oleh Pius Ginting*
Sistem Produksi Kapitalisme Mengalami Stagnasi
Krisis sistem finansial sedang terjadi secara global. Berpusat di Amerika Serikat, krisis tersebut mengguncang hampir seluruh bagian negara di dunia bersamaan dengan terjadinya krisis pangan, iklim dan energi. Kini makin banyak orang mempertanyakan legitimasi neoliberal, bahkan masa depan sistem kapitalisme itu sendiri kini sedang dipertanyakan. Pada masa sebelum krisis, korporasi dan negara pendukungnya selalu menganjurkan agar negara tidak campur tangan dan meregulasi korporasi. Namun, di saat krisis korporasi meminta bantuan negara untuk menyelematkan dirinya.
Krisis ini bukan pertama kalinya. Sebelumnya, pada tahun 1929 harga-harga saham di Amerika Serikat juga mengalami kejatuhan. Serentetan krisis yang terjadi adalah krisis yang inheren dalam sistem ekonomi sekarang (kapitalisme), yakni krisis akibat over-produksi dan over-capacity sistem kapitalisme.
Berkat sejarah panjang sistem kapitalisme yang motif dasarnya adalah mengakumulasi keuntungan, dan jalan mewujudkannya adalah mengupah buruh serendah mungkin, penjajahan, dan mengekspolitasi sumber daya alam tanpa memperhitungkan daya dukung alam itu sendiri, menerapkan teknologi yang meningkatkan produksi namun minim investasi tidak bagi teknologi keselamatan lingkungan karena bagi modal hal tersebut berarti biaya tambahan, maka kian hari modal kian terkonsentrasi di tangan segelintir orang. Pendapatan 1% penduduk terkaya di dunia sama dengan pendapatan 60 persen penduduk dunia lainnya (2, 7 milyar orang). [1]
http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/1442073.stm
Grafik1. Pendapatan makin tidak merata antar lapisan penduduk (Perbandingan tahun 1988 dan 1993) Sbr: http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/1442073.stm
Konsekuensi dari modal yang terkonsentrasi di tangan segelintir orang sementa mayoritas lainnya berdaya beli rendah, bahkan tidak berdaya sama sekali akhirnya menjadi masalah bagi sistem kapitalisme itu sendiri. Akumulasi modal yang besarannya astronomikal makin hari makin mendapatkan sedikit ruang untuk berinvestasi yang menguntungkan bagi mereka. Tingkat keuntungan mereka di sektor riil mengalami stagnasi. Kini wajah kapitalisme itu adalah: Pertumbuhan yang lambat, Kelebihan Kapital, dan Hutang yang menggunung.
Grafik2. Persentase kapasitas produksi manufaktur A.S.
Sumber: http://www.monthlyreview.org/docs/0402chrt2.pdf
Dari grafik diatas, industri kapitalisme (manufaktur) tidak pernah beroperasi 100%, dan bahkan mengalami kecenderungan penurunan. Penyebabnya tak lain adalah daya beli masyarakat di dunia makin melemah, sehingga pasar buat produk industri makin menyempit, sehingga mereka harus membatasi produksi.
Perubahan GDP AS (milyar dollar)
Grafik 3 Kecenderungan Penurunan GDP AS
Sumber: http://www.monthlyreview.org/docs/0402chrt1.pdf
Penurunan produksi tersebut juga tercermin dari perubahan GDP negara seperti AS, dimana angkanya tidak pernah kembali mencapai angka pertumbuhan tahun 1950-1970.
Tentu saja, banyak orang yang masih tidak berpakaian layak, tidak minum susu secara mencukupi, tidak memiliki akses terhadap komputer, namun mereka tidak bisa diharapkan oleh kapitalisme menggairahkan produksi karena mereka tidak berdaya beli.
Pembengkakan Hutang Rumah Tangga dan Finansialisasi Jalan Keluar Korporasi dari Stagnasi Pendapatan rakyat di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat dan negara maju lainnya sejak tahun 1970-an tidak mengalami kenaikan dibanding masa sebelumnya. Hal tersebut dapat kita lihat dari Tabel 1. Perlambatan kenaikan upah yang mendorong yang menyebabkan ketidakadaan daya beli adalah buah simalakama bagi korporasi. Sudah menjadi hukum besi bagi akuntansi korporasi, untuk menghasilkan keuntungan besar, caranya adalah menahan laju kenaikan upah buruh, menerapkan teknologi yang bisa menambah output produksi per jam kerja, dan mengirit penerapan tekonologi yang tidak menambah output: keselamatan kerja dan lingkungan.
Rata-rata Pertumbuhan Pendapatan
OECD (Eropa, AS, termasuk Jepang, Australian dan Selandia Baru)
1960–1979 (3.4)
1980–1998 (1,8)
Negera Berkembang (termasuk Cina, Eropa Tengah dan Timur)
1960–1979 (2.5)
1980–1998 (0,0)
Sumber: www.monthlyreview.org
Jalan keluar yang ditempuh korporasi keluar dari stagnasi keuntungan ditengah daya beli mayoritas masyarakat yang rendah, sementara modal membutuhkan lapangan baru untuk berkembang, beranak-pinak, agar surplus sosial yang telah tercipta melalui proses penghisapan buruh dan pola produksi yang merusak lingkungan agar bisa terserap harus ditemukan. Harus tetap tumbuh jika tidak mati, demikianlah rumus sistem produksi kapitalisme, seperti naik sepeda yang harus tetap dikayuh jika tidak mau jatuh. Maka, stagnasi di sektor riil mendorong para korporate masuk ke sektor finansial dan ekspansi pemberian kredit/hutang.
Perpaduan daya beli masyarakat yang rendah dan modal yang membutuhkan ladang investasi, inilah yang menjadi awal krisis finansial—setelah krisis industri informasi teknologi pada tahun 2000, kini pada pertengahan akhir tahun 2008 beralih ke kredit perumahan di Amerika Sekarang ini. Rakyat menyiasati persoalan hidup dengan upah yang tidak mengalami kenaikan dengan menghutang/membuka kredit.
Juga, untuk menaikkan harga saham, sebagian perusahaan besar meminjam uang untuk membeli kembali (buy back) saham mereka, dengan demikian harganya makin mengelembung. Bahkan perusahan-perusahan yang biasanya bergerak di sektor riil merestrukturisasi operasi mereka dan masuk ke sektor finansial, lalu menggunakan keuntungan dari sektor ini untuk membiayai pinjaman dan mencetak keuntungan. Kapitalisme menjadi semakin tergantung kepada sistem kredit untuk melepaskan diri dari efek terburuk stagnasi di ”ekonomi produktif riil”[2]. Para eksekutif korporate pun mendapatkan bonus pendapatan dari kenaikan harga saham sehingga mereka berkepentingan untuk meninggikan nilai saham. Sejak tahun 1990-an, nilai saham perusahaan menjadi lebih penting daripada prospek keuntungan aktual perusahaan.[3] Dengan skema ini, sektor finansial menjadi lebih dominan dibanding sektor produktif. Fidel Castro mencatat nilai transaksi harian di Wall Street sama dengan nilai perdagangan dan jasa dunia selama 14 hari. Sektor keuangan (finansial) dan riil menjadi relatif tidak berketerkaitan[4]. Artinya, nilai saham dan bond terbentuk sendiri lewat spekulasi dan tidak mewakili nilai dasar aset yang dijaminkan. Proses ini disebut sebagai proses finansialisasi.
Sumber: http://www.monthlyreview/080401foster.php
Grafik2. Kontribusi Sektor Finansial Semakin Besar Bagi Keuntungan Korporasi
Dari grafik diatas, terlihat kontribusi sektor finansial terhadap keuntungan korporasi makin meningkat dari tahun ke tahun.
Negara membantu mereka dengan meregulasi sektor-sektor keuangan dan asuransi, bersamaan dengan meliberalisasi kontrol pertukuran mata uang antar negara. Setelah sektor finansial diregulasi di seluruh dunia pada tahun 1980-an (pertama kali di negeri Utara kemudian negeri Selatan melalui Structural Adjustment Programmes), perusahaan-perusahaan melakukan spekulasi di pasar saham, surat hutang (bond), ataupun mata uang dunia.[5]
Krisis Terbaru
Setelah penggelembungan sektor finansial berbasis industri teknologi meletus tahun 2000 di Amerika Serikat, mereka mencari lahan baru. Maka, dalam perkembangan krisis terakhir ini, modal diinvestasikan dalam kredit perumahan. Demi penciptaan ruang investasi, maka syarat kredit untuk perumahan dipermudah. Kelas pekerja yang telah mengalami stagnasi upah sejak tahun 1970 diiming-imingi kredit dengan syarat yang dipermudah. Berharap harga rumah akan makin tinggi di masa depan, banyak pula yang berinvestasi di rumah dengan cara mengkredit rumah baru lagi. Kredit tersebut kemudian oleh perusahan pemberi kredit atau bank dikumpulkan dan dijual (sekuritas berbasis kredit perumahan, perkantoran) kepada perusahaan keuangan yang lebih besar. Perusahaan besar tersebut menikmati pembayaran cicilan kredit namun menanggung resiko jika terjadi gagal bayar. Perusahaan keuangan yang lebih besar sebagai penjamin maupun perusahaan pemberi kredit yang pertama kali memberi pinjaman tentunya berharap agar para pemilik rumah dapat terus membayar cicilan. Dengan sekuritas berbasis kredit perumahan dan perkantoran ini, baik peminjam maupun penyewa sama-sama mengandalkan terhadap nilai rumah yang akan makin tinggi.
Sistem ini akan jatuh jika harga rumah jatuh atau pendapatan peminjam kredit terancam tidak mampu membayar kembali pinjaman mereka. Situasi ini mengalami keguncangan ketika Bank Sentral Amerika menaikkan suku bunga, sehingga rakyat kelas bawah yang upahnya memang tidak mengalami kenaikan masuk ke status gagal bayar, dan karena bank terpaksa banyak menyita rumah dan harus menjualnya kembali menyebabkan harga perumahan menjadi jatuh. Inilah yang sekarang banyak terjadi di negara dunia, Amerika, Inggris, Spanyol, Australia atau Selandia Baru.
Kekacauan sisten finansial global telah menyebabkan negara-negara di Utara (dan juga rencananya negara kapitalistik di dunia ketiga, seperti Indonesia) telah melakukan tindakan yang sering diserukan oleh gerakan progresif, menasionalisasi bank-bank. Gerakan ini bagaimanapun mereka maksudkan hanyalah sebagai usaha penyelamatan dan stabilisasi, dan bila saja badai krisis berlalu, mereka akan menyerahkan kembali perbankan kepada sektor swasta: sebagaimana yang telah terjadi di Indonesia paska krisis tahun 1997 dengan BPPN.
Indonesia Rentan Krisis Kapitalisme
Indonesia selalu mengandalkan utang dan investasi asing dengan komoditas ekspor sebagai sumber pendapatannya, sementara itu industri yang berorientasi kepentingan rakyat dan ramah lingkungan tidak terjadi. Pola pembangunan seperti ini adalah tidak berkesinambungan dan rentan guncangan krisis. Hal tersebut diatarnya tampak paska kejatuhan harga minyak pertengahan tahun 1980-an. Dengan tergerusnya pendapatan dari sektor minyak, usaha kelompok penguasa Pemerintahan Orde Baru segera dibawah ancaman. Laporan Kedutaan Besar Amerika Serikat pada November 1982 menyebutkan cadangan devisa Indonesia dari surplus hampir sebesar $AS 500 juta menjadi defisit lebih dari $AS 7 milyar dalam dua tahun. IMF, IBRD, dan negeri donor lainnya kembali dalam posisi yang kuat mengulangi kejadian di awal kekuasaan Orde Baru, sehingga pemerintahan Orde Baru harus mencabut berbagai macam proteksi dan dan memberikan akses yang luas terhadap sumber daya Indonesia, Bank Dunia berargumentasi bahwa sektor yang disubsidi dan ekonomi yang terproteksi adalah tidak efesien dan tidak kompetitif, dan Indonesia harus terintegrasi dengan “operasi bebas pembagian tenaga kerja Internasional”.[6]
Respon pemerintah terhadap hal tersebut adalah mendevaluasi nilai rupiah (27.6 persen) untuk memperluas ekspor non migas, dan mengesampingkan investasi untuk proyek-proyek publik[7]. Lebih jauh pemerintah menghapus monopoli import, dan membiarkan perusahaan sektor hilir secara bebas mengimpor barang-barang yang dibutuhkan untuk produksi eskpor, merendahkan tarif, pemangkasan pajak korporasi.
Miranda S Gultom menyatakan struktur keuangan Indonesia mengalami perubahan yang cukup mendasar setelah deregulasi perbankan Juni 1983 akibat oil shock (kejatuhan harga minyak pada akhir tahun 1982), dan tidak salah untuk mengatakan bahwa reformasi perbankan yang dilakukan tahun 1983 merupakan titik awal ke arah sistem keuangan yang lebih berdasarkan mekanisme pasar[8]. Seiring perjalan waktu, sektor keuangan dan Industri Indonesia makin liberal.
Krisis finansial yang terjadi tahun 1997 adalah akibat dari kebijakan neoliberal. Sektor finansial dideregulasi, membuat modal leluasa begerak antar negara dalam bentuk produk-produk finansial (saham, surat hutang, perdagangan mata uang asing, dll). Indonesia mengalami krisis hebat akibat spekulasi mata uang dan sektor finansial. Dan kini, ketika krisis kembali terjadi, mata uang Indonesia jatuh karena investor asing terus melepas aset dan portofolio investasinya di Indonesia seperti Surat Hutang Negara, Sertifikat Bank Indonesia, termasuk saham.
Akibat nyata yang terjadi atas krisis saat ini adalah PHK massal atas industri komoditas ekspor karena penurunan daya beli negeri tujuan ekspor, serta melemahnya kemampuan daya beli akibat penurunan nilai mata uang. Hal tersebut misalnya mulai terasa dengan langkanya obat HIV/AIDS yang masih diiimpor makin mahal.
Tawaran Jalan Keluar dari Krisis
Sektor Finansial,Perdagangan dan Hubungan Internasional:
1. Larang perdagangan produk derivatif di sektor finansial.
2. Nasionalisasi penuh bank-bank yang ada dan diletakkan dibawah kontrol rakyat, tidak hanya menasionalisasi aset-aset yang buruk seperti hutang.
3. Ciptakan bank berbasis kepentingan masyarakat bukan korporasi dan perkuat bentuk pinjam-meminjam yang ada dan memperkuat solidaritas.
4. Terapkan kriteria lingkungan dan sosial (termasuk buruh) terhadap semua pinjaman yang diberikan oleh bank.
5. Bank Sentral harus berada dibawah kontrol pengawasan publik.
6. Hapuskan hutang negeri berkembang—utang mereka akan membengkak akibat penurunan nilai mata uang akibat krisisi.
7. Hapus World Bank, International Monetary Fund dan World Trade Organisation.
8. Demokratiskan PBB dengan melibatkan lebih luas peran negara berkembang.
9. Hentikan kerjasama perdagangan bilateral (negeri dunia ketiga masing-masing saling berebut menawarkan produk dan pasar ke negeri dunia pertama). Bentuk kerjasama ekonomi seperti Bolivarian Alternative for the Americas (ALBA) yang mendorong pembangungan sejati dan mengakhiri kemiskinan, kebodohan dan penyakit.
Bidang Pertanian dan Industri:
1. Indonesia harus membangun industri strategis untuk kepentingan dalam negeri. Penderitaan yang dialami kini oleh masyarakat penanam kelapa sawit adalah karena ekspansi luas perkebunan jenis komoditi tersebut adalah untuk kepentingan ekspor, dan kerap terjadi industri pengelohannya juga bukan di Indonesia. Ekspor besar-besaran terhadap batu bara harus dihentikan karena merusak lingkungan dan tujuannya bukan untuk kemajuan keseluruhan masyarakat Indonesia.
2. Bentuk stragegi pertanian yang bertujuan untuk mencapai kedaulatan pangan dan pertanian yang berkelanjutan.
3. Jalankan reformasi agraria dan kebijakan lainnya yang mendukung petani kecil dan komunitas masyarakat adat.
4. Hentikan ekspansi perkebunan monokultur yang merusak lingkungan dan sosial.
Bidang Lingkungan:
1. Negeri dunia pertama memberikan hibah untuk mereparasi negeri Selatan (membayar piutang ekologi) atas kerusakan lingkungan yang telah diakibatkan oleh negeri Utara.
2. Negari Utara membantu negeri Selatan mengatasi ancaman perubahan iklim dan kerusakan lingkungan lainnya, tanpa mekanisme pengalihan seperti perdagangan karbon.
3. Hentikan pinjaman bagi proyek-proyek dibawah “Clean Development Mechanism” Protocol Kyoto yang merusak lingkungan seperti perkebunan monokultur eucalyptus dan sawit.
4. Stop usaha pengembangan perdagangan karbon dan pengembangan tekonologi kontraproduktif lainnya seperti agrofuel, tenaga nuklir, dan ‘clean coal’ technology.
5. Terapkan strategi yang secara radikal mengurangi konsumsi orang kaya di negeri-negeri kaya, dan kesejahteraan rakyat miskin di negeri berkembang dan terbelakang.
6. Bentuk manajemen demokratis dengan melibatkan partisipasi negeri dan masyrakat sipil Selatan untuk mitigasi perubahan iklim.
* Officer Publikasi dan Riset WALHI
Catatan Kaki:
[1] http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/1442073.stm
[2] John Bellamy Foster, "The Financialization of Capital and the Crisis," Monthly Review 59.11 (April 2008).
[3] Ibid
[4] Ibid, hal.5
[5] William K. Tabb, "Four Crises of the Contemporary World Capitalist System," Monthly Review 60.5 (October 2008).
[6] Andrew Mack, Rethinking the Dynamics of Capital Accumulation in Colonial and Post-Colonial Indonesia: Production Regulation, Univesitas Sydney, September 2001
[7] Ibid, hal 223
[8] Miranda S Gultom, “Perubahan Strukural Sektor Keuangan di Indonesia: Visi dan Tantangan”, dikutip dari Pemikiran dan Permsalahan Rkonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir, books.google.co.id/books?id=fLOvdAk7AysC&printsec=frontcover&dq=Pakto+Oktober+Bank&source=gbs_summary_s&cad=0#PPA9,M1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar