beberapa pimpinan serikat buruh itu yang, bukan saja menghancurkan persatuan yang telah dibangun [19], namun juga mendorong ajang May Day menjadi ajang bagi para Elit Politik untuk semakin memperkuat pengaruhnya di kalangan buruh.

Ribuan buruh dari berbagai kota dikerahkan dengan berbagai cara untuk terlibat dalam May Day Fiesta—sebuah ajang perayaan May Day yang di selenggarakan oleh SPN, FSPMI dan beberapa Federasi dari SPSI, dan awalnya berencana mengundang SBY (sebagai Presiden), Hidayat Nur Wahid (sebagai ketua MPR) dan Agung Laksono (sebagai ketua DPR). Acara tersebut dikenal sebagai May Day Fiesta, yang dalam kenyataannya bukan saja diarahkan untuk memperkuat pengaruh elit politik borjuis, namun juga meninabobokan para buruh dengan hiburan-hiburan yang tidak berkaitan dengan persoalan buruh dan perjuangannya.

Sontak, tindakan beberapa pimpinan serikat buruh tersebut mendapatkan reaksi yang keras dari ABM dan elemen-elemen gerakan lainnya (seperti Front Perjuangan Rakyat). ABM mengecam tindakan beberapa pimpinan serikat buruh itu—dan kecaman ABM bukan sekadar disampaikan secara langsung kepada beberapa pimpinan serikat buruh itu, melainkan juga dengan mencetak dan mendstribusikan puluhan ribu selebaran di Jabotabek dan kota-kota industri lainnya di Indonesia yang isinya: posisi kecaman ABM.

Dan, seperti yang telah diduga sebelumnya, beberapa basis dari serikat buruh yang terlibat May Fiesta kemudian membatalkan atau tidak bersedia melibatkan massanya dalam May Day Fiesta—mereka menjadi sadar: bahwa pimpinan-pimpinan mereka sedang berusaha memperalat mereka.

Saat May Day, semangat anti-neoliberalisme dan semangat anti elit pro-neoliberalisme begitu terasa di kalangan puluhan ribu massa yang bergerak menuju Istana Negara. Slogan Penggulingan Elit Penguasa berkali-kali diteriakan oleh massa aksi, demikian juga dengan slogan perlawanan terhadap kaum modal dan keharusan rakyat pekerja (rakyat miskin) untuk merebut kekuasaan.

Semangat itulah yang tetap bertahan (bahkan meningkat kadar programatiknya) pada momentum perlawanan kenaikan harga BBM. ABM bersama dengan banyak unsur pergerakan lainnya membangun satu wadah persatuan, yaitu Front Pembebasan Nasional, yang bukan saja terbangun di Jabodetabek, namun juga meluas hingga ke banyak kota di seluruh Indonesia—tercatat: terbentuk FPN di Labuan Batu, Medan, Lampung, Jabodetabek, Bandung, Jawa Timur, Semarang, Solo, Bima, Samarinda, Bontang, Gorontalo, Manado, Kendari, Bau-Bau dan Luwuk. Di beberapa kota lainnya, yang yang masih kesulitan membangun FPN, tetap dibentuk wadah persatuan dengan karakter programatik yang sama seperti misalnya Komite Rakyat Bersatu (KRB) di Yogyakarta.

Tuntutan menolak (penggagalan) kenaikan harga BBM, diiringi dengan tuntutan Nasionalisasi Industri Migas di Bawah Kontrol Rakyat, Pengusiran Elit dan Partai Politik Antek Neoliberalisme, dan Keharusan Rakyat Pekerja (Rakyat Miskin) untuk berkuasa, menjadi tuntutan yang diusung oleh pengerahan-pengerahan massa FPN.

Pengerahan-pengerahan massa tersebut bukan hanya dilakukan oleh buruh dari industri manufaktur saja, melainkan juga dari buruh-buruh BUMN, antara lain dari Serikat Pekerja PLN, Serikat Pekerja Angkasa Pura I, Serikat Pekerja Kereta Api (Jabotabek) dan serikat pekerja BUMN lainnya, yang juga mempunyai pandangan yang sama terhadap persoalan mayoritas rakyat Indonesia.


Selain FPN, di banyak kota, juga terbangun persatuan-persatuan gerakan, baik yang berjejaring secara nasional maupun yang belum berjejaring secara nasional, dengan program-program tuntutan yang mirip dengan FPN. Hal itu menunjukan bahwa kesadaran dan kesanggupan rakyat miskin Indonesia untuk bersatu semakin menguat, bahkan mau bersatu dengan program-program anti-neoliberalisme yang progressif.

Mereka itulah yang seharusnya disatukan; kekuatan gerakan rakyat (baik yang sudah bergerak dengan program yang progressif maupun yang masih spontan atau lokal). Karena, sekalipun mempunyai kapasitas yang (potensial) kuat, namun jika tidak ada yang berusaha menyatukan, maka rakyat yang sudah berkendak untuk bersatu dan berjuang tersebut akan kembali tercerai berai dan kehilangan kekuatannya. Oleh karena itu, pekerjaan membangun persatuan ini tidak bisa di tunda-tunda; dan pekerjaan tersebut akan mengalami kesulitan jika hanya dikerjakan oleh satu atau dua organisasi saja, seharusnya dikerjakan bersama-sama.

Penutup

Akhirnya, jika PRD-PAPERNAS masih berkendak membangun (persatuan) perlawanan rakyat terhadap neoliberalisme, maka sekutu perjuangan yang (JELAS-JELAS) harus segera ditentukan adalah rakyat miskin (baik yang sudah terorganisir maupun yang belum), yang saat ini sedang sedang berjuang, di kampung-kampung, di pabrik-pabrik, di jalan-jalan—dan sejarah penggulingan Soeharto sudah memberikan kesimpulan bahwa kekuatan rakyat miskin yang bersatu dapat mengatasi musuh sekuat apapun.

Bekerja sama dengan musuh rakyat miskin, seperti yang dilakukan oleh PRD-PAPERNAS, jelas akan mempersulit kemenangan perjuangan rakyat miskin—itulah sebabnya posisi PRD-PAPERNAS harus terus-menerus dikritik, ditelanjangi agar ilusi (preseden) rakyat terhadap partai-partai borjuis, elit-elit borjuis dan mekanisme borjuis, yang sudah semakin membusuk, tidak lagi menguat, bahkan seharusnya dimajukan sampai tahap yang lebih tinggi, yakni penggulingan kekuasaan borjuis dan pembentukan pemerintahan persatuan rakyat miskin.

Catatan Kaki:

[1] Tanggapan terhadap tulisan Rudi Hartono, Data Brainanta dan I Gede Sandra; Kader-Kader PRD dan Pimpinan PAPERNAS.
[2] Koordinator Departemen Kampanye dan Penyatuan Gerakan Dewan Harian Nasional Persatuan Politik Rakyat Miskin; Pjs Wakil Ketua Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh; Mantan Koordinator Departemen Perjuangan Rakyat Dewan Pimpinan Pusat PAPERNAS; Mantan Staff Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik.
[3] Hal di berikut ini jug harus dijelaskan pada rakyat oleh saudara Rudi. Seperti juga pada Pemilu yang lalu, partai-partai busuk itu (dengan tak tahu malu) tetap saja bisa mendapatkan kursi yang banyak walalu angka GOLPUT-nya tinggi, atau tanpa jumlah suara yang mencukupi: karena UU-Pemilu tidak memberikan batasan berapa besar presentasi suara pemilih/pencoblos yang menjadi ukuran syah-tidaknya pemilu; berapapun presentasi suara GOLPUT, berapapun presentasi suara pencoblos, pemilu tetap absyah; jumlah kursi di masing-masing Daerah Pemilhan (DAPIL) ditentukan lebih dahulu sesusai dengan jumlah penduduk; Berapun suara yang masuk/mencoblos (atau berapapun GOLPUT-nya) jumlah kursi tidak berubah; sehingga bila GOLPUT-nya tinggi maka nilai kursi tidak akan lagi sesuai dengan BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) alias tidak akan sesuai dengan jumlah pemilih yang sudah terdaftar; bila penghitungan suara seluruh calon legislatif (caleg) yang sudah memenuhi syarat BPP (sama atau lebih tinggi dari BPP) sudah diselesaikan, dan masih ada sisa kursi, maka sisa kursi tersebut dapat diberikan kepada caleg yang mendapatkan suara terbanyak walaupun tidak memenuhi BPP, agar dia bisa masuk ke parlemen (memenuhi jumlah kursi), seolah-olah dipilih rakyat, demikian seterusnya sampai kursi habis terbagi. Dengan demikian, seperti juga pemilu yang lalu, Pemilu 2009 nanti adalah Pemilu yang menipu rakyat, baik rakyat yang memilih maupun rakyat yang GOLPUT—yang memilih, suaranya bisa dimanipulasi menjadi milik orang lain (bahkan dari partai lain) yang tidak dia pilih; yang GOLPUT dimanipulasi seolah-olah suaranya sudah diwakili oleh orang-orang yang tidak dia pilih. Lalu, adakah orang-orang partai-partai busuk itu merasa malu, duduk di parlemen sebagai manipulator. Adakah PRD-PAPERNAS-PBR (Partai Bintang Reformasi) memiliki tanggung jawab moral terhadap sistim Pemilu bandit seperti itu?
[4] Bukan hanya tidak konsisten, melainkan bertolak belakang.
[5] Apakah analisa saudara Rudi tersebut berlaku untuk PBR? Bila jawabannya tidak, itu adalah suatu kebohongan besar; jika jawabannya ya, maka saudara Rudi harus mengatakan bahwa: 1) sekarang PBR sudah insyaf (taubat nasuhi)—akan memperjuangkan rakyat dan akan memperjuangakan (mati-matian) kemandirian bangsa (seperti tertera dalam AD-ART baru PBR dan tertera dalam Visi/Misi yang dihaturkan ke KPU; 2) PRD-PAPERNAS masuk ke PBR, akan menggunakan alat PBR dalam Pemilu 2009, guna membantu, mengawasi agar taubat nasuhi PBR tidak sekadar janji seperti yang sudah-sudah. Merubah dari dalam, istilahnya; 3) membantu citra PBR menjadi baik; 4) agar PRD-PAPERNAS bisa bicara secara luas kepada rakyat (bahwa PBR, yang ada PRD-PAPERNAS di dalamnya) akan benar-benar memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan kemandirian bangsa; 4) karena itu, rakyat dan kaum pergerakan harus mendukung kami secara ekstra-parlementer, mencoblos kami dalam pemilu 2009, karena dengan dukungan kalian maka unsur-unsur yang menghambat (perjuangan), baik di parlemen maupun di luar parlemen secara keseluruhan (terutama dari luar/asing; karena musuh dari dalam/militer bukan musuh yang pokok), dapat dengan mudah diatasi. Saudara Rudi harus mengatakan itu, kalau saudara jujur. Bila PRD-PAPERNAS tidak bisa kita sebut JAHAT, maka ada kata yang lain yang pantas: NAIF (sebenarnya kata itu adalah penghalusan dari kata BODOH).
[6] Seperti kita mahfum, kelemahan landasan material, manajerial, yang membebani pembangunan kerakyatan di venezuela, diatasi dengan kekuatan politik—baik di dalam negeri (bersandar pada rakyat yang sadar secara ideologis); maupun dalam persatuan internasional dengan platform progresif.
[7] Batas antara realisitis dengan pragmatis nampaknya setipis kulit bawang.
[8] Seperti saya jelaskan sebelumnya, faktor lain yang akan membantu, seperti juga yang dilakukan oleh pemerintah Venezuela, adalah bersekutu secara internasional dengan platform progresif—bukan saja demi kepentingan ketahanan dukungan politik internasional, propaganda internasional, namun juga untuk mempertinggi tenaga produktif dalam pertukaran internasional yang lebih adil.
[9] Pengertian obyektif maknanya adalah: disadari atau tidak disadari oleh rakyat, kita harus menjelaskan pentingnya sosialisasi kekayaan (program darurat) dan alat-alat produksi sebagai kebutuhan obyektif rakyat; kita tidak boleh menipunya.
[10] Atau kehendak “luhur” Rudi, Data, dan Gede saja; boleh saja anda-anda mengatakan bahwa persatuan (atau persekongkolan) tersebut hanyalah taktis sifatnya, demi bersatu melawan neoliberalisme (yang menjadi “musuh” bersama)—bahkan rakyat dikerahkan untuk persekongkolan taktis tersebut—karena, dalam tahap selanjutnya (masih adakah tahap selanjutnya), kita kemudian “bisa” saja secara sejati/strategis berperang dengan mereka (masih bisakah mengerahkan rakyat?), karena kita harus “realistis” menahapi jenjang revolusi itu. Boleh, boleh, boleh saja anda-anda mengatakan semua itu, karena logika formal memang nikmat—karena logika formal tak perlu bersusah payah membentur-benturkan posisi dengan realita (dalam hal ini realita pengusaha, elit politisi partai dan non-partai, dan militer “nasionalis” Indonesia. Sekali lagi bukan realita kehendak, retorika, normatif semata).
[11] Kasihan rakyat yang masih memilih partai-partai dan elit-elit politik busuk tersebut. Mereka tak bisa mendapatkan kesadaran alaternatif karena wadah, saluran dan agitator-propagandisnya belum bisa digapai rakyat—diperparah lagi: agitator-propagandis (aktivis)nya sekarang sudah dikooptasi dan menggunakan alat-alat/cara-cara partai-partai serta elit politik busuk itu, bahkan, Kata Martha Harnecker, praktisi politik kiri mengadopsi praktek-praktek yang hamper-hampir tidak berbeda dari yang biasa dilakukan partai tradisional (Martha Harnecker, Gerakan untuk Partisipasi Kerakyatan, PEMBEBASAN, No.2, Tahun 1, Mei, 2008).
[12] Sampai-sampai mereka menyetujui Undang-Undang yang dapat menyeret orang yang menyebarluaskan GOLPUT ke penjara.
[13] Secara historis dan kongkrit, coba periksa kapasitas PBR dalam memperjuangkan kemandirian bangsa; juga, secara historis dan kongkrit, unur-unsur “nasionalis” manakah yang akan didukung oleh PBR, dan bagaimanakah caranya PBR meningkatkan/mendapatkan kapasitas material, manajerial dan politik perjuangan kemandirian bangsa (bahkan bila secara bertahap sekalipun). Yang sangat sulit bagi mereka, tentu saja, adalah mendapatkan kapasitas politik (dukungan rakyat) karena, secara histories, PBR disangsikan kesungguhan dan kapasitasnya dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan kemandirian nasional. Orang-orang PRD-PAPERNAS bisa saja mengatakan: “Ya, dengan adanya kami, maka rakyat akan lebih percaya kepada PBR karena, secara histories, kami sudah teruji dalam meperjuangkan kesejahteraan rakyat dan kemandirian nasional; nanti, apalagi bila kami memenangkan kursi di parlemen, dari atas/parlemen kami akan membangkitkan dukungan rakyat tersebut bahkah, bisa saja, kami akan mendapatkan dukungan dari militer dan kaum Islam” Boleh, boleh, boleh, anda-anda berkata demikian, bila ingin kembali disebut NAIF. Pertanyaannya adalah: bagaimana mungkin membangkitkan dukungan rakyat (bahkan militer dan kaum Islam) dari atas, sementara persiapannya belum dimatangkan. Apakah selama dari sekarang hingga (selesai) kampanye Pemilu 2009 cukup waktu untuk mempersiapkannya. Apakah itu yang dilakukan Chavez (seperti yang sering anda-anda sebutkan sebagai contoh revolusi dari atas, dari ajang parlementer)? Coba periksa kembali sejarah Chavez (tanpa ada manipulasi), dari mana dia dia dapat dukungan rakyat? Tolong beritahu kami agar kami tahu bahwa kami lah yang memang bodoh (atau mungkin anda-anda). Anda-anda bisa saja menjawabnya lagi: “Kita akan dengan sabar, secara gradualis, mempesiapkan dukungan rakyat tersebut. Kunci kami adalah, menang dahulu, masuk dahulu ke parlemen (dengan jalan kontradiktif, menggunakan alat partai busuk, sekalipun), karena itu dukunglah kami, kaum pergerakan.” Silakan perbanyak alasan-alasan lainnya—alasan-alasan yang berangkat dari situasi yang kontradiktif: APOLOGI.
[14] Ini tentu berbeda dengan Budiman Sudjatmiko yang, secara individual masuk ke PDIP (bahkan dia sudah di pecat dari PRD jauh sebelum bergabung ke PDIP).
[15] Bisa saja platform-nya mengangkat persoalan rakyat yang, secara tidak langsung, berkaitan dengan neoliberalisme secara sistemik.
[16] Untuk menutupinya—dan memang harus ditutupi—PRD/PAPERNAS harus mencari pembenaran, yakni: “Menurut kami, PRD-PAPERNAS, di Indonesia ada kekuatan-kekuatan anti-neoliberalisme di luar kaum pergerakan, seperti dari kalangan pengusaha nasional, militer maupun elit-elit politik lainnya.
[17] Seharusnya Data belajar dahulu makna-kata borjuis kecil secara ekonomi dan secara politik—apakah benar pemisahan borjuis kecil dan borjuis besar sekadar dipisahkan oleh kebangsaan? Modal Internasional ada yang juga kapasitas produksinya dikhususkan untuk pasar domestik; apakah borjuis kecil “berkebangsaan” Indonesia memiliki modal kecil, bergantung pada pasar domestik atau kapasitas produksi domestik?; apakah benar, sebagai calon sekutu potensial, borjuis kecil Indonesia sudah memasuki ranah kesadaran anti-neoliberalisme, atau kesadaran anti-neoliberalismenya masih dibelenggu ketergantungan terhadap tenaga produktif (juga pasar) internasional—kita tahu banyak para pemodal kecil sebenarnya memproduksi komoditi untuk untuk pasar intenasional, setelah dikumpulkan/digabungkan oleh para tengkulak besar pribumi; bahkan yang pasar dan kapasitas domestik pun tenaga produktifnya (terutama yang berteknologi menengah dan tinggi) masih tergantung pada produksi-produksi (modal) asing. Jadi, mereka itu tidak sepenuhnya MERASA dirugikan oleh modal asing, tapi TERGANTUNG, sehingga kesadarannya pun ambigu. (Data, hati-hati definisi anti-neoliberalisme anda bisa menjadi Xenophobia. Neoliberalisme, yang juga ada di negeri-negeri asalnya, negeri-negeri imperlisme, pun harus dilawan oleh rakyatnya sendiri dengan bersolidaritas dengan kita!) Dan makna potensial menjadi sekutu (pada tahap awal) anti-neoliberalisme adalah: setelah mereka yakin bahwa, dengan melawan neoliberalisme, kepentingan borjuisnya tidak terganggu; bahwa kapasitas borjuisnya bisa ditingkatkan tanpa neoliberalisme. Untuk MENGKONGKRITKAN unsur-unsur yang berkesadaran anti-neoliberalisme (pada tahap awal) itu saja, Data harus menyebutkannya SECARA KONGKRIT—apakah itu PBR (apa ada partai-partai lainnya lagi?), apakah itu KADIN, apakah itu HIPMI, apakah itu Amin Rais, Apakah itu Rizal Ramli, apakah itu Hendro priyono, (yang sebenarnya sudah ditanyakan pada Data oleh Pius, tapi dijawab oleh Data dengan abstrak dan tak memiliki etika akedemik: sudah saya jawab dalam tulisan/artikel saya sebelumnya), atau apakah itu pengusaha-pengusaha menengah (yang mempekerjakan buruh 20 sampai 99 orang, sebagaimana kategori United Industrial Development Organization/UNIDO); atau pengusaha-pengusaha kecil (yang mempekerjakan buruh 5 sampai 19 orang, sebagaimana kategori UNIDO); atau pengusaha-pengusaha rumahan (home industries) (yang mempekerjakan buruh 1 sampai 4 orang, sebagaimana kategori UNIDO); atau, dalam pengertian budaya (politik): juga mereka yang punya semangat anti-neoliberalisme (pararel dengan makna kerakyatannya, tentu saja). Bila itu maknanya, berarti, dalam tahap sekarang, perjuangan untuk mempersatukan unsur-unsur anti-neoliberalisme dari kalangan seperti yang disebutkan Data, Rudi, Gede, dan PRD-PAPERNAS, baru sampai tahap berpropaganda (kepada unsur-unsur tersebut). Kecuali bila unsur-unsurnya bukan itu, tapi DARI kalangan pergerakan (termasuk beberapa LSM), DARI ratusan juta borjuis kecil (dalam makna rakyat miskin yang, POTENSIAL, anti-neoliberalisme). Apalagi bila kalangan pergerakan sekarang ini mau menggunakan kapasitasnya yang ada untuk bersatu—sebenarnya, kapasitas persatuan nasionalnya dalam platform anti-neoliberalisme sudah meningkat bila dilihat dalam wujud Front Pembebsan Nasional/FPN dan Front Perjuangan Rakyat/FPR (dalam kadar programatik yang lebih rendah, dapat dilihat pada wujud wujud Front Rakyat Menggugat/FRM, yang hanya mengangkat issue kenaikan harga BBM, bukan langsung anti-neoliberalsime, sehingga rakyat kesulitan menangkap hubungan kenaikan BBM dengan issue anti-neoliberalisme). Namun, PRD-PAPERNAS, sudah berkesimpulan bahwa mereka sudah bisa diajak bekerjasama untuk memperjuangkan anti-neoliberalisme. Yang benar aja!
[18] Sekadar pertanyaan saja untuk Gede: tolong sebutkan lebih kongkrit, yang mana yang kau sebut “menggalang barisan bersama” untuk kemandirian bangsa. Jangan suka manipulatif (baca: membohongi rakyat).
[19] Dari bulan Desember, 2007, sebenarnya telah dibangun komitemen persatuan di antara pimpinan-pimpinan serikat buruh termasuk Srikat Pekerja Nasional (SPN), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), dan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), untuk melancarkan aksi-aksi mobilisasi menuntut beberapa persoalan buruh Indonesia secara bersama, termasuk melakukan aksi May Day secara bersamana tanpa keterlibatan Elit Politik.

Tidak ada komentar:

TERBITAN KPRM-PRD