Zely Ariane *
Bloomberg.com pada tanggal 24 November 2008 mengatakan bahwa, pemerintah AS menyediakan dana lebih dari AS$7,76 trilyun dari uang para pembayar pajak, setelah sebelumnya menjamin hutang Citigroup Inc sebesar AS$306 milyar, dan mengeluarkan AS$700 miliar dolar untuk menyelamatkan institusi-institusi keuangan. Jumlah itu bernilai dua pertiga dari seluruh nilai barang yang diproduksi di negeri itu tahun lalu.
Pemerintah Indonesia mengeluarkan Rp. 1 trilyun untuk menalangi kerugian Bank Century, dan Rp 4 trilyun untuk membeli saham-saham BUMN agar nilainya tidak melorot. Insentif fiskal, seperti penurunan tarif pajak penghasilan badan dari tiga lapisan (10%,15%,dan 30%) menjadi tunggal 28% pada 2009 dan 25% pada 2010, pun diberikan untuk para pengusaha; apalagi ketika pengusaha mengancam akan mem-PHK karyawannya.
Walaupun APBN 2009 sudah pasti defisit, tetapi tidak menyulitkan uang (likuiditas) yang ada saat ini mengucur dari kantung pemerintah ke rekening pengusaha. Kalau pemerintah AS memperoleh dana, untuk menalangi kerugian pengusaha, dari Bank Sentralnya (The Fed), pemerintah Indonesia mendapatkannya dari hutang (baru) luar negeri—karena cadangan devisa dalam negeri tak lebih dari AS$51 milyar saja.
Kepada Indonesia, Bank Pembanguan Asia (ADB) berbaik hati memberi pinjaman AS$1,5 milyar, Agence Francaise de Developpement (AFD) mengucurkan pinjaman AS$200 juta, sebagai bagian dari pembiayaan defisit anggaran yang masuk ke dalam Climate Change Program Loan. Pinjaman ini harus dibayar dalam waktu 15 tahun ke depan oleh anak-anak Indonesia yang kini sedang berada di sekolah dasar atau bahkan yang tidak bersekolah sama sekali, termasuk total hutang lama sebesar AS$62,103 miliar.
Peningkatan Daya Beli?
Semua penalangan ini, katanya, ditujukan untuk menstimulus perekonomian dan meningkatkan daya beli rakyat. Padahal sebelum krisis finansial global ini pun tingkat upah riil (dibandingkan kenaikan harga) sudah lama turun. Menurut Dr M. Hadi Shubhan, dosen Hukum Perburuhan Fakultas Hukum Unair, upah riil buruh sudah terjun bebas hampir 50 persen sejak 1997.
Bila bentuk kongkrit program peningkatan daya beli ini bukan peningkatan riil nilai upah, melainkan berbagai bentuk program penyelamatan sesaat berupa jaminan sosial, program-program padat karya yang sangat jangka pendek sifatnya (seperti yang disebutkan oleh Anggito Abimanyu), atau kemudahan kredit dengan penurunan suku bunga, maka, sebetulnya, bukan peningkatan daya beli rakyat yang menjadi tujuannya, melainkan semata-mata stimulus ekonomi (yang sifatnya sesaat dan sekali-habis).
Berapa sesungguhnya dana segar yang didapat rakyat, untuk sekadar bertahan hidup, selama ini? Sebelum gelembung krisis pecah di AS pertengahan tahun lalu, rakyat mendapat sebesar Rp. 228 M ,menurut data bulan Juni 2008, dalam bentuk Bantuan Tunai Langsung (BLT)—sebagai kompensasi BBM, Rp. 11,2 trilyun dana BOS, dan Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (ASKESKIN/GAKIN) sebesar Rp. 4,6 trilyun. Itupun tidak selancar gelontoran dana yang diberikan pada pengusaha. Syarat dan birokrasi yang luar biasa rumit, dana yang tidak memadai harus diperebutkan oleh puluhan juta orang miskin (berpendapatan di bawah AS$2/hari), dan dikorupsi pula (menurut ICW, korupsi di bidang kesehatan mencapai Rp.127 milyar).
Berapa yang akan didapat rakyat untuk stimulus ekonomi di dalam APBN 2009 nanti? Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Depkeu, Bpk. Anggito Abimanyu di penghujung November 2008, proyeksi pinjaman luar negeri yang diperlukan pemerintah pada 2009 mencapai AS$5 miliar. Pinjaman itu lebih difokuskan untuk program padat karya, dalam rangka menyiapkan diri untuk menghadapi imbas krisis keuangan global.
Akar Persoalan
Krisis global/nasional saat ini terjadi karena sistim kapitalisme yang membayar buruh murah (tidak sesuai dengan nilai kerjanya yang sebenarnya) dan begitu besarnya uang yang tidak ditanam di sektor riil (tapi di usaha-usaha spekulatif keuangan, saham, portofolio, mata uang dan komoditi) sehingga, akibatnya, buruh/masyarakat tak berdaya beli.
Oleh karena itu, yang disebut sebagai program kongkrit peningkatan daya beli, yang tidak akan menghasilkan PHK masal dan krisis seharusnya, berupa penggelontoran dana segar besar-besaran untuk membangun industri nasional (lapangan kerja) di bawah kontrol dan partisipasi rakyat, dan akan membayar upah buruh secara layak. Dana tersebut diperoleh dengan (1) menasionalisasi aset-aset vital negara—terutama pertambangan/migas, pertanian ekspor, kehutanan, kelautan, pariwisata, kelistrikan, kimia (terutama farmasi), keairan/pengairan dll, (2) memusatkan/mengendalikan seluruh potensi sumber dana dalam negeri, seperti: dana perbankan agar bisa disalurkan ke sektor riil rakyat, penarikan dana BLBI/buyback, pemotongan bunga utang negara, penolakan/penangguhan pembayaran utang LN, pajak progressif, pemanfaatan dana tabungan masyarakat (termasuk JAMSOSTEK), penyitaan harta-harta koruptor (sejak tahun 1965), kontrak-karya dengan bagi-hasil, pajak dan royalti yang menguntungkan nasional, penguasaan/nasionalisasi distribusi pertambangan dan migas, dan seterusnya.
*Pjs Wakil Sekretaris Umum Pimpinan Pusat – Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh (PP-GSPB)
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar