Oleh Zely Ariane [1]
Pengantar
Pernahkah kita berpikir: “mengapa barang-barang/jasa yang diproduksi oleh kaum buruh (yang sangat berlimpah dan sebagian besar di antaranya berkualitas tinggi) justru tidak dapat dinikmati (dibeli) oleh kaum buruh sendiri serta rakyat miskin secara keseluruhan?”
Barang-barang yang berlimpah tersebut selalu berada di luar jangkauan daya beli rakyat pekerja miskin (kalaupun ada yang terjangkau, pasti dengan kualitas lebih jelek). Mahalnya harga disebabkan oleh karena kepemilikan modal dan permainan harga sesungguhnya berada di tangan segelintir kapitalis (pemilik modal). Produksi barang dan ekspansi pasar ditentukan oleh para kapitalis tersebut, berdasarkan kehendak untuk terus mengakumulasi keuntungan dan modalnya; bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Sehingga harga pun ditentukan oleh para kapitalis raksasa/yang bermodal besar/korporat. Itulah cerminan segitiga kapitalisme, yang sedang dilawan oleh Sosialisme Venezuela, yakni: (1) kepemilikan pribadi; (2) eksploitasi buruh, dan (3) produksi untuk profit.[2]
Krisis energi dan pangan belakangan ini adalah contoh paling ekstrim. Para kapitalis minyak raksasa (di antaranya Exxon Mobil, Chevron, Royal Dutch Shell, BP, Total) terus menggenjot eksploitasi minyak hingga merusak lingkungan. Dana yang diberikan untuk pengembangan bahan bakar dan teknologi ramah lingkungan sama sekali tidak sebanding dengan tingkat keuntungan dari eksploitasi minyak. Gilanya lagi, selain efek rumah kaca, rakyat di negeri-negeri yang kaya sumber minyak (tempat para kapitalis minyak internasional itu menggenjot eksploitasi) justru merupakan mayoritas rakyat yang tidak mendapatkan ceceran keuntungan minyak; malahan harus membayar mahal untuk dapat mengkonsumsi minyak.
Demikian pula raksasa pangan seperti Mosanto dan Cargill. Di tengah krisis pangan (kelangkaan di satu sisi dan kenaikan harga pangan di sisi lain—padahal produksi pangan justru mengalami kenaikan pada waktu yang sama dengan terjadinya krisis) mereka justru memperoleh keuntungan berlipat-lipat ganda sepanjang 2007 dan paruh pertama 2008.[3]
Hal ini menunjukkan begitu anarkisnya produksi barang (dan jasa) di tangan para kapitalis dunia, yang tidak ada sangkut pautnya dengan peningkatan tenaga produktif sebagian besar manusia. Oleh karena itulah, kendali (kontrol) terhadap produksi kapitalis harus dilakukan agar barang/jasa diproduksi sesuai kebutuhan dan untuk kemajuan tenaga produktif manusia sekaligus terjangkau oleh masyarakat (dan aman bagi keberlanjutan lingkungan hidup). Untuk bisa melakukannya, maka perlawanan terhadap kapitalisme mutlak dibutuhkan melalui apa yang disebut Chavez sebagai basis segitiga sosialisme, yaitu: (1) kepemilikan sosial; (2) produksi sosial yang diorganisir oleh buruh, dan (3) produksi berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Di Venezuela, nasionalisasi perusahaan-perusahaan vital dari kepemilikan swasta (asing) maupun perusahaan-perusahaan yang ditinggalkan oleh para pengusaha swasta dilakukan di bawah kontrol dan manajemen kaum buruh (bersama dengan komunitas rakyat). Nasionalisasi inilah yang memberikan landasan bagi bangunan segitiga sosialisme yang diperjuangkan oleh pemerintahan Chavez. Nasionalisasi bermakna pengambilalihan kendali atas produksi dan distribusi dari tangan perusahaan-perusahaan kapitalis (asing dan dalam negeri) ke tangan Negara (dalam hal ini Venezuela sebagai negara yang berada di bawah pemerintahan yang pro terhadap dan terdiri dari persatuan seluruh rakyat pekerja dan kaum miskin).
Sebelumnya, pengalaman serupa juga pernah dilakukan di negara-negara sosialis yang lain (baik yang berhasil maupun yang gagal) seperti Rusia (setelah Revolusi 1917), Yugoslavia, Kuba, Argentina dan Brazil. Namun dalam kesempatan ini, kita hanya akan membahas pengalaman di Venezuela. Dan dalam ruang yang terbatas ini pula, secara ringkas saya akan menggambarkan syarat, proses dan tipe serta kendala nasionalisasi di bawah kontrol rakyat berdasarkan pengalaman Venezuela.
Pembahasan ini perlu diangkat untuk menguatkan gugatan terhadap jargon “nasionalisme” Indonesia belakangan ini. Sekaligus menguatkan tuntutan radikal “Nasionalisasi di Bawah Kontrol Rakyat” oleh Front Pembebasan Nasional (FPN). Nasionalisasi di bawah kontrol rakyat adalah tuntutan kongkrit sekaligus kunci untuk menelanjangi kepalsuan ”nasionalisme dan nasionalisasi” ala elit-elit politik dan partai-partai politik elit Indonesia, yang ramai ”diperdagangkan” belakangan ini.
Nasionalisasi dan nasionalisme ala elit-elit tersebut hanya merupakan pertengkaran semu antar faksi borjuasi dalam negeri dalam berebut akses terhadap aliran modal asing (karena sejatinya mereka bergantung pada modal asing). Baik pemerintahan SBY-JK maupun partai-partai yang menyatakan diri “beroposisi” sesungguhnya adalah faksi-faksi modal yang akan menjamin penguasaan dan kepemilikan perusahaan-perusahaan asing atas aset-aset vital dalam negeri sepanjang menguntungkan dan untuk kepentingan faksi elit-elit borjuasi tertentu di dalam negeri.
Nasionalisasi di bawah kontrol rakyat bak pedang bermata dua. Di satu sisi, nasionalisasi tersebut bertujuan untuk memusatkan pendapatan dalam negeri guna membiayai pembangunan industri nasional sekaligus peningkatan tenaga produktifnya. Di sisi lain, nasionalisasi tersebut pada akhirnya bertujuan untuk membangun basis bagi industri nasional itu sendiri, dengan mengarahkan kehidupan ekonomi negeri—pertanian, industri, perdagangan, transportasi dan berbagai hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak—dalam sebuah perencanaan terpadu, yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan individu dan sosial masyarakat luas. Hal tersebut harus disetujui oleh perwakilan yang dipilih oleh rakyat dan kaum buruh, dan dijalankan di bawah arahan perwakilan tersebut melalui organisasi-organisasi nasional hingga lokal.[4]
Nasionalisasi di bawah kontrol rakyat atau dengan kata lain, pengambilalihan kontrol industri untuk diletakkan di bawah kendali persatuan rakyat dan kaum buruh, bermakna sebagai SEKOLAH PERENCANAAN EKONOMI suatu negeri, bukan semata-mata penambahan isi kantong (pendapatan) buruh. Dengan demikian, nasionalisasi di bawah kontrol persatuan rakyat dan kaum buruh merupakan wujud kongkrit kontrol rakyat terhadap produksi kapitalis. Dan kontrol terhadap produksi kapitalis adalah syarat mutlak kemandirian dan produktivitas bangsa.
A. Mengambil Alih Kepemilikan Alat-Alat Produksi
Untuk meningkatkan kapasitas produktif rakyat Venezuela, yang masih dimiliki oleh swasta, pemerintahan Chavez menggalakkan bentuk-bentuk kontrol dan kepemilikan non-swasta, seperti koperasi, manajemen bersama, serta meluaskan manajemen/kepemilikan negara terhadap alat produksi (nasionalisasi).
Misalnya, selama kepemimpinan Chavez, jumlah koperasi di Venezuela meningkat dari 800 (tahun 1998) menjadi lebih dari 100.000 (di tahun 2005). Lebih dari 1,5 juta rakyat Venezuela (sekitar 10% dari jumlah orang dewasa di negeri itu) kini terlibat dalam menjalankan koperasi. Pemerintah menyokong pembentukan koperasi di berbagai sektor, paling banyak melalui sokongan kredit, pembelian khusus melalui koperasi dan program-program pelatihan.
Terkait manajemen bersama, pemerintah terus mengujicobakan berbagai strategi melalui beberapa perusahaan milik negara, seperti perusahaan listrik CADAFE dan pabrik aluminium ALCASA. Strategi lainnya adalah melalui pengambilalihan pabrik-pabrik yang ditinggalkan/diabaikan. Pemerintahan Chavez juga membangun beberapa perusahaan milik negara yang baru, seperti telekomunikasi, angkutan udara dan petrokimia, termasuk kontrol langsung atas perusahaan minyak negara, PDVSA (Petróleos de Venezuela SA/Perusahaan Minyak Venezuela SA).
Untuk itu, pemerintahan Chavez menciptakan suatu tipe unit produksi ekonomi baru, yang dikenal dengan Perusahaan Produksi Sosial (Social Production Enterprises/EPS).[5]
B. Proses Pengambilalihan Kendali dan Tipe Pengelolaan Industri di Tangan Rakyat
o Pengambilalihan kendali industri oleh pemerintah Venezuela pertama kali difokuskan pada sektor industri perminyakan (migas), listrik dan telekomunikasi. Fokus kedua dilakukan terhadap sektor konstruksi dan makanan, yakni industri semen (meliputi hampir 40 pabrik), peternakan dan susu—melanjutkan pengambilalihan terhadap 32 lahan pertanian berskala besar. Sedangkan industri seperti mineral, metal, bauksit, batubara dan baja tetap berada di tangan Negara—memang tidak pernah diprivatisasi (dijual ke tangan swasta asing).[6]
o Re-nasionalisasi PDVSA dilakukan di akhir tahun 2001. Pemerintahan Chavez mengalokasikan lebih dari 50% keuntungannya untuk program-program sosial peningkatan tenaga produktif (missiones). Pemerintah juga mendirikan National Fund for Economic Development (Fonden) dari hasil surplus cadangan mata uang asing yang meningkat akibat peningkatan harga minyak. Dari Fonden, dana dialirkan khususnya untuk peningkatan/alih teknologi dan penelitian ilmiah.
o Sejak pemerintahan Hugo Chavez berhasil memenangkan kekuasaan pada tahun 1998, berbagai paket perundang-undangan yang melindungi hak dan partisipasi buruh (serta rakyat miskin) sudah diterapkan. Hasilnya, di hampir seluruh perusahaan, berbagai serikat buruh baru tingkat pabrik berkembang. Hukum perundang-undangan yang baru memungkinkan kaum buruh untuk menyelenggarakan referendum (penentuan pendapat) guna memutuskan sekaligus menjalankan perjanjian bersama (semacam PKB) di pabrik, yang kemudian membuka kesempatan bagi lapisan pejuang buruh militan (baru) untuk bermunculan dan ikut mengambil tanggung jawab.
o Di tahun 2005, banyak pabrik yang tutup diambil alih serta dijalankan oleh pekerja. Sebanyak 800 pabrik tutup di seluruh negeri (kebanyakan karena ditinggal oleh pengusaha yang anti-Chavez) dan sejak November 2006, kurang lebih 1200 pabrik sudah diambil alih oleh kaum buruh. Namun di tahun 2008, hanya sedikit yang bisa bangkit kembali dan dalam beberapa kasus, dikelola di bawah manajemen koperasi buruh, atau justru gagal beroperasi.[7]
o Pendudukan Pabrik Pengelola Limbah Padat di Merida. Di bulan September 2007, setelah memperoleh gaji, buruh pabrik Pengelolaan Limbah ini menduduki instalasi pabrik dan menuntut agar pemilik perusahaan angkat kaki, kemudian mereka mengambil alih kantor dan menuntut agar administrasi pabrik tersebut berhenti.[8]
o Re-nasionalisasi Pabrik Baja SIDOR di Kawasan Industri Guayana. SIDOR adalah salah satu industri baja raksasa yang paling penting di Venezuela dan Amerika Latin. Setelah mengambil alih pabrik, Presiden Chavez melegalkan pengambilalihan tersebut lewat dekrit pada tanggal 9 April 2008.[9]
Sambil menunggu negara mengambil alih administrasi pabrik, sejak 10 April 2008, kaum buruh di beberapa bagian mulai terorganisir ke dalam komite-komite pengawasan dan kontrol pabrik. Tujuannya untuk menghambat sabotase peralatan, kontrol produksi dan serangan dari supervisor atau para bos lainnya. Kehendak para pekerja SIDOR adalah mengelola produksi dan administrasi perusahaan tersebut. Mereka juga mempersiapkan proposal mengenai pengelolaan SIDOR yang baru, yang menyatakan bahwa pengelolaan oleh buruh tidaklah mustahil, bahkan bisa dengan hasil yang lebih baik dan efisien.[10]
Kinerja pengelolaan oleh mayoritas kaum buruh terbukti menunjukkan efisiensi dalam produksi dan pelayanan sosial daripada yang ditunjukkan oleh perusahaan-perusahaan kapitalis transnasional dan nasional manapun. Kaum buruh menunjukkan kemampuannya dalam menggandakan level produksi.
