Buruh Harus Punya Cita-cita
oleh: Dian Septi
Kata-kata tersebut menggema di sebuah acara Konferensi taktik yang digelar oleh GSPB (Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh) pada tgl 20 Juli 2008 lalu, di gedung PKPN Kodya Bekasi. Kata-kata itupun disambut dengan gegap gempita dari sekitar 30 peserta yang merupakan perwakilan buruh dari beberapa perusahaan seperti Mayora, Nissin, Agel Langgeng dan Buana. Kata-kata itu dilontarkan oleh salah seorang pembicara dari PPRM (Persatuan Politik Rakyat Miskin), Zely Ariane. Zely menuturkan, perjuangan tidak mustahil jika kaum buruh mempunyai cita-cita. Sejarah sendiri telah membuktikan beberapa kemenangan buruh yang diraih melalui perjuangannya sendiri, seperti gerakan buruh menuntut 8 jam kerja. Kemenangan 8 jam kerja tersebut tentu tidak akan bisa diraih jika buruh tidak memperjuangkannya dengan persatuan dan kesolidan. Pengusaha tidak akan memberikan 8 jam kerja jika tidak ada tekanan dari kekuatan buruh itu sendiri.
Menurut Zely Ariane, tidak akan ada belas kasihan dari pengusaha atau pemilik modal dan pemerintah atau Negara terhadap perubahan nasib buruh dab peningkatan nilai kemanusiaan kaum buruh (upah dan hak-hak normatif, status, dan kondisi kerja, jam kerja yang lebih pendek, agar buruh bisa berkreasi dan memperluas pengetahuannya tentang dunia). Pendek kata hal itu mustahil jika buruh tidak melakukan perjuangan untuk mendapat hak-haknya. Oleh sebab itu, buruh harus mempunyai cita-cita untuk diraih. Sebuah cita-cita akan masa depan yang lebih baik dan bahwa itu tidaklah tidak mungkin terjadi, yakni merebut kendali pabrik ke tangan persatuan buruh. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, maka dibutuhkan sebuah alat perjuangan berupa organisasi yang militan atau pantang menyerah, dengan metode gerakan. Alat perjuangan tersebut/ organisasi tidak boleh bersandar pada pimpinan, namun harus berada dalam kontrol semua anggotanya.
Sementara di sesi selanjutnya, dua pembicara lain, dari FNPBI-PRM (Front Nasional Persatuan Buruh Indonesia- Politik Rakyat Miskin) Budi wardoyo dan Ketua GSPB, Sulaeman, menyampaikan buruh dalam berjuang haruslah bersatu. Tidak hanya di antara kaum buruh sendiri akan tetapi juga dengan sektor lain, bahkan juga dengan warga sekitar pabrik. Sebab, tidaklah mungkin perjuangan buruh akan berhasil tanpa dukungan dari masyarakat sekitar, juga dari sektor lain. Dikatakan Budi wardoyo, terdapat dua jenis hambatan bagi perjuangan buruh, yakni hambatan dari luar gerakan buruh dan dari dalam gerakan buruh. Dari luar buruh, Neoliberalisme semakin hari semakin menyengsarakan kaum buruh, sementara kini Negara dikuasai oleh kekuatan politik pro neo liberal dan anti buruh serta masih banyak lagi hambatan dari luar gerakan buruh lainnya seperti banyaknya PHK yang mengurangi anggota serikat buruh, belum adanya kekuatan politik yang cukup kuat untuk memperjuangkan kepentingan kaum buruh, belum terbangunnya persatuan di antara kekuatan kaum buruh, banyaknya LSM yang membuat serikat buruh tidak independen.
Hambatan dari dalam buruh sendiri tidak kalah hebatnya, yakni belum adanya terbitan/ Koran yang secara nasional menyatukan tindakan dan pandangan kaum buruh, belum munculnya tokoh-tokoh buruh yang cukup kuat terutama kaum buruh yang bekerja di pusat pusat modal (Perbankan, pertambangan, telekomunikasi, transportasi dll) sementara serikat buruh kuning masih mempunyai pengaruh yang kuat. Padahal, tegas Budi wardoyo gerakan buruh memiliki potensi untuk membesar. Jumlah buruh Indonesia semisal, sangatlah besar dan terkonsentrasi pada pemukiman-pemukiman serta tempat kerja. Tidak hanya itu, posisi kaum buruh jelas menentukan hidup matinya sistem kapitalisme. Hal itu semakin diperkuat dengan kembalinya ruh perjuangan kaum buruh, yaitu aksi massa.
Dari konferensi tersebut, para peserta menyampaikan kesulitan dalam mengorganisir kaum buruh. Banyak buruh, papar salah seorang peserta yang juga bekerja di PT.Buana mengungkapkan sulitnya mengorganisir kaum buruh. Selain karena tindak intimidasi dan ancaman dari perusahaan, kesadaran buruh untuk berorganisasi cenderung rendah. Hal itu terbukti dengan sulitnya mereka hadir dalam rapat-rapat atau pertemuan serikat buruh. Sering kali para buruh yang juga termasuk anggota serikat buruh, bersandar pada pimpinan serikat buruh. Para buruh, masih enggan untuk memperjuangkan nasibnya. Menanggapi mengenai masih rendahnya kesadaran buruh, salah seorang peserta yang berkerja di Mayora menuturkan, rendahnya kesadaran berorganisasi kaum buruh diakibatkan oleh ketidak tahuan mereka mengenai pentingnya berorganisasi. Sehingga, kaum buruh yagn sudah sadar wajib memberikan penyadaran berupa pendidikan, selebaran atau Koran, dan diskusi-diskusi yang massif. Hal itu penting, demi menguatnya gerakan buruh.
Demi keberhasilan perjuangan kaum buruh, maka dibutuhkan sebuah manajemen dan metode perjuangan yang tepat. Dengan demikian, sebuah organisasi yang militan bisa terbentuk sebagai alat perjuangan kuat serta mempunyai daya pukul yang mematikan bagi kapitalisme. Oleh sebab itu, Ata, sekjend GSPB mengusulkan sebuah metode perjuangan yakni metode radikalisasi 3 bulanan. Dalam metode tersebut, Ata menyampaikan, terdapat dua bentuk kerja. Kerja bertahap dan kerja simultan. Dalam kerja bertahap, ada 3 tahapan yakni: (1) Investigasi, (2) Penyadaran, (3) Mobilisasi. Tahap (1) Investigasi; merupakan tahap untuk melakukan investigasi mengenai persoalan yang dihadapi rakyat, juga respon rakyat akan persoalannya serta untuk mengetahui alasan rakyat melakukan perlawanan atau kah tidak. (2) Penyadaran; merupakan tahap untuk menentukan isian penyadaran berikut metodenya berdasarkan kesimpulan investigasi. (3) Mobilisasi; tahap terakhir ini merupakan ujian sekaligus mengukur keberhasilan dari dua tahap yang dilakukan sebelumnya. Dalam hal ini, massa harus terpastikan bahwa ia paham mengenai alasan terlibat aksi, tidak hanya sekedar ikut-ikutan. Sementara untuk kerja simultan, Ata memaparkan, ada tiga pekerjaan simultan yang mesti dilakukan, sebagai berikut: (1) Persatuan, (2) Perluasan, dan (3) Dana Juang. Selain kerja bertahap dan simultan, terdapat pula kerja tambahan seperti pembangunan kompartemen (pembangunan wadah budaya, perempuan dst), pendidikan kader maju serta Badan Unit Kontradiksi).
Metode yang disampaikan oleh Ata pun mendapat sambutan positif. Harapan akan pembesaran organisasi meluas. Cita-cita akan terwujudnya kemenangan buruh tergambar di depan mata. Namun, perjuangan baru saja dimulai dengan semangat baru. Pekikan “Hidup Buruh” kembali membahana. Semua peserta bersepakat untuk membangun organisasi yang militant dengan metode radikalisasi 3 bulanan. Tiada perjuangan yang mustahil, jika buruh memiliki cita-cita dan sejarah telah membuktikan! Sekali lagi pekikan penuh semangat terdengar di penjuru ruuangan.
Hidup Buruh!***
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar