23 November 2008

Kapitalisme Telah Bangkrut, Jawaban Satu-satunya adalah Sosialisme

Oleh: Doug Lorimer

Direct Action, Nomor 6 – November, 2008

Pada tanggal 15 September, setelah kejatuhan Lehman Brothers—bank investasi keempat terbesar di Amerika Serikat (AS), yang berkantor di Wall Street—pemerintah-pemerintah kapitalis dunia pontang-panting berupaya agar krisis keuangan (terburuk sejak Depresi Besar tahun 1930) tidak membuat sistem keuangan global ambruk total.

Apa yang pada awalnya merupakan kredit macet—yang telah berlangsung setahun—setelah dipicu oleh kejatuhan (gelembung) harga perumahan AS—yang berlansung secara berberangsur-angsur sejak akhir 2005—kemudian menjadi kredit macet yang berpotensi bencana karena Sekretaris (menteri) Keuangan AS, Henry Paulson—mantan Direktur Eksekutif Goldman Sachs, bank investasi Wall Street terbesar—membiarkan Lehman Brothers pailit.

Setelah ambruknya pasar agunan (hipotek ) “sub-prime” (pinjaman perumahan beresiko tinggi) pada bulan Maret, 2007, Lehman Brothers melaporkan kerugiannya sebesar AS$ 2.8 miliar dan terpaksa menjual $6 miliar dari keseluruhan aset keuangannya. Pada 9 September, Lehman melaporkan kerugiannya lagi yang sebesar $3.9 miliar, yang memangkas asetnya sekitar $130 miliar dari keseluruhannya kekayaannya yang telah mencapai $768 miliar. Kerugian Lehman juga berbarengan dengan kerugian bank-bank besar AS lainnya. Sejak awal 2007, sembilan bank komersil AS terbesar telah membukukan sebesar $323 miliar “aset bermasalah”. Dengan demikian, kerugian tersebut telah menghilangkan keseluruhan keuntungan mereka sebesar $305 miliar (yang dilaporkan sejak 2004).

Akibat keputusan Paulson—yang membiarkan Lehman pailit—bank-bank besar kemudian menolak saling meminjamkan uang, dan pinjaman jangka pendek bagi korporasi-korporasi besar, yang dikenal dengan sebutan pasar surat-surat berharga, tidak berfungsi lagi. Tanggapan pertama Paulson terhadap kredit macet adalah menyediakan jaminan pemerintah AS sebesar $700 miliar untuk menalangi apa yang disebut sebagai utang-beracun bank-bank besar AS—kebanyakan berupa sekuritas yang ditopang oleh agunan (hipotek) “sub-prime”, yang sudah digelembungkan (dicurangi) nilainya secara besar-besaran dan sedemikian tingginya ketimbang nilai aslinya yang selayaknya dibayar bank-bank terhadap asset-aset tersebut.

Ketika pengumuman untuk menalangi bank (bank bailout) sebesar $700 miliar tersebut gagal menyelesaikan kredit macet, Paulson kemudian mengikuti apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Inggris, yang telah mengumumkan bahwa pemerintah Inggris akan mengeluarkan dana sebesar $700 miliar untuk membeli saham milik 8 bank tersebesar Inggris atau, dengan dengan demikian, praktis bank-bank tersebut akan dinasionalisasikan. Pada tanggal 14 Oktober, Paulson mengumumkan bahwa departemen Keuangan AS akan mengeluarkan $250 miliar untuk membeli saham-saham yang tak memiliki hak suara (non-voting) yang dimiliki oleh 9 bank terbesar AS atau, dengan kata lain, menasionalisasikannya secara sepotong-sepotong, namun masih membiarkan pemilik lamanya memiliki hak pengendalian formal dan sebenarnya. Pada hari yang sama, bank raksasa New York Mellon Corporation, milik satu dinasti yang didirikan oleh Andrew Mellon, mengumumkan akan segera menjual sahamnya senilai $3 miliar kepada departmen Keuangan.

“Sosialisme buat yang kaya”

Nasionalisasi, atau nasionalisasi sepotong-sepotong—yakni, mensosialisasikan (membagi-bagi) kerugian yang diderita oleh korporasi milik elit (pada masyarakat), atau “sosialisme buat yang kaya”, sebagaimana yang dinyatakan oleh sejumlah pengamat—ternyata merupakan cara yang dipilih (atau disukai) oleh oligarki keuangan kapitalis AS untuk menyelamatkan diri dari krisis keuangan, dan untuk melindungi dirinya dalam keterpurukan ekonomi. Sejak akhir Augustus, pemerintah AS telah menasionalisasikan Fannie Mae dan Freddie Mac—dua perusahaan yang memiliki atau menjamin hampir separuh pinjaman agunan (hipotek) AS (yang bernilai $12 triliun)—dengan cara menyuntikkan $200 miliar ke dalam perusahaan-erusahaan tersebut. Washington juga menasionalisasikan American International Group, perusahaan asuransi terbesar di dunia.

Konsekwensi bencana krisis keuangan tersebut, yang telah terungkap dengan cara paling dramatis, bisa dilihat dari apa yang terjadi di Islandia: pemerintah mengambil alih pengendalian tiga bank terbesar negeri tersebut, yang memiliki utang setara dengan 10 kali lipat produk domestik bruto (GDP) tahunannya. Karena pemerintah Islandia sedang berada di jurang kebangkrutan, maka nilai mata uangnya hampir-hampir samasekali tak berharga dalam transaksi internasional yang dilakukan oleh warga biasa. Setelah bank-bank terbesarnya ambruk, maka dana tabungan dan pensiun berada dalam poisisi limbung. Pemerintah Islandia membatasi penggunaan mata uang asing oleh perusahaan-perusahaan negerinya, yakni hanya untuk pembelian kebutuhan pokok seperti makanan, bahan bakar minyak dan obat.

Hanya sedikit atau tak ada sama sekali yang ditawarkan kepada mereka yang merupakan korban sebenarnya dari krisis ini—rakyat yang sedang diambang kehilangan pekerjaan, rumah, tabungan (bagi kelanjutan hidupnya) atau dan pensiunannya. Anggota-anggota Kongres AS dari Partai Demokrat, termasuk calon presiden Senator Barrack Obama, misalnya, sementara mendukung usulan untuk mengeluarkan dana publik sebesar $2.5 triliun demi menyelamatkan bank-bank Wall Street tersebut, namun hanya mengusulkan dana sebesar $150 miliar—setara dengan sekadar 6 persennya—untuk menjinakkan dampak krisis ekonomi tersebut terhadap rakyat pekerja, padahal krisis ekonomi tersebut kemungkinan akan melebihi keterpurukan ekonomi yang pernah terjadi sejak Depresi Besar.

Jutaan rakyat miskin di AS sedang di ambang menjadi tunawisma akibat tak sanggup lagi membayar cicilan rumahnya sehingga kredit rumahnya ditarik kembali oleh bank. Sebanyak 26.4 persen buruh AS yang, sebelum krisis terjadi, gajinya telah berada di tingkat kemiskinan (poverty wages), akan terpaksa menentukan pilihan antara apakah mereka akan membeli makanan, bayar sewa rumah atau layanan kesehatan. Yang miskin dan berusia lanjut kemungkinan akan mengalami pemangkasan layanan pemerintah yang paling mereka butuhkan sekali, seperti layanan kesehatan dan obat-obatan, karena pemerintah AS lebih mengutamakan membayar bunga surat obligasi ketimbang pembelanjaan sosial.

Ada persamaan (yang sangat mirip) antara krisis keuangan sekarang ini dengan kriisis yang menyebabkan kehancuran pasar saham Wall Street sebagaimana yang terjadi pada tahun 1929. Pada saat itu, sebagaimana yang terjadi saat ini, bank-bank besar bangkrut karena adanya beban berantai kredit macet. Kebangkrutan bank di satu negeri akan menyebar ke bank-bank lainnya dan ke negeri-negeri lainnya. Di seluruh negeri maju, pemerintahannya hanya mengikuti kebijakan “tak buat apa-apa”, sebagaimana yang dianjurkan Andrew Mellon, Menteri Keuangan AS pada saat itu. Mellon memiliki reputasi buruk saat menyatakan, “Singkirkan pekerja, singkirkan saham, singkirkan petani, singkirkan perumahan”, beserta tambahannya: “Dengan demikian akan menghilangkan kebusukan sistem. Biaya hidup yang tinggi akan menurun, dan kehidupan berfoya-foya akan menghilang. Orang akan bekerja lebih keras, hidup dengan cara yang lebih bermoral. Nilai-nilai akan disesuaikan, dan para pengusaha akan membenahi remah-remah kehancuran yang ditinggalkan oleh orang –orang yang kurang berkompeten.” Akibat dari sikap tersebut, 25 persen tenaga kerja di AS menganggur.

Keterpurukan ekonomi

Walaupun nasionalisasi atau pengucuran dana talangan pada bank-bank tersebut mungkin akan menjamin sistem keuangan kapitalis masih berufungsi, namun mereka tidak bisa menghindari anjloknya (apa yang sering mereka salah artikan sebagai) “perekonomian sebenarnya (real economy)”—produksi dan penjualan (demi keuntungan) barang dan jasa. Pengucuran dana talangan secara besar-besaran oleh pemerintah tersebut mungkin mencegah terulangnya kejadian tahun 1931—saat sistem perbankan kapitalis internasional runtuh—namun tetap saja tak ada jaminan. Itu karena oligarki keuangan kapitalis maupun pemerintahannya tidak dapat mengendalikan sistem perbankan bayangan yang nilainya sebesar $10 triliun—setara dengan sistem yang resmi. Tidak mungkin memastikan bahwa: walaupun terjadi lagi kebangkrutan lembaga keuangan, namun tidak akan memicu kepanikan keuangan yang lebih besar lagi, yang bisa saja terjadi pada tahun depan atau pun minggu depan.

Yang pasti, saat ini, anjloknya perekonomian yang sedang dialami dunia kapitalis akan menjadi yang terburuk sejak Perang Dunia Kedua dan, barangkali, juga yang terlama. “Terus terang saja, (gagasan bahwa) yang akan terjadi sekadar resesi yang tak akan lama dan tidak mendalam, enam hingga delapan bulan, telah terlewati, jadi tidak terbukti,” kata guru besar ekonomi Universitas New York, Nouriel Roubini, kepada NBC pada tanggal 23 Oktober, dengan tambahan penjelasan: “Dua resesi yang terakhir masing-masing hanya berlangsung delapan bulan… Kali ini akan tiga kali lebih lama, tiga kali lebih mendalam.”

Saat memberi komentar tentang resesi yang sedang dialami Inggris, Direktur Pengelola Capital Economics, Roger Bootle, pada tanggal 24 Oktober, mengatakan pada surat kabar London Daily Telegraph: “Yang akan kita alami dalam dua tahun ke depan adalah kemelorotaan dengan besaran yang sama (dengan awal tahun 1990-an). Kemelorotan yang terjadi pada awal tahun 1990-an berlangsung selama dua tahun, tetapi yang sekarang ini bisa berlangsung selama empat sampai lima tahun.”

Saat ini, keberadaan (sesungguhnya) sejumlah korporasi besar: sedang terancam karena keuntungan mereka telah jatuh dengan tajam, bahkan sebelum dihantam krisis keuangan. Dalam beberapa tahun belakangan ini, tiga perusahaan mobil terbesar di AS—General Motors, Ford dan Chrysler —telah kehilangan keuntungannya. Pada minggu-minggu terakhir ini, muncul berita yang menyatakan bahwa, untuk mencegah pailit, General Motors dan Chrysler akan digabungkan, dengan menyingkirkan 40.000 tenaga kerjanya di seluruh dunia.

Cina sedang menghadapi resesi

Ada gagasan yang dengan segera dapat disanggah, yakni yang menyatakan bahwa keberlangsungan pertumbuhan ekonomi China akan melindungi Australia dari resesi. Pada tanggal 23 Oktober, Stephen Walters, kepala ekonom JP MorganChase yang berbasis di Sydney, mengingatkan bahwa angka resmi tingkat pengangguran di Australia akan naik dua kali lipat, paling tidak akan mencapai 1 juta orang, dalam dua tahun berikut seiring dengan penurunan pertumbuhan ekonomi China yang terkena dampak penurunan permintaan (barang-barang manufaktur murah China) di Amerika Serikat dan Eropa.

Statistik resmi terbaru menunjukkan bahwa GDP China telah menurun kembali ke angka 9 persen dalam kuartal ketiga—lebih buruk dibandingkan dari yang diharapkan, yakni 9,7 persen, dan jauh lebih rendah ketimbang angka pada tahun 2007, yakni 11,9 persen. Ekonomi China harus tumbuh lebih dari 8 persen setiap tahunannya agar dapat menyerap 24 juta rakyatnya yang masuk pasar tenaga kerja setiap tahunnya. Sekarang ini, menurut catatan resmi, di Cina terdapat 71 juta buruh yang tak memiliki pekerjaan.
Cina bukan saja mengalami kemerosotan pasar ekspornya, namun juga mengalami krisis keuangan akibat ledakan serentak gelembung keuangan dalam pasar saham dan sektor propertinya. “Kelambatan ekonomi Cina selama ini jauh lebih serius dari pada yang diduga”, menurut Li Wei, Ekonom Standard Chartered Bank, di harian China Daily tanggal 14 Oktober. Kelompok kerjanya meramalkan ekonomi China hanya akan tumbuh sebesar 7,9 persen pada tahun 2009, dan 7 persen pada tahun 2010, yang akan mengakibatkan peningkatan pengangguran secara besar-besaran.

Jadi, krisis ekonomi yang sedang berkembang sekarang ini merupakan krisis yang berlingkup global dan telah menghancurkan hubungan-hubungan ekonomi (yang telah berlangsung lama) yang telah membuat China dapat memegang peranan kunci. Dalam dua dekade terakhir, Cina telah menciptakan dunia kapitalis yang bertumpu pada industri-industri (kecil dan menengah) yang memeras/menghisap, yang memproduksi barang-barang manufaktur teknologi rendah untuk diekspor ke negeri-negeri kapitalis maju. Cina mengirimkan kembali pendapatan ekspornya yang sangat besar itu ke AS, untuk membeli lebih dari $1 triliun lebih portofolio (surat utang) pemerintah AS—suatu proses yang membantu pendanaan perdagangan besar-besaran dan defisit pembelanjaan AS. Masuk kembalinya dollar dari Cina dan bank sentral Jepang memungkinkan Bank Sentral AS menggelontorkan kebijakan krdir murah, yang menyulut konsumsi rumah tangga (dengan cara utang) di AS—yang, kemudian, mempertahankan pasar barang-barang dari China. Tapi sekarang, keterpurukan ekonomi di AS mengakibatkan penurunan ekonomi di Cina.

Anjloknya keuntungan

Krisis keuangan global ini dipicu oleh ambruknya gelembung pasar perumahan di AS. Namun, akar penyebab krisis tersebut bukan karena kekurangan regulasi bank atau karena kapitalisnya tidak terkendali, sebagaimana yang diakui oleh media massa dan politisi kapitalis. Akar penyebab krisis tersebut adalah krisis kapitalis klasik sebagaimana yang telah dianalisa oleh Karl Marx 150 tahun silam. Pada dasarnyamerupakan krisis kelebihan produksi—atau terlalu banyak barang yang dijual (demi keuntungan), bukan saja di AS, tapi juga di seluruh dunia. Kelebihan barang komoditas (yang paling gamblang)—sebagai akibat dari kelebihan investasi—adalah perumahan, yang disulut oleh gelembung harga pasar perumahan.

Krisis sekarang ini akarnya adalah: adanya penurunan (hampir separuh) tingkat rata-rata keuntungan industri di AS dan dalam ekonomi negeri-negeri kapitalis maju lainnya antara tahun 1967 hingga tahun 1972, disebabkan oleh tekanan terhadap tingkat keuntungan sebagai akibat dari adanya pertumbuhan besar-besaran dalam komposisi organik kapital selama ekspansi modal dalam 20 tahun sebelumnya. “Komposisi organik kapital” adalah istilah yang diberikan Marx untuk mengacu pada rasio modal yang dibelanjakan untuk “tenaga kerja mati”—misalnya mesin, BBM, bahan mentah dan lain sebainya—disebandingkan dengan modal yang dikeluarkan untuk gaji buruh, atau “tenaga kerja hidup”, yang merupakan sumber keuntungan kapitalis. Perusahaan-perusahaan kapitalis berupaya meningkatkan keuntungannya sebesar mungkin dengan meningkatkan produktivitas tenaga kerja dengan cara mengganti “tenaga kerja hidup” dengan teknologi yang dapat menghemat tenaga kerja. Dengan demikian, cenderung meningkatkan komposisi organik modal dan mengurangi tingkat keuntungan.

Bagi oligarki kapitalis keuangan, yang memilik korporasi-korporasi industri besar, bank dan bisnis-bisnis keuangan lainnya, penurunan (separuh) tingkat keuntungan pada akhir tahun 1960-an membuat investasi yang bertujuan untuk memperluas produksi barang-barang menjadi kurang ada untungnya. Sehingga mereka mengarahkan semakin banyak modalnya di pasar keuangan, guna meraup keuntungan spekulatif yang lebih tinggi dari pasar tersebut. Maka, pada awal tahun 1980-an, pasar keuangan tersebut mulai sangat menggelembung saat pemerintahan Reagan memompakan kredit bank secara besar-besaran guna mendanai kontrak-kontrak barang-barang kebutuhan perang agar ekonomi AS dapat keluar dari krisis tahun 1980-82. Dalam prosesnya, Regan merubah AS dari negeri kreditor terbesar di dunia menjadi negeri pengutang terbesar di dunia.

Dalam hitungan nilai dolar pada tahun 2007, pada tahun 1945 utang pemerintah AS telah mencapai hampir $3 triliun, akibat defisit pembelanjaan Washington yang besar saat mendanai (upaya-upaya) perangnya. Utang publik AS menurun hingga sekitar $2 triliun pada tahun 1950. Meningkat kembali secara perlahan pada hingga tahun 1980. Namun, hingga tahun 1990, utang publik AS telah meningkat dua kali lipat sehingga mencapai $5 triliun. Pada tahun 2000, utang tersebut telah meningkat sampai mencapai sekitar $7 triliun. Di bawah pemerintahan George W. Bush, utang tersebut telah berkembang hingga mencapai $10.5 triliun lebih, hanya kurang $4 triliun dari jumlah nilai barang dan jasa yang dihasilkan AS pada tahun terakhir.
Di seluruh negeri kapitalis maju, sejak Perang Dunia Kedua, yang mengakhiri Depresi Besar, semakin banyak kredit, utang, yang harus disuntikan ke dalam ekonomi demi menghentikan setiap krisis berkala yang disebabkan oleh kelebihan produksi komoditi, yang akan mempercepat mempercepat terjadinya resesi yang lebih parah dan berkepanjangan. Penguasa kapitalis berupaya mengatasinya (menundanya) dengan mempertinggi gunung utang, yang mendorong mengulangi spekluasi gelembung asset finansial.

Gelembung tersebut, tak terhindarkan lagi, merupakan konsekwensi dari dominasi ekonomi kapitalis oleh gabungan kapitalis raksasa, yakni, korporasi. Pada tahun 1870-an, ketika korporasi kapitalis—yang, pada saat itu, disebut “perusahaan saham gabungan”—baru saja mulai tumbuh menjadi bentuk dominan organisasi bisnis kapitalis. Marx, dalam jilid ketiga Capital, menggambarkan mereka sebagai “produksi kapitalis dalam perkembangan tertingginya”. Dia meramalkan bahwa korporasi kapitalisme tersebut akan menciptakan sebuah “aristokrat keuangan, semacam parasit baru yang berselubung sebagai penasihat perusahaan, spekulan, dan direktur-direktur papan nama; sebuah sistem yang penuh dengan kecurangan dan penipuan yang, katanya, demi memajukan perusahaan, kepedulian terhadap pembagian tanggung jawab (modal dan keuntungan) dan tata-cara menyikapi pembagian tanggung jawab (modal dan keuntungan) dalam bentuk saham”.

Fungsi obyektif keterpurukan ekonomi kapitalis adalah untuk menghilangkan bisnis-bisnis yang tak berguna (“deadwood”)—atau perusahaan-perusahaan yang kurang menguntungkan, kurang efisien, sehingga bisa memberikan potensi pasar yang lebih besar kepada perusahaan yang masih sanggup hidup. Namun, dampak upaya untuk mengatasi (menunda) depresi dengan memperluas utang adalah memberikan kesempatan pada bisnis-bisnis yang tak berguna tersebut (“deadwood”) selamat dari krisis kelebihan produksi. Terlebih-lebih, sebagian besar “deadwood” tersebut terdiri dari perusahaan-perusahaan yang terlalu besar untuk dimatikan.

Kredit macet yang menyebabkan kebangkrutan Lehman sekadar menggambarkan apa saja konsekwensinya bagi kapitalisme bila satu saja korporasi bermasalah dibiarkan bangkrut. Konsekwensi tersebutlah yang menyebabkan adanya kebutuhan terus-menerus bagi oligarki keuangan untuk menggunakan negaranya dalam mensosialisasikan (membagikan) kerugian korporasi, dengan menalanginya, agar selamat dari kebangkrutan. Namun, cara tersebut akan semakin mendorong ekonomi negeri-negeri kapitalis maju menuju kemandegan (stagnasi). Tingkat pertumbuhan sebenarnya ekonomi kapitalis dunia turun dari rata-rata 4,9 persen per tahun pada tahun 1960-an, menjadi 3,8 persen pada tahun 1970-an, kemudian 2,7 persen, pada tahun 1980-an, dan hanya 1,2 persen, pada tahun 1990-an. Apa yang kemudian akan terjadi setelah resesi yang hebat dan berkepanjangan ini? Ekonom Universitas New York, Nouriel Roubini, meramalkan setidaknya akan terjadi satu dekade stagnasi, berarti, resesi ini akan diikuti oleh paling sedikit 10 tahun pertumbuhan yang lesu, kurang darah. Pada tahun-tahun mendatang, rakyat pekerja akan menderita bukan saja karena tingginya tingkat pengangguran (yang sulit diatasi) dan semakin meningkatnya pemiskinan, namun juga menderita karena gelombang inflasi yang disebabkan oleh dana talangan yang digelontorkan secara besar-besaran oleh pemerintah kapitalis untuk menolong oligarki keuangan yang, padahal, mereka sendiri yang membuat semuanya berantakan.

Sosialisme

Jalan keluar satu-satunya untuk mengatasi musibah yang menimpa rakyat perkerja ini adalah mengorganisir diri dalam sebuah gerakan massa untuk merebut kekuasaan dari tangan oligarki kapitalis keuangan dan merombak ekonominya sesuai dengan sistem sosialisme. Bila anda ingin melihat buktinya, kalian harus membaca analisa Reuters (tanggal 8 Oktober) tentang dampak krisis sekarang ini terhadap Venezuela. Kantor berita imperialis tersebut menyatakan: “Venezuela tidak mengalami banyak pengaruh langsung dari kekisruhan pasar ini karena Chavez telah menasionalisasi perusahaan-perusahaan penting yang dulu pernah berdagang di Bursa Efek Caracas (yang kecil itu) dan, juga, karena mata uangnya telah ditetapkan dengan mengendalikan perdagangan mata uang”. Pemerintahan rakyat pekerja yang dipimpin Hugo Chaves telah menata ulang perusahaan yang telah dinasionalisasi tersebut agar mengatasi kebutuhan mendesak rakyat miskin negeri tersebut, ketimbang memperkaya oligarki kapitalis lokal. Demikian pula, tidak akan terjadi penghentian kredit perumahan atau pensiunan yang kelaparan di Kuba, karena perusahaan kapitalis telah diambil alih oleh pemerintah rakyat pekerja 48 tahun yang silam.

Nasionalisasi bank yang dilakukan oleh pemerintah kapitalis membuktikan bahwa kapitalisme merupakan sistem ekonomi kapitalisme telah bangkrut. Tanpa campur tangan negara secara besar-besaran, sistem keuntungan “pasar bebas” tidak bisa berfungsi. Komentator media kapitalis mulai menggambarkannya sebagai peralihan ke arah “sosialisme”. Namun, sebagaimana yang ditunjukan oleh Karl Marx dan Frederick Engels lebih dari satu abad yang silam, nasionalisasi perusahaan kapitalis oleh pemerintah kapitalis sama sekali tak ada kaitannya dengan sosialisme.

Sejak Kanselir Jerman, yang konservatif, Otto von Bismarck, “gemar melakukan pemilikan negara atas perusahaan-perusahaan industri, semacam sosialisme gadungan muncul, hancur, dan sekarang muncul menjelma lagi menjadi semacam jongosnya (Bismarck) dan, tanpa menunggu lebih lama lagi (saking gembiranya), menyatakan bahwa semua pemilikan negara, bahkan yang sejenis Bismarckian, menjadi pemilikan sosialistis”, demikian yang diamati Engels pada tahun 1877. Engels selanjutnya menjelaskan bahwa “negara modern, apa pun bentuknya, pada dasarnya merupakan mesin kapitalis—negara kapitalis, personifikasi ideal modal nasional secara keseluruhan. Semakin banyak negara tersebut mengambil alih tenaga produktif, maka semakin jadilah ia sesungguhnya menjadi kapitalis nasional, dan semakin banyak warga negara yang dieksploitasinya.”

Sosialisme membutuhkan perombakan (reorganisasi) ekonomi agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan kelas pekerja. Oleh karena itu, prasyarat nya adalah mengorganisasikan kelas pekerja (agar menjadi kelas penguasa) melalui aksi revolusioner massa untuk menggantikan negara kapitalis dengan pemerintahan kelas pekerja, sebagaimana yang telah terjadi di Kuba dan Venezuela. Itulah pelajaran pokok yang harus diajukan oleh kaum sosialis kepada rakyat pekerja di masa-masa yang berat yang akan kita dihadapi mendatang.

[Diterjemahkan oleh James Balowski dan Risnati Malinda]

Tidak ada komentar:

TERBITAN KPRM-PRD