o Pengelolaan Perusahaan Listrik CADAFE. CADAFE adalah perusahaan milik Negara yang memproduksi 60% listrik Venezuela, dengan 34.000 pekerja. Setelah perjuangan panjang untuk memenangkan hak berpartisipasi di dalam kontrak perjanjian (semacam kontrak karya) melalui pendirian dewan-dewan buruh, manajemen (baru) perusahaan mulai menghancurkan partisipasi riil buruh, membatasinya hanya pada keputusan-keputusan yang tidak penting.[11]
Banyak proposal menyangkut pengelolaan pabrik diajukan oleh kaum buruh, namun sangat sedikit yang dilaksanakan.[12] Dari lima anggota komite koordinasi yang dibentuk untuk Pengelolaan Bersama (co-management), dua posisi dicadangkan untuk anggota serikat buruh melalui mekanisme penunjukan, dan tidak bisa di-recall. Presiden perusahaan juga tidak berkewajiban melaksanakan instruksi dari komite tersebut. Pihak manajemen bahkan mengatakan bahwa tidak perlu ada partisipasi kaum buruh dalam industri strategis.
Sementara itu, terdapat jenis Pengelolaan Bersama yang sangat berbeda di anak perusahaan CADAFE, Cadela-Mérida, di Zona Andean. Di sana terdapat partisipasi bersama antara pekerja, para eksekutif dan organisasi komunitas setempat. Presiden Cadela dinominasikan dan dipilih oleh mayoritas kaum buruh di lokasi tersebut. Pelayanan meningkat, keuntungan juga lebih tinggi dan layanan pekerjaan diberikan ke banyak koperasi (lebih dari 375 koperasi hingga akhir 2004)—daripada memberi kontrak pelayanan ke perusahaan swasta. Jenis kendali buruh atas produksi antara CADAFE dan anak perusahaannya, Cadela-Mérida, memiliki perbedaan yang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut.
o Pengelolaan Pabrik Keramik Sanatarios Maracay.[13] Setelah persatuan buruh berhasil mengambil alih pabrik, mereka mulai menjual barang-barang persediaan dan meminta bantuan masyarakat untuk memulai kembali produksi dan distribusi. Produksi pun dimulai. Mereka mengorganisasikan dewan-dewan buruh sebagai sebuah mekanisme demokratik untuk mengoperasikan pabrik dan manajemen aset sehari-hari. Di samping berbagai kesulitan, mereka terus maju dan menuntut nasionalisasi penuh dari pemerintah—termasuk meminta bantuan pemerintah untuk membeli produk keramik mereka, terkait program pemerintah untuk perumahan rakyat miskin. Mereka juga menjual hasil produksi kepada masyarakat dengan harga terjangkau. Setiap minggu, pekerja yang bekerja lembur mendapatkan paket sembako dan pembayaran gaji juga dilakukan oleh dewan-dewan buruh.
o Pengelolaan Pabrik Kertas INVEPAL. Dimulai tahun 2005, pabrik kertas milik kapitalis yang bangkrut ini diambil alih oleh pemerintahan Chavez dengan suntikan modal sebesar $7 juta. Perusahaan ini diorganisir sebagai perusahaan yang dimiliki buruh, yakni kepemilikan antara buruh (51%) dan pemerintah (49%). Peningkatan hasil produksi akan digunakan oleh kaum buruh untuk kemudian membeli saham pemerintah, dan hanya akan menyisakannya sebanyak 1% saja. Pemilikan semacam ini menyebabkan kontroversi di kalangan buruh dan aktivis sosialis, yang menganggap bahwa kepemilikan buruh tersebut tidak ada bedanya dengan kepemilikan kapitalis—hanya beda dalam jumlah pemilik saja. Oleh sebab itulah FRETECO (Front Revolusioner Pekerja Pabrik-Pabrik di Bawah Kendali Buruh) menuntut pengambilalihan penuh oleh pemerintah.[14]
Terdapat Dewan Buruh yang terdiri dari Majelis Umum Pekerja (pembuat keputusan tertinggi) di pabrik serta Komisi Permanen yang dipilih untuk posisi-posisi seperti Keuangan, Formasi Politik dan Sosial, Komisi Teknik, Administrasi, Disiplin, Keamanan dan Kontrol serta Pelayanan. Seluruh orang yang dipilih dapat dipecat melalui sidang Majelis Umum Dewan Buruh. Untuk mengatasi pemisahan kerja intelektual atau administratif dengan kerja manual, mereka merotasi berbagai jenis pekerjaan, mengkombinasikannya dengan diskusi politik di dalam dewan buruh, pendidikan untuk pengembangan kolektif serta pelatihan-pelatihan teknik.
Pengalaman lain yang penting adalah hubungan dewan buruh dengan komunitas setempat. Tidak saja pabrik menyediakan ruang bagi program-program pendidikan dan kesehatan komunitas, namun dewan buruh juga berpartisipasi dalam dewan komunal setempat. Dewan buruh mengirimkan delegasi ke dewan komunal, begitupun sebaliknya, yang dapat diterapkan juga dalam lingkup federasi dewan buruh dan dewan komunal yang lebih luas dalam rangka membangun struktur-struktur kekuasaan rakyat sejati.
o Pabrik Aluminium ALCASA. Bisnis kapitalis yang berdiri sejak tahun 1967 ini mulai melaksanakan praktek manajemen buruh di tahun 2005. Proses ini ditandai dengan pendirian majelis buruh terbuka, pendiskusian 18 poin proposal untuk meluncurkan kembali pabrik serta proses pemilihan manajemen baru melalui pemilihan tertutup. Dari 2700 pekerja di ALCASA, 95% berpartisipasi dalam pemilihan tersebut. Kaum buruh juga memilih 36 juru bicara dan manajemen untuk membuat keputusan. Proses manajemen ini sudah berjalan tiga tahap dan berhasil meningkatkan produksi sekaligus memperbaiki kondisi kerja.[15]
Tahap kedua difokuskan pada pengembangan manajemen dan strategi baru perusahaan. Di tahap ketiga, diskusi dan perdebatan terjadi menyangkut persoalan-persoalan semacam: memanusiawikan tenaga kerja, termasuk pengurangan hari kerja, demokratisasi pengetahuan untuk mengurangi pembagian kerja sosial di dalam pabrik serta desentralisasi keputusan melalui pembangunan dewan-dewan buruh.
Untuk itu, mereka membangun pusat pelatihan sosial politik, sehingga kaum buruh dapat terlibat dalam proses yang ada. Pada awalnya, para pekerja kerap dituduh sebagai komunis, garis keras atau sejenisnya. Namun sedikit demi sedikit kaum buruh mulai terlibat dalam pelatihan tersebut dan kini beberapa ratus buruh mulai terlibat.
ALCASA tetap dimiliki oleh Negara. Berbeda dengan INVEPAL, dewan buruh di pabrik ini tidak menghendaki model manajemen yang mendistribusikan modal kepada seluruh pekerja atau mendekatkan buruh dengan modal atau pembagian saham di antara mereka. Menurut mereka, manajemen bersama tersebut tidak dibatasi hanya pada tingkat perusahaan semata, namun harus meliputi pengelolaan bersama dengan komunitas sosial masyarakat, walaupun untuk yang terakhir ini belum tampak keberhasilan yang signifikan.
Sebelum pengelolaan ini dimulai, banyak di antara buruh yang menyatakan seharusnya semua pimpinan dan para direktur dipecati. Tapi menurut dewan buruh, hal tersebut adalah hal paling akhir yang akan mereka lakukan—bahkan bisa menjadi bencana jika dilakukan. Karena pengalaman pemecatan 2000 manajer di PDVSA telah menyulitkan pengelolaan dan produksi pabrik, bahkan hingga saat ini. Mereka sedang membangun proses dari bawah, pemilihan di tiap workshop, pemilihan di tiap grup ”delegasi juru bicara.” Suatu sistem pemilihan langsung, kontrol dan akuntabilitas, penggiliran tugas, dan seterusnya.[16]
Tim kepemimpinan juga semakin meluas. Untuk setiap satu orang pimpinan lama, mereka memilih tiga orang baru. Kemudian terdapat 300 delegasi juru bicara yang dipilih dari tingkat paling bawah oleh buruh. Belakangan ini, setiap departemen memiliki “dewan administratif,” dengan juru bicara yang dipilih di tiap tim, untuk mendiskusikan dan merencanakan persoalan-persoalan produksi.
C. Kendala-Kendala
Berdasarkan pengalaman pengambilalihan industri di Venezuela, kendala-kendala yang dihadapi antara lain:
a. Kultur/kebudayaan buruh yang masih terbelakang, yakni ketika buruh bekerja semata-mata untuk mendapatkan uang dan tidak sedikitpun punya visi untuk membangun ekonomi negeri sekaligus menciptakan tatanan masyarakat baru.
b. Dalam beberapa kasus, perusahaan-perusahaan yang ditinggal kabur pemiliknya juga meninggalkan utang yang harus ditanggung oleh manajemen buruh yang baru.
Utang-utang atau tagihan tersebut bisa mengancam kelancaran produksi.
c. Bahan mentah menyusut dan akan sulit diperoleh kembali tanpa adanya modal, kredit serta legitimasi yang sah.
d. Kesulitan pemasaran tanpa bantuan masyarakat dan pemerintah.
e. Represi, hingga penculikan dan pembunuhan, oleh aparat keamanan dan pasukan preman bayaran terhadap serikat buruh yang melakukan pengambilalihan pabrik.
f. Sabotase pabrik, penghancuran mesin-mesin serta penghentian layanan listrik, air dan gas oleh aparat-aparat bayaran.
g. Pencurian mesin-mesin dan bahan mentah di pabrik.
h. Polarisasi dan fragmentasi yang tajam antar serikat buruh (pro Revolusi) yang berbeda-beda.
i. Pemilik pabrik lama seringkali memecah persatuan serikat buruh dengan membuat serikat buruh tandingan yang anti terhadap kontrol buruh di pabrik.
j. Satu perusahaan yang berada di bawah kendali buruh terletak di tengah-tengah kawasan industri yang masih berorientasi kapitalis.
k. Kelelahan berjuang akibat proses yang tidak selalu berlangsung cepat.
l. Tidak berjalannya proses partisipasi mayoritas buruh membuat lambatnya produksi berjalan serta lemahnya kekuatan dewan buruh.
m. Aristokrasi buruh—buruh yang bermental kapitalis ketika sudah memiliki alat produksi.
n. Sindikalisme—pengelolaan pabrik hanya untuk pabrik itu sendiri; tidak bersedia berada dalam satu perencanaan pengelolaan bersama secara nasional.
D. Syarat-Syarat Keberhasilan
a. Kesadaran yang meluas di kalangan kaum buruh dan rakyat miskin lainnya untuk melawan kapitalisme. Perlawanan tersebut dalam bentuk pengambilalihan alat produksi dari kepemilikan kapitalis, sekaligus mengubah relasi produksi agar menjadi semakin setara dan berwatak kerjasama.
b. Adanya persatuan gerakan (antar kaum buruh dan dengan berbagai elemen rakyat miskin pro-demokratik) yang luas untuk menuntut pengambilalihan perusahaan-perusahaan kapitalis untuk kemudian diserahkan kendalinya pada persatuan/dewan-dewan buruh.
c. Adanya persatuan gerakan untuk membangun alat politik alternatif yang mendapat dukungan dari mayoritas rakyat guna merebut kekuasaan. Hal ini dibutuhkan karena nasionalisasi di bawah kontrol Negara yang bukan merupakan perwujudan dari perwakilan dan kepentingan kelas pekerja dan rakyat miskin tidak akan membawa kesejahteraan bagi mayoritas kelas pekerja dan rakyat miskin.
d. Kekuasaan baru yang akan menjalankan program pemusatan seluruh sumber pembiayaan dalam negeri untuk membiayai kebutuhan darurat rakyat (guna meningkatkan tenaga produktifnya) sekaligus mengembangkan industri nasional. Kekuasaan tersebut juga harus mendorong partisipasi riil dari rakyat dalam berbagai mekanisme demokrasi langsung untuk menjamin berjalannya kendali rakyat atas industri yang sudah diambil alih.
e. Kontrol buruh harus berskala nasional dan diperluas agar dapat mengatasi semua kepentingan kapitalis (bukan diorganisir secara insidental tanpa sistem); terencana baik dan tidak bisa dipisahkan dari keseluruhan kehidupan industri nasional. Oleh sebab itulah persatuan antar buruh dari pabrik-pabrik yang sudah diambil alih dengan organisasi-organisasi rakyat lainnya mutlak diperlukan.
E. Penutup
Di tengah kehancuran industri nasional dan kapasitas mayoritas pekerja Indonesia yang rendah—akibat puluhan tahun dikerdilkan kesadarannya dari pengetahuan ilmiah dan akses teknologi—, perjuangan untuk mengambil alih kendali industri ke tangan kaum pekerja adalah pekerjaan yang sukar, tapi TIDAK MUSTAHIL apabila semakin banyak kelompok buruh yang mulai semakin bersatu, sehingga semakin meningkat kesadarannya akan cita-cita perjuangan buruh jangka panjang, yakni Sosialisme. Dengan kesadaran tersebut, kaum buruh akan menjadi semakin berani dan tidak tanggung-tanggung dalam berjuang membela martabatnya sebagai manusia pekerja, yang berhak atas segala keindahan dan kebahagiaan di dunia.
***
Catatan: Tulisan ini direncanakan terbit pada Edisi ke-3 Jurnal Bersatu
Catatan Kaki:
[1] Juru Bicara Komite Politik Rakyat Miskin – Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD); Koordinator Departemen Pendidikan dan Propaganda Dewan Harian Nasional Persatuan Politik Rakyat Miskin (DHN-PPRM); Pjs. Wakil Sekretaris Umum dan Kabid Perempuan dan Budaya Pengurus Pusat Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh (PP GSPB).
[2] Kiraz Janicke, “Without Workers Management There Can Be No Socialism,” www.venezuelanalysis.com, 30 Oktober 2007, mengutip pendapat Michael Lebowitz tentang pernyataan Chavez mengenai: "the elementary triangle of socialism”, yang tidak dapat dipisahkan dari segitiga kapitalisme saat ini.
[3] Isneningtyas Yulianti, “Silent Tsunami: Krisis Kelaparan di Dunia,” Mahardhika, 1 September 2008.
[4] Resolusi Mengenai Kontrol Buruh yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soviet Rusia pada revolusi 1917.
[5] Pengertian lebih lanjut dapat ditemui di dalam artikel Gregory Wilpert, “The Meaning of 21st Century Socialism for Venezuela,” www.venezuelanalysis.com, 11 Juli 2006.
[6] International News, ”Venezuelan Steel Nationalization Marks ‘New Revolution Within Revolution’,” Green Left Weekly, 22 April 2008.
[7] Ibid.
[8] Tamara Pearson, “Venezuelan Recycling Workers Struggling for Justice,” Green Left Weekly, 1 Juli 2008.
[9] Kiraz Janicke & Federico Fuentes, “Venezuela’s Labor Movement at the Crossroads,” www.venezuelanalysis.com, 29 April 2008.
[10] Stalin Perez dan Marcos Garcia, “This Year May Day is Very Special,” www.venezuelanalysis.com, 30 April 2008.
[11] Janicke & Fuentes, op. cit.
[12] Rob Lyon, Worker’s Control and Venezuelan Revolution, tulisan ke-4 dari empat bagian tulisan yang berjudul Workers' Control and Nationalization, http://www.marxist.com/workers-control-nationalisation4.htm, 20 Februari 2006.
[13] Lihat film dokumenter No Volveran tentang proses pengambilalihan pabrik keramik ini.
[14] Marie Trigona, “Workers in Control: Venezuela’s Occupied Factories,” www.venezuelanalysis.com, 9 November 2006.
[15] Janicke, “Without Workers Management, There Can Be No Socialism.”
[16] Fabrice Thomas, ‘“Co-management” in Venezuela's Alcasa Aluminium Factory,’ 25 Oktober 2005, International Viewpoint, http://www.venezuelanalysis.com/analysis/1431.
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar