(Sebuah Reportase Aksi Penolakan terhadap SKB 4 Menteri 3 Desember 2008, dan Refleksinya)
Zely Ariane* Selasa, 2 Desember, 2008, dalam ruangan berukuran tak lebih dari 2X3 M, sekitar 20-an perempuan anggota Pengurus Basis GSPB PT. Buana duduk berdesakan--sedangkan yang 3-5 orang (di antaranya laki-laki) sampai-sampai duduk di luar ruangan. Dengan antusias mereka mendengar penjelasan kawan Budi Wardoyo mengenai persiapan teknis aksi Aliansi Buruh Menggugat (ABM) Bekasi. Pembagian tugas dilakukan: membuat bendera, ikat kepala, memesan mobil, mempersiapkan perangkat, mempersiapkan orator, hingga meminta do'a restu pada keluarga masing-masing.
Pembicaraan juga bergulir seputar program-program di pabrik yang menanti untuk dikerjakan segera: perundingan upah 2009, protes terhadap target yang tak berperikemanusiaan, pendidikan, hingga program-program luar pabrik untuk menyatukan dan meningkatkan solidaritas antar pabrik yang kawasannya berdekatan. Sesekali celoteh marah Tanih--salah seorang pimpinan basis--yang geregetan ingin menegur pihak manajemen pabrik yang menempel kliping berita menyangkut krisis global dan ancaman PHK. Tanih menganggap tempelan itu memancing keresahan (bahkan dengan kata lain sindiran yang mengancam) kawan-kawan buruh di pabriknya--sebelum berangkat aksi Tanih dan beberapa kawan pengurus ingin menemui manajemen menuntut tempelan itu dicabut.
Ingatan kembali ke hari Minggu, 7 tahun yang lalu, di kawasan industri kecil Ujung Berung, Bandung, Jawa Barat, puluhan kaum perempuan dari PT AJM (pabrik roti) berkumpul di gang kecil kontrakan buruh, membicarakan taktik-taktik menuntut pesangon akibat penutupan pabrik itu. Upah, PHK, pesangon, kebebasan berserikat, kondisi kerja dan sistem kerja kontrak, adalah persoalan-persoalan yang terus-menerus mengancam kaum buruh.
Berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan untuk membereskan persoalan-persoalan tersebut? Berapa banyak aksi lagi yang dibutuhkan untuk mengatasinya? Berapa banyak lagi aksi massa dan massa aksi serikat buruh yang dibutuhkan untuk melawannya?
Kesadaran dan Persatuan
Rabu, 3 Desember, 2008, 300-an massa ABM Bekasi berjejal di depan kantor Bupati Kab. Bekasi. Para pimpinan massa menyerukan pencabutan terhadap SKB/PB 4 Menteri, pemberlakukan Upah Layak Nasional, hingga pengambilalihan pabrik yang bangkrut untuk diserahkan pengelolaannya pada kaum buruh.
Ata bin Udi, Sekretaris Umum PP GSPB, menyadari kehadiran Bupati di hadapan massa, menyatakan bahwa: "persoalan kesejahteraan buruh sudah puluhan tahun tidak banyak berubah. SKB 4 Menteri hanyalah satu soal yang semakin memperparah, sehingga pencabutannya pun tidak lantas membuat kaum buruh menjadi sejahtera. Sistem kapitalisme, sistemnya kaum pemodal, adalah biang keladi kesengsaraan buruh. Apalagi para elit politik yang numpang populer dan belagak reformis pura-pura menolak SKB 4 Menteri. Kaum buruh harus sadar, bahwa tuntutan pencabutan SKB hanyalah bagian kecil dari perjuangan besar kaum buruh, yakni membangun kekuatannya sendiri, menggantikan pemerintahan kaum pemodal."
Sebagian massa aksi tampak 'berharap' dengan hadirnya Bupati. Namun sebagian lainnya--para pimpinan massa dan sebagian massa yang sudah sering mengikuti aksi--tampak jengah dengan kehadiran bupati. Tiba-tiba, seorang buruh anggota basis GSPB PT Mayora, tanpa ragu kemudian turut berorasi: "Kita tidak muluk-muluk, kalau Bapak Bupati mau menyatakan penolakan terhadap SKB untuk diterapkan di Bekasi, maka kami bisa saja mendukung Bapak." Sebagian massa bertepuk tangan; sebagian lagi tercengang-cengang dan sebal.
Bupati yang berjanggut hitam dan bermuka moderat, sambil senyam-senyum mengatakan: "Kami sudah lebih dulu mengirimkan surat permintaan evaluasi terhadap SKB 4 Menteri pada pemerintah pusat... Upah di Kab. Bekasi ini sudah paling tinggi dibanding daerah-daerah lain di Indonesia".
Massa berteriak "huuuuuu", dan sesekali terdengar teriakan "bohong!" "evaluasi dan pencabutan tidak sama; jangan bodohi kami" "apa upah segitu bapak pikir cukup; berapa emangnya upah bapak?" Dan Bupati, yang katanya dari Partai Keadilan Sejahtera, itupun pamit mencari selamat.
Kenyataan tersebut mengharuskan sebagian unsur maju dan pimpinan-pimpinan serikat buruh anggota ABM Bekasi bekerja keras. Penyakit kaum buruh yang tidak dan belum percaya pada kekuatannya sendiri adalah warisan sejarah Soeharto yang puluhan tahun telah membunuh kesadaran akan potensi berorganisasi dan beraksi kaum buruh. Memang, serikat-serikat buruh baru pasca reformasi bermunculan, dan ABM adalah hasil kristalisasi paling progresif dari serikat-serikat buruh baru tersebut.
Namun varian-varian serikat baru lainnya, belum serta merta lepas dari satu tipe kesadaran politik 'massa mengambang' ala Soeharto, yakni: pengurus saja yang 'berjuang', anggota tinggal bayar iuran atau siap-siap dimobilisasi saja. Apalagi bagi mayoritas (jutaan) buruh lainnya yang malah belum berserikat sama sekali, atau masih dalam cengkraman serikat-serikat buruh lama serta gadungan (hasil pasca 1998).
Penyakit tidak percaya pada kekuatan sendiri bersumber pada tidak adanya pengetahuan dan kesadaran bahwa modal dan tenaga kerjanya bukanlah milik pengusaha/pemodal; pabrik bukan milik pemodal, dan buruh bukan hanya sekadar menjual tenaga kerjanya untuk mendapatkan upah. Mayoritas kaum buruh masih berkesadaran palsu: takut dan tidak berdaya dihadapan perintah dan keputusan pengusaha/pemilik modal, sehingga takut terhadap ancaman PHK--tak berani melawan. Marx pun mungkin tercenung jika ia hidup di hari ini, karena tak seperti ucapannya--buruh tak akan kehilangan apapun, kecuali belenggunya--kaum buruh hari ini justru menjadi takut melawan karena takut kehilangan pekerjaannya.
Penyakit ini harus segera diatasi. Buruh tidak saja punya tenaga untuk bekerja, tapi juga otak untuk berfikir dan belajar bagaimana mengelola pabrik dan meningkatkan produktivitas. Buruh sebenarnya tidak membutuhkan pengusaha/pemilik modal (baca: tidak butuh kapitalisme), karena modal bisa disosialisasi oleh negara kelas pekerja kepada kaum pekerja. Modal sesungguhnya bukanlah milik pengusaha/pemodal, karena modal adalah warisan sosial atau, dengan kata lain, hasil dari hubungan produksi antara kelas kapitalis (pemodal) dan kelas pekerja, yang hasilnya dirampas oleh kelas kapitalis; namun karena kelas kapitalis mendapat "pengakuan" negara (yang mendukungnya) sebagai "pemilik alat produksi" yang "syah secara hukum", maka mereka, kelas kapitalis, diperbolehkan menghisap para pekerja upahan dan merampas surplus yang telah dihasilkan buruh upahannya.
Penyakit tidak percaya pada kekuatan sendiri juga sangat ditentukan oleh tidak adanya persatuan rakyat dan kaum pergerakan yang selama ini melawan di pentas nasional, sebagai alternatif/tandingan dari kekuatan elit politik begundalnya para pemodal. ABM menjadi harapan, setelah Front Pembebasan Nasional--yang, walaupun lebih luas partisipasi dan ruang lingkup persatuannya, namun tidak lagi kedengaran. Namun ABM saja tidak cukup. Kekuatan tandingan ini harus melibatkan seluruh sektor rakyat yang berlawan karena, saat ini, kaum buruh tidak bisa membangun landasan bagi sebuah negara kelas pekerja secara sendirian, mengingat banyak (sebagian besar) sektor-sektor lain juga disengsarakan oleh sistim kapitalisme. Bahkan, berlawan sajapun tidak cukup. Perlawanan hari ini harus semakin meningkatkan harga diri kaum buruh untuk tidak mau disubordinasi, tidak mau dikooptasi dan tidak akan berkooperasi dengan elit-elit musuh dan penghambat perjuangan buruh. Karena sekali saja kaum buruh tertipu, maka akan semakin sulit bagi kaum gerakan untuk memunculkan kekuatan politik tandingan yang mandiri dan menasional (yang berbasiskan kaum buruh yang sadar); karena bila kaum buruh diajak untuk memberikan legitimasi pada kaum elit tersebut--dan itu artinya menyerahkan kepemimpinan kaum buruh kepada kaum elit--maka akan semakin sulit untuk menyadarkan kaum buruh akan tujuan perjuangan sejati: sosialisme. Jadi, Jangan kaum buruh diajak untuk memberikan legitimasi bahwa kaum elit tersebut masih mau berjuang untuk rakyat dan kaum buruh--apalagi menjelang pemilu--agar kita bisa dengan segera mengalihkan kepemimpinan mayoritas (kaum buruh dan rakyat) yang masih terkooptasi kepada kepemimpinan sejatinya. Perjuangan kaum buruh sulit untuk berhasil bila sebagian besar kaum buruh masih dikooptasi oleh serikat-serikat buruh lama dan gadungan (hasil pasca 1998).
Apakah hanya pimpinan-pimpinan serikat saja yang harus sadar akan kepentingan tersebut? Tidak. Massa punya hak mendapatkan pengetahuan akan semua potensi kekuataannya. Bagaimana caranya? Dengan modal yang ada saat ini, ABM Bekasi sudah punya potensi untuk bisa melakukan rapat-rapat akbar rutin satu bulan atau dua bulan sekali, sebagai media pendidikan dan percepatan kesadaran, sekaligus konsolidasi kekuatan untuk tampil sebagai kekuatan alternatif (strategi atas) di Bekasi dan di pentas nasional. Mungkin bisa mulai diselenggarakan pada hari minggu--karena militansi massa untuk meninggalkan pekerjaan pada hari selain hari Minggu masih rendah. Dana bisa dicicil lewat iuran yang disepakati bersama; acara disusun bersama; propaganda--yang seutuh-utuhnya--diluaskan dalam banyak selebaran; sektor-sektor rakyat miskin lainnya pun turut diajak serta. Bila kegiatan semacam ini bisa reguler dan semakin membesar, tentu semakin besar pula pengaruh politik yang dihasilkannya, tidak hanya di Bekasi, tapi juga di panggung nasional. Dengan demikian menambah kepercayaan kaum buruh dan rakyat miskin terhadap kekuatan politiknya sendiri, artinya, peluang munculnya kekuatan alternatif/tandingan terhadap elit-elit politik, begundal para pemodal, pun semakin besar.
Di Yogyakarta, aksi Komite Rakyat Bersatu (KRB) 3 Desember, 2008, sebagai bagian dari aksi serentak ABM secara nasional, memanen penangkapan 2 orang aktivis KRB dari LMND-PRM dan PPRM karena berencana membakar foto SBY-JK dan para menteri kabinetnya. Ya, simbolisasi pembakaran foto sudah tepat (seharusnya juga ditambah dengan tanda gambar semua parpol), karena pemerintahan ini memang harus diganti; dan secara hukum tindakan tersebut tidak bisa dituntut.
Jalan Keluar
Staf Litbang PP GSPB, Danial Indrakusuma, dalam selebaran elektroniknya menyatakan bahwa ada beberapa pernyataan dan pertanyaan yang biasa diangkat untuk menurunkan moral juang buruh dalam menolak SKB/PB 4 Menteri:
- Pernyataan: SKB/PB 4 Menteri bertujuan untuk mengatasi krisis global agar tidak terjadi PHK massal; Jawaban kita: (a) krisis global/nasional terjadi karena sistim kapitalisme yang membayar buruh murah (tidak sesuai dengan nilai kerjanya yang sebenarnya) dan begitu besarnya uang yang tidak ditanam di sektor riil (tapi di usaha-usaha spekulatif keuangan, saham, portofolio, mata uang dan komoditi) sehingga, akibatnya, buruh/masyarakat tak berdaya beli; (b) karena itu, jalan keluar (terhadap krisis) yg kami ajukan (bila kami berkuasa) tak akan menghasilkan PHK massal dan krisis, karena dana yang ada di tangan kami akan digunakan untuk membangun industri nasional (lapangan kerja) di bawah kontrol rakyat dan akan membayar upah buruh secara layak. Dana tersebut kami peroleh dengan menasionalisasi aset-aset vital negara--terutama pertambangan/migas, pertanian ekspor, kehutanan, kelautan, pariwisata, kelistrikan, kimia (terutama farmasi), keairan/pengairan dll--pemusatan/pengendalian dana perbankan agar bisa disalurkan ke sektor riil rakyat/buruh/negara, penarikan dana BLBI/buyback, pemotongan bunga utang negara, penolakan/penangguhan utang LN, pajak progressif, pemanfaatan dana tabungan masyarakat (termasuk JAMSOSTEK), penyitaan harta-harta koruptor (sejak tahun 1965), kontrak-karya dengan bagi-hasil, pajak dan royalti yang menguntungkan nasional, penguasaan/nasionalisasi distribusi pertambangan dan migas, dll; (c) buruh yang di-PHK sebenarnya tanggung jawab negara; bukan malah mengizinkan pengusaha membayar buruhnya secara murah (sementara keuntungan pengusaha tidak dikurangi);
- Pertanyaan: Apakah pengusaha dan buruh tidak bisa bekerja sama mengatasi krisis?; Jawabannya: (a) pada dasarnya, tidak. Karena pengusaha dan buruh tidak bisa didamaikan--pengusaha maunya untung dengan biaya upah buruh yang rendah agar menang dalam persaingan pasar. Atau proporsi modal yang ditanamkan ke dalam alat-alat produksi akan semakin lebih besar ketimbang modal yang ditanamkan sebagai upah buruh; (b) kalaupun bisa, itu artinya buruh harus sedikit dinaikkan upahnya, dan biaya-biaya sosial buruh lainnya harus ditanggung oleh negara yang dananya diambil dari hasil pajak yang ditarik negara pada perusahaan (sebenarnya, uang buruh juga). Itulah yang namanya negara kesejahteraan, yang tak akan menyelesaikan krisis--karena tetap saja nilai pendapatan buruh tak akan bisa menggapai harga barang/jasa (yang telah mengandung nilai surplus yang akan dirampok pengusaha karena dianggap sebagai keuntungan pengusaha);
- Pernyataan: Jalan keluar yang diusulkan buruh tersebut akan membuat pengusaha bangkrut; Jawabannya: (a) kami tak perduli, karena jalan keluar yang kami ajukan tidak membutuhkan usaha ekonomi (dan pengusahanya) yang akan menimbulkan krisis (termasuk PHK massal)--yaitu usaha ekonomi yang mengizinkan aset dan tenaga produktif sosial/negara dimiliki secara individual, yang mengizinkan membayar upah buruhnya dengan murah (sehingga tak berdaya beli), dan yang mengizinkan usaha-usaha spekulatif yang mematikan sektor riil, dan yang mengizinkan menindas buruhnya secara politik/budaya agar tak melawan.
Sampai Menang!
*Staf Wakil Sekretaris Umum PP GSPB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar