Zely Ariane*
“Krisis keuangan global ini bukan karena kekurangan regulasi atau karena kapitalis yang tidak terkendali; melainkan krisis kelebihan produksi di seluruh dunia, yakni terlalu banyak barang yang dijual (demi keuntungan) namun (sehingga) rakyat tak berdaya beli”. [Karl Marx, 150 tahun lalu]
Para pemimpin APEC, menegaskan rekomendasi G20, menyerukan reformasi yang komprehensif di sejumlah lembaga keuangan internasional. Mereka juga menyatakan, prinsip pasar bebas, praktik perdagangan, dan investasi terbuka tetap merupakan mesin pertumbuhan ekonomi dunia. Sekaligus merangsang lapangan kerja, yang pada gilirannya mengurangi kemiskinan.
Delapan tahun lalu, dihadapan para pemimpin Negara-negara Selatan, yang tergabung dalam Kelompok 77, Fidel Castro Ruz menyatakan “lima puluh tahun lalu, kita dijanjikan … tak akan ada lagi kesenjangan … dijanjikan roti (kesejahteraan) dan keadilan; tapi hingga saat ini, kita, negeri-negeri berkembang, hanya mendapat penderitaan, kelaparan, dan semakin banyak ketidakadilan.
Tingkat pertumbuhan sebenarnya ekonomi kapitalis dunia turun dari rata-rata 4,9 persen per tahun pada tahun 1960-an, menjadi 3,8 persen pada tahun 1970-an, kemudian 2,7 persen, pada tahun 1980-an, dan hanya 1,2 persen, pada tahun 1990-an. Berbagai data perkembangan dunia sepuluh tahun terakhir menyatakan bahwa 2,5 miliar (40%) rakyat hidup di bawah 2 USD/hari; berbagi hanya 5% dari total pendapatan dunia; sementara 54% pendapatan tersebut masuk ke hanya 10% kantung orang-orang terkaya di negeri-negeri maju.
Pasar bebas dinyatakan dapat merangsang lapangan kerja, padahal semenjak satu dekade lalu menyumbang peningkatan tertinggi penganggur muda di Asia Tenggara (85%), disusul Sub-Afrika Sahara (34%), Amerika Latin (23%), Timur Tengah (18%), dan Asia Selatan (16%) [ILO, Global Employment Trends for Youth].
Dengan praktek pasar bebas dan investasi terbuka, jumlah transaksi harian penjualan mata uang asing (yang langsung bisa disediakan dan belum termasuk operasi-operasi keuangan tambahan, ‘perjudian’ produk-produk derivatif, dan future market commodities) sudah mencapai US $ 1,5 trilyun (2000), empat kali lipat lebih besar dibandingkan jumlah total ekspor dunia dalam satu tahun, yang ‘hanya’ sekitar US $ 6.5 trilyun. Jumlah yang luar biasa untuk sebuah transaksi moneter yang tak berkaitan dengan pengembangan produktivitas riil.
Reformasi dan Regulasi
Apa yang kini disebut reformasi terhadap lembaga-lembaga keuangan internasional ke depan adalah: (1) reformasi keterlibatan (porsi) yang lebih besar bagi negeri-negeri berkembang (baca: negeri-negeri kaya bahan mentah dan tenaga kerja), agar dapat dikontrol (dipastikan) tidak mengambil bentuk-bentuk proteksi yang semakin membahayakan ekonomi negeri-negeri kapitalis maju; (2) sokongan utang yang lebih banyak lagi oleh lembaga-lembaga tersebut untuk stimulus ekonomi [baca: mendongkrak konsumsi].
Apa yang kini disebut regulasi terhadap pasar keuangan adalah pemastian peran negara/pemerintah untuk menalangi (baca: membagi-bagi) kerugian yang diderita oleh korporasi milik elit (pada masyarakat), atau “sosialisme buat orang kaya”. Walaupun nasionalisasi atau pengucuran dana talangan pada bank-bank tersebut mungkin akan menjamin sistem keuangan kapitalis masih berufungsi, namun mereka tidak bisa menghindari anjloknya (apa yang sering mereka salah artikan sebagai) “perekonomian sebenarnya (real economy)”.
Apa yang kemudian akan terjadi setelah resesi yang hebat dan berkepanjangan ini?
Ekonom Universitas New York, Nouriel Roubini, meramalkan setidaknya akan terjadi satu dekade stagnasi, berarti, resesi ini akan diikuti oleh paling sedikit 10 tahun pertumbuhan yang lesu, kurang darah. Pada tahun-tahun mendatang, rakyat pekerja akan menderita bukan saja karena tingginya tingkat pengangguran (yang sulit diatasi) dan semakin meningkatnya pemiskinan, namun juga menderita karena gelombang inflasi yang disebabkan oleh dana talangan yang digelontorkan secara besar-besaran oleh pemerintah kapitalis untuk menolong oligarki keuangan.
Sedikit Keberanian; Sejumput Visi
Melanjutkan visi sebagai negara anggota Gerakan Non Blok, mempertegas The Initiative of Five: Soekarno, Nehru, Tito, Nasser, dan Nkrumah, rakyat Indonesia dapat mengacu pada Deklarasi GNB ke-6, 28 tahun lalu di kota Havana, yakni: “Menjamin kemerdekaan, kedaulatan dalam perjuangannya melawan imperialisme, neokolonialisme, apartheid, rasisme, dan zionisme, serta segala bentuk agresi, pendudukan, dominasi, intervensi dan hegemoni” .
Pekerjaan memang menjadi lebih berat karena mayoritas negeri-negeri yang paling miskin, paling tidak berkembang, paling banyak hutang, adalah anggota-anggota GNB.
Negeri-negeri Non-Blok mewakili 55% rakyat dunia yang yang miskin. Sebanyak 85% dari 3 milyar jiwa tenaga produktif mudanya saat ini hidup tak produktif; kesempatan hidup kurang dari 40 tahun akibat kekurangan gizi; serta 800 juta penduduk dewasanya buta huruf, akibat ketergantungan hutang, keterbelakangan teknologi dan industri.
Mayoritas negeri-negeri Non-Blok harus menanggung pembayaran hutang $13 untuk setiap $1 hutang yang mereka terima, bahkan negeri-negeri termiskinnya telah membayar $550 milyar hutang plus bunganya selama tiga dekade, dan masih berhutang $523 milyar kepada negeri-negeri debitor maupun Bank Dunia dan IMF.
Langkah-langkah beberapa negeri GNB seperti Venezuela, Bolivia, Otoritas Palestina, Kuba, dan Iran, dalam bersikap terhadap dominasi AS, adalah sebuah awal yang baik bagi terciptanya dunia yang multipolar. Yakni dunia yang bebas dan aktif bergerak diluar tekanan AS demi terwujudnya cita-cita kesetaraan, keadilan, dan kesejahteraan seluruh umat manusia di dalam Piagam Universal PBB.
Dalam analisa Reuters (8 Oktober): “Venezuela tidak mengalami pengaruh langsung dari kekisruhan pasar karena Chavez telah menasionalisasi perusahaan-perusahaan penting, dan, juga, karena mata uangnya telah ditetapkan dengan mengendalikan perdagangan mata uang”. Pemerintahan Chavez telah menata ulang perusahaan yang telah dinasionalisasi tersebut agar mengatasi kebutuhan mendesak rakyat miskin negeri tersebut, ketimbang memperkaya oligarki kapitalis lokal.
Demikian pula, tidak akan terjadi penghentian kredit perumahan atau pensiunan yang kelaparan di Kuba, karena perusahaan kapitalis telah diambil alih oleh pemerintah rakyat pekerja 48 tahun yang silam.
Menyadari kenyataan ini, masa sedikit keberanian dan sejumput visi saja kita tidak punya? ***
*Koordinator Solidaritas untuk Alternatif Amerika Latin (SERIAL) dan anggota Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM)
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar