24 November 2008

Untuk Arsitektur Ekonomi Dunia yang Baru

Zely Ariane*

Tatanan ekonomi dunia [saat ini] hanya mengabdi pada 20% dari penduduk yang ada, dengan mengabaikan, merendahkan, dan menyingkirkan 80% sisanya.
(Fidel Castro Ruz: dalam KTT G77 12 April 2000)

Delapan tahun yang lalu, dihadapan para pemimpin Negara-negara Selatan, yang tergabung dalam Kelompok 77, Fidel Castro Ruz menyatakan “lima puluh tahun lalu, kita dijanjikan … tak akan ada lagi kesenjangan … dijanjikan roti (kesejahteraan) dan keadilan; tapi hingga saat ini, kita, negeri-negeri berkembang, hanya mendapat penderitaan, kelaparan, dan semakin banyak ketidakadilan.

Tatanan keuangan dunia saat ini, yang lahir di Bretton Woods 64 tahun lalu (1944), sebenarnya sudah kadaluarsa sejak 37 tahun lalu—tepat ketika Amerika Serikat (AS) menghentikan jaminan cadangan emasnya terhadap nilai dolar (1971). Karena sistem yang melahirkan institusi-institusi keuangan global semacam Bank Dunia dan IMF ini, didasarkan pada pemberlakuan Standar Penukaran Emas pada sistem keuangan dunia.

Dalam lampiran atas pidatonya tersebut, Castro mengatakan bahwa, faktor bawaan yang menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dunia, yang menjadi salah satu pilar kebijakan tersebut adalah: liberalisasi tanpa pandang bulu dalam neraca pembayaran dan perhitungan finansial.

Ketidakstabilan tersebut kemudian disebarkan melalui cara (yang disebut) dampak seretan-gerbong (bandwagon efect). Yakni, melalui kekuatan globalisasi pasar modal yang, dengan cara sedemikian rupa, membuat dampak ketidakstabilan tersebut sekonyong-konyong sudah berada di hadapan muka (bukan saja) negeri-negeri yang menerapkan kebijakan tersebut, namun juga pada negeri-negeri lain. Dan, seberapa besar dampaknya tergantung dari seberapa besar (ketahanan) ekonomi negeri tersebut.

Menyadari tak ada pilihan lain dalam menanggapi situasi krisis dunia saat ini, Presiden Brazil, Luiz Inacio da Silva, dalam pertemuan Menteri-menteri Keuangan dan Bank Central G20 8 November 2008 lalu, menyerukan pembentukan suatu arsitektur keuangan dunia baru, untuk meningkatkan kontrol atas pasar.

Betapa tidak, di tahun 2000 saja, jumlah transaksi harian penjualan mata uang asing (yang lansung bisa disediakan dan belum termasuk operasi-operasi keuangan tambahan) sudah mencapai US $ 1,5 trilyun, empat kali lipat lebih besar dibandingkan jumlah total ekspor dunia dalam satu tahun, yang ‘hanya’ sekitar US $ 6.5 trilyun. Betapa luar biasa besarnya jumlah transaksi moneter yang tak berkaitan dengan pengembangan tenaga produktif dan produktivitas riil tersebut.

Menyelamatkan Tenaga Produktif Dunia

Sepanjang kehidupan manusia, baru sekarang ini lah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mencapai titik yang begitu luar biasa. Padahal baru 20% penduduk dunia yang dapat berkontribusi maksimal dalam kemajuan itu. Bayangkan apabila 80% lainnya juga memiliki akses yang sama, tentu saja potensi kemajuan tersebut akan lebih mengangumkan, karena seluruh sumber daya manusia, alam, dan teknologi dimiliki dan didayagunakan oleh seluruh umat manusia untuk peningkatan kemajuan dunia.

Kapitalisme sudah menghancurkan peluang kemajuan tersebut karena membiarkan 80% umat manusia tak memiliki akses terhadap kebutuhan-kebutuhan pokok, air bersih, makanan sehat, pengetahuan dan pekerjaan produktif. Membiarkan 77 negeri tidak terindustrialisasi; menjeratnya dengan hutang tak berkesudahan; menyedot sumber-sumber bahan mentahnya. Soekarno mengibaratkannya sebagai “Nyai Blorong” alias ular naga. Kepala naga itu, menurutnya, berada di Asia dan sibuk menyerap kekayaan alam negara-negara terjajah. Sementara tubuh dan ekor naga itu ada di Eropa, menikmati hasil serapan tersebut.

Selama dua puluh tahun menjadi laboratorium bagi model kebijakan semacam ini, di tahun 2003, lebih dari 70% rakyat Amerika Latin (AL) hidup dalam kemiskinan—dengan ukuran pendapatan $5/hari, dan 40%-nya (dengan ukuran pendapatan $2/hari) hidup melarat. Tak hendak menunggu lebih lama lagi, dengan berbagai derajat perlawanannya, mayoritas rakyat Amerika Latin melancarkan perlawanan sengit dan mulai menyelamatkan tenaga produktifnya dari kehancuran akibat kapitalisme yang rakus. Proyek ini lah yang, oleh Hugo Chavez Friaz, Presiden Republik Bolivarian Venezuela, disebut sebagai Sosialisme Abad 21.

Proyek tersebut melanjutkan keberhasilan Revolusi Kuba, kegagalan Revolusi Sandinista dan Unidad Popular Chile di abad 20 lalu. Ditandai oleh berbagai pergolakan sengit yang terjadi antara lain di: Venezuela tahun 2001 dan 2002 (menggagalkan boikot para kapitalis minyak dan kudeta terhadap Chávez yang disponsori AS); Argentina (2001); Peru (2002); Bolivia pada tahun 2000, 2003 dan 2005; dan Ekuador pada tahun 2000 serta 2005. Dalam waktu sepuluh tahun, empatbelas presiden telah disingkirkan oleh pergolakan rakyat tersebut. Jumlah ini hanya mewakili ribuan aksi lainnya yang terjadi di seluruh AL yang, dalam kurun waktu belakangan, diiringi dengan kualitas tuntutan yang terus meningkat.

Proyek-proyek penjajahan modal AS mulai dikalahkan di Venezuela dan Bolivia. Perlawanan rakyat berhasil menggagalkan rencana dominasi AS lewat ALCA (Kawasan Perdagangan Bebas Amerika-FTAA) di Mar del Plata, Argentina (2006), mengalahkan dua kudeta yang diskenariokan AS di Venezuela (2002), melawan “Plan Colombia” (hingga kini), bersolidaritas melawan embargo ekonomi terhadap Kuba selama lebih dari 40 tahun oleh AS.

ALBA: Alternatif Tatanan Ekonomi Dunia

Dalam sebuah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Parlemen Amerika Latin (Parlatino) ke-5 mengenai Kewajiban Sosial dan Integrasi Amerika Latin, di Caracas, Venezuela, 25-27 Mei 2006 lalu, pada sesi terakhir mengenai “Perjuangan Rakyat Dunia dan Syarat-syarat Pembangunan sebuah Dunia Baru”, saya disuguhkan semangat heroisme yang luar biasa dalam melawan dominasi imperialisme di AL.

Forum menyepakati bahwa sebuah model ekonomi, sosial, budaya, dan ekologi baru yang sosialis adalah syarat bagi konsistensi pemenuhan hak-hak mendesak rakyat. Model ini menghendaki produktivitas rakyat yang tinggi, teknologi yang modern, dan sumber energi yang murah, massal, ekologis dan terperbarukan. Untuk mencapainya, tentu saja, kerjasama-kerjasama ekonomi dunia kuno dalam berbagai pakta pasar bebas, melalui lembaga-lembaga semacam WTO, IMF, Bank Dunia, sudah tak bisa diteruskan lagi.

Kerjasama ekonomi internasional yang baru adalah kerjasama demokratik berlandaskan prinsip-prinsip saling melengkapi (dari pada berkompetisi), solidaritas (daripada dominasi), kerja bersama (daripada eksploitasi) dan penghormatan kedaulatan rakyat (menggantikan kekuasaan korporasi) bagi kemajuan tenaga produktif negeri-negeri miskin. Kerjasama ini juga menghendaki sebuah demokrasi baru berdasarkan partisipasi langsung rakyat dari bawah, dengan berbagai mekanismenya, agar semua orang diberikan kesempatan berfikir, berpendapat, berkreasi,bahkan melawan untuk kemajuan negeri.
Atas dasar semangat tersebutlah ALBA (Alternatif Bolivarian untuk Amerika Latin) dibentuk oleh Venezuela dan Kuba, disusul dengan bergabungnya Bolivia, Nikaragua, dan Ekuador, untuk melawan hegemoni AS dan lembaga-lembaga Bretton Woods. Walau banyak kekurangan dan gangguan di sana sini, sebagai sebuah rencana alternatif, proyek ini patut mendapat perhatian.

Kuba dan Venezuela memelopori bentuk kerja sama ala ALBA, lewat metode pertukaran dokter dengan minyak; operasi mata gratis bagi penduduk miskin Venezuela ke Kuba; pertukaran minyak dengan bahan makanan dan pertanian [bahkan sudah mencapai pertukaran bijih besi kualitas tinggi (ore) dan bauksit dengan nikel]; dokter dengan mesin-mesin produksi; bantuan modal untuk pengembangan energi minyak dan penjualan minyak murah. Kerjasama ini mulai melibatkan Ekuador, Argentina dan Brazil (Petrosur), Colombia dan Paraguay. Semuanya bertujuan demi kemajuan tenaga produktif dan ekonomi rakyat di AL. Belakangan ini, Venezuela, (bahkan) menyodorkan gagasan untuk memperluas sebagian proyek persatuan Amerika Latin-nya dengan Afrika.

Mayoritas negeri-negeri AL kini sedang melawan penjajahan modal asing dan krisis tak berkesudahaan yang diakibatkannya; sedangkan Indonesia, masih terus mengadaptasi hingga titik darah penghabisan.

* Koordinator Solidaritas Rakyat Indonesia untuk Alternatif Amerika Latin (SERIAL) dan anggota Dewan Harian Nasional Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM).

Read More......

23 November 2008

Kapitalisme Telah Bangkrut, Jawaban Satu-satunya adalah Sosialisme

Oleh: Doug Lorimer

Direct Action, Nomor 6 – November, 2008

Pada tanggal 15 September, setelah kejatuhan Lehman Brothers—bank investasi keempat terbesar di Amerika Serikat (AS), yang berkantor di Wall Street—pemerintah-pemerintah kapitalis dunia pontang-panting berupaya agar krisis keuangan (terburuk sejak Depresi Besar tahun 1930) tidak membuat sistem keuangan global ambruk total.

Apa yang pada awalnya merupakan kredit macet—yang telah berlangsung setahun—setelah dipicu oleh kejatuhan (gelembung) harga perumahan AS—yang berlansung secara berberangsur-angsur sejak akhir 2005—kemudian menjadi kredit macet yang berpotensi bencana karena Sekretaris (menteri) Keuangan AS, Henry Paulson—mantan Direktur Eksekutif Goldman Sachs, bank investasi Wall Street terbesar—membiarkan Lehman Brothers pailit.

Setelah ambruknya pasar agunan (hipotek ) “sub-prime” (pinjaman perumahan beresiko tinggi) pada bulan Maret, 2007, Lehman Brothers melaporkan kerugiannya sebesar AS$ 2.8 miliar dan terpaksa menjual $6 miliar dari keseluruhan aset keuangannya. Pada 9 September, Lehman melaporkan kerugiannya lagi yang sebesar $3.9 miliar, yang memangkas asetnya sekitar $130 miliar dari keseluruhannya kekayaannya yang telah mencapai $768 miliar. Kerugian Lehman juga berbarengan dengan kerugian bank-bank besar AS lainnya. Sejak awal 2007, sembilan bank komersil AS terbesar telah membukukan sebesar $323 miliar “aset bermasalah”. Dengan demikian, kerugian tersebut telah menghilangkan keseluruhan keuntungan mereka sebesar $305 miliar (yang dilaporkan sejak 2004).

Akibat keputusan Paulson—yang membiarkan Lehman pailit—bank-bank besar kemudian menolak saling meminjamkan uang, dan pinjaman jangka pendek bagi korporasi-korporasi besar, yang dikenal dengan sebutan pasar surat-surat berharga, tidak berfungsi lagi. Tanggapan pertama Paulson terhadap kredit macet adalah menyediakan jaminan pemerintah AS sebesar $700 miliar untuk menalangi apa yang disebut sebagai utang-beracun bank-bank besar AS—kebanyakan berupa sekuritas yang ditopang oleh agunan (hipotek) “sub-prime”, yang sudah digelembungkan (dicurangi) nilainya secara besar-besaran dan sedemikian tingginya ketimbang nilai aslinya yang selayaknya dibayar bank-bank terhadap asset-aset tersebut.

Ketika pengumuman untuk menalangi bank (bank bailout) sebesar $700 miliar tersebut gagal menyelesaikan kredit macet, Paulson kemudian mengikuti apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Inggris, yang telah mengumumkan bahwa pemerintah Inggris akan mengeluarkan dana sebesar $700 miliar untuk membeli saham milik 8 bank tersebesar Inggris atau, dengan dengan demikian, praktis bank-bank tersebut akan dinasionalisasikan. Pada tanggal 14 Oktober, Paulson mengumumkan bahwa departemen Keuangan AS akan mengeluarkan $250 miliar untuk membeli saham-saham yang tak memiliki hak suara (non-voting) yang dimiliki oleh 9 bank terbesar AS atau, dengan kata lain, menasionalisasikannya secara sepotong-sepotong, namun masih membiarkan pemilik lamanya memiliki hak pengendalian formal dan sebenarnya. Pada hari yang sama, bank raksasa New York Mellon Corporation, milik satu dinasti yang didirikan oleh Andrew Mellon, mengumumkan akan segera menjual sahamnya senilai $3 miliar kepada departmen Keuangan.

“Sosialisme buat yang kaya”

Nasionalisasi, atau nasionalisasi sepotong-sepotong—yakni, mensosialisasikan (membagi-bagi) kerugian yang diderita oleh korporasi milik elit (pada masyarakat), atau “sosialisme buat yang kaya”, sebagaimana yang dinyatakan oleh sejumlah pengamat—ternyata merupakan cara yang dipilih (atau disukai) oleh oligarki keuangan kapitalis AS untuk menyelamatkan diri dari krisis keuangan, dan untuk melindungi dirinya dalam keterpurukan ekonomi. Sejak akhir Augustus, pemerintah AS telah menasionalisasikan Fannie Mae dan Freddie Mac—dua perusahaan yang memiliki atau menjamin hampir separuh pinjaman agunan (hipotek) AS (yang bernilai $12 triliun)—dengan cara menyuntikkan $200 miliar ke dalam perusahaan-erusahaan tersebut. Washington juga menasionalisasikan American International Group, perusahaan asuransi terbesar di dunia.

Konsekwensi bencana krisis keuangan tersebut, yang telah terungkap dengan cara paling dramatis, bisa dilihat dari apa yang terjadi di Islandia: pemerintah mengambil alih pengendalian tiga bank terbesar negeri tersebut, yang memiliki utang setara dengan 10 kali lipat produk domestik bruto (GDP) tahunannya. Karena pemerintah Islandia sedang berada di jurang kebangkrutan, maka nilai mata uangnya hampir-hampir samasekali tak berharga dalam transaksi internasional yang dilakukan oleh warga biasa. Setelah bank-bank terbesarnya ambruk, maka dana tabungan dan pensiun berada dalam poisisi limbung. Pemerintah Islandia membatasi penggunaan mata uang asing oleh perusahaan-perusahaan negerinya, yakni hanya untuk pembelian kebutuhan pokok seperti makanan, bahan bakar minyak dan obat.

Hanya sedikit atau tak ada sama sekali yang ditawarkan kepada mereka yang merupakan korban sebenarnya dari krisis ini—rakyat yang sedang diambang kehilangan pekerjaan, rumah, tabungan (bagi kelanjutan hidupnya) atau dan pensiunannya. Anggota-anggota Kongres AS dari Partai Demokrat, termasuk calon presiden Senator Barrack Obama, misalnya, sementara mendukung usulan untuk mengeluarkan dana publik sebesar $2.5 triliun demi menyelamatkan bank-bank Wall Street tersebut, namun hanya mengusulkan dana sebesar $150 miliar—setara dengan sekadar 6 persennya—untuk menjinakkan dampak krisis ekonomi tersebut terhadap rakyat pekerja, padahal krisis ekonomi tersebut kemungkinan akan melebihi keterpurukan ekonomi yang pernah terjadi sejak Depresi Besar.

Jutaan rakyat miskin di AS sedang di ambang menjadi tunawisma akibat tak sanggup lagi membayar cicilan rumahnya sehingga kredit rumahnya ditarik kembali oleh bank. Sebanyak 26.4 persen buruh AS yang, sebelum krisis terjadi, gajinya telah berada di tingkat kemiskinan (poverty wages), akan terpaksa menentukan pilihan antara apakah mereka akan membeli makanan, bayar sewa rumah atau layanan kesehatan. Yang miskin dan berusia lanjut kemungkinan akan mengalami pemangkasan layanan pemerintah yang paling mereka butuhkan sekali, seperti layanan kesehatan dan obat-obatan, karena pemerintah AS lebih mengutamakan membayar bunga surat obligasi ketimbang pembelanjaan sosial.

Ada persamaan (yang sangat mirip) antara krisis keuangan sekarang ini dengan kriisis yang menyebabkan kehancuran pasar saham Wall Street sebagaimana yang terjadi pada tahun 1929. Pada saat itu, sebagaimana yang terjadi saat ini, bank-bank besar bangkrut karena adanya beban berantai kredit macet. Kebangkrutan bank di satu negeri akan menyebar ke bank-bank lainnya dan ke negeri-negeri lainnya. Di seluruh negeri maju, pemerintahannya hanya mengikuti kebijakan “tak buat apa-apa”, sebagaimana yang dianjurkan Andrew Mellon, Menteri Keuangan AS pada saat itu. Mellon memiliki reputasi buruk saat menyatakan, “Singkirkan pekerja, singkirkan saham, singkirkan petani, singkirkan perumahan”, beserta tambahannya: “Dengan demikian akan menghilangkan kebusukan sistem. Biaya hidup yang tinggi akan menurun, dan kehidupan berfoya-foya akan menghilang. Orang akan bekerja lebih keras, hidup dengan cara yang lebih bermoral. Nilai-nilai akan disesuaikan, dan para pengusaha akan membenahi remah-remah kehancuran yang ditinggalkan oleh orang –orang yang kurang berkompeten.” Akibat dari sikap tersebut, 25 persen tenaga kerja di AS menganggur.

Keterpurukan ekonomi

Walaupun nasionalisasi atau pengucuran dana talangan pada bank-bank tersebut mungkin akan menjamin sistem keuangan kapitalis masih berufungsi, namun mereka tidak bisa menghindari anjloknya (apa yang sering mereka salah artikan sebagai) “perekonomian sebenarnya (real economy)”—produksi dan penjualan (demi keuntungan) barang dan jasa. Pengucuran dana talangan secara besar-besaran oleh pemerintah tersebut mungkin mencegah terulangnya kejadian tahun 1931—saat sistem perbankan kapitalis internasional runtuh—namun tetap saja tak ada jaminan. Itu karena oligarki keuangan kapitalis maupun pemerintahannya tidak dapat mengendalikan sistem perbankan bayangan yang nilainya sebesar $10 triliun—setara dengan sistem yang resmi. Tidak mungkin memastikan bahwa: walaupun terjadi lagi kebangkrutan lembaga keuangan, namun tidak akan memicu kepanikan keuangan yang lebih besar lagi, yang bisa saja terjadi pada tahun depan atau pun minggu depan.

Yang pasti, saat ini, anjloknya perekonomian yang sedang dialami dunia kapitalis akan menjadi yang terburuk sejak Perang Dunia Kedua dan, barangkali, juga yang terlama. “Terus terang saja, (gagasan bahwa) yang akan terjadi sekadar resesi yang tak akan lama dan tidak mendalam, enam hingga delapan bulan, telah terlewati, jadi tidak terbukti,” kata guru besar ekonomi Universitas New York, Nouriel Roubini, kepada NBC pada tanggal 23 Oktober, dengan tambahan penjelasan: “Dua resesi yang terakhir masing-masing hanya berlangsung delapan bulan… Kali ini akan tiga kali lebih lama, tiga kali lebih mendalam.”

Saat memberi komentar tentang resesi yang sedang dialami Inggris, Direktur Pengelola Capital Economics, Roger Bootle, pada tanggal 24 Oktober, mengatakan pada surat kabar London Daily Telegraph: “Yang akan kita alami dalam dua tahun ke depan adalah kemelorotaan dengan besaran yang sama (dengan awal tahun 1990-an). Kemelorotan yang terjadi pada awal tahun 1990-an berlangsung selama dua tahun, tetapi yang sekarang ini bisa berlangsung selama empat sampai lima tahun.”

Saat ini, keberadaan (sesungguhnya) sejumlah korporasi besar: sedang terancam karena keuntungan mereka telah jatuh dengan tajam, bahkan sebelum dihantam krisis keuangan. Dalam beberapa tahun belakangan ini, tiga perusahaan mobil terbesar di AS—General Motors, Ford dan Chrysler —telah kehilangan keuntungannya. Pada minggu-minggu terakhir ini, muncul berita yang menyatakan bahwa, untuk mencegah pailit, General Motors dan Chrysler akan digabungkan, dengan menyingkirkan 40.000 tenaga kerjanya di seluruh dunia.

Cina sedang menghadapi resesi

Ada gagasan yang dengan segera dapat disanggah, yakni yang menyatakan bahwa keberlangsungan pertumbuhan ekonomi China akan melindungi Australia dari resesi. Pada tanggal 23 Oktober, Stephen Walters, kepala ekonom JP MorganChase yang berbasis di Sydney, mengingatkan bahwa angka resmi tingkat pengangguran di Australia akan naik dua kali lipat, paling tidak akan mencapai 1 juta orang, dalam dua tahun berikut seiring dengan penurunan pertumbuhan ekonomi China yang terkena dampak penurunan permintaan (barang-barang manufaktur murah China) di Amerika Serikat dan Eropa.

Statistik resmi terbaru menunjukkan bahwa GDP China telah menurun kembali ke angka 9 persen dalam kuartal ketiga—lebih buruk dibandingkan dari yang diharapkan, yakni 9,7 persen, dan jauh lebih rendah ketimbang angka pada tahun 2007, yakni 11,9 persen. Ekonomi China harus tumbuh lebih dari 8 persen setiap tahunannya agar dapat menyerap 24 juta rakyatnya yang masuk pasar tenaga kerja setiap tahunnya. Sekarang ini, menurut catatan resmi, di Cina terdapat 71 juta buruh yang tak memiliki pekerjaan.
Cina bukan saja mengalami kemerosotan pasar ekspornya, namun juga mengalami krisis keuangan akibat ledakan serentak gelembung keuangan dalam pasar saham dan sektor propertinya. “Kelambatan ekonomi Cina selama ini jauh lebih serius dari pada yang diduga”, menurut Li Wei, Ekonom Standard Chartered Bank, di harian China Daily tanggal 14 Oktober. Kelompok kerjanya meramalkan ekonomi China hanya akan tumbuh sebesar 7,9 persen pada tahun 2009, dan 7 persen pada tahun 2010, yang akan mengakibatkan peningkatan pengangguran secara besar-besaran.

Jadi, krisis ekonomi yang sedang berkembang sekarang ini merupakan krisis yang berlingkup global dan telah menghancurkan hubungan-hubungan ekonomi (yang telah berlangsung lama) yang telah membuat China dapat memegang peranan kunci. Dalam dua dekade terakhir, Cina telah menciptakan dunia kapitalis yang bertumpu pada industri-industri (kecil dan menengah) yang memeras/menghisap, yang memproduksi barang-barang manufaktur teknologi rendah untuk diekspor ke negeri-negeri kapitalis maju. Cina mengirimkan kembali pendapatan ekspornya yang sangat besar itu ke AS, untuk membeli lebih dari $1 triliun lebih portofolio (surat utang) pemerintah AS—suatu proses yang membantu pendanaan perdagangan besar-besaran dan defisit pembelanjaan AS. Masuk kembalinya dollar dari Cina dan bank sentral Jepang memungkinkan Bank Sentral AS menggelontorkan kebijakan krdir murah, yang menyulut konsumsi rumah tangga (dengan cara utang) di AS—yang, kemudian, mempertahankan pasar barang-barang dari China. Tapi sekarang, keterpurukan ekonomi di AS mengakibatkan penurunan ekonomi di Cina.

Anjloknya keuntungan

Krisis keuangan global ini dipicu oleh ambruknya gelembung pasar perumahan di AS. Namun, akar penyebab krisis tersebut bukan karena kekurangan regulasi bank atau karena kapitalisnya tidak terkendali, sebagaimana yang diakui oleh media massa dan politisi kapitalis. Akar penyebab krisis tersebut adalah krisis kapitalis klasik sebagaimana yang telah dianalisa oleh Karl Marx 150 tahun silam. Pada dasarnyamerupakan krisis kelebihan produksi—atau terlalu banyak barang yang dijual (demi keuntungan), bukan saja di AS, tapi juga di seluruh dunia. Kelebihan barang komoditas (yang paling gamblang)—sebagai akibat dari kelebihan investasi—adalah perumahan, yang disulut oleh gelembung harga pasar perumahan.

Krisis sekarang ini akarnya adalah: adanya penurunan (hampir separuh) tingkat rata-rata keuntungan industri di AS dan dalam ekonomi negeri-negeri kapitalis maju lainnya antara tahun 1967 hingga tahun 1972, disebabkan oleh tekanan terhadap tingkat keuntungan sebagai akibat dari adanya pertumbuhan besar-besaran dalam komposisi organik kapital selama ekspansi modal dalam 20 tahun sebelumnya. “Komposisi organik kapital” adalah istilah yang diberikan Marx untuk mengacu pada rasio modal yang dibelanjakan untuk “tenaga kerja mati”—misalnya mesin, BBM, bahan mentah dan lain sebainya—disebandingkan dengan modal yang dikeluarkan untuk gaji buruh, atau “tenaga kerja hidup”, yang merupakan sumber keuntungan kapitalis. Perusahaan-perusahaan kapitalis berupaya meningkatkan keuntungannya sebesar mungkin dengan meningkatkan produktivitas tenaga kerja dengan cara mengganti “tenaga kerja hidup” dengan teknologi yang dapat menghemat tenaga kerja. Dengan demikian, cenderung meningkatkan komposisi organik modal dan mengurangi tingkat keuntungan.

Bagi oligarki kapitalis keuangan, yang memilik korporasi-korporasi industri besar, bank dan bisnis-bisnis keuangan lainnya, penurunan (separuh) tingkat keuntungan pada akhir tahun 1960-an membuat investasi yang bertujuan untuk memperluas produksi barang-barang menjadi kurang ada untungnya. Sehingga mereka mengarahkan semakin banyak modalnya di pasar keuangan, guna meraup keuntungan spekulatif yang lebih tinggi dari pasar tersebut. Maka, pada awal tahun 1980-an, pasar keuangan tersebut mulai sangat menggelembung saat pemerintahan Reagan memompakan kredit bank secara besar-besaran guna mendanai kontrak-kontrak barang-barang kebutuhan perang agar ekonomi AS dapat keluar dari krisis tahun 1980-82. Dalam prosesnya, Regan merubah AS dari negeri kreditor terbesar di dunia menjadi negeri pengutang terbesar di dunia.

Dalam hitungan nilai dolar pada tahun 2007, pada tahun 1945 utang pemerintah AS telah mencapai hampir $3 triliun, akibat defisit pembelanjaan Washington yang besar saat mendanai (upaya-upaya) perangnya. Utang publik AS menurun hingga sekitar $2 triliun pada tahun 1950. Meningkat kembali secara perlahan pada hingga tahun 1980. Namun, hingga tahun 1990, utang publik AS telah meningkat dua kali lipat sehingga mencapai $5 triliun. Pada tahun 2000, utang tersebut telah meningkat sampai mencapai sekitar $7 triliun. Di bawah pemerintahan George W. Bush, utang tersebut telah berkembang hingga mencapai $10.5 triliun lebih, hanya kurang $4 triliun dari jumlah nilai barang dan jasa yang dihasilkan AS pada tahun terakhir.
Di seluruh negeri kapitalis maju, sejak Perang Dunia Kedua, yang mengakhiri Depresi Besar, semakin banyak kredit, utang, yang harus disuntikan ke dalam ekonomi demi menghentikan setiap krisis berkala yang disebabkan oleh kelebihan produksi komoditi, yang akan mempercepat mempercepat terjadinya resesi yang lebih parah dan berkepanjangan. Penguasa kapitalis berupaya mengatasinya (menundanya) dengan mempertinggi gunung utang, yang mendorong mengulangi spekluasi gelembung asset finansial.

Gelembung tersebut, tak terhindarkan lagi, merupakan konsekwensi dari dominasi ekonomi kapitalis oleh gabungan kapitalis raksasa, yakni, korporasi. Pada tahun 1870-an, ketika korporasi kapitalis—yang, pada saat itu, disebut “perusahaan saham gabungan”—baru saja mulai tumbuh menjadi bentuk dominan organisasi bisnis kapitalis. Marx, dalam jilid ketiga Capital, menggambarkan mereka sebagai “produksi kapitalis dalam perkembangan tertingginya”. Dia meramalkan bahwa korporasi kapitalisme tersebut akan menciptakan sebuah “aristokrat keuangan, semacam parasit baru yang berselubung sebagai penasihat perusahaan, spekulan, dan direktur-direktur papan nama; sebuah sistem yang penuh dengan kecurangan dan penipuan yang, katanya, demi memajukan perusahaan, kepedulian terhadap pembagian tanggung jawab (modal dan keuntungan) dan tata-cara menyikapi pembagian tanggung jawab (modal dan keuntungan) dalam bentuk saham”.

Fungsi obyektif keterpurukan ekonomi kapitalis adalah untuk menghilangkan bisnis-bisnis yang tak berguna (“deadwood”)—atau perusahaan-perusahaan yang kurang menguntungkan, kurang efisien, sehingga bisa memberikan potensi pasar yang lebih besar kepada perusahaan yang masih sanggup hidup. Namun, dampak upaya untuk mengatasi (menunda) depresi dengan memperluas utang adalah memberikan kesempatan pada bisnis-bisnis yang tak berguna tersebut (“deadwood”) selamat dari krisis kelebihan produksi. Terlebih-lebih, sebagian besar “deadwood” tersebut terdiri dari perusahaan-perusahaan yang terlalu besar untuk dimatikan.

Kredit macet yang menyebabkan kebangkrutan Lehman sekadar menggambarkan apa saja konsekwensinya bagi kapitalisme bila satu saja korporasi bermasalah dibiarkan bangkrut. Konsekwensi tersebutlah yang menyebabkan adanya kebutuhan terus-menerus bagi oligarki keuangan untuk menggunakan negaranya dalam mensosialisasikan (membagikan) kerugian korporasi, dengan menalanginya, agar selamat dari kebangkrutan. Namun, cara tersebut akan semakin mendorong ekonomi negeri-negeri kapitalis maju menuju kemandegan (stagnasi). Tingkat pertumbuhan sebenarnya ekonomi kapitalis dunia turun dari rata-rata 4,9 persen per tahun pada tahun 1960-an, menjadi 3,8 persen pada tahun 1970-an, kemudian 2,7 persen, pada tahun 1980-an, dan hanya 1,2 persen, pada tahun 1990-an. Apa yang kemudian akan terjadi setelah resesi yang hebat dan berkepanjangan ini? Ekonom Universitas New York, Nouriel Roubini, meramalkan setidaknya akan terjadi satu dekade stagnasi, berarti, resesi ini akan diikuti oleh paling sedikit 10 tahun pertumbuhan yang lesu, kurang darah. Pada tahun-tahun mendatang, rakyat pekerja akan menderita bukan saja karena tingginya tingkat pengangguran (yang sulit diatasi) dan semakin meningkatnya pemiskinan, namun juga menderita karena gelombang inflasi yang disebabkan oleh dana talangan yang digelontorkan secara besar-besaran oleh pemerintah kapitalis untuk menolong oligarki keuangan yang, padahal, mereka sendiri yang membuat semuanya berantakan.

Sosialisme

Jalan keluar satu-satunya untuk mengatasi musibah yang menimpa rakyat perkerja ini adalah mengorganisir diri dalam sebuah gerakan massa untuk merebut kekuasaan dari tangan oligarki kapitalis keuangan dan merombak ekonominya sesuai dengan sistem sosialisme. Bila anda ingin melihat buktinya, kalian harus membaca analisa Reuters (tanggal 8 Oktober) tentang dampak krisis sekarang ini terhadap Venezuela. Kantor berita imperialis tersebut menyatakan: “Venezuela tidak mengalami banyak pengaruh langsung dari kekisruhan pasar ini karena Chavez telah menasionalisasi perusahaan-perusahaan penting yang dulu pernah berdagang di Bursa Efek Caracas (yang kecil itu) dan, juga, karena mata uangnya telah ditetapkan dengan mengendalikan perdagangan mata uang”. Pemerintahan rakyat pekerja yang dipimpin Hugo Chaves telah menata ulang perusahaan yang telah dinasionalisasi tersebut agar mengatasi kebutuhan mendesak rakyat miskin negeri tersebut, ketimbang memperkaya oligarki kapitalis lokal. Demikian pula, tidak akan terjadi penghentian kredit perumahan atau pensiunan yang kelaparan di Kuba, karena perusahaan kapitalis telah diambil alih oleh pemerintah rakyat pekerja 48 tahun yang silam.

Nasionalisasi bank yang dilakukan oleh pemerintah kapitalis membuktikan bahwa kapitalisme merupakan sistem ekonomi kapitalisme telah bangkrut. Tanpa campur tangan negara secara besar-besaran, sistem keuntungan “pasar bebas” tidak bisa berfungsi. Komentator media kapitalis mulai menggambarkannya sebagai peralihan ke arah “sosialisme”. Namun, sebagaimana yang ditunjukan oleh Karl Marx dan Frederick Engels lebih dari satu abad yang silam, nasionalisasi perusahaan kapitalis oleh pemerintah kapitalis sama sekali tak ada kaitannya dengan sosialisme.

Sejak Kanselir Jerman, yang konservatif, Otto von Bismarck, “gemar melakukan pemilikan negara atas perusahaan-perusahaan industri, semacam sosialisme gadungan muncul, hancur, dan sekarang muncul menjelma lagi menjadi semacam jongosnya (Bismarck) dan, tanpa menunggu lebih lama lagi (saking gembiranya), menyatakan bahwa semua pemilikan negara, bahkan yang sejenis Bismarckian, menjadi pemilikan sosialistis”, demikian yang diamati Engels pada tahun 1877. Engels selanjutnya menjelaskan bahwa “negara modern, apa pun bentuknya, pada dasarnya merupakan mesin kapitalis—negara kapitalis, personifikasi ideal modal nasional secara keseluruhan. Semakin banyak negara tersebut mengambil alih tenaga produktif, maka semakin jadilah ia sesungguhnya menjadi kapitalis nasional, dan semakin banyak warga negara yang dieksploitasinya.”

Sosialisme membutuhkan perombakan (reorganisasi) ekonomi agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan kelas pekerja. Oleh karena itu, prasyarat nya adalah mengorganisasikan kelas pekerja (agar menjadi kelas penguasa) melalui aksi revolusioner massa untuk menggantikan negara kapitalis dengan pemerintahan kelas pekerja, sebagaimana yang telah terjadi di Kuba dan Venezuela. Itulah pelajaran pokok yang harus diajukan oleh kaum sosialis kepada rakyat pekerja di masa-masa yang berat yang akan kita dihadapi mendatang.

[Diterjemahkan oleh James Balowski dan Risnati Malinda]

Read More......

Krisis Finansial/ Kapitalisme dan Indonesia (Catatan Awal)

oleh Pius Ginting*

Sistem Produksi Kapitalisme Mengalami Stagnasi

Krisis sistem finansial sedang terjadi secara global. Berpusat di Amerika Serikat, krisis tersebut mengguncang hampir seluruh bagian negara di dunia bersamaan dengan terjadinya krisis pangan, iklim dan energi. Kini makin banyak orang mempertanyakan legitimasi neoliberal, bahkan masa depan sistem kapitalisme itu sendiri kini sedang dipertanyakan. Pada masa sebelum krisis, korporasi dan negara pendukungnya selalu menganjurkan agar negara tidak campur tangan dan meregulasi korporasi. Namun, di saat krisis korporasi meminta bantuan negara untuk menyelematkan dirinya.

Krisis ini bukan pertama kalinya. Sebelumnya, pada tahun 1929 harga-harga saham di Amerika Serikat juga mengalami kejatuhan. Serentetan krisis yang terjadi adalah krisis yang inheren dalam sistem ekonomi sekarang (kapitalisme), yakni krisis akibat over-produksi dan over-capacity sistem kapitalisme.

Berkat sejarah panjang sistem kapitalisme yang motif dasarnya adalah mengakumulasi keuntungan, dan jalan mewujudkannya adalah mengupah buruh serendah mungkin, penjajahan, dan mengekspolitasi sumber daya alam tanpa memperhitungkan daya dukung alam itu sendiri, menerapkan teknologi yang meningkatkan produksi namun minim investasi tidak bagi teknologi keselamatan lingkungan karena bagi modal hal tersebut berarti biaya tambahan, maka kian hari modal kian terkonsentrasi di tangan segelintir orang. Pendapatan 1% penduduk terkaya di dunia sama dengan pendapatan 60 persen penduduk dunia lainnya (2, 7 milyar orang). [1]

http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/1442073.stm

Grafik1. Pendapatan makin tidak merata antar lapisan penduduk (Perbandingan tahun 1988 dan 1993) Sbr: http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/1442073.stm

Konsekuensi dari modal yang terkonsentrasi di tangan segelintir orang sementa mayoritas lainnya berdaya beli rendah, bahkan tidak berdaya sama sekali akhirnya menjadi masalah bagi sistem kapitalisme itu sendiri. Akumulasi modal yang besarannya astronomikal makin hari makin mendapatkan sedikit ruang untuk berinvestasi yang menguntungkan bagi mereka. Tingkat keuntungan mereka di sektor riil mengalami stagnasi. Kini wajah kapitalisme itu adalah: Pertumbuhan yang lambat, Kelebihan Kapital, dan Hutang yang menggunung.

Grafik2. Persentase kapasitas produksi manufaktur A.S.
Sumber: http://www.monthlyreview.org/docs/0402chrt2.pdf

Dari grafik diatas, industri kapitalisme (manufaktur) tidak pernah beroperasi 100%, dan bahkan mengalami kecenderungan penurunan. Penyebabnya tak lain adalah daya beli masyarakat di dunia makin melemah, sehingga pasar buat produk industri makin menyempit, sehingga mereka harus membatasi produksi.

Perubahan GDP AS (milyar dollar)
Grafik 3 Kecenderungan Penurunan GDP AS
Sumber: http://www.monthlyreview.org/docs/0402chrt1.pdf

Penurunan produksi tersebut juga tercermin dari perubahan GDP negara seperti AS, dimana angkanya tidak pernah kembali mencapai angka pertumbuhan tahun 1950-1970.
Tentu saja, banyak orang yang masih tidak berpakaian layak, tidak minum susu secara mencukupi, tidak memiliki akses terhadap komputer, namun mereka tidak bisa diharapkan oleh kapitalisme menggairahkan produksi karena mereka tidak berdaya beli.

Pembengkakan Hutang Rumah Tangga dan Finansialisasi Jalan Keluar Korporasi dari Stagnasi Pendapatan rakyat di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat dan negara maju lainnya sejak tahun 1970-an tidak mengalami kenaikan dibanding masa sebelumnya. Hal tersebut dapat kita lihat dari Tabel 1. Perlambatan kenaikan upah yang mendorong yang menyebabkan ketidakadaan daya beli adalah buah simalakama bagi korporasi. Sudah menjadi hukum besi bagi akuntansi korporasi, untuk menghasilkan keuntungan besar, caranya adalah menahan laju kenaikan upah buruh, menerapkan teknologi yang bisa menambah output produksi per jam kerja, dan mengirit penerapan tekonologi yang tidak menambah output: keselamatan kerja dan lingkungan.

Rata-rata Pertumbuhan Pendapatan

OECD (Eropa, AS, termasuk Jepang, Australian dan Selandia Baru)
1960–1979 (3.4)
1980–1998 (1,8)

Negera Berkembang (termasuk Cina, Eropa Tengah dan Timur)
1960–1979 (2.5)
1980–1998 (0,0)

Sumber: www.monthlyreview.org

Jalan keluar yang ditempuh korporasi keluar dari stagnasi keuntungan ditengah daya beli mayoritas masyarakat yang rendah, sementara modal membutuhkan lapangan baru untuk berkembang, beranak-pinak, agar surplus sosial yang telah tercipta melalui proses penghisapan buruh dan pola produksi yang merusak lingkungan agar bisa terserap harus ditemukan. Harus tetap tumbuh jika tidak mati, demikianlah rumus sistem produksi kapitalisme, seperti naik sepeda yang harus tetap dikayuh jika tidak mau jatuh. Maka, stagnasi di sektor riil mendorong para korporate masuk ke sektor finansial dan ekspansi pemberian kredit/hutang.

Perpaduan daya beli masyarakat yang rendah dan modal yang membutuhkan ladang investasi, inilah yang menjadi awal krisis finansial—setelah krisis industri informasi teknologi pada tahun 2000, kini pada pertengahan akhir tahun 2008 beralih ke kredit perumahan di Amerika Sekarang ini. Rakyat menyiasati persoalan hidup dengan upah yang tidak mengalami kenaikan dengan menghutang/membuka kredit.

Juga, untuk menaikkan harga saham, sebagian perusahaan besar meminjam uang untuk membeli kembali (buy back) saham mereka, dengan demikian harganya makin mengelembung. Bahkan perusahan-perusahan yang biasanya bergerak di sektor riil merestrukturisasi operasi mereka dan masuk ke sektor finansial, lalu menggunakan keuntungan dari sektor ini untuk membiayai pinjaman dan mencetak keuntungan. Kapitalisme menjadi semakin tergantung kepada sistem kredit untuk melepaskan diri dari efek terburuk stagnasi di ”ekonomi produktif riil”[2]. Para eksekutif korporate pun mendapatkan bonus pendapatan dari kenaikan harga saham sehingga mereka berkepentingan untuk meninggikan nilai saham. Sejak tahun 1990-an, nilai saham perusahaan menjadi lebih penting daripada prospek keuntungan aktual perusahaan.[3] Dengan skema ini, sektor finansial menjadi lebih dominan dibanding sektor produktif. Fidel Castro mencatat nilai transaksi harian di Wall Street sama dengan nilai perdagangan dan jasa dunia selama 14 hari. Sektor keuangan (finansial) dan riil menjadi relatif tidak berketerkaitan[4]. Artinya, nilai saham dan bond terbentuk sendiri lewat spekulasi dan tidak mewakili nilai dasar aset yang dijaminkan. Proses ini disebut sebagai proses finansialisasi.

Sumber: http://www.monthlyreview/080401foster.php

Grafik2. Kontribusi Sektor Finansial Semakin Besar Bagi Keuntungan Korporasi
Dari grafik diatas, terlihat kontribusi sektor finansial terhadap keuntungan korporasi makin meningkat dari tahun ke tahun.

Negara membantu mereka dengan meregulasi sektor-sektor keuangan dan asuransi, bersamaan dengan meliberalisasi kontrol pertukuran mata uang antar negara. Setelah sektor finansial diregulasi di seluruh dunia pada tahun 1980-an (pertama kali di negeri Utara kemudian negeri Selatan melalui Structural Adjustment Programmes), perusahaan-perusahaan melakukan spekulasi di pasar saham, surat hutang (bond), ataupun mata uang dunia.[5]

Krisis Terbaru

Setelah penggelembungan sektor finansial berbasis industri teknologi meletus tahun 2000 di Amerika Serikat, mereka mencari lahan baru. Maka, dalam perkembangan krisis terakhir ini, modal diinvestasikan dalam kredit perumahan. Demi penciptaan ruang investasi, maka syarat kredit untuk perumahan dipermudah. Kelas pekerja yang telah mengalami stagnasi upah sejak tahun 1970 diiming-imingi kredit dengan syarat yang dipermudah. Berharap harga rumah akan makin tinggi di masa depan, banyak pula yang berinvestasi di rumah dengan cara mengkredit rumah baru lagi. Kredit tersebut kemudian oleh perusahan pemberi kredit atau bank dikumpulkan dan dijual (sekuritas berbasis kredit perumahan, perkantoran) kepada perusahaan keuangan yang lebih besar. Perusahaan besar tersebut menikmati pembayaran cicilan kredit namun menanggung resiko jika terjadi gagal bayar. Perusahaan keuangan yang lebih besar sebagai penjamin maupun perusahaan pemberi kredit yang pertama kali memberi pinjaman tentunya berharap agar para pemilik rumah dapat terus membayar cicilan. Dengan sekuritas berbasis kredit perumahan dan perkantoran ini, baik peminjam maupun penyewa sama-sama mengandalkan terhadap nilai rumah yang akan makin tinggi.

Sistem ini akan jatuh jika harga rumah jatuh atau pendapatan peminjam kredit terancam tidak mampu membayar kembali pinjaman mereka. Situasi ini mengalami keguncangan ketika Bank Sentral Amerika menaikkan suku bunga, sehingga rakyat kelas bawah yang upahnya memang tidak mengalami kenaikan masuk ke status gagal bayar, dan karena bank terpaksa banyak menyita rumah dan harus menjualnya kembali menyebabkan harga perumahan menjadi jatuh. Inilah yang sekarang banyak terjadi di negara dunia, Amerika, Inggris, Spanyol, Australia atau Selandia Baru.

Kekacauan sisten finansial global telah menyebabkan negara-negara di Utara (dan juga rencananya negara kapitalistik di dunia ketiga, seperti Indonesia) telah melakukan tindakan yang sering diserukan oleh gerakan progresif, menasionalisasi bank-bank. Gerakan ini bagaimanapun mereka maksudkan hanyalah sebagai usaha penyelamatan dan stabilisasi, dan bila saja badai krisis berlalu, mereka akan menyerahkan kembali perbankan kepada sektor swasta: sebagaimana yang telah terjadi di Indonesia paska krisis tahun 1997 dengan BPPN.

Indonesia Rentan Krisis Kapitalisme

Indonesia selalu mengandalkan utang dan investasi asing dengan komoditas ekspor sebagai sumber pendapatannya, sementara itu industri yang berorientasi kepentingan rakyat dan ramah lingkungan tidak terjadi. Pola pembangunan seperti ini adalah tidak berkesinambungan dan rentan guncangan krisis. Hal tersebut diatarnya tampak paska kejatuhan harga minyak pertengahan tahun 1980-an. Dengan tergerusnya pendapatan dari sektor minyak, usaha kelompok penguasa Pemerintahan Orde Baru segera dibawah ancaman. Laporan Kedutaan Besar Amerika Serikat pada November 1982 menyebutkan cadangan devisa Indonesia dari surplus hampir sebesar $AS 500 juta menjadi defisit lebih dari $AS 7 milyar dalam dua tahun. IMF, IBRD, dan negeri donor lainnya kembali dalam posisi yang kuat mengulangi kejadian di awal kekuasaan Orde Baru, sehingga pemerintahan Orde Baru harus mencabut berbagai macam proteksi dan dan memberikan akses yang luas terhadap sumber daya Indonesia, Bank Dunia berargumentasi bahwa sektor yang disubsidi dan ekonomi yang terproteksi adalah tidak efesien dan tidak kompetitif, dan Indonesia harus terintegrasi dengan “operasi bebas pembagian tenaga kerja Internasional”.[6]

Respon pemerintah terhadap hal tersebut adalah mendevaluasi nilai rupiah (27.6 persen) untuk memperluas ekspor non migas, dan mengesampingkan investasi untuk proyek-proyek publik[7]. Lebih jauh pemerintah menghapus monopoli import, dan membiarkan perusahaan sektor hilir secara bebas mengimpor barang-barang yang dibutuhkan untuk produksi eskpor, merendahkan tarif, pemangkasan pajak korporasi.

Miranda S Gultom menyatakan struktur keuangan Indonesia mengalami perubahan yang cukup mendasar setelah deregulasi perbankan Juni 1983 akibat oil shock (kejatuhan harga minyak pada akhir tahun 1982), dan tidak salah untuk mengatakan bahwa reformasi perbankan yang dilakukan tahun 1983 merupakan titik awal ke arah sistem keuangan yang lebih berdasarkan mekanisme pasar[8]. Seiring perjalan waktu, sektor keuangan dan Industri Indonesia makin liberal.

Krisis finansial yang terjadi tahun 1997 adalah akibat dari kebijakan neoliberal. Sektor finansial dideregulasi, membuat modal leluasa begerak antar negara dalam bentuk produk-produk finansial (saham, surat hutang, perdagangan mata uang asing, dll). Indonesia mengalami krisis hebat akibat spekulasi mata uang dan sektor finansial. Dan kini, ketika krisis kembali terjadi, mata uang Indonesia jatuh karena investor asing terus melepas aset dan portofolio investasinya di Indonesia seperti Surat Hutang Negara, Sertifikat Bank Indonesia, termasuk saham.

Akibat nyata yang terjadi atas krisis saat ini adalah PHK massal atas industri komoditas ekspor karena penurunan daya beli negeri tujuan ekspor, serta melemahnya kemampuan daya beli akibat penurunan nilai mata uang. Hal tersebut misalnya mulai terasa dengan langkanya obat HIV/AIDS yang masih diiimpor makin mahal.

Tawaran Jalan Keluar dari Krisis

Sektor Finansial,Perdagangan dan Hubungan Internasional:
1. Larang perdagangan produk derivatif di sektor finansial.
2. Nasionalisasi penuh bank-bank yang ada dan diletakkan dibawah kontrol rakyat, tidak hanya menasionalisasi aset-aset yang buruk seperti hutang.
3. Ciptakan bank berbasis kepentingan masyarakat bukan korporasi dan perkuat bentuk pinjam-meminjam yang ada dan memperkuat solidaritas.
4. Terapkan kriteria lingkungan dan sosial (termasuk buruh) terhadap semua pinjaman yang diberikan oleh bank.
5. Bank Sentral harus berada dibawah kontrol pengawasan publik.
6. Hapuskan hutang negeri berkembang—utang mereka akan membengkak akibat penurunan nilai mata uang akibat krisisi.
7. Hapus World Bank, International Monetary Fund dan World Trade Organisation.
8. Demokratiskan PBB dengan melibatkan lebih luas peran negara berkembang.
9. Hentikan kerjasama perdagangan bilateral (negeri dunia ketiga masing-masing saling berebut menawarkan produk dan pasar ke negeri dunia pertama). Bentuk kerjasama ekonomi seperti Bolivarian Alternative for the Americas (ALBA) yang mendorong pembangungan sejati dan mengakhiri kemiskinan, kebodohan dan penyakit.

Bidang Pertanian dan Industri:
1. Indonesia harus membangun industri strategis untuk kepentingan dalam negeri. Penderitaan yang dialami kini oleh masyarakat penanam kelapa sawit adalah karena ekspansi luas perkebunan jenis komoditi tersebut adalah untuk kepentingan ekspor, dan kerap terjadi industri pengelohannya juga bukan di Indonesia. Ekspor besar-besaran terhadap batu bara harus dihentikan karena merusak lingkungan dan tujuannya bukan untuk kemajuan keseluruhan masyarakat Indonesia.
2. Bentuk stragegi pertanian yang bertujuan untuk mencapai kedaulatan pangan dan pertanian yang berkelanjutan.
3. Jalankan reformasi agraria dan kebijakan lainnya yang mendukung petani kecil dan komunitas masyarakat adat.
4. Hentikan ekspansi perkebunan monokultur yang merusak lingkungan dan sosial.

Bidang Lingkungan:
1. Negeri dunia pertama memberikan hibah untuk mereparasi negeri Selatan (membayar piutang ekologi) atas kerusakan lingkungan yang telah diakibatkan oleh negeri Utara.
2. Negari Utara membantu negeri Selatan mengatasi ancaman perubahan iklim dan kerusakan lingkungan lainnya, tanpa mekanisme pengalihan seperti perdagangan karbon.
3. Hentikan pinjaman bagi proyek-proyek dibawah “Clean Development Mechanism” Protocol Kyoto yang merusak lingkungan seperti perkebunan monokultur eucalyptus dan sawit.
4. Stop usaha pengembangan perdagangan karbon dan pengembangan tekonologi kontraproduktif lainnya seperti agrofuel, tenaga nuklir, dan ‘clean coal’ technology.
5. Terapkan strategi yang secara radikal mengurangi konsumsi orang kaya di negeri-negeri kaya, dan kesejahteraan rakyat miskin di negeri berkembang dan terbelakang.
6. Bentuk manajemen demokratis dengan melibatkan partisipasi negeri dan masyrakat sipil Selatan untuk mitigasi perubahan iklim.

* Officer Publikasi dan Riset WALHI

Catatan Kaki:

[1] http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/1442073.stm
[2] John Bellamy Foster, "The Financialization of Capital and the Crisis," Monthly Review 59.11 (April 2008).
[3] Ibid
[4] Ibid, hal.5
[5] William K. Tabb, "Four Crises of the Contemporary World Capitalist System," Monthly Review 60.5 (October 2008).
[6] Andrew Mack, Rethinking the Dynamics of Capital Accumulation in Colonial and Post-Colonial Indonesia: Production Regulation, Univesitas Sydney, September 2001
[7] Ibid, hal 223
[8] Miranda S Gultom, “Perubahan Strukural Sektor Keuangan di Indonesia: Visi dan Tantangan”, dikutip dari Pemikiran dan Permsalahan Rkonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir, books.google.co.id/books?id=fLOvdAk7AysC&printsec=frontcover&dq=Pakto+Oktober+Bank&source=gbs_summary_s&cad=0#PPA9,M1


Read More......

22 November 2008

Jangan Hanya Menggerutu, Saatnya Bergerak Bersama! 

Seruan Posko Solidaritas Buruh Cikarang
(Anggota Aliansi Buruh Menggugat-ABM)

Satu hari setelah SKB 4 Menteri disahkan, buruh-buruh di Semarang langsung melakukan aksi massa ke Gedung DPRD dan Kantor Gubernur untuk menolak SKB ini. Aksi puluhan buruh ini, diorganisir oleh FSPMI Jawa Tengah.

Aksi-aksi buruh terus berlanjut; Di Jakarta, ribuan buruh dari FSPMI Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi melakukan aksi di Bunderan Hotel Indonesia, dengan tujuan ke Istana Negara, namun kemudian rencana ke Istana Negara dibatalkan. Di Semarang, ribuan buruh dari berbagai kota yang ada di Jawa Tengah melakukan aksi massa ke Kantor Gubernur Jawa Tengah dan mendesak Gubernur Jawa Tengah untuk mendukung penolakan SKB, aksi ini di organisir oleh Federasi Serikat Pekerja Nasional.

Aksi FSPN juga dilakukan di Bogor, kali ini dengan melakukan pemblokiran jalan oleh 500an buruh. Tindakan pemblokiran jalan ini dilakukan untuk menekan pemerintah agar segera mencabut SKB 4 Menteri.

Aksi penolakan SKB 4 Menteri ini semakin meluas dan membesar, ketika Aliansi Buruh Menggugat, pada tanggal 6 november 2008 secara serentak melakukan aksi-aksi penolakan di berbagai kota di Indonesia. Di Jakarta, sekitar 700-an massa ABM mendatangi Kantor Menteri Tenaga Kerja, untuk menuntut Menaker mempertanggungjawabkan SKB dan mencabut SKB langsung di hadapan massa buruh, namun Menaker justru pergi dan juga tidak mengirimkan perwakilannya untuk menemui massa ABM. Aksi ini kemudian dilanjutkan ke Istana Negara , yang dalam perjalannya di hadang oleh pasukan kepolisian dari Polres Jakarta Pusat, yang memaksa agar massa ABM tidak melanjutkan aksi ke depan Istana Negara, bahkan untuk mendekatpun tidak diperbolehkan. Ketika massa sedang dikonsolidasikan, tiba-tiba pihak kepolisian melakukan dorongan yang kuat pada barisan massa, sehingga beberapa kawan buruh terjatuh. Situasi menjadi tidak terkendali, massa buruh melakukan perlawanan, dengan memukul dan melempari aparat kepolisian dengan botol-botol air mineral, dan aparatpun membalas dengan melakukan pemukulan secara brutal terhadap massa buruh, sehingga beberapa kawan menjadi memar-memar. Melihat situasi yang semakin panas, pimpinan-pimpinan ABM kemudian menarik mundur massa buruh dan segera merapatkan barisan, di sisi lain pihak aparat ketika melihat barisan buruh sudah terkonsolidasi kembali, segera juga merapatkan barisannya, akhirnya bentrokan tidak berlanjut. Massa ABM kemudian menarik mundur barisannya kearah Indosat dan segera melakukan konferensi Pers.

Dalam konferensi pers, ABM menegaskan bahwa aksi yang dilakukan diberbagai daerah, tidak sekedar untuk menolak SKB 4 Menteri, namun lebih jauh adalah menolak segala kebijakan pemerintah dalam menangani krisis, sebab masih dalam kerangka system kapitalis, padahal krisis disebabkan oleh sistem kapitalis sendiri. ABM menyampaikan, bahwa jalan keluar dari krisis haruslah jalan keluar yang bukan kapitalis, yaitu:
(a) Menasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta besar (baik yang dimiliki oleh modal Internasional maupun oleh Pengusaha Indonesia) terutama Pertambangan, Energi dan Perbankan dengan mobilisasi politik klas buruh dan rakyat miskin, serta di bawah kontrol klas buruh dan rakyat miskin.
(b) Membubarkan Pasar Modal, atau setidaknya mengenakan pajak bagi setiap transaksi yang terjadi di pasar modal (mengacu pada Negara Kuba yang mengenakan pajak 1 % untuk setiap transaksi)
(c) Menolak pembayaran hutang luar negeri, dan Indonesia harus segera keluar dari lembaga-lembaga keuangan dan perdagangan Internasional yang hanya menguntungkan negara-negara induk kapitalis.
(d) Dalam jangka pendek cara yang bisa di tempuh untuk melindungi kaum buruh dan rakyat miskin adalah melindungi pasar negeri dengan cara melarang import barang yang sudah bisa di penuhi oleh Industri dalam negeri atau mengenakan pajak import yang tinggi, menggunakan bahan baku dalam negeri, yang ketiga Pemerintah juga harus mengambil alih (dan menyerahkan kepada buruh) perusahaan-perusahaan (di sector riil) yang bangkrut dan memberikan modal (dari dana APBN) untuk menjalankannya kembali, yang keempat melakukan standarisasi upah layak secara nasional sebagai bentuk untuk meningkatkan daya beli, serta menurunkan harga kebutuhan pokok rakyat.

ABM juga menyerukan agar kaum buruh segera membangun kekuatannya, dan mempersiapkan diri untuk merebut kekuasan negara, sebab langkah-langkah penyelesaian krisis di atas, tidak akan mungkin di jalankan oleh pemerintah Indonesia sekarang, juga tidak akan mungkin dilakukan oleh pemerintahan hasil pemilu 2009 nanti, sebab seluruh kekuatan politik yang berkuasa hari ini adalah boneka-boneka kapitalis. ABM juga mengecam pimpinan-pimpinan serikat buruh yang tergabung dalam Lembaga Tripartit Nasional yang langsung maupun tidak langsung telah memberikan persetujuannya terhadap SKB 4 Menteri tersebut, dan sekali lagi menyerukan kepada kaum buruh untuk meninggalkan pimpinan-pimpinan serikat yang selalu kompromi dan pengecut.

Di Surabaya, ratusan massa ABM Jawa Timur pada hari yang sama juga melakukan aksi. Dengan menggunakan baju merah-sebagai lambang keberanian, seperti juga massa ABM di kota lainnya-massa ABM bergerak menuju Gedung DPRD dan Kantor Gubernur Jawa Timur untuk menuntut agar SKB 4 Menteri segera di cabut. Seperti juga di Jakarta, massa ABM di hadang oleh aparat kepolisian setempat ketika massa hendak bergerak memasuki pintu gerbang Kantor Gubernur, sehinga terjadi aksi saling mendorong antara kaum buruh dan aparat kepolisian. Sebelum mengakhiri aksi, kaum buruh berjanji akan melakukan konsolidasi yang lebih besar dalam rangka persiapan aksi lanjutan untuk membatalkan SKB 4 Menteri ini.

Di Makassar, ribuan kaum buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Menggugat didukung oleh mahasiswa melakukan aksi yang di mulai dari Kawasan Industri Makassar (KIMA), dengan melakukan konvoi kendaraan dan rally massa. Ribuan massa ini kemudian menutup jalan tepat di depan Kantor Gubernur Sulawesi Selatan. Aksi penutupan jalan ini segera dihadapi oleh aparat kepolisan setempat. Setalah terjadi negosiasi, akhirnya massa aksi diperbolehkan masuk ke halaman Kantor Gubernur untuk menyuarakan tuntutannya.

Di Karawang, lebih dari 300 massa Aliansi Buruh Menggugat melakukan aksi yang sama, menolak SKB 4 Menteri. Dengan berjalan kaki, massa aksi menuju ke Kantor Bupati Karawang. Di Samarinda, sekalipun dari pagi hujan deras mengguyur seluruh kota, namun tidak menyurutkan semangat massa Aliansi Buruh Menggugat untuk melakukan aksi. Sekitar lima puluh orang dengan semangat melakukan aksi menolak SKB 4 Menteri ini. Demikian pula di Yogyakarta, sekalipun belum begitu banyak buruh yang tergabung dalam serikat, namun dengan semangat yang tinggi, Aliansi Rakyat Pekerja Bersatu melakukan aksi di depan Gedung DPRD Yogya.

Di Batam, ratusan buruh yang diorganisir oleh SPSI juga melakukan aksi yang sama, namun anehnya di tingkat pusat, pimpinan SPSI justru menyepakati SKB 4 Menteri ini.

Sekalipun perlawanan kaum buruh semakin meluas dan membesar, namun Pemerintah hingga sekarang belum kelihatan tanda-tanda untuk mencabut SKB 4 Menteri ini, bahkan Pemerintah dengan menggunakan aparat kepolisian mulai melakukan tekanan-tekanan terhadap demonstrasi kaum buruh.

Di beberapa provinsi, seperti Jakarta, Jawa Barat, Yogya, Jateng dan beberapa yang lain, memang sudah diumumkan besarnya UMP untuk tahun 2009, yang diatas 6 % (diatas ketentuan dalam SKB 4 Menteri), namun jika kenaikan upah tahun 2009 hanya sebesar 10 % (DKI Jakarta), atau 12 % bahkan 20 % pun, tetap saja kesejahteraan kaum buruh masih jauh dari tingkat yang layak. Kita saat ini harus curiga, bahwa kenaikan upah di atas 6 % bukanlah karena pemerintah tulus berpihak pada buruh, namun itu hanya salah satu siasat untuk meredam aksi-aksi buruh yang makin meluas. Di tahun-tahun kemarin saja, banyak perusahaan yang tidak membayar upah buruh sesuai dengan UMP (dan banyak lagi yang tidak juga memberikan hak-hak buruh yang lainnya; Jam kerja yang panjang, Tidak mendapatkan Cuti (terutama cuti haid), Jamsostek, Pengunaan system kerja kontrak dan Outsourcing, Pelarangan Berserikat di luar SPSI dan lain sebagainya) dan pemerintah diam saja ketika terjadi banyak pelanggaran, bahkan justru berpihak pada pengusaha. Siapa yang menjamin, bahwa kenaikan upah 10 % atau lebih, akan dijalankan oleh pengusaha di tiap-tiap pabrik pada tahun 2009 nanti?

Oleh karena itu, kami mengajak kawan-kawan untuk membangun serikat buruh yang sejati, serikat buruh yang kuat, yang tidak takut terhadap ancaman-ancaman, yang tidak mau disogok, yang mau bersatu dengan serikat buruh lainnya, yang percaya pada kekuatan anggota, kekuatan massa buruh, yang percaya pada kekuatan aksi-aksi massa kaum buruh, yang mempunyai kehendak kuat untuk melawan sistem kapitalisme dan membangun sistem yang baru, yang lebih adil bagi kaum buruh.

Bagi kawan-kawan yang selama ini telah menyumbangkan tenaga, pikiran, waktu dan juga dana selama persiapan aksi-aksi menolak SKB 4 Menteri (juga dalam kegiatan yang lain), kami ucapkan terima kasih, kami berharap solidaritas, persatuan diantara kaum buruh dapat semakin kita tingkatkan dalam bentuk Pembangunan Serikat Buruh Sejati di tempat kerja kita masing-masing, di tingkat kota, propinsi bahkan secara nasional.

Bagi kamu, yang punya semangat juang, berani dan perduli, silahkan bergabung ke:

POSKO SOLIDARITAS BURUH CIKARANG

Jl.Perjuangan-Warung Bongkok(Warbong)-Cikarang Barat
Koordinator : Ebiet (0858 8586 2351)
Read More......

17 November 2008

Nasionalisasi di Bawah Kontrol Rakyat, Kunci Sosialisme Venezuela

Oleh Zely Ariane [1]


Pengantar

Pernahkah kita berpikir: “mengapa barang-barang/jasa yang diproduksi oleh kaum buruh (yang sangat berlimpah dan sebagian besar di antaranya berkualitas tinggi) justru tidak dapat dinikmati (dibeli) oleh kaum buruh sendiri serta rakyat miskin secara keseluruhan?”

Barang-barang yang berlimpah tersebut selalu berada di luar jangkauan daya beli rakyat pekerja miskin (kalaupun ada yang terjangkau, pasti dengan kualitas lebih jelek). Mahalnya harga disebabkan oleh karena kepemilikan modal dan permainan harga sesungguhnya berada di tangan segelintir kapitalis (pemilik modal). Produksi barang dan ekspansi pasar ditentukan oleh para kapitalis tersebut, berdasarkan kehendak untuk terus mengakumulasi keuntungan dan modalnya; bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Sehingga harga pun ditentukan oleh para kapitalis raksasa/yang bermodal besar/korporat. Itulah cerminan segitiga kapitalisme, yang sedang dilawan oleh Sosialisme Venezuela, yakni: (1) kepemilikan pribadi; (2) eksploitasi buruh, dan (3) produksi untuk profit.[2]

Krisis energi dan pangan belakangan ini adalah contoh paling ekstrim. Para kapitalis minyak raksasa (di antaranya Exxon Mobil, Chevron, Royal Dutch Shell, BP, Total) terus menggenjot eksploitasi minyak hingga merusak lingkungan. Dana yang diberikan untuk pengembangan bahan bakar dan teknologi ramah lingkungan sama sekali tidak sebanding dengan tingkat keuntungan dari eksploitasi minyak. Gilanya lagi, selain efek rumah kaca, rakyat di negeri-negeri yang kaya sumber minyak (tempat para kapitalis minyak internasional itu menggenjot eksploitasi) justru merupakan mayoritas rakyat yang tidak mendapatkan ceceran keuntungan minyak; malahan harus membayar mahal untuk dapat mengkonsumsi minyak.

Demikian pula raksasa pangan seperti Mosanto dan Cargill. Di tengah krisis pangan (kelangkaan di satu sisi dan kenaikan harga pangan di sisi lain—padahal produksi pangan justru mengalami kenaikan pada waktu yang sama dengan terjadinya krisis) mereka justru memperoleh keuntungan berlipat-lipat ganda sepanjang 2007 dan paruh pertama 2008.[3]

Hal ini menunjukkan begitu anarkisnya produksi barang (dan jasa) di tangan para kapitalis dunia, yang tidak ada sangkut pautnya dengan peningkatan tenaga produktif sebagian besar manusia. Oleh karena itulah, kendali (kontrol) terhadap produksi kapitalis harus dilakukan agar barang/jasa diproduksi sesuai kebutuhan dan untuk kemajuan tenaga produktif manusia sekaligus terjangkau oleh masyarakat (dan aman bagi keberlanjutan lingkungan hidup). Untuk bisa melakukannya, maka perlawanan terhadap kapitalisme mutlak dibutuhkan melalui apa yang disebut Chavez sebagai basis segitiga sosialisme, yaitu: (1) kepemilikan sosial; (2) produksi sosial yang diorganisir oleh buruh, dan (3) produksi berdasarkan kebutuhan masyarakat.

Di Venezuela, nasionalisasi perusahaan-perusahaan vital dari kepemilikan swasta (asing) maupun perusahaan-perusahaan yang ditinggalkan oleh para pengusaha swasta dilakukan di bawah kontrol dan manajemen kaum buruh (bersama dengan komunitas rakyat). Nasionalisasi inilah yang memberikan landasan bagi bangunan segitiga sosialisme yang diperjuangkan oleh pemerintahan Chavez. Nasionalisasi bermakna pengambilalihan kendali atas produksi dan distribusi dari tangan perusahaan-perusahaan kapitalis (asing dan dalam negeri) ke tangan Negara (dalam hal ini Venezuela sebagai negara yang berada di bawah pemerintahan yang pro terhadap dan terdiri dari persatuan seluruh rakyat pekerja dan kaum miskin).

Sebelumnya, pengalaman serupa juga pernah dilakukan di negara-negara sosialis yang lain (baik yang berhasil maupun yang gagal) seperti Rusia (setelah Revolusi 1917), Yugoslavia, Kuba, Argentina dan Brazil. Namun dalam kesempatan ini, kita hanya akan membahas pengalaman di Venezuela. Dan dalam ruang yang terbatas ini pula, secara ringkas saya akan menggambarkan syarat, proses dan tipe serta kendala nasionalisasi di bawah kontrol rakyat berdasarkan pengalaman Venezuela.

Pembahasan ini perlu diangkat untuk menguatkan gugatan terhadap jargon “nasionalisme” Indonesia belakangan ini. Sekaligus menguatkan tuntutan radikal “Nasionalisasi di Bawah Kontrol Rakyat” oleh Front Pembebasan Nasional (FPN). Nasionalisasi di bawah kontrol rakyat adalah tuntutan kongkrit sekaligus kunci untuk menelanjangi kepalsuan ”nasionalisme dan nasionalisasi” ala elit-elit politik dan partai-partai politik elit Indonesia, yang ramai ”diperdagangkan” belakangan ini.

Nasionalisasi dan nasionalisme ala elit-elit tersebut hanya merupakan pertengkaran semu antar faksi borjuasi dalam negeri dalam berebut akses terhadap aliran modal asing (karena sejatinya mereka bergantung pada modal asing). Baik pemerintahan SBY-JK maupun partai-partai yang menyatakan diri “beroposisi” sesungguhnya adalah faksi-faksi modal yang akan menjamin penguasaan dan kepemilikan perusahaan-perusahaan asing atas aset-aset vital dalam negeri sepanjang menguntungkan dan untuk kepentingan faksi elit-elit borjuasi tertentu di dalam negeri.

Nasionalisasi di bawah kontrol rakyat bak pedang bermata dua. Di satu sisi, nasionalisasi tersebut bertujuan untuk memusatkan pendapatan dalam negeri guna membiayai pembangunan industri nasional sekaligus peningkatan tenaga produktifnya. Di sisi lain, nasionalisasi tersebut pada akhirnya bertujuan untuk membangun basis bagi industri nasional itu sendiri, dengan mengarahkan kehidupan ekonomi negeri—pertanian, industri, perdagangan, transportasi dan berbagai hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak—dalam sebuah perencanaan terpadu, yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan individu dan sosial masyarakat luas. Hal tersebut harus disetujui oleh perwakilan yang dipilih oleh rakyat dan kaum buruh, dan dijalankan di bawah arahan perwakilan tersebut melalui organisasi-organisasi nasional hingga lokal.[4]

Nasionalisasi di bawah kontrol rakyat atau dengan kata lain, pengambilalihan kontrol industri untuk diletakkan di bawah kendali persatuan rakyat dan kaum buruh, bermakna sebagai SEKOLAH PERENCANAAN EKONOMI suatu negeri, bukan semata-mata penambahan isi kantong (pendapatan) buruh. Dengan demikian, nasionalisasi di bawah kontrol persatuan rakyat dan kaum buruh merupakan wujud kongkrit kontrol rakyat terhadap produksi kapitalis. Dan kontrol terhadap produksi kapitalis adalah syarat mutlak kemandirian dan produktivitas bangsa.

A. Mengambil Alih Kepemilikan Alat-Alat Produksi

Untuk meningkatkan kapasitas produktif rakyat Venezuela, yang masih dimiliki oleh swasta, pemerintahan Chavez menggalakkan bentuk-bentuk kontrol dan kepemilikan non-swasta, seperti koperasi, manajemen bersama, serta meluaskan manajemen/kepemilikan negara terhadap alat produksi (nasionalisasi).

Misalnya, selama kepemimpinan Chavez, jumlah koperasi di Venezuela meningkat dari 800 (tahun 1998) menjadi lebih dari 100.000 (di tahun 2005). Lebih dari 1,5 juta rakyat Venezuela (sekitar 10% dari jumlah orang dewasa di negeri itu) kini terlibat dalam menjalankan koperasi. Pemerintah menyokong pembentukan koperasi di berbagai sektor, paling banyak melalui sokongan kredit, pembelian khusus melalui koperasi dan program-program pelatihan.

Terkait manajemen bersama, pemerintah terus mengujicobakan berbagai strategi melalui beberapa perusahaan milik negara, seperti perusahaan listrik CADAFE dan pabrik aluminium ALCASA. Strategi lainnya adalah melalui pengambilalihan pabrik-pabrik yang ditinggalkan/diabaikan. Pemerintahan Chavez juga membangun beberapa perusahaan milik negara yang baru, seperti telekomunikasi, angkutan udara dan petrokimia, termasuk kontrol langsung atas perusahaan minyak negara, PDVSA (Petróleos de Venezuela SA/Perusahaan Minyak Venezuela SA).

Untuk itu, pemerintahan Chavez menciptakan suatu tipe unit produksi ekonomi baru, yang dikenal dengan Perusahaan Produksi Sosial (Social Production Enterprises/EPS).[5]

B. Proses Pengambilalihan Kendali dan Tipe Pengelolaan Industri di Tangan Rakyat

o Pengambilalihan kendali industri oleh pemerintah Venezuela pertama kali difokuskan pada sektor industri perminyakan (migas), listrik dan telekomunikasi. Fokus kedua dilakukan terhadap sektor konstruksi dan makanan, yakni industri semen (meliputi hampir 40 pabrik), peternakan dan susu—melanjutkan pengambilalihan terhadap 32 lahan pertanian berskala besar. Sedangkan industri seperti mineral, metal, bauksit, batubara dan baja tetap berada di tangan Negara—memang tidak pernah diprivatisasi (dijual ke tangan swasta asing).[6]
o Re-nasionalisasi PDVSA dilakukan di akhir tahun 2001. Pemerintahan Chavez mengalokasikan lebih dari 50% keuntungannya untuk program-program sosial peningkatan tenaga produktif (missiones). Pemerintah juga mendirikan National Fund for Economic Development (Fonden) dari hasil surplus cadangan mata uang asing yang meningkat akibat peningkatan harga minyak. Dari Fonden, dana dialirkan khususnya untuk peningkatan/alih teknologi dan penelitian ilmiah.
o Sejak pemerintahan Hugo Chavez berhasil memenangkan kekuasaan pada tahun 1998, berbagai paket perundang-undangan yang melindungi hak dan partisipasi buruh (serta rakyat miskin) sudah diterapkan. Hasilnya, di hampir seluruh perusahaan, berbagai serikat buruh baru tingkat pabrik berkembang. Hukum perundang-undangan yang baru memungkinkan kaum buruh untuk menyelenggarakan referendum (penentuan pendapat) guna memutuskan sekaligus menjalankan perjanjian bersama (semacam PKB) di pabrik, yang kemudian membuka kesempatan bagi lapisan pejuang buruh militan (baru) untuk bermunculan dan ikut mengambil tanggung jawab.
o Di tahun 2005, banyak pabrik yang tutup diambil alih serta dijalankan oleh pekerja. Sebanyak 800 pabrik tutup di seluruh negeri (kebanyakan karena ditinggal oleh pengusaha yang anti-Chavez) dan sejak November 2006, kurang lebih 1200 pabrik sudah diambil alih oleh kaum buruh. Namun di tahun 2008, hanya sedikit yang bisa bangkit kembali dan dalam beberapa kasus, dikelola di bawah manajemen koperasi buruh, atau justru gagal beroperasi.[7]
o Pendudukan Pabrik Pengelola Limbah Padat di Merida. Di bulan September 2007, setelah memperoleh gaji, buruh pabrik Pengelolaan Limbah ini menduduki instalasi pabrik dan menuntut agar pemilik perusahaan angkat kaki, kemudian mereka mengambil alih kantor dan menuntut agar administrasi pabrik tersebut berhenti.[8]
o Re-nasionalisasi Pabrik Baja SIDOR di Kawasan Industri Guayana. SIDOR adalah salah satu industri baja raksasa yang paling penting di Venezuela dan Amerika Latin. Setelah mengambil alih pabrik, Presiden Chavez melegalkan pengambilalihan tersebut lewat dekrit pada tanggal 9 April 2008.[9]
Sambil menunggu negara mengambil alih administrasi pabrik, sejak 10 April 2008, kaum buruh di beberapa bagian mulai terorganisir ke dalam komite-komite pengawasan dan kontrol pabrik. Tujuannya untuk menghambat sabotase peralatan, kontrol produksi dan serangan dari supervisor atau para bos lainnya. Kehendak para pekerja SIDOR adalah mengelola produksi dan administrasi perusahaan tersebut. Mereka juga mempersiapkan proposal mengenai pengelolaan SIDOR yang baru, yang menyatakan bahwa pengelolaan oleh buruh tidaklah mustahil, bahkan bisa dengan hasil yang lebih baik dan efisien.[10]

Kinerja pengelolaan oleh mayoritas kaum buruh terbukti menunjukkan efisiensi dalam produksi dan pelayanan sosial daripada yang ditunjukkan oleh perusahaan-perusahaan kapitalis transnasional dan nasional manapun. Kaum buruh menunjukkan kemampuannya dalam menggandakan level produksi.

o Pengelolaan Perusahaan Listrik CADAFE. CADAFE adalah perusahaan milik Negara yang memproduksi 60% listrik Venezuela, dengan 34.000 pekerja. Setelah perjuangan panjang untuk memenangkan hak berpartisipasi di dalam kontrak perjanjian (semacam kontrak karya) melalui pendirian dewan-dewan buruh, manajemen (baru) perusahaan mulai menghancurkan partisipasi riil buruh, membatasinya hanya pada keputusan-keputusan yang tidak penting.[11]
Banyak proposal menyangkut pengelolaan pabrik diajukan oleh kaum buruh, namun sangat sedikit yang dilaksanakan.[12] Dari lima anggota komite koordinasi yang dibentuk untuk Pengelolaan Bersama (co-management), dua posisi dicadangkan untuk anggota serikat buruh melalui mekanisme penunjukan, dan tidak bisa di-recall. Presiden perusahaan juga tidak berkewajiban melaksanakan instruksi dari komite tersebut. Pihak manajemen bahkan mengatakan bahwa tidak perlu ada partisipasi kaum buruh dalam industri strategis.

Sementara itu, terdapat jenis Pengelolaan Bersama yang sangat berbeda di anak perusahaan CADAFE, Cadela-Mérida, di Zona Andean. Di sana terdapat partisipasi bersama antara pekerja, para eksekutif dan organisasi komunitas setempat. Presiden Cadela dinominasikan dan dipilih oleh mayoritas kaum buruh di lokasi tersebut. Pelayanan meningkat, keuntungan juga lebih tinggi dan layanan pekerjaan diberikan ke banyak koperasi (lebih dari 375 koperasi hingga akhir 2004)—daripada memberi kontrak pelayanan ke perusahaan swasta. Jenis kendali buruh atas produksi antara CADAFE dan anak perusahaannya, Cadela-Mérida, memiliki perbedaan yang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut.

o Pengelolaan Pabrik Keramik Sanatarios Maracay.[13] Setelah persatuan buruh berhasil mengambil alih pabrik, mereka mulai menjual barang-barang persediaan dan meminta bantuan masyarakat untuk memulai kembali produksi dan distribusi. Produksi pun dimulai. Mereka mengorganisasikan dewan-dewan buruh sebagai sebuah mekanisme demokratik untuk mengoperasikan pabrik dan manajemen aset sehari-hari. Di samping berbagai kesulitan, mereka terus maju dan menuntut nasionalisasi penuh dari pemerintah—termasuk meminta bantuan pemerintah untuk membeli produk keramik mereka, terkait program pemerintah untuk perumahan rakyat miskin. Mereka juga menjual hasil produksi kepada masyarakat dengan harga terjangkau. Setiap minggu, pekerja yang bekerja lembur mendapatkan paket sembako dan pembayaran gaji juga dilakukan oleh dewan-dewan buruh.

o Pengelolaan Pabrik Kertas INVEPAL. Dimulai tahun 2005, pabrik kertas milik kapitalis yang bangkrut ini diambil alih oleh pemerintahan Chavez dengan suntikan modal sebesar $7 juta. Perusahaan ini diorganisir sebagai perusahaan yang dimiliki buruh, yakni kepemilikan antara buruh (51%) dan pemerintah (49%). Peningkatan hasil produksi akan digunakan oleh kaum buruh untuk kemudian membeli saham pemerintah, dan hanya akan menyisakannya sebanyak 1% saja. Pemilikan semacam ini menyebabkan kontroversi di kalangan buruh dan aktivis sosialis, yang menganggap bahwa kepemilikan buruh tersebut tidak ada bedanya dengan kepemilikan kapitalis—hanya beda dalam jumlah pemilik saja. Oleh sebab itulah FRETECO (Front Revolusioner Pekerja Pabrik-Pabrik di Bawah Kendali Buruh) menuntut pengambilalihan penuh oleh pemerintah.[14]

Terdapat Dewan Buruh yang terdiri dari Majelis Umum Pekerja (pembuat keputusan tertinggi) di pabrik serta Komisi Permanen yang dipilih untuk posisi-posisi seperti Keuangan, Formasi Politik dan Sosial, Komisi Teknik, Administrasi, Disiplin, Keamanan dan Kontrol serta Pelayanan. Seluruh orang yang dipilih dapat dipecat melalui sidang Majelis Umum Dewan Buruh. Untuk mengatasi pemisahan kerja intelektual atau administratif dengan kerja manual, mereka merotasi berbagai jenis pekerjaan, mengkombinasikannya dengan diskusi politik di dalam dewan buruh, pendidikan untuk pengembangan kolektif serta pelatihan-pelatihan teknik.

Pengalaman lain yang penting adalah hubungan dewan buruh dengan komunitas setempat. Tidak saja pabrik menyediakan ruang bagi program-program pendidikan dan kesehatan komunitas, namun dewan buruh juga berpartisipasi dalam dewan komunal setempat. Dewan buruh mengirimkan delegasi ke dewan komunal, begitupun sebaliknya, yang dapat diterapkan juga dalam lingkup federasi dewan buruh dan dewan komunal yang lebih luas dalam rangka membangun struktur-struktur kekuasaan rakyat sejati.

o Pabrik Aluminium ALCASA. Bisnis kapitalis yang berdiri sejak tahun 1967 ini mulai melaksanakan praktek manajemen buruh di tahun 2005. Proses ini ditandai dengan pendirian majelis buruh terbuka, pendiskusian 18 poin proposal untuk meluncurkan kembali pabrik serta proses pemilihan manajemen baru melalui pemilihan tertutup. Dari 2700 pekerja di ALCASA, 95% berpartisipasi dalam pemilihan tersebut. Kaum buruh juga memilih 36 juru bicara dan manajemen untuk membuat keputusan. Proses manajemen ini sudah berjalan tiga tahap dan berhasil meningkatkan produksi sekaligus memperbaiki kondisi kerja.[15]
Tahap kedua difokuskan pada pengembangan manajemen dan strategi baru perusahaan. Di tahap ketiga, diskusi dan perdebatan terjadi menyangkut persoalan-persoalan semacam: memanusiawikan tenaga kerja, termasuk pengurangan hari kerja, demokratisasi pengetahuan untuk mengurangi pembagian kerja sosial di dalam pabrik serta desentralisasi keputusan melalui pembangunan dewan-dewan buruh.

Untuk itu, mereka membangun pusat pelatihan sosial politik, sehingga kaum buruh dapat terlibat dalam proses yang ada. Pada awalnya, para pekerja kerap dituduh sebagai komunis, garis keras atau sejenisnya. Namun sedikit demi sedikit kaum buruh mulai terlibat dalam pelatihan tersebut dan kini beberapa ratus buruh mulai terlibat.

ALCASA tetap dimiliki oleh Negara. Berbeda dengan INVEPAL, dewan buruh di pabrik ini tidak menghendaki model manajemen yang mendistribusikan modal kepada seluruh pekerja atau mendekatkan buruh dengan modal atau pembagian saham di antara mereka. Menurut mereka, manajemen bersama tersebut tidak dibatasi hanya pada tingkat perusahaan semata, namun harus meliputi pengelolaan bersama dengan komunitas sosial masyarakat, walaupun untuk yang terakhir ini belum tampak keberhasilan yang signifikan.

Sebelum pengelolaan ini dimulai, banyak di antara buruh yang menyatakan seharusnya semua pimpinan dan para direktur dipecati. Tapi menurut dewan buruh, hal tersebut adalah hal paling akhir yang akan mereka lakukan—bahkan bisa menjadi bencana jika dilakukan. Karena pengalaman pemecatan 2000 manajer di PDVSA telah menyulitkan pengelolaan dan produksi pabrik, bahkan hingga saat ini. Mereka sedang membangun proses dari bawah, pemilihan di tiap workshop, pemilihan di tiap grup ”delegasi juru bicara.” Suatu sistem pemilihan langsung, kontrol dan akuntabilitas, penggiliran tugas, dan seterusnya.[16]

Tim kepemimpinan juga semakin meluas. Untuk setiap satu orang pimpinan lama, mereka memilih tiga orang baru. Kemudian terdapat 300 delegasi juru bicara yang dipilih dari tingkat paling bawah oleh buruh. Belakangan ini, setiap departemen memiliki “dewan administratif,” dengan juru bicara yang dipilih di tiap tim, untuk mendiskusikan dan merencanakan persoalan-persoalan produksi.

C. Kendala-Kendala

Berdasarkan pengalaman pengambilalihan industri di Venezuela, kendala-kendala yang dihadapi antara lain:

a. Kultur/kebudayaan buruh yang masih terbelakang, yakni ketika buruh bekerja semata-mata untuk mendapatkan uang dan tidak sedikitpun punya visi untuk membangun ekonomi negeri sekaligus menciptakan tatanan masyarakat baru.

b. Dalam beberapa kasus, perusahaan-perusahaan yang ditinggal kabur pemiliknya juga meninggalkan utang yang harus ditanggung oleh manajemen buruh yang baru.
Utang-utang atau tagihan tersebut bisa mengancam kelancaran produksi.

c. Bahan mentah menyusut dan akan sulit diperoleh kembali tanpa adanya modal, kredit serta legitimasi yang sah.

d. Kesulitan pemasaran tanpa bantuan masyarakat dan pemerintah.

e. Represi, hingga penculikan dan pembunuhan, oleh aparat keamanan dan pasukan preman bayaran terhadap serikat buruh yang melakukan pengambilalihan pabrik.

f. Sabotase pabrik, penghancuran mesin-mesin serta penghentian layanan listrik, air dan gas oleh aparat-aparat bayaran.

g. Pencurian mesin-mesin dan bahan mentah di pabrik.

h. Polarisasi dan fragmentasi yang tajam antar serikat buruh (pro Revolusi) yang berbeda-beda.

i. Pemilik pabrik lama seringkali memecah persatuan serikat buruh dengan membuat serikat buruh tandingan yang anti terhadap kontrol buruh di pabrik.

j. Satu perusahaan yang berada di bawah kendali buruh terletak di tengah-tengah kawasan industri yang masih berorientasi kapitalis.

k. Kelelahan berjuang akibat proses yang tidak selalu berlangsung cepat.

l. Tidak berjalannya proses partisipasi mayoritas buruh membuat lambatnya produksi berjalan serta lemahnya kekuatan dewan buruh.

m. Aristokrasi buruh—buruh yang bermental kapitalis ketika sudah memiliki alat produksi.

n. Sindikalisme—pengelolaan pabrik hanya untuk pabrik itu sendiri; tidak bersedia berada dalam satu perencanaan pengelolaan bersama secara nasional.

D. Syarat-Syarat Keberhasilan

a. Kesadaran yang meluas di kalangan kaum buruh dan rakyat miskin lainnya untuk melawan kapitalisme. Perlawanan tersebut dalam bentuk pengambilalihan alat produksi dari kepemilikan kapitalis, sekaligus mengubah relasi produksi agar menjadi semakin setara dan berwatak kerjasama.

b. Adanya persatuan gerakan (antar kaum buruh dan dengan berbagai elemen rakyat miskin pro-demokratik) yang luas untuk menuntut pengambilalihan perusahaan-perusahaan kapitalis untuk kemudian diserahkan kendalinya pada persatuan/dewan-dewan buruh.

c. Adanya persatuan gerakan untuk membangun alat politik alternatif yang mendapat dukungan dari mayoritas rakyat guna merebut kekuasaan. Hal ini dibutuhkan karena nasionalisasi di bawah kontrol Negara yang bukan merupakan perwujudan dari perwakilan dan kepentingan kelas pekerja dan rakyat miskin tidak akan membawa kesejahteraan bagi mayoritas kelas pekerja dan rakyat miskin.

d. Kekuasaan baru yang akan menjalankan program pemusatan seluruh sumber pembiayaan dalam negeri untuk membiayai kebutuhan darurat rakyat (guna meningkatkan tenaga produktifnya) sekaligus mengembangkan industri nasional. Kekuasaan tersebut juga harus mendorong partisipasi riil dari rakyat dalam berbagai mekanisme demokrasi langsung untuk menjamin berjalannya kendali rakyat atas industri yang sudah diambil alih.

e. Kontrol buruh harus berskala nasional dan diperluas agar dapat mengatasi semua kepentingan kapitalis (bukan diorganisir secara insidental tanpa sistem); terencana baik dan tidak bisa dipisahkan dari keseluruhan kehidupan industri nasional. Oleh sebab itulah persatuan antar buruh dari pabrik-pabrik yang sudah diambil alih dengan organisasi-organisasi rakyat lainnya mutlak diperlukan.

E. Penutup

Di tengah kehancuran industri nasional dan kapasitas mayoritas pekerja Indonesia yang rendah—akibat puluhan tahun dikerdilkan kesadarannya dari pengetahuan ilmiah dan akses teknologi—, perjuangan untuk mengambil alih kendali industri ke tangan kaum pekerja adalah pekerjaan yang sukar, tapi TIDAK MUSTAHIL apabila semakin banyak kelompok buruh yang mulai semakin bersatu, sehingga semakin meningkat kesadarannya akan cita-cita perjuangan buruh jangka panjang, yakni Sosialisme. Dengan kesadaran tersebut, kaum buruh akan menjadi semakin berani dan tidak tanggung-tanggung dalam berjuang membela martabatnya sebagai manusia pekerja, yang berhak atas segala keindahan dan kebahagiaan di dunia.

***
Catatan: Tulisan ini direncanakan terbit pada Edisi ke-3 Jurnal Bersatu

Catatan Kaki:

[1] Juru Bicara Komite Politik Rakyat Miskin – Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD); Koordinator Departemen Pendidikan dan Propaganda Dewan Harian Nasional Persatuan Politik Rakyat Miskin (DHN-PPRM); Pjs. Wakil Sekretaris Umum dan Kabid Perempuan dan Budaya Pengurus Pusat Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh (PP GSPB).
[2] Kiraz Janicke, “Without Workers Management There Can Be No Socialism,” www.venezuelanalysis.com, 30 Oktober 2007, mengutip pendapat Michael Lebowitz tentang pernyataan Chavez mengenai: "the elementary triangle of socialism”, yang tidak dapat dipisahkan dari segitiga kapitalisme saat ini.
[3] Isneningtyas Yulianti, “Silent Tsunami: Krisis Kelaparan di Dunia,” Mahardhika, 1 September 2008.
[4] Resolusi Mengenai Kontrol Buruh yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soviet Rusia pada revolusi 1917.
[5] Pengertian lebih lanjut dapat ditemui di dalam artikel Gregory Wilpert, “The Meaning of 21st Century Socialism for Venezuela,” www.venezuelanalysis.com, 11 Juli 2006.
[6] International News, ”Venezuelan Steel Nationalization Marks ‘New Revolution Within Revolution’,” Green Left Weekly, 22 April 2008.
[7] Ibid.
[8] Tamara Pearson, “Venezuelan Recycling Workers Struggling for Justice,” Green Left Weekly, 1 Juli 2008.
[9] Kiraz Janicke & Federico Fuentes, “Venezuela’s Labor Movement at the Crossroads,” www.venezuelanalysis.com, 29 April 2008.
[10] Stalin Perez dan Marcos Garcia, “This Year May Day is Very Special,” www.venezuelanalysis.com, 30 April 2008.
[11] Janicke & Fuentes, op. cit.
[12] Rob Lyon, Worker’s Control and Venezuelan Revolution, tulisan ke-4 dari empat bagian tulisan yang berjudul Workers' Control and Nationalization, http://www.marxist.com/workers-control-nationalisation4.htm, 20 Februari 2006.
[13] Lihat film dokumenter No Volveran tentang proses pengambilalihan pabrik keramik ini.
[14] Marie Trigona, “Workers in Control: Venezuela’s Occupied Factories,” www.venezuelanalysis.com, 9 November 2006.
[15] Janicke, “Without Workers Management, There Can Be No Socialism.”
[16] Fabrice Thomas, ‘“Co-management” in Venezuela's Alcasa Aluminium Factory,’ 25 Oktober 2005, International Viewpoint, http://www.venezuelanalysis.com/analysis/1431.


Read More......

Pembebasan Nasional atau Nasionalisme?

Oleh Paulus Suryanta [1]

Pengantar

Dewasa ini, dengan semakin kuatnya cengkeraman imperialisme di negeri ini, kaum borjuis dengan kencang kembali menggembar-gemborkan nasionalisme. Sangat penting bagi kaum kiri untuk menilai lebih dalam, apa maksud dari kampanye ideologis kaum borjuis ini. Apakah suatu jawaban terhadap persoalan hari ini yang berupa penyempitan ruang demokrasi dan kemiskinan ataukah jebakan yang membuat mayoritas rakyat miskin Indonesia semakin terjerembab dalam jurang ketertindasan?
Untuk ini, sangat penting bagi kita untuk memahami apa itu nation atau bangsa? Kapan, bagaimana dan apa syarat-syarat kemunculannya, terutama dalam konteks Indonesia? Apa itu nasionalisme? Siapa yang berkepentingan terhadap nasionalisme? Apa itu pembebasan nasional (national liberation)? Apa kepentingan dan tujuan dari pembebasan nasional.

Jika kaum kiri tidak menjawab persoalan-persoalan ini, tidak pelak lagi posisi politik kaum kiri akan mudah terjatuh ke dalam chauvinisme, reformisme ataupun oportunisme. Ini berbahaya bagi keberlanjutan perjuangan meniadakan penindasan dari manusia terhadap manusia yang lain (kelas).

Bangsa Indonesia: Bangsa Koeli

“Sebuah nation” atau “bangsa,” tulis Stalin,

“adalah sebuah komunitas yang stabil dan terbentuk secara historis, yang dibangun berdasarkan kesamaan bahasa, teritori (wilayah), kehidupan ekonomi dan riasan psikologis, yang termanifestasikan dalam sebuah kebudayaan bersama....Sebuah bangsa bukan hanya merupakan sebuah kategori sejarah, tetapi kategori sejarah dari periode tertentu, yaitu periode kemunculan kapitalisme.” (Marxism and the National Question).

Selanjutnya, Doug Lorimer (Revolutionary Socialist Party) menegaskan kembali pandangan Bolshevik bahwa sebuah bangsa bukan hanya merupakan "komunitas yang diimpikan," tetapi secara obyektif, menurut sejarahnya, merupakan perkembangan kesatuan masyarakat yang terbentuk berdasarkan hubungan ekonomi kapitalis, yang memberikan kesempatan pada seseorang untuk hidup dalam wilayah tertentu yang mempunyai persamaan bahasa dan budaya.

Dari pandangan tersebut, ada 5 kategori yang menjadi syarat lahirnya suatu bangsa, yakni teritori (wilayah), kehidupan ekonomi, kesamaan psikologis, bahasa yang sama dan kebudayaan bersama.

Indonesia, [2] sebelum menjadi suatu nation atau bangsa, adalah kepulauan yang dikuasai oleh suku-suku dan kerajaan-kerajaan, terpisah-pisah dan saling bermusuhan satu sama lain. Melalui integrasi hubungan ekonomi-politik kapitalisme, perasaan ketertindasan dan perkembangan kebudayaan yang sama (khususnya sastra), menjadikan penduduk di Nusantara ini menjadi suatu bangsa. Bangsa yang secara obyektif memiliki syarat untuk besar, tetapi pada kenyataannya masih menjadi bangsa koeli.
Faktor paling mendasar yang menyebabkan bangsa ini masih menjadi bangsa koeli adalah rendahnya tenaga produktif. Tenaga produktif adalah penggabungan sumber daya manusia yang berkapasitas/cakap dalam menghasilkan barang-barang materiil (tenaga kerja) dan alat-alat produksi. Tenaga produktif merupakan basis penting untuk produksi dan produktivitas. Tinggi rendahnya kualitas tenaga produktif suatu masyarakat akan menentukan tingkat produktivitas, kuantitas serta kualitas hasil produksinya. Menurut Marx, tenaga produktif (forces of production) bisa merubah atau menggerakkan revolusi. Hal itu karena kemajuan tenaga produktif yang ada tidak bisa ditampung lagi dalam hubungan produksi lama, sehingga bisa mengakselerasikan perubahan menuju hubungan produksi yang baru.

Mulanya, tenaga produktif masyarakat di Nusantara ini tinggi. Hal itu terjadi pada masa kekuasaan Majapahit (1350-1389). Tidak heran mengapa Majapahit bisa membuat kapal-kapal besar (jung-jung[3]) yang dapat mengarungi samudera dan menguasai Nusantara hingga ke Selat Malaka; membuat “cetbang-cetbang”[4]; dan ketika itu, tinggi tubuh penduduk Nusantara ini berkisar 170-an cm—lebih tinggi dari prajurit Jepang pada tahun 1940-an. Ini mencerminkan tingkat kemakmuran yang tinggi dari masyarakat Majapahit. Tetapi di masa ini, Nusantara belumlah menjadi sebuah bangsa. Nusantara masih dikuasai oleh feodalisme Majapahit. Meski dikuasai oleh Majapahit akan tetapi penduduk di daerah kekuasaan Majapahit tidak menggunakan bahasa yang sama dan memiliki kebudayaan bersama. Daerah-daerah kekuasaan Majapahit merupakan daerah-daerah taklukan bukan daerah-daerah yang bersatu karena kesamaan psikologis. Oleh karena itu, pertautan antara kelahiran bangsa Indonesia dengan Majapahit adalah pertautan yang tidak memiliki hubungan sama sekali.

Kemakmuran yang dihasilkan melalui konsentrasi produksi di tangan pemilik alat produksi (raja dan bangsawan Majapahit) itu ternyata tidak bertahan lama. Hubungan produksi[5] feodalisme[6] semasa Majapahit membusuk karena korupsi serta perpecahan,[7] dan berakhir dengan kehancuran Majapahit. Hubungan produksinya tidak bertransformasi menjadi hubungan produksi yang lebih lanjut (kapitalisme), melainkan tetap dalam corak produksi yang sama, yakni feodalisme. Perbedaannya terletak pada alat produksi, sasaran produksi, dan tenaga produksi yang terpecah-pecah (fragmentatif).

Setelah Majapahit runtuh, muncul banyak kerajaan dengan luas kekuasaan yang kecil,[8] bahkan terjadi pemecahan-pemecahan kekuasaan, seperti pembagian kekuasaan Mataram melalui perjanjian Giyanti[9] (1755), atau pemberian tanah oleh kerajaan kepada saudagar, syahbandar atau ulama, yang sering disebut sebagai tanah perdikan (Mangir) dan yang mengakibatkan pemecahan penguasaan tanah, bahkan sampai pendirian kerajaan baru (contohnya kesultanan Banten).

Selain itu, pola hak waris juga berpengaruh dalam pembagian tanah. Pola semacam ini dikenal sebagai penyakap (sikep-sikep/tenancy). Akibat struktur penguasaan tanah semacam ini adalah tidak adanya konsentrasi produksi, sehingga tenaga produktif tidak berkembang; akumulasi produksi pun tidak melimpah. Dari struktur semacam ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada tuan tanah (dalam arti definitif) yang mampu bertransformasi menjadi borjuis seperti halnya di Eropa. Konsekuensinya, sangat sulit terjadi revolusi borjuis untuk menggantikan kekuasaan feodal di Nusantara, karena memang secara tenaga produktif, kaum borjuisnya lemah.

Tenaga produktif dalam corak produksi yang lebih maju mulai dibangun oleh kapitalisme (primitif) Belanda, yang mencangkok kapitalisme di Hindia Belanda melalui kebijakan tanam paksa[10] (cultuurstelsel) pada tahun 1830-1870, pembangunan jalan[11] dan jalan kereta api[12] serta jaringan komunikasi,[13] pembukaan perkebunan-perkebunan dan pembukaan sekolah-sekolah (dalam rangka mengembangkan tenaga produktif penduduk negeri ini yang sangat rendah).

Akumulasi produksi yang didapatkan tidak juga mengembangkan tenaga produktif sepenuhnya, karena akumulasi produksi dibawa ke pasar Eropa dan diperuntukkan bagi borjuasi Belanda dan Eropa yang menanamkan modalnya di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Hubungan produksi yang menindas ini menghambat perkembangan tenaga produktif. Memang, tenaga produktif ikut dikembangkan oleh kolonialisme Belanda, melalui pendidikan dan pelatihan ataupun yang lainnya, akan tetapi akumulasi kapital yang berada di tangan kolonial Belanda menghambat kemajuan tenaga produktif di Hindia Belanda (negeri jajahan).

Masuknya kapitalisme Belanda tidak lantas menghancurkan struktur dan kebudayaan feodalisme, bahkan di tahap awal, kekuasaan politik kerajaan dipakai untuk melegitimasi kekuasaan kolonial Belanda. Sedikit demi sedikit kewibawaan kaum feodal dilucuti dalam makna ekonomi[14] dan dibatasi secara politik (bahkan pemerintahan Belanda dapat ikut campur dalam suksesi kekuasaan di kerajaan Mataram), tapi digunakan secara kultural untuk melegitimasi ekspansi modal mereka. Inilah yang membuat sisa-sisa feodalisme tidak hancur, melainkan terus bercokol hingga saat ini dalam lapangan kebudayaan. Inilah salah satu hambatan masyarakat Indonesia dalam lapangan kebudayaan, yaitu sisa-sisa feodalisme, yang dalam hubungan produksi memiliki pengaruh terhadap pengembangan tenaga produktif.

Yang utama dari sejarah bangsa Indonesia adalah rendahnya tenaga produktif, yang ternyata tetap tidak berkembang meski telah diupayakan oleh kapitalisme Belanda melalui politik etis, mobilisasi tenaga kerja dan alat kerja, untuk membangun basis industri kapitalisme. Akibatnya, kapitalisme Indonesia adalah kapitalisme yang cacat. Kapitalisme dengan tenaga produktif yang rendah dan dengan kaum borjuisnya yang lemah, yang rendah kapasitas kapitalisnya, serta berwatak calo (komprador).
Kaum borjuis “pribumi” merupakan transformasi dari para priyayi yang mulai terlibat dalam perdagangan dan menjual tanahnya (yang sedikit itu) sebagai modal (yang kecil pula) untuk membangun pabrik gula—seperti yang dilakukan oleh para sinyo Belanda—serta pabrik kain (batik), dan bukan membangun industri dasar yang kuat, seperti halnya yang dilakukan Inggris di India dengan membangun industri baja dan besi. Sehingga basis industri apapun bisa disiapkan sebab teknologinya bisa dikembangkan, bukannya diimpor.

Dengan kapasitas semacam ini, borjuis Indonesia tidak akan mampu mengembangkan tenaga produktif, akan terus bergantung kepada modal asing, dan rendah iman demokrasinya—padahal demokrasi menjadi salah satu kepentingan kaum borjuis untuk melapangkan ekspansi, eksploitasi dan akumulasi modal mereka. Maka, jangan heran apabila militerisme begitu kuat di negeri ini, padahal di negeri-negeri Eropa, militer berada sepenuhnya di bawah kendali kaum borjuis, digunakan sebagai alat kekerasan untuk mempertahankan keberlanjutan proses akumulasi kapital, baik terhadap rakyat yang melawan penghisapan itu ataupun terhadap serangan dari luar—dari kaum borjuis negeri lain yang hendak menguasai alat-alat produksi mereka.

Inilah yang membedakan proses kelahiran kapitalisme di Indonesia dengan di Eropa. Di Perancis, revolusi borjuis-demokratik merupakan hasil dari ketidaksanggupan hubungan produksi feodalisme dalam menampung perkembangan tenaga produktif yang semakin lama semakin maju, karena disyaratkan adanya konsentrasi produksi—meski di tangan kaum borjuis dan gilda-gilda.

Embrio bangsa Indonesia lahir dari integrasi hubungan ekonomi daerah-daerah jajahan Belanda, yang sebagian besar merupakan bagian dari kekuasaan Majapahit, yang karena keruntuhannya menjadi terpecah-pecah. Integrasi hubungan ekonomi ini tidak lantas secara langsung melahirkan bangsa Indonesia. Integrasi hubungan ekonomi memberikan syarat-syaratnya, akan tetapi yang utama adalah proses dinamis dari penduduk Hindia Belanda dalam mengembangkan kesadarannya, kebudayaannya, bahasanya, organisasinya maupun pergerakannya. Itulah faktor yang utama.

Antagonisme antara bangsa Belanda dan penduduk negeri ini dalam hubungan ekonomi yang menindas melahirkan suatu kesamaan psikologis, perasaan senasib sebagai orang-orang yang dijajah Belanda. Perasaan ini semakin berkembang dengan kenyataan adanya ketimpangan kesejahteraan, kehidupan sosial, akses pendidikan, pekerjaan, informasi dan komunikasi, ketidaksamaan di mata hukum, ketidaksetaraan dalam kekuasaan antara kaum pribumi dengan sinyo-sinyo Belanda dan keturunannya, ini semua menjadi basis dari perlawanan yang ada. Karakter perlawanan ini berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, yang kepentingannya adalah mempertahankan tanahnya dalam posisi mereka sebagai kaum feodal. Bukan dalam watak yang lebih maju, yaitu watak anti-penindasan kolonial sebagai sebuah bangsa. Penduduk pribumi negeri ini terbangun kesamaan psikologisnya, yakni anti-penindasan kolonial.

Proses menjadi bangsa ini semakin maju seiring dengan kebutuhan kapitalisme untuk mengembangkan tenaga produktif melalui politik etis. Politik etis yang dijalankan Belanda dan ditujukan untuk meningkatkan kualitas tenaga produktif negeri ini justru melahirkan “senjata” yang siap menikam kapitalisme Belanda—suatu pedang bermata dua—yakni kaum terpelajar atau terdidik, koran dan organisasi massa. Pada tahun 1908, lahir suatu organisasi radikal dengan jumlah keanggotaan 1200 orang, yaitu Budi Utomo. Kemudian pada tahun 1911, Serikat Islam, yang sebelumnya bernama Serikat Dagang Islam, lahir dan berkembang menjadi organisasi massa terbesar dengan skala nasional. Dari organisasi gerakan inilah, karakter nasional berdasarkan kesamaan teritori dan perasaaan senasib berkembang dengan tujuan yang semakin meruncing, yaitu kemerdekaan. Melalui organisasi, perjuangan kemeredekaan, koran sebagai media komunikasi dan informasi, bahasa berkembang baik secara lisan melalui berbagai pendiskusian ataupun melalui tulisan dengan berbagai artikel, sikap politik, pamflet, slogan yang menghantarkan bahasa Indonesia menjadi berkembang, melalui politik dan seiring dalam perjuangan kemerdekaan, perjuangan membebaskan negeri ini keluar dari penjajahan Belanda. Produk-produk kebudayaan lahir dengan berbagai bentuk, dengan artikel ataupun karya sastra, yang disebarluaskan melalui “bacaan liar” maupun “sekolah liar,” misalnya karya Tirtoadhisoerjo, yang memperlihatkan kenyataan masyarakat Hindia Belanda, seperti “Peladjaran Boeat Perempoean Boemipoetera” yang dimuat di Soenda Berita pada tahun 1904, “Kekedjaman di Banten” yang dimuat di MP tahun 1909, Tjerita Njai Ratna yang terbit tahun 1909. R. M. Tirtoadhisoerjo, sebagai seorang pelopor pergerakan nasional yang memproduksi bacaan-bacaan fiksi dan non-fiksi, telah mendorong beberapa tokoh pergerakan untuk melakukan hal yang sama, seperti Mas Marco Kartodikromo (Mata Gelap, Student Hidjo), Soewardi Soerjaningrat (“Seandainya saya Seorang Belanda”), Tjipto Mangoenkoesoemo, Semaoen (Hikajat Kadiroen), Darsono (“Moeis telah mendjadi Boedak Setan Oeang,” “Pengadilan Panah Beratjun”) dan lainnya. Selain itu, produk kebudayaan yang berangkat dari kondisi yang riil juga dilakukan dengan lukisan, seperti yang dilakukan oleh Sudjojono, yang mempelopori lahirnya Persatuan Ahli Gambar Indonesia. Bagi Sudjojono, seniman tidak hanya melukis gubuk yang indah, pegunungan dan gambar-gambar romantis tetapi juga melukis pabrik gula dan petani yang kurus, motor-motor orang kaya dan celana panjang pemuda miskin. Sudjojono lah yang mempelopori seni lukis modern dengan jenis realisme sosialis. Dari praktek ini, dapat kita pahami bahwa kebudayaan nasional berkembang dari kebudayaan rakyat. Kebudayaan ini lahir dan berkembang karena adanya antagonisme kelas, ia meluas dan meninggi karena diintegrasikan dengan perjuangan politik, perjuangan kemerdekaan.

Organisasi, koran, buku, rapat akbar, diskusi-diskusi, puisi, nyanyian, dan lukisan sebagai produk kebudayaan modern, yang kesemuanya ditempatkan dalam arah perjuangan kemerdekaan, ditambah dengan perdagangan dan bentuk-bentuk hubungan ekonomi lainnya dari penduduk negeri ini, merupakan syarat-syarat negeri ini untuk menjadi sebuah bangsa. Suatu faktor yang mulanya dilarang oleh kolonialisme Belanda karena membahayakan cengkeraman kapitalisme Belanda di negeri ini. Di tahun 1928, telah lahir suatu bangsa, bangsa Indonesia. Bangsa yang proses kelahirannya dipicu oleh integrasi ekonomi-politik dalam sistem kapitalisme Belanda, akan tetapi dihambat oleh Belanda. Meskipun demikian, bangsa ini terus berproses melalui organisasi dan pergulatan kemerdekaan oleh rakyatnya sendiri.

Proses pembangunan bangsa ini tidak lantas selesai. Ia terus berproses. Bahkan setelah kemerdekaan (dalam pengertian politik) dicapai pada 17 Agustus 1945. Proses membangun bangsa ini terus bergulat untuk melahirkan karakter dan kebudayaan Indonesia, yang terbebas sepenuh-penuhnya dari bangsa lain yang menindasnya. Proses ini tidak hanya dihambat oleh intervensi-intervensi dari luar, baik Sekutu ataupun Belanda, tetapi juga oleh kepengecutan kaum borjuis “pribumi.” Misalnya, dalam Revolusi Sosial di Tiga Daerah yang bertujuan untuk memukul sisa-sisa kekuatan lama, yang pada masa pra-kemerdekaan ikut menyokong kekuasaan Belanda, pemerintah ataupun PKI menyalahkan aksi radikal tersebut. Selain itu, dalam soal persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB), yang delegasinya dipimpin oleh Mohammad Hatta, Belanda kembali memiliki kekuasaan secara ekonomi melalui kesepakatan dikembalikannya perusahaan, perkebunan, pertambangan dan industri vital lainnya kepada Belanda; kewajiban pemerintah Indonesia untuk membayar utang semasa perang sebesar US$40 miliar, serta pemecahbelahan kekuatan nasional dengan disetujuinya konsep Republik Indonesia Serikat (RIS). Proses pergulatan ini terus berlangsung, antara kelompok yang menghendaki kemandirian nasional sebagai pijakan politik-ekonominya dengan kelompok yang menghendaki kompromi dengan tekanan dan modal asing (Belanda, Inggris dan Amerika), hingga terjadilah tragedi besar 1965 yang memukul mundur gerakan kiri dan proses pembangunan sebuah bangsa yang besar, mandiri dan berdaulat.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa bangsa Indonesia, yang komposisinya terdiri dari borjuis, borjuis kecil, kaum miskin (semi proletariat perkotaan/pedesaan dan proletariat), memiliki persoalan mendasar yang menyebabkannya menjadi bangsa koeli, yakni rendahnya tenaga produktif. Rendahnya tenaga produktif inilah yang menjadi faktor fundamental dari kapitalisme yang cacat, borjuisnya yang komprador dan masih bercokolnya sisa-sisa feodalisme serta kuatnya militerisme di negeri ini. Sementara kebudayaannya terus berayun antara kebudayaan rakyat yang ditopang oleh pergerakan rakyat dengan kebudayaan sisa feodalisme dan kebudayaan borjuis yang komprador.

Berangkat dari persoalan tersebut, pertanyaannya adalah apakah ada syarat-syarat nasionalisme yang kuat di negeri ini pada saat ini dan untuk ke depannya? Apakah bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang besar? Lalu apa syarat-syaratnya? Sebelum membahas ini, ada faktor lain yang mempengaruhi proses pembangunan bangsa Indonesia, yakni faktor eksternal.

Penghancuran Basis Kebudayaan Nasional: Kebudayaan Rakyat

Tahun 1965 merupakan pintu masuk modal asing ke Indonesia. Negeri ini dimasuki oleh modal barat melalui UU PMA 1967 dan UU PMDN 1967. Pembangunanisme (developmentalism) mulai dijalankan dengan mengandalkan investasi asing dan pinjaman luar negeri[16] serta stabilisasi politik melalui Dwi Fungsi ABRI. Hasilnya, lapangan kerja terbuka dan angkatan kerja yang dapat terlibat dalam proses produksi meningkat. Produksi andalannya adalah tekstil, beras, kayu, dll. Akan tetapi, industri ini sejatinya rapuh, karena industri dasar (besi, baja), industri berat (mesin-mesin untuk produksi tekstil) dan industri ringannya (industri konsumsi) sedari awal tidak dibangun.

Tahun 1965 juga merupakan titik mundur proses pembangunan bangsa. Orde Baru menempatkan proses pembangunan bangsa pada moncong senjata, bukan lagi pada politik dan kebudayaan melalui diskusi, koran, organisasi, rapat akbar ataupun segala aktivitas yang membangun kesadaran sebagai sebuah bangsa yang satu, melainkan dipaksakan demi stabilitas ekspansi dan eksploitasi modal asing di negeri ini. Kebudayaan bersama tidak lahir dari praktek kebersamaan yang panjang dan dinamis melainkan dari pemaksaan budaya Jawa yang terlihat dari pakaian, sopan santun dan tata bahasa, yang semuanya kental dengan budaya feodalisme Jawa. Orde Baru menghambat kemajuan pembangunan bangsa, terutama terlihat dari kebijakan membubarkan organisasi-organisasi politik, membunuh dan memenjarakan pada pendukung Soekarno tanpa proses peradilan, membakar buku-buku dan memutarbalikkan fakta sejarah. Akibatnya, pengetahuan masyarakat akan bahasa menjadi kurang berkembang. Bahasa hanya berkembang di kalangan intelektual yang mendapatkan kesempatan pendidikan, sedangkan mayoritas kaum miskin yang dibatasi kesempatannya untuk berorganisasi menjadi kurang mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan bahasanya. Kebudayaan bersama menjadi terhambat perkembangannya, karena aktivitas bersama dalam organisasi dan kehidupan politik, yang sebelumnya memicu perkembangan kebudayaan, menjadi terhambat pada masa kekuasaan Orde Baru yang despotik itu. Bahasa dan kebudayaan hanya berkembang di ranah pendidikan dan kalangan kelas menengah, yang tentu saja dibatasi tema politiknya. Karya sastra maupun bentuk-bentuk seni yang sarat dengan muatan realis dilarang dan dianggap berbahaya secara politik, padahal tema-tema semacam itulah yang mengembangkan kebudayaan, dengan berangkat dari kenyataan yang ada.

Masa kekuasaan Orde Baru memperlihatkan adanya kemunduran dalam proses membangun bangsa. Karakter kebangsaan dipaksakan dengan cara-cara yang militeristik. Terlebih di daerah-daerah yang kaya dengan bahan tambang, seperti Aceh dan Papua. Untuk mengamankan pengeksploitasian alam oleh korporasi internasional dan pendistribusian kekayaan yang timpang dan lebih banyak menguntungkan pemerintah pusat serta korporasi internasional, dilakukan cara-cara kekerasan. Kebijakan dan tindakan semacam ini melunturkan identitas kebangsaan yang sebelumnya dibangun pada masa Soekarno. Perasaan yang sama sebagai bangsa yang ditindas oleh bangsa penjajah, kemudian memudar dan melahirkan perasaan baru, yakni perasaan ditindas oleh pemerintah Orde Baru, sebagian lagi menganggap ditindas oleh “bangsa Jawa”—karena dianggap pemerintahannya adalah orang-orang Jawa.

Selain itu, kekuasaan Orde Baru menghancurkan budaya mandiri dan berdikari yang sebelumnya dibangun dengan kuat oleh Soekarno, dengan gerakan kiri. Melalui kebijakan mengemis pada badan keuangan internasional, pemerintah Orde Baru meninabobokkan rakyat dengan subsidi sosial yang tinggi tetapi rapuh fondasi ekonominya. Akibatnya, rakyat dihancurkan kebudayaan majunya yang dulu, yakni budaya kemandirian secara politik dan ekonomi. Kebudayaan rakyat dan budaya pembebasan yang hegemonik pada masa kekuasaan Soekarno selanjutnya dihancurkan seiring dengan pembubaran dan penangkapan kelompok Soekarnois dan PKI. Akibatnya, kebudayaan rakyat menjadi tumpul, bahkan lumpuh, dan kebudayaan yang berkembang adalah kebudayaan borjuis, dengan karya-karyanya yang abstrak dan idealis—yang sebelumnya dipelopori oleh kelompok Manikebu (Manifesto Kebudayaan) dan banyak disokong oleh tentara. Selanjutnya, kebudayaan yang berkembang adalah kebudayaan borjuis dan sisa-sisa feodalisme, yang mempengaruhi kesadaran massa, terlebih dengan adanya politik massa mengambang. Politik dan kebudayaan semacam ini berhasil melumpuhkan kapasitas perjuangan rakyat untuk bangkit dan mendominasi kebudayaan nasional.

Neoliberalisme dan Identitas Nasional

Pada saat kapitalisme mengalami krisis akibat overproduksi, yang dimulai dari Meksiko selanjutnya merembet ke Asia, Eropa dan Amerika, pemerintah menelan mentah-mentah obat krisis yang ditawarkan oleh badan-badan keuangan internasional melalui kebijakan neoliberal dengan utang sebagai medianya dan penandatanganan Letter of Intent (LOI) sebagai “ketok palunya.” Neoliberalisme dijabarkan melalui kebijakan penghapusan subsidi sosial, privatisasi aset negara, deregulasi dan pasar bebas.
Di seluruh dunia, kebijakan neoliberal telah dipaksakan oleh lembaga-lembaga finansial yang memiliki kekuasaan besar, seperti Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), Bank Dunia (World Bank/WB), Bank Pembangunan Antar Amerika (Inter-American Development Bank) dan WTO (World Trade Organization), kepada pemerintah negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Karena borjuis “pribumi” itu lemah, rendah tenaga produktifnya dan berwatak calo, maka mereka menjalankan kebijakan-kebijakan neoliberal secara serius. Bahkan mereka menjadi agen neoliberalisme dengan membenar-benarkan jalannya kebijakan tersebut secara gamblang dan ikut memenangkan kebijakan itu menjadi undang-undang (UU Investasi 2007, UU Privatisasi, UU Sumber Daya Air) dan berbagai peraturan pemerintah lainnya.
Apa akibatnya?

Sejak kebijakan neoliberal disahkan melalui penandatanganan Letter of Intent di akhir masa pemerintahan Soeharto dan kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan berikutnya, anggaran negara tidak lagi diprioritaskan untuk pembangunan sumber daya manusia dan pelayanan sosial. Anggaran negara lebih banyak diprioritaskan untuk membayar utang luar negeri selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru dan utang masa perang sebesar US$40 miliar (Baswir, 2006) kepada Belanda, yang ditetapkan oleh KMB (Konferensi Meja Bundar) dan disetujui Orde Baru.

Hasilnya, subsidi sosial (subsidi pendidikan, kesehatan, BBM murah, listrik murah, dll.) dikurangi, sehingga tanggung jawab sosial negara diletakkan pada pundak individu. Rendahnya subsidi untuk pendidikan dan kesehatan tercermin dari alokasi anggaran tahun 2006 untuk kesehatan sebesar Rp9,9 triliun (0,4% dari PDB) dan pendidikan sebesar Rp 30,8 triliun (1,4% dari PDB). Bandingkan dengan anggaran pendidikan anjuran UNESCO sebesar minimal 2% dan anggaran pendidikan di Kuba sebesar 8%.

Pengeluaran jauh lebih besar untuk pembayaran bunga utang, yakni sebesar Rp76,629 triliun (2,5% dari PDB tahun 2006), dan cicilan utang pokoknya sebesar 2,1% dari PDB di tahun yang sama. Bangladesh saja, biaya peningkatan pelatihan dan peningkatan sumber daya manusianya di atas US$1 per kapita; sedangkan Indonesia di bawah US$1. Bagaimana mungkin ada industrialisasi nasional apabila program peningkatan tenaga produktifnya rendah?

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diprivatisasi, dengan pembenaran agar lebih efisien dan produktif. Pada kenyataannya, aset-aset negara tersebut dijual kepada asing; sekaligus kuasa pengelolaannya. Anggaran negara semakin tipis karena modal lari ke luar negeri (capital flight). Kalaupun tersisa, dana (lebih banyak) dipakai untuk belanja militer atau belanja pejabat. Sebagai contoh, dalam APBN tahun 2006, belanja pemerintah pusat untuk fungsi pertahanan dan ketertiban keamanan sebesar 1,7% dari PDB.

Pasar bebas ternyata tidak membawa keadilan dalam perdagangan (fair trade). Produk-produk tekstil asing, yang masuk dengan harga lebih murah dan kualitas lebih baik—karena tenaga produktifnya lebih tinggi dan modalnya lebih besar—menghancurkan pasar dalam negeri dan membuat industri tekstil dalam negeri yang dikuasai oleh borjuasi “pribumi” dan borjuasi Tionghoa hancur. Ratusan ribu bahkan jutaan buruh perusahaan tekstil, produk tekstil dan sepatu di-PHK massal karena tutupnya perusahaan-perusahaan tersebut. Semuanya disebabkan tidak hanya karena rendahnya tenaga produktif, tetapi juga karena biaya produksi meningkat seiring dengan meningkatnya biaya energi (Tarif Dasar Listrik, BBM). Di sektor pertanian dan peternakan, liberalisasi produk pertanian dan peternakan, yang membawa apel, tembakau, beras, ayam dan daging dari luar negeri, menghancurkan produksi dalam negeri; membuat para petani tak mau lagi bertani, sehingga kemudian menjual tanahnya—yang sempit itu—dan menjadi pekerja kasar di perkotaan ataupun buruh migran.
Akibat ini semua, tingkat pengangguran meningkat pesat sementara daya beli masyarakat tak kunjung meningkat. Pada tahun 2007, angka pengangguran terbuka diperkirakan bertambah 12,6 juta jiwa. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin diperkirakan mencapai 45,7 juta jiwa.[17] Kalaupun ada buruh pabrik yang mendapatkan pesangon karena di-PHK dan kemudian menjadi pedagang kaki lima, nasibnya berada di ujung sepatu Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) pemerintah daerah, yang menggusur mata pencaharian mereka.

Dampak kebijakan neoliberal yang paling mencolok ada dalam data kesehatan pada Laporan Dana Perserikatan Bangsa-bangsa Untuk Anak (UNICEF). Dilaporkan di situ bahwa dari 23,5 juta balita di Indonesia, 8,3 persen di antaranya menderita gizi buruk. Sekitar 400.000 bayi yang lahir setiap tahun menderita gangguan intelektual karena kekurangan iodium selama kehamilan. Dan sekitar 14.000 anak per tahun rentan terhadap infeksi karena kekurangan vitamin A.

Inilah kebijakan neoliberal, yang katanya hendak memberikan “tetesan” kesejahteraan dari si kaya kepada kaum papa, tapi kenyataannya malah sebaliknya. Neoliberalisme tidak membangun tenaga produktif bangsa Indonesia. Sebaliknya, tenaga produktif semakin dilemahkan dan dilumpuhkan. Konsentrasi produksi tidak di tangan negara, melainkan di tangan korporasi internasional; akumulasi kapital tidak diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan, karena akumulasi kapital tidak berada di tangan negara (yang pro rakyat), tetapi di tangan korporasi internasional.

Internasionalisasi modal pada kenyataannya tidak diikuti oleh internasionalisasi kepemilikan modal. Sebaliknya, kepemilikan modal dengan cepat terkonsentrasi di tangan korporasi internasional (monopoli) yang memiliki modal besar, teknologi tinggi dan buruh yang sangat terampil. Internasionalisasi modal telah menghempaskan kaum miskin Indonesia semakin dalam pada jurang kemiskinan. Begitu pula halnya dengan borjuis nasional, yang terdiri dari borjuis “pribumi”, borjuis Tionghoa, borjuis keturunan India dan Arab serta sisa-sisa borjuis bersenjata, yang tidak kuasa menahan iklim “kompetitif” yang dibangun oleh sistem ekonomi neoliberal. Dengan modal kecil, teknologi yang sedang, manajemen yang kurang profesional, maka perusahaan-perusahaan mereka hancur, bangkrut dan diakhiri dengan pemecatan kaum buruh. Sebagai reaksi terhadap kekalahan ini, borjuis nasional kemudian mengangkat tinggi-tinggi bendera nasionalisme—sikap yang tidak pernah ditunjukkan sebelumnya ketika proyek ekonomi neoliberal dijalankan di negeri ini.

Keleluasaan penetrasi modal asing beserta eksploitasinya dilegalisasi dengan produk perundang-undangan (UU, PP, Perpres, Perda) untuk membenarkan proyek privatisasi, pasar bebas, pengurangan tanggung jawab sosial, yang intinya adalah pengurangan campur tangan negara dalam urusan ekonomi demi iklim yang “kompetitif”. Akibatnya, posisi negara tersubordinasi dalam skenario politik neoliberalisme. Sehingga kedaulatan sebagai suatu bangsa menjadi tiada. Lebih jauh lagi, Undang-Undang Otonomi Daerah dengan dekonsentrasi dan desentralisasi, membuat kesadaran sebagai bagian dari bangsa Indonesia menjadi luntur. Kesadaran yang berkembang bukan kesadaran sebagai sebuah nation, melainkan provinsialisme ataupun sukuisme. Identitas nasional seseorang hanya digunakan ketika ia keluar dari wilayah Indonesia, tetapi ketika di dalam negeri, identitas yang digunakan adalah identitas daerahnya ataupun sukunya. Desentralisasi ini juga berakibat pada terhambatnya solidaritas sebagai suatu bangsa. Suatu daerah yang memiliki sumber daya yang lebih banyak akan mementingkan daerahnya sendiri, sehingga daerah dengan sumber daya yang lebih sedikit terpaksa mengandalkan kapasitas yang seadanya.

Proyek neoliberalisme yang berakibat pada kemiskinan justru memperluas perkembangan budaya konservatisme (fundamentalisme agama). Agen-agen budaya konservatisme menawarkan jalan keluar pragmatis melalui budaya yang sudah sangat usang dan berkembang ribuan tahun yang lalu. Adapun rakyat terilusi dengan jalan keluar dan budaya semacam itu, karena lemahnya gerakan rakyat sebagai tulang punggung untuk menyebarluaskan kebudayaan rakyat, kebudayaan pembebasan.

Penerapan neoliberalisme dan kemiskinan kebudayaan rakyat mengakibatkan kesenjangan kebudayaan (cultural gap). Hal itu terlihat dari fenomena di mana masyarakat mengkonsumsi berbagai produk tanpa mengerti fungsi esensial dari produk tersebut. Mereka menggunakan atau membeli produk tertentu karena adanya hegemoni budaya kapitalistik, yang mengakibatkan terjadinya konsumerisme. Hegemoni kebudayaan neoliberal ini melapangkan tujuan ekspansi dan eksploitasi modal mereka serta berkesempatan untuk terus meluas dan reproduktif. Selain karena banyaknya produsen budaya kapitalistik, media-media propaganda dan cara pengemasan budaya kapitalistik mempermudah budaya itu untuk meluas dan reproduktif.

Dalam hal ini, kebudayaan rakyat, yang merupakan landasan dari berkembangnya kebudayaan suatu bangsa, menjadi terhambat karena dominasi ideologi neoliberal. Masih bercokolnya sisa-sisa feodalisme dalam lapangan budaya dan dominasi budaya neoliberal membuat budaya nasional menjadi terhambat perkembangannya. Budaya nasional sering dianggap lebih rendah dibandingkan dengan budaya neoliberal, yang sering dianggap tinggi estetikanya, meski sering tanpa makna. Padahal proses tumbuh dan berkembangnya suatu bangsa disyaratkan oleh tumbuh berkembangnya kebudayaan bersama dalam waktu yang panjang, dan hal ini bersandar sepenuhnya pada budaya kerakyatan karena kaum borjuis sendiri lemah dalam karakter dan kebudayan, sehingga selalu mencomot budaya feodal dan kapitalistik tanpa memahami kepentingan esensialnya dalam membangun bangsa ini.

Nasionalisme yang Fiktif

Di atas sudah digambarkan bagaimana kaum borjuis nasional bereaksi terhadap penerapan ekonomi neoliberal dengan berlagak sok nasionalis. Beberapa kalangan memandang bahwa respon kaum borjuis berupa pembicaraan tentang soal-soal nasionalisme membuat mereka dapat menjadi sekutu bagi gerakan kiri untuk membangun aliansi anti-neoliberalisme. Mungkinkah ini? Sebelum menjawab pertanyaan itu, perlu dibahas apa pentingnya nasionalisme bagi kaum borjuis (dalam pengertian umum). Kaum borjuis merupakan satu golongan yang paling berkepentingan terhadap bangsa dan nasionalisme. Ini dikarenakan identitas nasional dalam pengertian teritorial, relasi ekonomi maupun budaya memberikan privilege (hak istimewa) kepada kaum borjuis untuk melakukan eksploitasi dan ekspansi modalnya dalam batas-batas teritorial negara tersebut dan terutama dalam berhadapan dengan kaum borjuis asing yang juga memiliki kepentingan untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia dari bangsa tersebut. Sehingga proteksi ekonomi, budaya dan politik yang dilegitimasi oleh nasionalisme, akan menyelamatkan akumulasi modal kaum borjuis “pribumi” dari terjangan modal kaum borjuis “asing.”

Bagi kaum borjuis, nasionalisme memberikan syarat ideologis untuk melapangkan tujuan tersebut, terutama dalam pengertian untuk lebih mendukung dan mendahulukan mereka (kaum borjuis) yang sebangsa dan setanah air, sehingga terjadi harmonisasi kelas dalam suatu bangsa, yang ditunjukkan dengan kecintaan mayoritas penduduk, yang terdiri dari proletariat, semi-proletariat dan borjuis kecil, kepada tanah airnya, pemerintahannya dan orang-orang sebangsanya, meskipun kaum borjuis nasional, tentara, ataupun alat-alat kekerasan negara lainnya ikut menindas mereka. Mereka harus tetap mencintainya meskipun proses penghisapan terus berlangsung.
Kaum proletariat dan kaum miskin lainnya tidak memiliki kepentingan terhadap nasionalisme, karena nasionalisme tidak memberikan keuntungan berupa peningkatan kesejahteraan dan pelenyapan penindasan terhadap mereka. Di hadapan kaum borjuis manapun, apakah itu “pribumi” maupun “asing,” proletariat dan kaum miskin lainnya akan tetap tertindas, dengan upah murah, waktu kerja yang panjang, buruh kontrak, ancaman pemecatan, represi fisik dan pelecehan seksual di tempat kerja. Kaum proletariat dan kaum miskin di negeri manapun memiliki persoalan ketertindasan yang serupa. Oleh karena itu, proletariat dan kaum miskin memiliki musuh yang sama, yang pertentangannya tidak dapat di damaikan selama kelas-kelas masih ada, yakni kaum borjuis.

Lalu apakah kaum borjuis Indonesia memiliki karakter nasionalisme dalam pengertian di atas?

Kaum borjuis yang memiliki karakter “nation” adalah kaum borjuis yang tidak akan tunduk pada modal asing dan imperialisme, yang menghancurkan tenaga produktif di negerinya. Kaum borjuis dengan karakter seperti ini akan berupaya membendung eksploitasi modal asing sepenuhnya atau paling tidak berusaha “menjinakkannya” demi keuntungannya, karena mereka sadar bahwa imperialisme akan “memakan” mereka juga. Kaum borjuis semacam ini sudah pasti adalah kaum borjuis yang progresif dan mereka pada umumnya demokratik (dalam pengertian demokrasi borjuis). Sebab, borjuis progresif membutuhkan syarat berupa demokrasi demi pelipatgandaan keuntungan modalnya dan iklim kompetitif antara borjuis yang satu dengan yang lain.
Terdapat beberapa syarat agar kaum borjuis tertentu dapat dikategorikan sebagai borjuis progresif, antara lain:

a. Syarat Ekonomi (Modal, Tenaga Produktif dan Manajemen)

Dari sejarahnya, kaum borjuis Indonesia terdiri dari borjuis “pribumi” yang terlahir melalui kapitalisme cangkokan dan borjuis Tionghoa, India dan Arab, yang tumbuh dan berkembang dalam iklim kapitalisme cangkokan itu. Kaum borjuis semacam ini berkembang dengan modal yang kecil, alat-alat kerja yang tradisional dan tenaga kerja yang rendah kapasitasnya (tenaga produktif yang lemah), karena faktor-faktor historis yang mempengaruhinya, baik dari masa feodalisme yang alat, sasaran dan tenaga produktifnya fragmentatif, serta pengaruh atas kelahirannya oleh kapitalisme Belanda melalui perkebunan, industri gula serta tekstil, dan bukan melalui persiapan industri-industri dasar (baja, besi), industri berat dan industri konsumsi. Oleh karena itu, sedikit sekali borjuis nasional yang memiliki kemampuan manajemen produksi yang baik dan profesional. Sebab, manajemen produksi yang baik merupakan hasil dialektika dari bentuk kerja dan alat kerja yang rumit dalam suatu industri modern. Karena tidak dibangun secara kuat dan sistematis sedari awal, dari hulu hingga hilir, industri di negeri ini sangat bergantung dari bahan-bahan dasar dan teknologi dari luar negeri

Selain itu, borjuis nasional di negeri ini tidak berkembang dari kemampuannya melainkan dibantu oleh utang luar negeri pada masa Orde Baru. Itulah yang mengembangkan modal dan perusahaan mereka, yaitu alat-alat kerja, teknologi pendukung dan ahli-ahli yang diimpor dari luar. Sehingga, sebutan “macan Asia” bagi borjuasi negeri ini adalah pepesan kosong belaka, karena semuanya didapat dari pinjaman utang luar negeri yang selanjutnya dibebankan kepada rakyat Indonesia.
Selain itu, borjuis nasional adalah borjuis yang berkembang dengan jalur distribusi produk yang sempit, karena beratus-ratus tahun sejak masa merkantilisme Eropa hingga saat ini, jalur distribusi produk sudah dikuasai oleh borjuasi “asing,” yang berkembang dengan modal yang besar, tenaga produktif yang berkualitas, manajemen produksi yang profesional dan struktur industri yang lengkap (hilir-hulu).

b. Syarat Politik

Pengertian borjuis nasional progresif yang dipahami dalam terminologi kiri adalah individu atau kelompok yang dalam relasi produksinya menjadi pemilik kapital serta mendapatkan keuntungan dari akumulasi kapital, dan yang konsisten dalam menghancurkan sisa-sisa feodalisme, militerisme, birokratisme negara dan melapangkan demokrasi bagi kepentingan ekonomi-politik kelasnya. Sangat sedikit borjuasi semacam ini, misalnya, Gusdur—itupun hanya dalam pengertian demokratiknya, karena ia tetap saja tunduk pada kebijakan neoliberalisme. Mayoritas borjuasi nasional adalah borjuasi yang tidak pernah tegas melawan aktor-aktor anti-demokrasi, padahal demokrasi (bukan dalam pengertian demokrasi yang sejati) merupakan salah satu syarat dari liberalisasi ekonomi.

Selama ini, borjuasi yang ada tunduk pada modal internasional dan pelbagai kebijakan imperialisme. Misalnya, dalam persoalan UU Penanaman Modal, yang secara nyata menguntungkan korporasi internasional dan merugikan rakyat, tidak satupun elit politik yang secara tegas dan nyata melakukan perlawanan terhadap kebijakan tersebut. Memang ada yang melakukan perlawanan secara minimum (statement, dsb.) akan tetapi politik tersebut hanya untuk popularitas menuju pemilu 2009 saja.

c. Syarat Kebudayaan

Menurut Leon Trostky (“Apa Itu Budaya Proletar, dan Mungkinkah Ada?”): “Setiap kelas yang berkuasa menciptakan budayanya sendiri, dan karenanya, juga menciptakan seni mereka sendiri.” Kemudian Trotsky menjelaskan

“Pembangunan kebudayaan borjuis dimulai beberapa abad sebelum mereka menggenggam kekuasaan negara melalui serangkaian revolusi. Bahkan ketika borjuis masih menjadi warga negara kelas tiga, yang hampir tidak ada hak-haknya, mereka memainkan bagian yang besar dan terus tumbuh dalam semua lapangan budaya”

Budaya borjuasi nasional negeri ini merupakan campuran dari budaya feodal para priyayi yang masih terlihat dalam seni, tata upacara dan bahasa serta adopsi budaya liberal yang mempertontonkan kebebasan, konsumerisme, elitisme. Keduanya sesungguhnya saling bertentangan, tetapi masih bercokol dalam kesadaran dan kebudayaan kaum borjuis. Inilah gambaran budaya tanggung kelas penguasa di negeri kita. Oleh karena itu, borjuasi nasional negeri ini tidak memiliki budayanya yang orisinil, yang merupakan hasil dari perkembangan historisnya. Tak dapat dipungkiri bahwa hal ini dikarenakan pengaruh kelahirannya yang cacat. Ilmu pengetahuan, seni dan penilaian terhadap karya seni, serta industri, lebih didominasi oleh budaya liberal yang bercampur baur dengan budaya feodalisme. Maka dari itu, kaum borjuasi di negeri ini rendah karakternya, tidak mandiri, miskin keberanian, anti-kontradiksi, tidak haus akan seni dan ilmu pengetahuan (cupet), tapi rakus akan kekayaan dan popularitas.

Berdasarkan pengertian dan syarat-syarat tersebut, tidak ada borjuis progresif di negeri ini. Nasionalisme yang didengung-dengungkan dengan sok ikut-ikutan berteriak tentang nasionalisasi, kedaulatan nasional dan bebas dari intervensi hanyalah FIKTIF belaka, karena kaum borjuisnya—sebagai kelas yang paling berkepentingan terhadap nasionalisme—tidak memiliki syarat ekonomi, politik dan kebudayaan. Misalnya, apabila mereka mampu melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan asing—suatu permisalan yang mustahil—maka mereka akan sulit mengembangkannya, karena lemahnya tenaga produktif serta rendahnya manajemen, dan apabila diembargo oleh imperialisme, maka mereka akan kembali tunduk pada korporasi internasional.

Dalam pengertian di atas pula, membangun suatu nasionalisme yang demokratis bersama kaum borjuis adalah suatu kekeliruan. Sebab, hanya sedikit borjuis yang demokrat dan memiliki karakter progresif serta sungguh-sungguh nasionalis.

Oleh karena itu, persekutuan anti-neoliberalisme dengan borjuasi nasional (sisa Orde Baru, reformis gadungan) adalah suatu persekutuan yang fiktif. Dalam hal ini, Lenin menekankan perlunya “…analisa yang tepat terhadap kepentingan-kepentingan kelas yang beragam, yang dipertemukan dengan tujuan-tujuan bersama yang jelas dan terbatas.”[18] Dan jelas bahwa kepentingan kelas borjuasi nasional bukanlah melawan neoliberalisme, melainkan menjadi agen atau calo (komprador) dari kapitalisme internasional.

Pembebasan Nasional Sebagai Basis Revolusi Sosialis

Lalu apa jalan keluar bagi rakyat Indonesia?

Jalan keluar bagi rakyat Indonesia adalah pembebasan nasional (national liberation). Pembebasan nasional dalam arti terbebaskannya suatu bangsa dari dominasi penindasan modal imperialisme. Tugas pembebasan nasional ini tidak dapat diletakkan pada kaum borjuis, karena arti pembebasan nasional jauh berbeda dari nasionalisme. Pembebasan nasional membebaskan suatu bangsa dari penindasan modal imperialisme, tetapi tidak kemudian menindas bangsa-bangsa lain. Justru dengan terbebaskannya suatu bangsa dari cengkraman imperialisme, maka akan memberikan kekuatan dan keyakinan kepada kaum proletariat dan kaum miskin lainnya di negeri-negeri imperialis untuk melawan kaum borjuisnya dan ini merupakan revolusi sosialis bagi kaum proletariat di negeri-negeri tersebut.

Sedangkan pembebasan nasional bagi rakyat Indonesia adalah penuntasan revolusi demokratik dari kediktatoran modal asing dalam ekonomi maupun politik. Mengapa pembebasan nasional merupakan revolusi demokratik? Karena bangsa Indonesia akan terlepas dari kediktatoran modal asing dan memiliki hak sebagai suatu bangsa untuk menentukan arah politik, ekonomi dan kebudayaannya. Dalam pembebasan nasional, kaum proletariat, semi-proletariat dan borjuis kecil progresif merupakan elemen-elemen kelas yang akan menggantikan kekuasaan agen diktator modal internasional (borjuis nasional) yang menjadi kepanjangan tangan imperialis, yang berkuasa atas ranah politik dan ekonomi negara dan bangsa ini. Untuk mencapai tujuan ini, proletariat dan kaum miskin lainnya harus berhadapan dengan agen-agen imperialisme (sisa-sisa Orde Baru, reformis gadungan, militer, milisi sipil reaksioner) yang membatasi partisipasi politik dan ekonomi mereka serta menumpulkan kekuatan rakyat melalui depolitisasi dan deideologisasi. Pembebasan nasional akan sepenuhnya tercapai apabila proletariat dan kaum miskin lainnya dapat menghancurkan dominasi modal imperialisme beserta agen-agennya (sisa Orba, reformis gadungan, militer, milisi sipil reaksioner). Dalam pengertian inilah, pembebasan nasional merupakan revolusi demokratik. Revolusi demokratik merupakan syarat bagi proletariat dan kaum miskin lainnya untuk mengembangkan kekuatannya (pengetahuan dan praktek) dalam bentuk organisasi dan partai politik, mobilisasi politik, partisipasi dalam membuat, mengontrol dan melaksanakan kebijakan—yang ditumpulkan dalam masa pemerintahan agen imperialis—, mengembangkan kebudayaannya melalui budaya kerakyatan, mengembangkan kapasitasnya sebagai tenaga produktif melalui peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, teknologi dan perumahan—yang tak mungkin dapat dilaksanakan saat pemerintahan agen imperialis berkuasa. Hanya dengan menghancurkan dominasi modal imperialis maka bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang besar, bukan lagi bangsa koeli. Dan melalui pembebasan nasional maka kaum proletariat negeri ini dapat menjalankan tugas sejarahnya, yaitu merebut alat-alat produksi yang masih dikuasai oleh tuan borjuis, mengembangkan kebudayaannya dan melaksanakan revolusi sosialis.
Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai pembebasan nasional sebagai basis menuju revolusi sosialis?

Syarat-syarat tersebut haruslah merupakan syarat yang memberikan kekuatan bagi kaum proletariat dan kaum miskin Indonesia (rakyat) untuk mencapai tujuannya, yaitu pembebasan nasional, antara lain:

(1). Gerakan. Sebagai kelompok yang paling sadar, gerakan kiri dalam perjuangan pembebasan nasional harus menunjukkan kepada rakyat siapa musuh-musuh pokok dan siapa sekutu rakyat Indonesia untuk keluar dari ketertindasannya sebagai bangsa koeli, bangsa yang terjajah. Gerakan kiri harus pula menunjukkan jalan keluar konkret bagi rakyat Indonesia, baik dalam bidang ekonomi, politik dan kebudayaan maupun dalam persoalan metode perjuangan, sehingga rakyat mengerti dan memiliki kesadaran untuk melawan. Massa yang sadar merupakan basis kekuatan untuk perjuangan dan perubahan. Tanpanya, perjuangan hanya menjadi sekedar kehendak segelintir orang yang sadar dan radikal, tetapi jauh dari kesadaran massa.
Untuk kepentingan mendekatkan kesadaran massa dengan kesadaran gerakan kiri, di mana kesadaran massa lebih banyak didominasi oleh ideologi borjuis, maka gerakan kiri harus mencapai hegemoni ideologis melalui “perang posisi” (war of position). “Perang posisi” dalam pengertian Gramsci (Prison Notebooks) adalah sebuah perjuangan yang panjang dan perlahan dalam melawan dominasi ideologi borjuis untuk mencapai tujuan hegemoni ideologis proletariat dan kaum miskin lainnya. Hegemoni ideologis ini merupakan sebuah syarat sosial agar proletariat dan kaum miskin lainnya dapat menjalankan tugas historisnya. Untuk mencapai hegemoni ideologis ini, alat-alat politik yang dapat menjalankan “perang posisi” harus bersatu (front persatuan), sehingga tujuan mencapai hegemoni ideologis atas masyarakat tercapai.
Dalam konteks Indonesia, front persatuan sebagai alat politik merupakan wadah bagi segala kekuatan anti-neoliberalisme atau kekuatan yang memiliki cita-cita pembebasan nasional untuk bersatu dan mengorganisasikan posisi ideologisnya berhadapan dengan posisi ideologis kaum borjuis dan agen imperialis lainnya. Dalam pengertian ini, front persatuan memiliki posisi ideologis untuk menunjukkan kepada rakyat yang masih terjebak dalam kesadaran palsunya (false consciousness). Untuk menjalankan ini, front persatuan harus menunjukkan karakter ideologisnya dalam prinsip-prinsip politik, agar rakyat dapat melihat, memahami dan mengikuti prinsip-prinsip politik tersebut sebagai prinsip perjuangannya. Salah satu prinsip politik tersebut adalah kemandirian. Tanpa prinsip politik ini, gerakan dan rakyat akan gamang menilai siapa kawan dan lawan, sehingga mudah tersubordinasi dalam kepentingan ideologis kelas penguasa. Tidak hanya itu, hambatan-hambatan perkembangan gerakan, yang terlihat dari fragmentasi, sektarianisme dan terkooptasinya gerakan, akan merintangi “perang posisi” untuk mencapai hegemoni ideologis kelas tertindas. Maka dari itu, prinsip politik tersebut harus ditunjukkan dalam metode politik yang mendukung tercapainya hegemoni ideologis kelas tertindas. Metode politik tersebut adalah persatuan mobilisasi atau penyatuan perjuangan. Persatuan mobilisasi atau penyatuan perjuangan ini tidak sekedar penyatuan serangan dengan program, metode, alat, waktu dan sasaran yang sama, tetapi yang terpenting adalah penyatuan pengorganisasian perjuangan rakyat, mulai dari proses penyadaran, advokasi, pewadahan atau penstrukturan hingga serangan. Karena dengan partisipasi demokratik, setiap individu yang sadar dalam penyatuan perjuangan merupakan basis bagi terbangunnya kesadaran politik yang tinggi sebagai syarat untuk mewujudkan serta mempertahankan cita-cita perjuangan. Melalui penyatuan perjuangan, rakyat dapat melipatgandakan kekuatannya, tuntutannya, keberanian perlawanannya dan kualitas perjuangannya, sehingga tuntutan mendesak dan strategis dapat terwujud. Mobilisasi perlawanan dengan penyatuan perjuangan harus dirancang secara terorganisir dan sistematis agar setiap orang yang terlibat dalam persatuan mobilisasi itu menyadari landasan dan konsekuensi dari mobilisasi (aksi) perlawanan tersebut.

Selanjutnya, front persatuan sebagai instrumen hegemoni ideologis kelas tertindas harus melakukan “perang posisinya” dalam superstruktur ideologis masyarakat (kebudayaan). Karena superstruktur ideologis kelas penguasa dan konservatisme menghambat rakyat untuk mencapai perjuangan pembebasan nasional. Oleh karena itu, syarat ke (2) adalah kebudayaan.

Front persatuan menunjukkan posisi ideologisnya dengan berbagai macam cara, yang tujuannya adalah membuat massa memahami atau meyakini apa yang kaum kiri pahami atau yakini, sehingga kesenjangan kesadaran antara massa dan gerakan semakin tipis jaraknya. Itu merupakan syarat bagi pembebasan nasional, yang melawan musuh yang teramat berat, yakni imperialis dan agen-agennya. Lenin dalam artikelnya, “Darimana Kita Mulai” (“Where to Begin”), menekankan pentingnya koran partai untuk mendekatkan kesadaran massa dengan partai revolusioner. D. N. Aidit dalam “Manifesto Kebudayaan Kaum Marxis” menekankan kaum marxis agar “politiknya kiri” dan “kebudayaannya juga kiri.” Budaya kiri atau budaya kerakyatan menekankan pentingnya mengangkat moral dan nilai-nilai budaya rakyat yang dapat menjadi “semen” bagi perjuangan pembebasan nasional. Berbicara hal yang serupa, Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dalam “Mukadimah LEKRA 1950” menekankan konsep kebudayaan bangsa Indonesia yang berasal dari budaya rakyat dan unsur-unsur progresif budaya luar untuk mempertinggi tingkat kebudayaan Indonesia dan menjadikannya senjata untuk melawan budaya imperialis dan feodal.

Perjuangan kebudayaan harus menunjukkan garis demarkasi yang jelas antara budaya kerakyatan dengan budaya-budaya yang bertentangan dengannya, yakni budaya imperialis dan sisa-sisa feodalisme. Garis demarkasi ini harus ditunjukkan dalam perjuangan politik dan seni, dengan cara membangkitkan kembali tema-tema kebudayaan progresif, yaitu budaya perlawanan, solidaritas, tidak anti-kontradiksi, berani, tolong-menolong, intelektualitas dan budaya obyektif, yang diperlihatkan dalam puisi, lagu, lukisan, drama, slogan, novel dan cerpen. Ataupun bahkan dalam perjuangan meluruskan dan mengingatkan kembali sejarah perjuangan nasional beserta karya-karya sastranya kepada masyarakat negeri ini, karena perjuangan melawan lupa adalah juga merupakan perjuangan kebudayaan.

Maka dari itu, perjuangan kebudayaan adalah perjuangan untuk hegemoni ideologis sekaligus merupakan proses untuk melahirkan kebudayaan baru bagi bangsa Indonesia, yaitu kebudayaan nasional yang sesungguhnya.

“Perang posisi” juga harus dilakukan dalam lapangan politik. Di sini, politik merupakan syarat yang ke (3). Maksud “perang posisi” dalam lapangan politik ini, selain untuk terus memasok kepada rakyat pemahaman akan musuh-musuh politiknya, juga untuk menuntut ruang-ruang politik yang lebih luas agar rakyat dapat terus meningkatkan kapasitas pengetahuan dan praktek perjuangannya sekaligus memblejeti sistem dan mekanisme demokrasi borjuis (trias politica). “Participatory budgeting” di Porto Alegre, “referendum” dan pembentukan “dewan-dewan komunal” di Venezuela serta “penolakan 5 paket UU Politik” di Indonesia merupakan bukti-bukti konkret di mana gerakan memperluas ruang demokrasi sebagai pintu masuk untuk menjalankan hegemoni ideologisnya dan memblejeti hegemoni ideologis kaum borjuis, yang termanifestasikan dalam mekanisme dan aturan-aturan politiknya yang menghambat kemajuan tenaga produktif.

Dalam aspek ekonomi, yang merupakan syarat yang ke (4), “perang posisi” juga harus dilakukan, termasuk menuntut persoalan-persoalan darurat rakyat (pendidikan dan kesehatan gratis, perumahan, air, transportasi yang murah dan massal, upah yang layak) dengan tujuan untuk terus meningkatkan kualitas tenaga produktifnya. “Perang posisi” dalam lapangan ekonomi juga berbicara soal kemampuan rakyat dan gerakan untuk mengelola basis ekonominya melalui partisipasi demokratik. Apa yang telah dilakukan oleh Venezuela melalui proyek “kontrol buruh” atas pabrik, “pasar murah” dan “perumahan murah” bagi orang-orang miskin serta “sekolah gratis” yang makan siang pelajarnya disubsidi oleh pertanian penduduk desa dan perkotaan di Kuba, serta “kesehatan gratis,” “obat murah” dan “dokter warga” di Kuba, telah menampar kapitalisme di depan mata proletariat dan kaum miskin lainnya, yang menerima kenyataan bahwa di bawah sistem ekonomi kapitalis, pendidikan, kesehatan, perumahan, dokter dan obat, semuanya serba mahal dan sulit diakses.

“Perang posisi” yang dilakukan oleh Kuba, Bolivia dan Venezuela dengan minyak murah, pendidikan gratis, perumahan murah, pasar murah, nasionalisasi, kemandirian, keberanian melawan imperialis dan solidaritas sesama negeri-negeri tertindas, lambat laun akan memberikan keyakinan, semangat juang dan kesegaran jiwa dalam memahami arti penting menghancurkan dominasi modal imperialisme. Keyakinan serupa yang pernah ditunjukkan oleh negeri-negeri tertindas pasca-Revolusi Rusia, Oktober 1917, yang merupakan bentuk hegemoni ideologis yang nyata.

Hegemoni ideologis melalui “perang posisi” akan memberikan kekuatan kesadaran ideologis bagi proletariat dan kaum miskin di Indonesia untuk berjuang menyelesaikan tugas sejarahnya, yakni menuntaskan revolusi demokratik (pembebasan nasional) dalam suatu “perang manuver” (suatu pergerakan maju dan mundur yang cepat dan menentukan) dan selanjutnya (secara simultan), melakukan revolusi sosialis.

Catatan: Tulisan ini direncanakan untuk terbit pada Jurnal Bersatu Edisi ke-3.


Catatan Kaki:

[1] Juru Bicara Kolektif Nasional (sementara) Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi – Politik Rakyat Miskin (Kolnas LMND–PRM).
[2] Indonesia sebetulnya merupakan sebutan untuk negara kita setelah merdeka. Penyebutan nama tersebut untuk fase-fase sebelum kemerdekaan hanya untuk memudahkan saja, bukan dalam arti Indonesia sudah ada sejak zaman manusia purba. Biasanya Indonesia di masa-masa awal sering disebut Nusantara.
[3] Kapal jung adalah sejenis kapal layar, yang banyak terdapat di perairan Asia Tenggara sampai ke pantai timur Afrika.
[4] Semacam meriam tapi lebih kecil.
[5] Dalam proses produksi, manusia memerlukan dan mengadakan hubungan antara satu dengan yang lain, yang disebut hubungan produksi. Oleh karena itu, produksi selalu bersifat sosial karena produksi selalu merupakan hasil kerja sama atau hasil hubungan antar manusia. Karena itu pula, produksi berwatak sebagai milik bersama untuk kepentingan bersama. Ada dua bentuk dan sifat hubungan produksi, yaitu hubungan produksi kerja sama dan hubungan produksi yang menindas.
[6] Feodalisme berasal dari kata feodum yang artinya tanah. Dalam tahapan masyarakat feodal ini, terjadi penguasaan alat produksi oleh kaum pemilik tanah, raja, dan para kerabatnya. Ada antagonisme antara rakyat tak bertanah dengan para pemilik tanah dan kalangan kerajaan. Kerajaan merupakan alat kalangan feodal untuk mempertahankan kekuasaan mereka atas rakyat, tanah, kebenaran moral, etika agama, dan seluruh tata nilainya
[7] Yang paling terkenal adalah perang Paregreg (1404).
[8] Di Jawa, tumbuh kerajaan-kerajaan otonom yang masing-masing menguasai wilayah sendiri. Ada kerajaan Demak, Tuban, Jepara dan Blambangan. Masing-masing kerajaan ini menguasai tanah sesuai luas kekuasaannya.
[9] Pasca-perjanjian Giyanti, Mataram terbelah menjadi tiga—Surakarta (kasunanan), Mangkunegara, Yogyakarta (kasultanan). Masing-masing kerajaan ini menguasai tanah seluas daerah kekuasaannya. Pada masa Raffles, kasultanan dibagi menjadi dua, di mana satu di antaranya menjadi Paku Alam—yang juga menguasai tanah seluas daerah kekuasaannya.
[10] Dimulai pada era kekuasaan Gubernur Jendral Van Den Bosch.
[11] Jalan Raya Pos, dibentangkan dari Anyer, di ujung barat pulau Jawa sampai Panarukan di ujung timur pulau Jawa. Pembangunannya dimulai pada masa pemerintahan Daendels. Adapun pembangunan jalan ini merupakan patok awal kapitalisme di Hindia Belanda.
[12] Jalur pertama jalan kereta api antara Semarang-Kedung Jati diresmikan tahun 1871.
[13] Telegraf sebagai alat komunikasi telah membantu perkembangan industrialisasi di Jawa. Pembangunannya dimulai pertama kali pada tahun 1856 dan hasilnya adalah kawat antara Batavia-Buitenzorg (1857) dan antara Batavia-Surabaya (1859), yang bisa digunakan oleh pihak swasta. Pada tahun 1859, jaringan di Jawa panjangnya telah mencapai 2700 km dan terdapat 20 pos untuk umum.
[14] Melalui kebijakan sewa tanah (landrent) yang dilakukan Rafless membawa pengaruh terhadap kepemilikan tanah. Tanah-tanah kerajaan diambil alih oleh pemerintah Inggris. Akibatnya raja tidak lagi mendapat upeti dari rakyatnya, tetapi dari gaji yang diberikan oleh pemerintah kolonial.
[15] Sebenarnya, kontrak karya Freeport sudah disahkan (bahkan) sebelum pengesahan UU PMA 1967.
[16] Pada tahun 1967-1969, anggaran negara sudah 26 persen dibiayai oleh utang luar negeri.
[17] Koordinator Tim Prospek Perekonomian Indonesia LIPI, M. Tri. Sambodo.
[18] Lenin, V. I., Collected Works, Jilid 15, hal. 39, Progress Publishers, Moscow, 1964-1970.
[19] Pokok-pokok referat di hadapan Konfernas Sastra dan Seni Revolusioner di Jakarta, 28 Agustus 1964.


Read More......

TERBITAN KPRM-PRD