15 Oktober 2008

Ratusan Pendemo Nginap dan Ancam Boikot Pemkab dan Pemilu 2009 Jika Tuntutan Tak Dipenuhi

15 Oktober 2008
harian suara indonesia baru

Rantauprapat (SIB)

Ratusan masyarakat miskin akhirnya menginap di halaman kantor Bupati Labuhanbatu di Jalan Sisingamangaraja Rantauprapat karena tuntutan massa yang tergabung dalam Serikat Tani Nasional Politik Rakyat Miskin (STN-PRM) itu, mengembalikan tanah rakyat, tidak dapat dipenuhi Pemkab Labuhanbatu.

Pengunjukrasa juga mengancam akan menyegel seluruh instansi Pemkab memboikot pemilihan umum calon legislatif 2009 di daerah itu dan terus menginap di halaman kantor bupati, jika tuntutan mereka tidak dipenuhi sesegera mungkin oleh Pemkab.
Pimpinan aksi, Yudi, kepada SIB, Selasa (14/10) di tengah-tengah aksi nginap di halaman kantor bupati, mengatakan itu dilakukan para petani miskin tersebut karena Pemkab Labuhanbatu kurang serius menangani tuntutan ratusan petani dari berbagai kelompok tani.

“Tindaklanjut tuntutan kami tidak jelas, sehingga apakah terus bertahan menginap di sini juga belum jelas sampai kapan,” tukasnya.

Selasa, sekira pukul 14 lewat, para pengunjukrasa itu kembali melanjutkan aksi tekanan terhadap Pemkab. Sebab dari pertemuan, Senin (13/10), petani pengunjukrasa masih pesimis dengan jawaban-jawaban Wakil Bupati H Sudarwanto, Plt Sekda Drs Karlos Siahaan, Kabag Hukum selaku sekretaris tim penyelesaian sengketa tanah dan Kabag Pemerintahan di ruang pertemuan kantor bupati.

”Kalau mereka (Bupati dan Wakil Bupati) masih tetap dengan bahasa yang tidak bertanggungjawab serta mengulur waktu penyelesaian sengketa tanah petani ini dengan sejumlah perusahaan perkebunan yang merampas tanahnya, kami akan terus melakukan aksi,” tandas Yudi.

Setelah pimpinan aksi dan ketua-ketua kelompok tani berorasi di teras kantor bupati, selanjutnya pihak Pemkab kembali memfasilitasi pertemuan di ruang tertutup yang bersebelahan dengan ruangan bupati.

Informasi dari pengunjukrasa, beberapa delegasi massa sedang berunding di ruangan tersebut bersama pihak Pemkab dan BPN.

Jika dalam pertemuan itu juga belum menemukan titik terang atas tuntutan rakyat miskin, maka pengunjukrasa akan terus menginap di halaman kantor bupati.
Ratusan massa rakyat miskin ini “menyerbu” kantor DPRD dan kantor bupati Labuhanbatu, sejak Senin (13/10). Massa petani miskin yang tergabung dalam STN PRM menuntut Pemkab melaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 secara murni dan konsekwen serta untuk mengembalikan tanah rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945 dalam amanat pasal 33.

Massa petani itu terdiri dari sedikitnya 4 kelompok tani (Poktan), yakni Kelompok Tani Bersatu (KTB), Kelompok Tani Tiga Maju (KTTM), Kelompok Tani Padang Halaban (KTPHS) dan Kelompok Tani Mentari (KTM) serta turut bersolidaritas dari PPRM, FNPBI PRM, LMND-PRM, SRMK-PRM, JNPM, GPB, GPL, PBB, KPM, SPS dan STN PRM Asahan, mendemo kantor Pemkab tersebut menuntut reforma agraria, menyelesaikan sengketa tanah dan mengembalikan tanah rakyat sesuai dengan amanat UU.

Kelompok massa yang menggunakan ikat kepala kain merah bertuliskan STN-PRM menginap di kantor bupati dan mendirikan bendera-bendera STN PRM di halaman kantor itu. Mereka meski lapar, tetap semangat dan bernyanyi untuk menggugah hati para pemimpin di daerah itu. (S25/e)
Read More......

Jika Tuntutan Tidak Dipenuhi: Ribuan Petani Ancam Boikot Pemilu Caleg

Selasa, 14-10-2008
*mawardi berampu | MedanBisnis – Rantauprapat

Tiga ribuan petani Labuhanbatu yang tergabung dalam Serikat Tani Nasional Politik Rakyat Miskin (STN-PRM) Labuhanbatu mengancam akan memboikot pemilihan umum (pemilu) calon legislatif (caleg) di daerah ini jika tuntutan mereka tidak dipenuhi. Tuntutan ribuan petani dari berbagai kelompok tani di daerah tersebut disampaikan dalam aksi unjuk rasa, Senin (13/10).

Aksi tersebut dimulai dari Lapangan Ika Bina Rantauprapat menuju Gedung DPRD dan Kantor Bupati Labuhanbatu dengan long march. Massa juga membawa spanduk dan poster-poster yang bunyinya mencerca Bupati dan Wakil Bupati Labuhanbatu.
Di Gedung DPRD, para pendemo memaksa anggota dewan untuk keluar dari “sarangnya” dan bersama-sama menuju Kantor Bupati Labuhanbatu. Pimpinan DPRD Labuhanbatu, H Zainal Harahap bersama Komisi A, masing-masing Khairuddin Bay dan Dahlan Bukhari menyetujui permintaan pendemo.

“Kami sepakat jika kita sama-sama mempertanyakan kepada bupati terkait persoalan konflik tanah saudara-saudara sekalian. Apalagi, sesuai yang diamanahkan undang-undang, persoalan tanah diselesaikan di daerah sendiri. Karena, kasus tanah yang saudara tuntut sudah kami rekomendasikan kepada eksekutif,” tegas Dahlan Bukhari.
Setibanya di kantor bupati, para pendemo sempat dihadang Satpol PP. Namun karena khawatir terjadi anarkis atau kericuhan, para pendemo akhirnya dibebaskan berorasi dan berkumpul di teras kantor tersebut.

Kami ingatkan, jika kasus-kasus petani di daerah ini tidak ditanggapi secara serius dan tidak diselesaikan, maka pemkab harus bertanggungjawab jika petani yang hadir di tempat ini (ribuan pendemo-red), akan memboikot pemilu caleg mendatang,” seru Yudi, salah seorang orator massa.

Lebih lanjut Yudi mengatakan, dalam menyikapi peringatan hari tani ke-48 ini, STN – PRM menuntut agar para perusahaan perkebunan yang dahulunya merampas lahan petani, agar mengembalikannya. Sehingga banyak di antara perusahaan di daerah tersebut mengelola lahan melebihi luas hak guna usaha (HGU) yang dimiliki.

Wakil Bupati Labuhanbatu, Sudarwanto yang menerima massa pendemo, menyarankan agar diadakan dialog. Dalam dialog tersebut, pemkab terlihat tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan para delegasi pendemo.

Dalam dialog tersebut, akhirnya disimpulkan untuk melanjutkannya besok harinya dengan mengundang pihak-pihak terkait. Massa akhirnya memilih menginap di perkantoran tersebut.
Read More......

Unjuk Rasa Petani di Gedung DPRD Labuhan Batu Sumut

14 Oktober 2008

Liputan Metro TV:
Cek disini

Metrotvnews.com, Labuhan Batu: Ribuan petani berunjuk rasa di depan Gedung DPRD Labuhan Batu, Sumatra Utara, Selasa (14/10). Mereka kecewa dengan anggota Dewan yang dinilai setengah hati menyelesaikan kasus sengketa tanah yang melibatkan petani.

Sebelumnya anggota DPRD pernah berjanji akan membereskan kasus sengketa lahan yang melibatkan petani dan PT Citef, PT Smarf Padang Halaban, dan PT Milano. Demonstran mengancam akan memboikot pemilu legislatif bila anggota DPRD tidak menuntaskan kasus ini.

Petani menuduh ketiga perusahaan melanggar hak guna usaha lahan seluas hampir 2.000 hektare di Kabupaten Labuhan Batu. Warga sudah lelah karena kasus ini tak pernah selesai meski sudah berjalan lebih dari lima tahun.(***)
Read More......

Ribuan Petani Ancam Boikot Pemilu


14 Oktober 2008

di ambil dari :http://labuhanbatunews.wordpress.com/2008/10/14/ribuan-petani-ancam-boikot-pemilu/

Jika Bupati Labuhan Batu HT Milwan tak segera menyelesaikan masalah sengketa lahan yang banyak terjadi saat ini, maka tiga ribuan petani tergabung dalam Serikat Tani Nasional Politik Rakyat Miskin (STN-PRM), siap memboikot jalannya Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif di Labuhan Batu. Ancaman tersebut disampaikan petani saat berunjukrasa di depan kantor Bupati Labuhan Batu, Senin (13/10).

Dari amatan di lapangan, aksi unjukrasa tersebut diwarnai dengan longmarch massa dari Lapangan Ika Bina Rantau Prapat menuju kantor DPRD Labuhan Batu. Setibanya di gedung wakil rakyat para pendemo lalu memaksa anggota dewan untuk ikut berbaur bersama massa melanjutkan perjalanan menuju kantor Bupati Labuhan Batu sebagai tujuan utama para pendemo.

Pimpinan DPRD Labuhan Batu H Zainal Harahap bersama anggota Komisi A masing-masing Khairuddin Bay dan Dahlan Bukhari, terlihat ikut di tengah-tengah kerumunan massa. “Kami sepakat jika bersama-sama mempertanyakan kepada bupati terkait persoalan konflik tanah saudara-saudara petani. Apalagi, sesuai yang diamanahkan undang-undang, persoalan tanah diselesaikan di daerah sendiri. Karena, kasus tanah yang dituntut petani sudah kami rekomendasikan kepada eksekutif,” tegas Dahlan Bukhari.
Setelah melalui perjalanan dengan berjalan kaki dari kantor DPRD menuju kantor Bupati Labuhan Batu, perwakilan massa kemudian berorasi menggunakan pengeras suara. Poseter-poster serta spanduk melecehkan bupati dan wakilnya dipampangkan dan diacungkan para pendemo. Dalam orasi yang disampaikan perwakilan pendemo, terlihat jelas penyampaian orasi tak lain sebagai implementasi dari ekspresi kekecewaan mereka terkait ketidakseriusan pemkab setempat menyelesaikan kasus tanah di daerah ini.

“Kami ingatkan, jika kasus-kasus petani di daerah ini tidak ditanggapi secara serius dan tidak diselesaikan, maka pemkab harus bertanggungjawab jika petani yang hadir di tempat ini, tiga ribuan orang akan memboikot pemilu caleg mendatang,” seru Yudi, salahseorang orator massa.

Lebih lanjut Yudi mengatakan, dalam menyikapi peringatan hari tani ke 48 ini, STN–PRM menuntut agar para perusahaan perkebunan yang dahulunya merampas lahan petani, agar segra mengembalikan lahan itu kembali kepada petani. Selama ini, banyak di antara perusahaan di daerah tersebut mengelola lahan melebihi luas hak guna usaha (HGU) yang dimiliki. Hal tersebut berlangsung secara berkelanjutan dikarenakan adanya lampu hijau dari pihak pemerintah setempat. Sehingga, menjadikan banyak kasus tanah di daerah ini tidak kunjung selesai hingga berpuluh tahun lamanya.

Bupati HT Milwan yang diwakili Wakil Bupati Labuhan Batu H Sudarwanto, akhirnya menerima massa pendemo untuk berdialog membahas tuntutan petani. Dalam dialog tersebut, pemkab terlihat mati kutu atau tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan para delegasi pendemo. Dialog saat itu tak membuah kesepakatan antara petani dan pemerintah. Hingga akhirnya, Sudarwanto menunda dialog dan berjanji akan melanjutkannya hari ini dengan mengundang pihak-pihak terkait.

Massa yang kurang puas dengan tawaran yang diberikan Sudarwanto, akhirnya sepakat untuk menginap di halaman kantor bupati. “Kami akan menginap di kantor ini. Karena tuntutan kami belum dipenuhi. Selain itu, wakil bupati juga mengakui pihaknya cukup lambat menangani kasus tanah di daerah ini,” terang Sabar, salah seorang delegasi petani yang ikut berdialog saat itu.

Menurut Sabar, pihaknya tidak akan beranjak dari kantor orang nomor satu itu jika langkah konkrit dalam penyelesaian kasus tanah di daerah ini tak diwujudkan Pemkab Labuhan Batu. “Inti tuntutan kami (petani-red), penyelesaian kasus tanah di daerah ini. Kemudian, pengukuran ulang HGU perusahaan perkebunan yang ada di daerah ini,” papar Sabar. Hingga Senin sore, ribuan massa masih terlihat menduduki kantor bupati. (FDH)
Read More......

Ratusan Massa Rakyat Miskin “Serbu” Kantor DPRD dan Bupati Labuhanbatu

14 Oktober, 2008
http://hariansib.com/2008/10/14/ratusan-massa-rakyat-miskin-%E2%80%9Cserbu%E2%80%9D-kantor-dprd-dan-bupati-labuhanbatu/

Labuhanbatu (SIB)

Ratusan massa rakyat miskin “menyerbu” kantor DPRD dan kantor Bupati Labuhanbatu, Senin (13/10). Massa petani miskin ini menuntut Pemkab melaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 secara murni dan konsekwen serta untuk mengembalikan tanah rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945.

Massa yang menamakan dirinya dari Serikat Tani Nasional Politik Rakyat Miskin (STN PRM) Labuhanbatu terdiri dari sedikitnya 4 kelompok tani (Poktan), yakni Kelompok Tani Bersatu (KTB), Kelompok Tani Tiga Maju (KTTM), Kelompok Tani Padang Halaban dan Kelompok Tani Mentari (KTM) serta turut bersolidaritas dari PPRM, FNPBI PRM, LMND-PRM, SRMK-PRM, JNPM, GPB, GPL, PBB, KPM, SPS dan STN PRM Asahan, mendemo kantor Pemkab tersebut menuntut reforma agraria, menyelesaikan sengketa tanah dan mengembalikan tanah rakyat sesuai dengan amanat UU.

Kelompok massa yang menggunakan ikat kepala kain merah bertuliskan STN-PRM bergerak dari lapangan Ika Bina Jalan MT Thamrin menuju kantor DPRD dan kantor Bupati Labuhanbatu di Jalan Sisingamangaraja Rantauprapat sekira 10 Km. Mereka menumpang truk, angkot dan sepeda motor. Barisan para petani ini sempat membuat macet arus lalulintas jalan lintas Sumatera Rantauprapat-Aeknabara, apalagi di dekat pusat-pusat keramaian.

Mereka membawa banyak poster, spanduk, bendera merah putih, bendera STN PRM dan menabur selebaran seruan politik STN PRM Labuhanbatu, agar pemerintah melaksanakan UUPA 05/1960 bahwa tanah untuk rakyat, di antaranya bertuliskan; “Bupati harus tegas kalau tidak mundur”, “Kembalikan tanah rakyat yang dirampas” dan lainnya.
Di kantor DPRD, massa STN PRM diterima wakil ketua H Zainal, Komisi A Drs Chairudin, Dahlan Bukhori dan anggota Rikardo Barus, Hj Dumanggor, Panggar Nasution, Bindu Siahaan SE.

Kordinator aksi berorasi di halaman gedung DPRD itu. Selanjutnya para anggota Dewan tersebut bersama pengunjukrasa bergerak ke kantor bupati yang tak jauh dari gedung Dewan.

Setelah seperempat jam massa berorasi di halaman kantor bupati, Wakil Bupati H Sudarwanto bersama Plt Sekdakab Drs Karlos Siahaan, menerima kedatangan petani pengunjukrasa.

Jawaban Wabup Sudarwanto sempat disoraki massa. “Bohong!” teriak pendemo mendengar Wabup yang menyebut masih perlu berkomunikasi untuk melalui mekanisme apa tuntutan STN PRM.

Semula massa yang sempat menerobos hadangan petugas Satpol PP dan pihak kepolisian, menolak kalau tuntutan mereka dibahas bersama delegasi massa. Namun akhirnya petani pendemo itu setuju sepuluh orang delegasi menyampaikan unek-uneknya kepada Pemkab di ruang pertemuan kantor bupati.

Ketua STN PRM Suprono, Sabar dari KTB, Saeno dari KTM, Maulana Safei dari Kelompok Tani Padang Halaban dan Nuriaman dari KTTM menyampaikan sejumlah masalah yang mereka hadapi di daerah masing-masing. Nuriaman meminta Pemkab mengembalikan tanah orangtua mereka di Pangkatan yang dirampas pengusaha.

Mangiring Sinaga yang turut mendampingi para perwakilan Poktan itu mengatakan Pemkab harus melaksanakan UUPA N.05 tahun 1960 (tanah untuk rakyat) secara murni dan konsekwen serta mengembalikan tanah rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 33 dan landre form bahwa kepala daerah diberikan kewenangan menyelesaikan sengketa tanah.

“Menurut BPN Wilayah Sumut, penyelesaian sengketa tanah masih terhambat di Pemkab Labuhanbatu,” kata Mangiring, seraya membuka berkasnya tentang hasil tinjauan fisik lapangan PT Tolan oleh Pemkab dan BPN Labuhanbatu beberapa waktu lalu. Dari hasil itu, katanya, HGU PT Tolan berlebih sekitar 1200 hektare dengan luas lahan dalam HGU 3672 hektare yang berakhir sampai 2023.

Wabup Sudarwanto menjawab itu menyebutkan bahwa pihaknya bersama BPN masih hanya mencek bukti fisik. Dia juga meminta delegasi massa tidak membahas masalah itu melebar. “Jangan dibahas melebar. Itu masih cek bukti fisik dan itu yang mau kita bicarakan ke depan,” tukas Sudarwanto.

Plt Sekdakab Karlos Siahaan dan Kabag Hukum Ali Usman selaku Sekretaris Sengketa Tanah mencoba menjelaskan masalah penyelesaian sengketa tanah kepada delegasi massa, namun para delegasi tidak dapat menerima penjelasan dimaksud karena hanya membahas kewenangan dan mekanisme dan peninjauan lapangan.

Saeno menilai Tim Sengketa Tanah Pemkab Labuhanbatu belum teruji. “Saya sudah sering ikut dialog dengan Pemkab di ruangan ini, tetapi nilai tawar dialog semakin rendah. Tim sengketa tanah belum teruji, khusus soal KTM, tinjauan apa lagi yang belum dilakukan,” kesalnya. Menurut dia, eksekusi yang dilakukan pihak Pengadilan Negeri Rantauprapat di Pengarungan salah objek dan tidak sesuai prosedur putusan pengadilan.
Sekretaris Komisi A DPRD Dahlan Bukhori dalam kesempatan itu meminta Pemkab jangan hanya mengharap data dari perusahaan karena Pemkab juga berhak memperoleh data serta harus memperjuangkan tuntutan rakyat. (S25/d)
Read More......

Pemerintah Didesak Realisasikan Reforma Agraria

Tuesday, 30 September 2008 21:06 WIB
HASANUL HIDAYAT | WASPADA ONLINE

http://www.waspada.co.id/Berita/MEDAN/Pemerintah-didesak-realisasikan-reforma-agraria.html

MEDAN - Untuk menyelamatkan petani miskin dan mengurangi konflik lahan di Indonesia, sejumlah penggiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menilai pemerintah harus segera melakukan reforma agraria dengan melakukan pendistribusian lahan kepada masyarakat sesegera mungkin.

Ketua Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sumut, Zulfadli Matondang kepada wartawan di Medan, Rabu (24/9) menyebutkan pemerintah harus dapat merealisasikan program reforma agraria secara bertahap.

"Sebab sebelumnya Presiden SBY pernah berjanji pemerintah akan mengambil langkah mengalokasikan tanah yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain untuk rakyat termiskin. Lahan dialokasikan tersebut menurut hukum pertanahan boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat," katanya dalam rangka memperingati Hari Tani 24 September 2008.

Dia menjelaskan, berdasarkan data Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, (TKPKRI) sampai Juli 2007, penduduk miskin Indonesia mencapai 37,17 juta orang. Sebagian besar atau sekitar 72 persen di antaranya berada di pedesaan dan berprofesi sebagai petani.

"Permasalahan tersebut umumnya karena petani tidak memiliki lahan. Padahal sebagai petani mereka sangat bergantung pada lahan. Karena itu pelaksanaan reforma agraria sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak," katanya.

Zulfadli memaparkan, di Indonesia terdapat 13.253 juta rumah tangga pertanian yang hanya memiliki 0,5 hektar tanah dan biasa disebut petani gurem. Jumlah rumah tangga petani gurem tersebut ternyata tidak hanya terdapat di pulau Jawa, tetapi terdapat juga di luar Jawa.

"Sekitar 74 dari 100 rumah tangga petani di Jawa adalah petani gurem, sedangkan di luar Jawa 1 di antara 3 petani adalah petani gurem yang tak punya lahan. Karena itu reformasi agraria memang sudah harus segera dilakukan," tegasnya.

Sementara itu, Ketua Komite Pimpinan Wilayah Serikat Tani Nasional-Politik Rakyat Miskin (KPW STN-PRM) Sumut Mangiring P. Sinagas menyebutkan konsentrasi penguasaan tanah oleh perkebunan besar dan pengusaha swasta menyebabkan tanah pertanian semakin menyempit. Hal itu sering menimbulkan konflik tanah antara warga petani dengan dengan pemodal dan aparat keamanan.

Mangiring menegaskan, satu-satunya Jln untuk menghentikan segala bentuk penindasan pada petani hanya dengan menyatukan kekuatan untuk mewujudkan pembebasan sejati dengan menuntut reforma agraria sesegera mungkin.

Kapitalistik

Sementara itu, Koordinator Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia (BITRA) Indonesia, Iswan Kaputra menyebutkan Indonesia selama ini secara konsisten menganut dan menerapkan politik agraria kapitalistik, yang menjadikan tanah dan kekayaan alam lainnya sebagai komoditi serta objek eksploitasi dan akumulasi modal besar asing maupun domestik yang beroperasi di berbagai sektor.

"Berbagai peraturan perundang-undangan dan program-program pembangunan di lapangan agraria praktis diabdikan untuk memenuhi orientasi politik agraria yang kapitalistik itu," ujar Iswan.

Dia mencontohkan, UU yang mengatur kehutanan, pertambangan minyak dan gas bumi, pengairan, perikanan, dan sebagainya, yang keseluruhan peraturannya mengandung semangat dan isi yang memfasilitasi modal besar ketimbang memenuhi hak-hak rakyat banyak.
[win/wir]
Read More......

Seruan Politik Serikat Tani Nasional-Politik Rakyat Miskin Sumatra Utara

Pernyataan Sikap

Laksanakan UUPA No. 05 Tahun 1960 (Tanah untuk Rakyat)Secara Murni dan Konsekwen!
Kembalikan Tanah Rakyat Sesuai dengan Amanat UUD 1945 & UUPA No. 05 Thn. 1960!

Kelahiran UUPA, merupakan tonggak sejarah hukum agraria yang secara normatif menempatkan petani pada proses pemberdayaan untuk memperoleh kekuasaan, kekuatan, dan kemampuan terhadap sumber daya tanah. UUPA sebagai rekonstruksi bangunan politik agraria, bertujuan menjamin hak-hak petani atas tanah. Inilah yang seharusnya direnungkan oleh para elite penguasa di negara agraris untuk mengedepankan makna kemerdekaan bagi petani, yakni kuatnya hak atas tanah yang dimilikinya. Dengan dianutnya model pembangunan ekonomi bergaya kapitalis, telah merubah politik agraria dari populis ke kapitalis. UUPA lebih ditafsir untuk menjustifikasi kebijakan yang justru bertentangan dengan UUPA. Politik agraria, telah menempatkan tanah sebagai masalah rutin birokrasi pembangunan. Agrarian reform yang semula untuk menata penguasaan tanah, khususnya hak milik, menjadi berhenti dan seolah-olah UUPA "dipeti-eskan" demi pembangunan.

Di bidang perundang-undangan, dilahirkan produk yang bertentangan dengan UUPA, sehingga muncul berbagai konflik agraria yang menempatkan petani di pihak yang selalu dikalahkan demi kepentingan pembangunan. Bandul kebijakannya, menjadi lebih berat ke politik pemerintah, bukan pembangunan pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Dengan adanya intervensi kekuatan imperialisme dalam berbagai bentuk paket kebijakan Neo-liberalisme, bentuk kebijakan pemerintah Indonesia pun telah melahirkan sekian banyak persoalan yang menyangkut hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya maupun hak sipil dan politik.


Keputusan yang berkaitan dengan hal tersebut, dapat dilihat dengan keluarnya beberapa produk peraturan perundang-undangan yang tidak menguntungkan masyarakat bawah, misalnya, UU SDA Nomor 7 Tahun 2004, UU Perkebunan, UU Ketenagalistrikan, Amandemen UU Tata Ruang, UU ketenagakerjaan, privatisasi BUMN yang menyangkut hajat hidup orang banyak, Pencabutan Subsidi Pendidikan, KepMen No. 41 Tahun 2004, SK Menhut 134 2004, Perpres No. 36 tahun 2005, dan aset publik lainnya. Dampak dari beberapa contoh produk kebijakan di atas, sangat jelas akan merugikan rakyat, di tengah ketimpangan demokrasi yang masih diatasnamakan oleh pemerintah untuk menindas rakyatnya. Produk-produk kebijakan tersebut, mengarah pada pengekangan hak-hak rakyat ketimbang menyejahterakan rakyat, terbukanya peluang pemodal sebagai alat penghisap telah dilegalisasikan negara untuk melakukan eksploitasi kekayaan sumber-sumber agraria yang ada, salah satunya adalah tanah. Semua ini telah bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pembentukan negara RI yang anti-penjajahan.

Namun, sampai saat ini, realitas dominasi pemerintah dan pemilik modal maupun intervensi asing masih saja menjajah negara Indonesia, dengan berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM di berbagai pelosok penjuru Indonesia. Sebaliknya, posisi petani semakin tidak terjamin hak hukumnya atas tanah apalagi dengan HGU (Hak Guna Usaha) yang mayoritas dimiliki pihak swasta yang masa waktunya sekitar 25-30 tahun, sehingga terjadi ketidakberdayaan petani. Petani dihadapkan pada masalah, yakni sebagai petani tidak berlahan atau berlahan sempit. Akibatnya, sepanjang berlakunya UUPA selalu ditemui adanya sengketa tanah beserta problem sosial yang mengikutinya, sehingga memicu pelanggaran hak-hak atas tanah petani.

Konsentrasi penguasaan tanah oleh perkebunan besar dan pengusaha swasta, menyebabkan tanah pertanian semakin menyempit. Adanya ketimpangan penguasaan aset tanah serta hilangnya potensi pemanfaatan dan pengelolaan dengan tidak diakuinya berbagai bukti-bukti kepemilikan dan penguasaan petani maupun komunitas lokal oleh penguasa, memunculkan berbagai permasalahan dan konflik yang tidak seimbang antara kekuatan petani dengan kekuasaan dan pemodal. Aset petani dalam wujud tanah, tanaman, tempat tinggal tidak pernah diganti sesuai dengan kelayakan kehidupan petani. Belum lagi, efek kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh proses eksploitasi sumber daya alam yang berefek pada kerusakan ekosistem dan lingkungan.

Belum lagi tindakan represif dan intimidasi aparat keamanan dan kekuatan milisi sipil senantiasa memunculkan berbagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sampai sekarang tidak pernah terselesaikan dalam perjuangan kaum tani dalam mempertahankan haknya atas tanah.. Represivitas/praktek kekerasan terhadap petani dan permasalahan kebijakan yang tidak berpihak terhadap petani sampai sekarang tetap dilakukan oleh Penguasa dengan menggunakan aparatus-aparatusnya, yang merupakan instrumen bagi negara. Hal ini menjadi pemikiran bagi kita semua apabila nantinya persoalan-persoalan pemaksaan kehendak penguasa ingin mengambil tanah rakyat untuk kepentingan pembangunan yang legal dalam perpres No. 36 Tahun 2005. Tentunya, akan banyak memakan korban dipihak rakyat, khususnya petani yang menggantungkan hidup pada tanah sebagai lahan garapannya.

Maka dalam menyikapi peringatan hari tani yang ke-48 ini, kami dari Serikat Tani Nasional-Politik Rakyat Miskin Sumatera Utara (STN-PRM SUMUT), mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menyerukan Konsolidasi Masyarakat Sipil Demokratik sebagai pilihan, bersama-sama bergerak mewujudkan demokrasi dan pembebasan sejati, serta menuntut:

1. Reforma Agraria, Berikan Hak Rakyat Atas Tanah Sekarang Juga!
2. Selesaikan Sengketa dan Kembalikan Tanah Rakyat Sesuai dengan Amanat UUD 1945 Pasal 33 dan UUPA No.05 Tahun 1960.
3. Pendidikan, Perumahan Layak, dan Kesehatan Gratis Bagi Rakyat
4. Cabut Undang-undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) yang Merupakan Biang Kemiskinan di Indonesia.
5. Cabut Pepres No. 36 Tahun 2005
6. Cabut UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
7. Cabut UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan
8. Tolak Liberalisasi Sektor Agraria (Privatisasi/Penjualan Aset Negara yaitu Perkebunan BUMN) yang Merupakan Agenda Neo-Liberalisme.
9. Kembalikan Hak dan Kedaulatan Rakyat Atas Sumber-Sumber Agraria.
10. Hentikan Praktek-Praktek Kekerasan yang Dilakukan Negara Terhadap Petani
11. Ukur Ulang dan Cabut HGU Perusahaan Perkebunan yang Bersengketa (merugikan) kesejahteraan Rakyat.
12. Nasionalisasi Industri Asing (Perkebunan) untuk Kesejahteraa Rakyat.

Demikian Penyataan Sikap ini Kami sampaikan kepada semua pihak demi terwujudnya masyarakat adil dan sejahtera sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar (UUD) Tahun 1945 Pasal 33 ayat 3 yang kemudian dituangkan dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No.05 Tahun 1960.

Sumatera Utara, 24 September 2008
Komite Pimpinan Wilayah Serikat Tani Nasional-Politik Rakyat Miskin umatera Utara
(KPW STN-PRM SUMUT)

Ketua,
Mangiring P. Sinaga S.Sos


Tembusan:

1. Presiden RI di Jakarta.
2. Ketua MPR-RI di Jakarta.
3. Ketua DPR-RI di Jakarta.
4. Ketua DPD-RI di Jakarta.
5. Kepala BPN Pusat di Jakarta.
6. Mahkamah Konstitusi di Jakarta.
7. Jaksa Agung di Jakarta.
8. Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta.
9. Menteri BUMN di Jakarta.
10. Menteri Perkebunan di Jakarta.
11. Kapolri di Jakarta.
12. Pangab di Jakarta.
13. Gubernur Sumut di Medan.
14. Kepala BPN Sumut di Medan.
15. Kapolda Sumut di Medan.
16. Pangdam Bukit Barisan di Medan.
17. Ketua DPRD-SU di Medan
18. Kejati-SU di Medan.
19. Seluruh Kepala Daerah Tk. II Prop. Sumut.
20. Insan Pers dan Masyarakat Publik, dan
21. Seluruh Instansi Terkait lainnya.
Read More......

12 Oktober 2008

Tuntut Kesejahteraan Bagi Petani; Tolak RUU Pornografi


KOMITE RAKYAT BERSATU
(SMI, JNPM, LMND PRM, PRP, PERSMA JOGJA, SPI, PPRM, KAMERAD, RESISTA, MASIH SEGARIS)
CP: 08566626888

BANGUN PERSATUAN GERAKAN RAKYAT YANG MANDIRI:
TUNTUT KESEJAHTERAAN BAGI PETANI!!
TOLAK RUU PORNOGRAFI!!

Semenjak kebijakan neoliberalisme dijalankan dan kebijakan pasar bebas di terapkan, produk-produk pertanian asing dapat masuk dengan leluasa dan dengan pajak yang kecil ke dalam negeri ini. Hal ini mengakibatkan semakin tidak lakunya hasil pertanian dalam negeri, karena harganya yang lebih mahal dibandingkan dengan produk-produk asing tersebut. Lebih mahalnya harga hasil pertanian dalam negeri ini disebabkan oleh rendahnya tehnologi pertanian dan minimnya modal produksi pertanian, disisi lain subsidi pertanian dan sosial secara perlahan-lahan dipangkas oleh pemerintah, yang menyebabkan mahalnya harga pupuk, bahan bakar, bibit, dan kebutuhan produksi yang lainnya. Pemiskinan terhadap petani ini menyebabkan petani lebih memilih menjual lahannya dan pergi ke kota untuk menjadi buruh kasar atau buruh migrant (TKI). Maka hancurlah pertanian dalam negeri, dan meningkatlah perdagangan manusia.

Neoliberalisme di bidang pertanian juga membuat negara tidak memiliki kedaulatan tehadap produk pertanian kita. Liberalisasi perdagangan membuat negara tidak mempunyai kekuasaan monopoli terhadap produksi dan distribusi pertanian. Inilah yang menyebabkan negara yang merupakan salah satu produsen minyak goreng di dunia sering mengalami kelangkaan minyak goreng. Kelangkaan ini tidak lain disebabkan karena CPO (Crude Palm Oil) atau minyak sawit mentah justru di Ekspor keluar negeri. Hal ini pula yang menyebabkan marak terjadinya busung lapar (karena kurang gizi), karena negara tidak mampu mengontrol harga pangan sehingga bisa dijangkau oleh rakyat. Sehingga dapat kita simpulkan, hancurnya pertanian dalam negeri ini akan mengakibatkan hancurnya kesejahteraan rakyat.

Dalam situasi pertanian yang mengenaskan ini dan semakin menurunnya kesejahteraan rakyat, alih-alih berusaha meningkatkan produktifitas pertanian dalam negeri dengan menyelesaikan masalah dasarnya (tehnologi, modal, SDM yang berkualitas), pemerintah malah mengeluarkan RUU pornografi yang semakin menghambat produktifitas petani rakyat (terutama perempuan).
Kemiskinan mendorong kaum perempuan (termasuk perempuan petani) terlibat dalam industri pornografi karena tidak memiliki alternatif penghidupan. Namun bukannya berusaha menyelesaikan kemiskinan sebagai akar permasalahan, RUU Pornografi semakin membuat kaum perempuan menurun tenaga produktifnya, dengan menerapkan aturan-aturan yang membatasi gerak perempuan. Selain itu RUU Pornografi juga akan memicu munculnya perda-perda syari’ah yang akan membatasi perempuan untuk beraktivitas di wilayah publik. Padahal salah satu syarat memajukan kaum perempuan adalah dengan mendorong perempuan untuk terlibat di wilayah publik. RUU Pornografi ini adalah upaya cuci tangan pemerintah dalam mengatasi persoalan kesejahteraan rakyat dengan menempatkan kaum perempuan sebagai sumber dari bobroknya moral bangsa.
Menjelang Pemilu 2009, saat semua partai beramai-ramai menonjolkan program mereka untuk mendukung kesetaraan bagi kaum perempuan, mendukung kuota 30%, tetapi mayoritas (Golkar, Partai Demokrat, PKS, PAN, PKB, PBR, PBB, Partai Pelopor, PPP) tidak satupun yang mempunyai sikap tegas menolak RUU Pornografi. Partai-partai politik baru juga bersikap masa bodoh dan tidak mau tahu. PDS dan PDIP yang menyatakan penolakan terhadap RUU Pornografi juga belum menunjukkan keseriusan dalam upaya menggagalkan RUU ini. Bahkan dalam sejarahnya, dua partai ini juga setia mendukung kebijakan-kebijakan yang merugikan perempuan seperti kebijakan pencabutan subsidi sosial dan privatisasi industri negara. Saat megawati berkuasa, pemerintahannya juga menjadi agen setia imperialisme, ini terbukti dengan adanya kebijakan privatisasi industri negara dan pencabutan subsidi BBM yang semakin menyengsarakan kaum perempuan dalam masyarakat yang masih patriarkis (menempatkan perempuan dibawah laki-laki).

Berdasarkan situasi tersebut diatas kami dari Komite Rakyat Bersatu menegaskan:

Tuntutan Mendesak Rakyat
1. Gagalkan pengesahan RUU Pornografi
2. Turunkan harga pupuk
3. Hentikan impor barang pertanian asing
4. Sediakan tehnologi yang murah, berkualitas dan modal bagi petani
5. Pendidikan dan kesehatan gratis yang layak dan berkualitas
6. Cabut UU Penanaman Modal No.25/2207, UU No. 7/1996 tentang katahanan pangan
7. Tolak penggusuran warga parang tritis dan kulon progo
8. Batalkan kenaikan harga BBM
9. Kuota 50% perempuan di wilayah-wilayah publik
10. Jaminan kebebasan orientasi seksual
11. Lapangan kerja untuk rakyat

Musuh Rakyat:
1. Imperialisme dan agen-agennya di Indonesia (SBY-JK)
2. Reformis gadungan
3. Sisa-sisa orde baru
4. Fundamentalisme
5. Militerisme

Solusi Rakyat Indonesia untuk Negara:

1. Rebut Dan Kelola Industri Tambang Asing Dibawah Kontrol Rakyat
2. Bangun Industrialisasi Nasional Yang Kerakyatan
3. Laksanakan Reforma Agraria Sejati (Land Reform)
4. Hapus Hutang Luar Negeri
5. Sita Harta Koruptor Untuk Kesejahteraan Rakyat
6. Rebut Industri Perbankan Untuk Rakyat

Yogyakarta, 24 September 2008

Linda Sudiono
Koordinator Umum


Read More......

Pernyataan Sikap Aksi Aliansi Rakyat Anti Penggusuran Yogyakarta


ALIANSI RAKYAT ANTI PENGGUSURAN (ARAP)
Jogo Sengsoro, PSB, SBII Bantul, SPI, PPRM, PRP, LMND-PRM, JNPM, SMI, dll

Pernyataan sikap :
“Sedumuk Bathuk, Senyari Bumi
Kudu di Belani Nganti Tekaning Pati”
(Tanahku, Hidupku, kan Aku Bela Sampai Mati)

Salam pembebasan!

Penggusuran rumah dan kios perdagangan rakyat yang dilakukan sepanjang kawasan pantai Parangtritis adalah sebagai akibat dari adanya kontrak kerjasama yang jahat antara Pemerintah Anti Rakyat Miskin dengan pemilik modal internasional. Penggusuran yang mengatasnamakan penertiban kawasan pariwisata ini mengakibatkan kerugian yang luar biasa besarnya, terutama terhadap hak-hak rakyat Parangtritis untuk dapat bekerja agar bisa bertahan hidup ditengah himpitan krisis ekonomi yang semakin mencekik leher rakyat miskin. Lokasi wisata Parangtritis dengan wajah yang baru pun akan segera muncul dengan eksklusif, elegan dan megah berdiri diatas cucuran darah dan keringat rakyat miskin yang tergusur lahan usahanya.

Alasan yang selalu digembar-gemborkan Pemkab Bantul bahwa tanah di kawasan pantai adalah milik Sultan (Sultan Ground/SG). Di Jogja memang ada sebagian tanah SG dan Pakualaman Ground (PG) dan posisi inilah yang gunakan untuk melakukan klaim atas tanah di pinggir pantai sebagai tanah ulayat, hak komunal kraton masa lalu, yant ternyata tidak dijamin dalam Undang-undang Pokok Agraria 1960. Hal ini semakin dikuatkan bahwa di Badan Pertanahan Nasional (BPN) maupun bagian pemerintah Sekda kab/kota tak ditemukan dan tidak dapat menunjukkan bahwa di objek wisata Parangtritis ada tanah milik Sultan (SG).

Proses penyingkiran rakyat miskin dari kawasan ini telah dimulai sejak tahun 2006. Namun gencarnya perlawanan radikal rakyat pada saat itu, yang dilakukan dengan cara menduduki kantor DPRD Propinsi Yogyakarta selama seminggu, mampu menunda penggusuran sampai setahun lebih dan memaksa Sultan HB X berjanji tidak akan melakukan penggusuran. Tertundanya proses penggusuran tanah dan rumah rakyat itu memaksa pemerintah daerah mengambil cara lain. Adapun langkah yang dilakukan tersebut adalah dengan penetapan Perda Anti Pelacuran pada tahun 2007 (setelah berhasil menarik dukungan banyak pihak untuk menyetujui perda ini termasuk kelompok-kelompok agama dan intelektual; di sisi lain terbitnya perda ini sekaligus bukti bahwa sejak awal bahwa janji Sultan untuk tak menggusur rumah warga adalah bohong belaka).

Tujuan dari perda ini adalah melemahkan moral dan kemampuan ekonomi-politik warga sehingga meminimalisir potensi perlawanan dan pada akhirnya mudah disingkirkan. Upaya ini berhasil, usaha warga banyak yang bangkrut, ketakutan membayang seiring gencarnya razia oleh Polisi Pamong Praja terhadap PSK—banyak perempuan non PSK juga terkena razia—sehingga semangat perlawanan dan persatuan warga menjadi turun; sembari dibangunnya konsolidasi-konsolidasi jahat di warga beserta propaganda isu-isu perpecahan di warga, seperti misalnya Tim Peduli Parangkusumo yang dibentuk untuk menyingkirkan warga pendatang dengan alasan merebut lapangan ekonomi warga asli yang semakin sempit paska munculnya Perda Anti Pelacuran. Kelompok gerakan maupun NGO yang melakukan advokasi juga terjebak yang berujung pada skala perlawanan yang bersifat sektoral, tidak menyeluruh dan tidak bersatu antara yang menolak penggusuran dengan yang menolak perda.
Cara kedua yang dilakukan oleh pemerintah—yang merupakan langkah utama penyingkiran rakyat miskin—yaitu penggusuran dilakukan. Pada akhir tahun 2007 puluhan rumah dihancurkan tanpa ganti rugi. Sebagian warga yang sudah putus asa terpaksa menerima tawaran relokasi pemerintah yang tak adil—kios dengan ukuran 3 x 4 m² yang jauh dari bibir pantai, hanya cukup untuk berjualan tapi tak cukup untuk dipakai sebagai tempat tinggal, bahkan ada juga relokasi di Imogiri yang tak strategis untuk kegiatan ekonomi. Saat itu perlawanan warga muncul bersama dengan gerakan prodem dan LSM yang tergabung di FRKP (Forum Rakyat Korban Penggusuran) dan ARPY (Aliansi Rakyat Pekerja Yogyakarta). Buah perlawanan itu adalah meluasnya kampanye dan kesadaran penolakan penggusuran di warga maupun masyrakat di luar Parangtritis. Hal itu memaksa rezim untuk lebih gencar untuk meluaskan pengaruh di warga lewat kaki tangannya, melemahkan tuntutan warga dan mempropagandakan isu-isu perpecahan, seperti persoalan warga asli dan pendatang. Bahkan Idam Samawi secara terbuka menyampaikan akan menindas kelompok-kelompok yang menolak penggusuran di Parangtritis.
Dalam perkembangannya sampai saat ini warga pesisir Parangtritis ini berada dalam posisi yang sangat mengenaskan. Ditengah semakin melambung tingginya harga-harga kebutuhan pokok menjelang lebaran dan semakin rendahnya tingkat partisipasi rakyat untuk mengakses pendidikan dikarenakan mahalnya biaya, penggusuran yang akan kembali dilakukan oleh pemerintahan kabupaten Bantul sungguh merupakan kebijakan yang tidak berperikemanusiaan. Bukankah rakyat Indonesia berhak untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang layak? Bukankah Negara bertanggungjawab untuk memelihara kaum miskin dan anak-anak terlantar?
Dari pertanyaan tersebut diatas, tentunya kita mampu menilai betapa tidak efektifnya sistem yang menjadi landasan gerak bagi lembaga-lembaga Negara, termasuk dalam hal ini pemerintahan daerah kota Bantul, dalam menjalankan amanat perundang-undangan demi kesejahteraan rakyatnya. Keberadaan partai-partai politik yang sampai saat ini bercokol di Dewan Perwakilan Rakyat pun tidak bisa menjadi penyalur aspirasi rakyat. Apalagi menjelang momentum pemilu tahun 2009 tentunya menjadi kesempatan yang baik bagi penipu rakyat untuk kembali mengumbar janji-janjinya yang manis agar mendulang suara sebanyak-banyaknya dan menjadikan rakyat sebagai objek bagi kemenangan mereka di kursi kekuasaan.
Maka dari itu, kami dari Aliansi Rakyat Anti Penggusuran kembali menegaskan posisi politik kami yang berada bersama seluruh rakyat miskin untuk merebut kedaulatan dengan membangun persatuan di semua sector rakyat yang tertindas. Kami juga menuntut :
1. Ganti rugi 100% terhadap rumah yang di robohkan
2. Tanah dan rumah untuk warga yang dekat dengan kegiatan ekonomi selama ini
3. Pendidikan dan kesehatan gratis

Lawan Penggusuran dengan Persatuan Rakyat!
Bangun Front Persatuan Rakyat Miskin Nasional!!

Yogyakarta, 20 September 2008

Koordinator Lapangan; Humas;

Watin Eman Sulaeman
Doni



Read More......

"Tanahku, Hidupku, kan Aku Bela Sampai Mati"

ALIANSI RAKYAT ANTI PENGGUSURAN (ARAP)
Jogo Sengsoro, PPRM, PRP, LMND-PRM, JNPM, SMI, dll
“Sedumuk Bathuk, Senyari Bumi; Kudu di Belani Nganti Tekaning Pati”
(Tanahku, Hidupku, kan Aku Bela Sampai Mati)


Salam pembebasan!

Penggusuran rumah dan kios perdagangan rakyat yang dilakukan sepanjang kawasan pantai Parangtritis adalah sebagai akibat dari adanya kontrak kerjasama yang jahat antara Pemerintah Anti Rakyat Miskin dengan pemilik modal internasional. Penggusuran yang mengatasnamakan penertiban kawasan pariwisata ini mengakibatkan kerugian yang luar biasa besarnya, terutama terhadap hak-hak rakyat Parangtritis untuk dapat bekerja agar bisa bertahan hidup ditengah himpitan krisis ekonomi yang semakin mencekik leher rakyat miskin.

Alasan yang selalu digembar-gemborkan Pemkab Bantul bahwa tanah di kawasan pantai adalah milik Sultan (Sultan Ground/SG). Di Jogja memang ada sebagian tanah SG dan Pakualaman Ground (PG) dan posisi inilah yang gunakan untuk melakukan klaim atas tanah di pinggir pantai sebagai tanah ulayat, hak komunal kraton masa lalu, yant ternyata tidak dijamin dalam Undang-undang Pokok Agraria 1960. Hal ini semakin dikuatkan bahwa di Badan Pertanahan Nasional (BPN) maupun bagian pemerintah Sekda kab/kota tak ditemukan dan tidak dapat menunjukkan bahwa di objek wisata Parangtritis ada tanah milik Sultan (SG).

Proses penyingkiran rakyat miskin dari kawasan ini telah dimulai sejak tahun 2006. Namun gencarnya perlawanan radikal rakyat saat itu, yang dilakukan dengan cara menduduki kantor DPRD Propinsi Yogyakarta selama seminggu, mampu menunda penggusuran sampai setahun lebih dan memaksa Sultan HB X berjanji tidak akan melakukan penggusuran. Tertundanya proses penggusuran tanah dan rumah rakyat itu memaksa pemerintah daerah mengambil cara lain. Cara yang dilakukan tersebut adalah dengan penetapan Perda Anti Pelacuran pada tahun 2007 (terbitnya perda ini adalah bukti bahwa janji Sultan untuk tak menggusur rumah warga adalah bohong belaka). Akibat dari adanya perda ini usaha warga banyak yang bangkrut, ketakutan membayang seiring gencarnya razia oleh Polisi Pamong Praja terhadap PSK—banyak perempuan non PSK juga terkena razia—sehingga melemahkan kekuatan ekonomi –politik warga dan menurunkan semangat perlawanan dan persatuan warga; sembari dibangunnya konsolidasi-konsolidasi jahat di warga beserta propaganda isu-isu perpecahan di warga (isu warga asli dan pendatang).

Seiring lemahnya kekuatan warga maka penggusuran dilakukan. Pada akhir tahun 2007 puluhan rumah dihancurkan tanpa ganti rugi. Warga yang sudah putus asa menerima tawaran relokasi pemerintah yang tak adil—kios dengan ukuran 3 x 4 m² yang jauh dari bibir pantai, hanya cukup untuk berjualan tapi tak cukup untuk dipakai sebagai tempat tinggal, bahkan ada juga relokasi di Imogiri yang tak strategis untuk kegiatan ekonomi.

Saat itu perlawanan warga muncul bersama dengan gerakan prodem dan LSM yang tergabung di FRKP (Forum Rakyat Korban Penggusuran) dan ARPY (Aliansi Rakyat Pekerja Yogyakarta). Dari perlawanan itu kampanye penggusuran meluas juga kesadaran penolakan penggusuran di warga. Hal itu memaksa rezim untuk lebih gencar untuk meluaskan pengaruh di warga lewat kaki tangannya, melemahkan tuntutan warga dan mempropagandakan isu-isu perpecahan.

Dalam perkembangannya sampai saat ini warga pesisir Parangtritis berada dalam posisi yang sangat mengenaskan karena dihadapkan pada semakin tingginya harga-harga kebutuhan pokok. Bukankah rakyat Indonesia berhak untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan serta lapangan kerja yang layak? Dan seharusnya hak itu dilindungi oleh Negara ? Ternyata yang terjadi justru rakyat semakin terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh elit-elit dan partai-partai politik saat ini yang berada di pemerintahan. Menjelang pemilu justru mereka akan kembali mengumbar janji-janji palsu. Sehingga bagi rakyat bukan saatnya lagi menggantungkan harapan pada elit-elit dan partai-partai politik yang ada, tapi dengan membangun dan menyatukan kekuatan rakyat sendiri untuk melakukan perubahan yang dicita-citakan.

TOLAK DAN LAWAN PENGGUSURAN !
Ganti rugi 100% terhadap rumah yang di robohkan!
Tanah dan rumah untuk warga yang dekat dengan kegiatan ekonomi selama ini !
Pendidikan dan Kesehatan Gratis ! Sertifikat hak milik atas tanah dan rumah di pinggir pantai !




Read More......

TERBITAN KPRM-PRD