28 Agustus 2008

TAKTIK Memimpin Gerakan Rakyat dan Perlawanan Spontan Rakyat Miskin

Oleh: Gregorius Budi Wardoyo

Dalam pembacaan data perlawanan, telah terlihat bahwa kepemimpinan organisasi gerakan terhadap perlawanan spontan massa (yang terus muncul di banyak tempat) belum menunjukan signifikansinya, termasuk kepemimpinan kaum pelopor. Oleh karena itu, dibutuhkan taktik yang tepat untuk mengemban tugas memimpin dan memberikan arah bagi perjuangan rakyat miskin sesuai dengan hukum obyektifnya—terutama dalam hal membuka ruang demokrasi dan melawan penjajahan modal asing.

Secara programatik, masihlah tepat tujuan menuntaskan revousi demokratik di Indonesia—dengan melawan imperialisme; mendelegitimasi pemerintahan boneka imperialis; dan menggantikannya dengan pemerintahan rakyat miskin. Demikian juga, masihlah tepat kesimpulan tentang musuh-musuh pokok rakyat miskin Indonesia: penjajahan modal asing (imperialisme); pemerintahan boneka imperialis; tentara; Golkar; reformis gadungan; dan milisi Sipil.

Taktik

1. Di tengah tekanan kekuatan borjuis, yang dengan segala upaya mencoba melemahkan kekuatan rakyat—baik secara prosedural (dalam makna peraturan-peraturan dan mekanisme yang sebenarnya tidak demokratik), maupun dengan tindakan-tindakan represif—maka kita harus berdiri paling depan untuk membuka ruang demokrasi, sepenuh-penuhnya, termasuk membongkar Undang-Undang Pemilu atau Pilkadal yang anti demokrasi;

2. Dan Tuntutan tersebut, harus diiringi dengan propaganda bahwa rakyat harus berkuasa, dengan TRIPANJI [1] sebagai jalan keluar ekonominya;

3. Namun, kenyataan obyektif menunjukan bahwa sebagian besar rakyat masih bergerak dengan tuntutan yang reformis, sehingga kita harus terlibat dalam perjuangan reformis massa dan memimpinnya (jangan seperti taktik sebelumnya, demi pengerjaan memperluas struktur PAPERNAS, kita meninggalkan tugas memimpin perlawanan rakyat).

Alat

Koran yang reguler dan luas jangkauannya—sebagi taktik utama

Tak bisa dipungkiri bahwa banyaknya perlawanan rakyat jelas membutuhkan alat propaganda dan pengorganisiran yang sanggup menjangkau semuanya, yang mampu mengambil setiap hal maju dari peralawanan rakyat di satu tempat dan membagi pengalaman tersebut ke tempat lain. Alat tersebut terutama dimaksudkan agar bisa memberikan arah revolusi bagi rakyat miskin, yakni yang bisa memberikan bukan saja landasan-landasan teoritik progesif—agar massa rakyat tidak lagi jatuh pada empirisme, tidak lagi berjuang dalam persepektif perjuangan jangka pendek yang reformis, tidak lagi sekedar aktifisme yang tidak punya arah—melainkan juga memberikan kesimpulan-kesimpulan praktek perjuangan yang menjadi landasan gerak maju selanjutnya.

Kebutuhan koran yang regular dan luas jangkauannya menjadi keharusan, di tengah tidak meratanya pengetahuan dan pengalaman perjuangan, baik di kalangan massa rakyat maupun di kalangan aktifis pergerakan dan, selain itu, karena jumlah aktifis gerakan masih sangat kecil dibandingkan dengan luasnya area perlawanan rakyat.

Aku mengusulkan agar koran tersebut utamanya ditujukan bagi aktifis pergerakan, dengan isian materi mengenai strategi-taktik dan polemiknya (termasuk dengan kaum Mayoritas di PAPERNAS/PRD). Kenapa isian strategi-taktik menjadi penting dalam koran tersebut? Itu karena salah satu hambatan kemajuan gerakan saat ini adalah kelemahan strategi-taktik, sehingga pemahaman strategi-taktik yang tepat benar-benar menjadi kebutuhan mendesak bagi gerakan dan massa rakyat. Sementara polemik strategi-taktik dengan kaum Mayoritas (PRD/PAPERNAS) menjadi penting karena sejarah PRD sebagai kaum pelopor telah banyak memberikan inspirasi bagi kaum gerakan dan massa rakyat [2]—agar apa yang dilakukan oleh kaum Mayoritas sekarang tidak akan menjadi preseden (contoh buruk) bagi kaum pergerakan dan massa rakyat. Tentu saja terdapat kaum pergerakan maupun massa rakyat yang bisa menilai bahwa apa yang dilakukan kaum Mayoritas PRD/PAPERNAS [dengan taktik berupaya melebur (merger)dengan Partai Bintang Reformasi dan masuk secara tertutup ke dalam Partai Demokrasi Pembaruan] adalah SALAH namun, tetap saja, akan menghambat kemajuan gerakan secara keseluruhan karena walupun sebagaian besar pimpinan massa yang selama ini dikenal sebagai tokoh pergerakan telah menyimpang namun tidak banyak dipersoalkan secara terbuka oleh kaum pergerakan, seolah-olah dibenarkan—bagaimana bila menjadi preseden bagi massa luas sehingga juga menganggapnya benar. Oleh karena itu, polemik terbuka terhadap strategi-taktik mayoritas harus dilakukan dengan terus menerus agar kaum gerakan dan massa rakyat menjadi tahu kesalahan yang dilakukan kaum Mayoritas dan menerima strategi-taktik alternatif.

Menurutku, soal regularitas koran tersebut sebaik-baiknya adalah harian namun, jika tidak memungkinkan, maka paling tidak menjadi mingguan. Secara obyektif, perlawanan rakyat (yang bergerak setiap hari di berbagai tempat) adalah enerji yang sangat besar bagi koran kita tersebut, sehingga regularitasnya tidak boleh terlalu lama. Kendala utama yang selama ini dialami kita, yakni masalah pendanaan, penulisan dan distribusi haruslah dicari pemecahannya—yang sangat mungkin kita pecahkan, jika koran dijadikan sebagai taktik utama.

Dan bentuk koran tersebut, menurutku, dibuat yang sederhana, dengan jumlah halaman yang tak terlalu banyak (agar lebih mudah digandakan). Dan, agar bisa terwujud, maka soal koran harus menjadi salah satu agenda rapat rutin di setiap tingkatan struktur perjuangan, bahkan hingga ke tingkat massa.

Adalah benar pernyataan bahwa kesadaran kelas proletariat akan meningkat jika ada dialektika antara propaganda (yang terus menerus dari kaum revolusioner) dengan pengalaman perjuangan koletif massa. Dan sekarang coba kita lihat berapa banyak alat propganda kita dan berapa luas jangkaunnya ke tengah massa rakyat yang sedang terus berlawan? Lalu bandingkan dengan media massa borjuis, yang terus menerus meninabobokan massa, memanipulasi kesadaran palsu massa, bahkan hingga melakukan black propaganda terhadap ide-ide sosialisme—pada tahun 2006 media massa yang dikuasai borjuis mencapai 6,026 juta eksemplar untuk jenis surat kabar harian; dan jika seluruh media cetak dijumlahkan maka totalnya mencapai mencapai 17,374 juta eksemplar; itu artinya 1 media massa borjuis di baca 38 orang Indonesia [3].

Coba bandingkan dengan Harian Rakjat [4], organ PKI yang pertama kali terbit tahun 1951, tirasnya mencapai 2.000 eks per hari, dan berkembang dalam waktu dua tahun menjadi 12.500 eks. Pada 1956, Harian Rakjat meningkat menjadi 55.000 eks, mengungguli penerbitan lain seperti Pedoman (koran Partai Sosialis Indonesia) dengan 40.000 eks; atau Abadi (koran Masjumi) dengan 34.000 eks. PKI juga menerbitkan bulanan dalam bahasa Inggris, Monthly Review, yang pada tahun 1954 diubah menjadi Review of Indonesia. Oplah tersebut jelas sangat besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia pada saat itu dan dengan tingkat buta huruf yang masih tinggi.

Apakah kita masih berpikir, koran bukan sebagai taktik utama?

Pembangunan persatuan (front) gerakan

Landasan obyektif kenapa persatuan Gerakan adalah keharusan (lagipula memungkinan untuk dibentuk) adalah:

1. Musuh-musuh rakyat terlalu kuat, baik musuh dalam negeri maupun musuh dari luar negeri. Musuh yang dimaksud adalah kekuatan politik yang menjadi kaki tangan imperialis maupun kekuatan politik yang anti demokrasi, atau keduanya. Kekuatan politik yang menjadi musuh rakyat cenderung mengambil posisi sebagai agen imperialis sekaligus anti demokrasi—dalam kadar tertentu bisa kelihatan pro demokrasi, namun sejatinya hingga sekarang tidak mampu melepaskan diri dari kekuatan politik tentara.

2. Mayoritas rakyat mengalami penindasan, dan sebagian di antaranya sedang berlawan (baik dengan platform tuntutan yang lebih programatik maupun yang spontan).

3. Semakin banyak organisasi rakyat yang bermunculan terutama di kalangan kaum buruh dan kaum tani, baik yang bersifat nasional maupun lokal.

4. Pengalaman persatuan gerakan (yang berhasil menjatuhkan Soeharto, atau yang ”berhasil” menolak berbagai kebijakan pemerintah, masih membekas di ingatan kolektif kaum gerakan dan massa rakyat.

5. Belum ada persatuan gerakan yang mampu memberikan harapan—dalam makna perspektif—dalam memimpin gerakan rakyat dan perlawanan massa rakyat.

Sedangkan landasan subyektifnya adalah, kita, kaum pelopor—yang paling mengerti teori dan paling punya kecapakan berjuang—masih sangat sedikit.

Dengan landasan obyektif dan subyektif seperti itu tidak boleh ada kata menyerah dalam kerja-kerja pembangunan persatuan gerakan, sekalipun sangat banyak kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam kerja-kerja membangunnya.

Menurutku, persatuan yang akan dibentuk sebaiknya adalah persatuan yang bisa menjadi magnet di hadapan gerakan dan massa rakyat, persatuan yang bisa memberikan harapan perubahan bagi massa rakyat, sehingga penentuan sekutu persatuan harus lebih berhati-hati, tidak boleh kontra-produktif (seperti yang dilakukan oleh kaum Mayoritas—menggalang persatuan bersama kekuatan politik anti-rakyat).

Sedapat mungkin persatuan yang dibangun didorong untuk melakukan tindakan politik bersama, bahkan seandainyapun tindakan politiknya masih sangat moderat—asal tidak bertentangan secara programatik dengan program kita—karena persatuan hanya akan menjadi lebih bermanfaat jika semakin banyak aktifitas (ekspresi) politik yang dilakukan bersama-sama. Oleh karena itu, sekalipun kita mempunyai program dan stategi-taktik yang maju, kita tidak boleh mencemooh persatuan gerakan yang paling moderat sekalipun karena di sanalah ajang bagi kaum pelopor untuk mempropagandakan program maju dan stategi-taktiknya, juga dalam memberikan contoh konsistensi (kesetiaan) perjuangan—bahkan, dalam program yang moderat sekalipun, kaum pelopor harus menunjukan bahwa merekalah yang paling setia, paling gigih dalam perjuangan.

Untuk memperkuat pengaruh persatuan pada massa rakyat (sekaligus juga memperkuat pengaruh kita) maka, sebisa mungkin, persatuan mempunyai terbitan yang reguler—bahkan, jika hanya mampu mengeluarkan selebaran, maka selebarannya harus didorong terbit secara reguler; apalagi jika mampu mengeluarkan terbitan yang lebih baik seperti koran atau tabloid. Dan, sekali lagi, kita harus menunjukan kesetiaan serta keteguhan kita dalam menjalankan terbitan tersebut.

Dan dalam hal penstrukturan: persatuan yang ada—apalagi yang mempunyai kesanggupan untuk meluaskan strukturnya—sebaiknya melakukan pembangunan persatuan serupa di setiap teritori yang memungkinkan. Agar secepatnya rakyat melihat bahwa persatuan tersebut sebagai alat perjuangan mereka, agar persatuan juga bisa dengan segera menjangkau setiap keresahan massa dan, seiring dengan kesanggupan front—lewat uji kerja berbagai aktifitas bersama—maka struktur front harus segera dipermanenkan.

Jika pun persatuan tersebut masih bersifat lokal atau sektoral, maka persatuan tersebut harus diupayakan untuk berhubungan dengan persatuan lainnya baik yang ada di wilayah lain maupun yang ada di sektor lain, intinya adalah: segala upaya pembangunan persatuan yang kita lakukan harus selalu dalam perspektif nasional dan multisektor.

Dalam konsepsi pembangunan persatuan gerakan, unsur-unsur maju—dalam makna: yang dalam praktek perjuangannya selama ini telah mengusung program anti-penjajahan (dan demokratik)—disatukan terlebih dahulu, agar mempunyai daya juang yang lebih besar. Tentu saja arena dari persatuan yang lebih maju tersebut tetaplah perlawanan spontanitas rakyat dan juga massa rakyat yang belum berjuang, sehingga tugas dari persatuan yang maju tersebut adalah membuat ajang-ajang yang memungkinkan bersatunya persatuan yang lebih maju tersebut dengan perlawanan spontanitas rakyat maupun massa rakyat secara keseluruhan. Itulah sebabnya alat utama dari persatuan, agar berkesanggupan menjangkau/menyatukan perlawanan spontan rakyat dan massa rakyat secara keseluruhan, adalah koran, hanya koran yang bisa menjangkau dan sekaligus MEMUNGKINKAN UNTUK DIKERJAKAN OLEH PERSATUAN dalam kapasitas saat ini.

Pengorganisiran dan mobilisasi/radikalisasi terjadwal (lihat materi Arah Pengorganisasian Massa untuk Revolusi dengan Metode Tiga Bulanan, Resume Diskusi Komite Politik Rakyat Miskin—Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD), PEMBEBASAN, No.1, Januari, 2008)

Konferensi taktik

Dalam berbagai kesempatan sudah dapat disimpulkan bahwa salah satu sebab utama kelemahan kaum pergerakan (yang pelopor maupun bukan) dalam memimpin perjuangan massa rakyat adalah: kelemahan merumuskan strategi-taktik. Dan, hingga saat ini, solusi untuk mengatasi kelemahan tersebut belum juga berwujud secara kongkrit dan meluas.

Cara lain yang juga bisa dilakukan untuk menemukan strategi-taktik yang tepat bagi perjuangan massa rakyat adalah dengan mengagendakan konferensi-konferensi strategi-taktik secara reguler, baik di kalangan serikat-serikat buruh, antar serikat-serikat tani, serikat-serikat mahasiswa, serikat-serikat perempuan, serikat-serikat kaum miskin perkotaan maupun yang sifatnya gabungan, termasuk gabungan antar kota/wilayah.

Konferensi-konferensi tersebut sangat mungkin belum bisa langsung dipermanenkan—oleh karena itu, koran tidak boleh mati guna mengisi kekosongan strategi-taktik atau untuk memperkuat strategi-taktik kaum pergerakan—namun tetap harus diupayakan, sekalipun masih dalam batas-batas strategi-taktik jangka pendek. Lebih bagus jika strategi-taktik hasil dari konferensi tersebut kemudian dikerjakan bersama untuk diuji dalam praktek perjuangan massa rakyat, sekaligus dinilai ketepatannya, sehingga semakin hari semakin memungkinkan diperoleh strategi-taktik perjuangan massa rakyat yang paling tepat dalam pembangunan sosialisme di Indonesia.

Mendirikan struktur-struktur pendidikan teori


Tidak ada yang bisa menolak, bahwa tanpa teori revolusioner tak akan mampu terjadi revolusi. Untuk itulah pendidikan yang memberikan landasan teoritik bagi rakyat miskin untuk mengelorakan revolusinya harus dilakukan, sehingga jurang pengetahuan yang selama ini terjadi semakin terkikis—apalagi selama ini masih aktivis-aktivis yang berasal dari kalangan mahasiswalah yang memilki pengetahuan teoritis yang cukup maju; sementara aktivis yang berasal dari buruh, tani, kaum miskin kota, termasuk perempuan, masih sangat terbelakang; padahal tugas kaum pelopor adalah mengangkat rakyat miskin agar mampu memimpin dirinya sendiri, memimpin revolusinya sendiri dan nantinya memimpin pemerintahannya sendiri. Untuk tujuan itu, dibutuhkan banyak aktivis-aktivis dari rakyat miskin yang cakap dalam pengetahuan revolusioner dan juga praktek revolusioner.

Setiap struktur yang ada diwajibkan mendirikan struktur yang diarahkan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut tersebut secara reguler, sehingga nantinya bisa ditemukan pola penyelenggaraan pendidikan yang paling baik. Atau, jika saat ini ada daerah yang sudah memiliki pengalaman pendidikan yang paling bagus, maka pengalaman tersebut bisa dijadikan pola pendidikan di tempat lain, karena harus ada pola nasional yang bisa diukur efektifitasnnya di tingkatan nasional. Aku membayangkan: di hari-hari nanti, di kontrakan-kontrakan buruh, di desa-desa, di kampung-kampung miskin perkotaan, di kalangan perempuan, buku-buku revolusioner dan progresif telah menjadi bacaan dan bahan perdebatan mereka—misalnya saja buku-buku dan perdebatan tentang Kuba, Venezuela, Bolivia, demikian juga perdebatan dan buku-buku buku-buku Pramoedya atau karya-karya lainnya—tidak lagi hanya berputar di kampus-kampus maupun kontrakan mahasiswa.*

Catatan Kaki
[1] TRIPANJI: 1) Hapuskan utang luar negeri; 2) Nasionalisasi industry pertambangan; 3) Industrialisasi nasional.
[2] Lihat film dokumenter wawancara-wawancara tentang PRD dalam rangka 10 tahun PRD, 2004.
[3] http://www.spsindonesia.or.id/news-detail.php?id=50
[4] Data ini di ambil dari tulisan Hilmar Farid dan kawan-kawan, http://www.xs4all.nl/~badjasur/kreasi/no3/pasangsurutno3.htm

Read More......

Tantangan Politik untuk Pergerakan di Zaman Tidak Bervisi

Oleh Candra J N

(1)

Politik anti-nasional dan anti buruh-tani Orde Baru menghancurkan berbagai pencapaian revolusi nasional demokratik selama 1900-1965.

YANG DIHANCURKAN

1. Partisipasi rakyat banyak (proletar, semi-proletar, burjuis kecil melarat dan petani) dalam kehidupan politik dan perjuangan menentukan arah perkembangan masyarakat melalui politik mobilisasi massa dihancurkan,

2. Ingatan-ingatan (pengetahuan) tentang riwayat perjuangan kemerdekaan dan perjuangan menentukan arah perkembangan masyarakat sesudah kemerdekaan dibasmi dan hilag sebagai sumber nilai, inspirasi dan pelajaran.

3. Pencapaian budaya yang terdiri dari pengetahuan tentang ilmu politik yang tercernin dalam semua tulisan-tulisan dan pidato-pidato pempimpin gerakan pembebasan nasional (1900-1965) dan di dalam sastra dan perfilman Indonesia dilarang, dibasmi, dihilangkan atau dikucilkan.

4. Perjuangan untuk membangun sebuah ekonomi nasional yang berdiri di atas industrialisasi di segala bidang, sebuah masyarakat yang berilmua pengetahuan dan dengan sebuah angkatan kerja yang semakin produktif ditindas sebelum bisa dimulai dan dibuka jalan untuk meneruskan kehidupan ekonomi yang kapitalis tetapi tidak berindustri, tidak berilmu pengetahuan, dengan produktivats angkatan kerja yang serendah-rendahnya. Industri yag ada hanya yang diperlukan oleh imperialisme. Pendidikan yang tertinggi tetap harus dicara ke negeri imperialis.

Penghancuran tersebut adalah pekerjaan kelas kapitalis dalam negeri Indonesia, baik ketika dipimpin segelintir kapitalis bersenjata, maupun kemudian dipimpin oleh konglomerat dan antek politiknya maupu sekarang ketika "dipimpin" oleh kombinasi konglomerat, yang ingin jadi konglomerat dan konglomerat-konglomerat daerah. Kalau kaum kapitalis dalam negeri Indonesia mengeluh tentang penindasan ekonomi dari "asing", itu karena merasa kurang dapat porsinya saja.

Orde Baru bukan hasil penjajahan asing tetapi hasil sebuah tindakan pendahuluan kontra-revolusioner oleh kelas kapitalis dalam negeri Indonesia. Pihak imperialis diundang masuk; bukan memaksa masuk.

(2)

Hasil penghancuran ini adalah terpecah-belahnya (fragmentasi) setiap aspek kehidupan negeri, masyarakat dan juga kelas-kelas rakyat.

Dalam kebudayaan dan politik:

Dengan ditindaknya politik mobilisasi massa, yang berkembang selama 1900-1965, hancurlah semuah organisasi rakyat yang bergerak dengan berwawasan nasional. Buat rakyat kebanyakan, organisasi massa tersebut merupakan sekolah utama yang mengurus segala hal tentang bernegeri dan bernegara. Sekolah tersebut hancur. Ini berlangsur selama 33 tahun 53 tahun proklamasi kemerdekaan. Selama 33 tahun rakyat tak bersekolah.

Dan selama 33 tahun tersebut (sampai sekarang), sejarah yang diajarkan di sekolah adalah bohong, yang diajarkan sebagai takhayul (menghafal kebohongan tanpa ada bukti). Sementara selama 33 tahun sastera Indonesia kemerdekaan, dari Kartini sampai Rendra, sampai Bumi Manusia, sampai Wiji Thukul, tidak diajarkan.

Tanpa pendidikan yang keduanya tersebut, rakyat Indonesia menjadi bukan rakyat Indonesia tetapi sekadar rakyat yang hidup dalam negeri geografis Indonesia. Mereka jatuh menjadi rakyat yang hidup di bawah kungkungan (setingkat) kelas kapital dalam negeri Indonesia yang terdiri dari federasi elit-elit lokal dengan elit pusat di Jakarta.

Dalam situasi tersebut, kesadaran kelas pun kalah oleh kesadaran-kesadaran sektarian (baik secara isyu, etnis maupun wilayah). Kesadaran kelas, bila tidak berwawasan nasional—yakni, mengerti bahwa semua jalan keluar masalah-masalah rakyat harus diselesaikan oleh seluruh nasion, bangsa—tidak akan bisa ada atau berkembang.

Dalam ekonomi:

Strategi ekonomi yang dijalankan sejak 1966 menyatukan ekonomi Indonesia dengan ekonomi internasional berdasarkan keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan modal imperialis serta fraksi kelas kapitalis klik militer Suharto. Akibatnya, sektor-sektor ekonomi yang tumbuh sangat terbatas. Industri berat dan menengah tetap menjadi haknya negeri imperialis. Manufaktur ringan pun hanya di sektor-sektor yang terpilih pula dan, sejak 1997, merekapun mulai ditarik kembali. Produktivitas hanya meningkat riil dan luas di pertanian sawah (hasil revolusi hijau), tetapi itu pun berhenti setelah peningkan produktivas melalui bibit baru, pupuk dan pestisida sudah mencapai jalan buntu. Modernisasi selanjutanya tak bisa diwujudkan (karena membutuh kooperasi atau kolektivasi yang luas dan sukarela.)

Masyarakat tetap terbagi menjadi dua secara dahsyat: kaya dan miskin semakin jauh terpisah; kota besar dan kota kecil semakin jauh budaya dan cara hidupnya; apalagi kota dan desa; Jakarta dan kebupaten.

Yang kaya semakin menjadi bangsa tersendiri, menyekolahkan anaknya dalam bahasa Inggeris; berselera kosmpolitan; berapartemen di Singapura atau Melbourne dan (mereka) dipersatukan karena merasa terganggu oleh kaum miskin yang harus ditertibkan itu.

Sebagian besar yang miskin atau tinggal di kota kecil dan desa yang serba kecil itu produktivitasnya rendah dan disatukan secara budaya hanya oleh sinetron.

(3)

Gerakan anti-kediktatoran sebagai pemersatu fragmentasi dan kegagalannya.

Gerakan anti-kediktatoran yang militant, yang berkembang 1989-98, mulai mempersatukan rakyat yang terpecah-belah tersebut. Gerakan tersebut, dengan tuntutan-tuntutannya—cabut Dwifungsi ABRI, cabut Paket 5 Undang-Undang politik, hapusakan KKN, naikkan gaji dan sebagainya termasuk, kemudian, turunkan Suharto—betul-betul menyatukan rakyat dari Sabang sampai Merauke. Metode perjuangan aksi massa menyebar ke semua pelosok—sampai sekarang.

Tetapi, sesudah tahun 1998, persatuan tersebut tidak bertahan lama. Sebabnya ada beberapa hal.

Pertama, periode perkembangan tersebut masih terlalu pendek, secara intensif hanya berlangsung antara tahun 1992-1998 dan, secara sangat intensif, hanya sejak tahun 1996 hingga tahun 1998. Periode tersebut tak cukup lama untuk mengembangkan bentuk-bentuk pengorganisiran massa yang dapat bertransisi dari bentuk temporer (sementara) menjadi tetap (permanen).

Kedua, gerakan tersebut hanya bersifat taktis, tidak strategis, kalau dipandang dari kebutuhan mendasar rakyat kebanyakan. Gerakan tersebut, sebagai gerakan anti-diktator, adalah gerakan yang maknanya hanyalah membuka ruang untuk perjuangan selanjutnya.

Mengingat (a) semua kemunduran yang dialami selama 33 tahun sebelumnya dan (b) bahwa gerakan taktis tersebut hanya sempat berkembang intensif selama 2-6 tahun, mulai dari nol, atau tak memiliki kesempatan bertransformasi dari gerakan taktis menjadi gerakan strategis, apalagi di dalam bidang ideologi—yaitu teori, termasuk pendidikan teori pada massa. Bahkan, sesudah Mei 1997, semakin pesat, luas dan intensif perkembangan unsur spontan, maka ideologi gerakan yang luas ersebut semakin dibanjiri oleh sentimen-sentimen taktis (yakni terbatas pada anti-kediktatoran). Perkataan reformasi total sempat beredar tapi tak sempat berkembang.

Pada saat pimpinan "opposisi elit" di Ciganjur menyatakan akan mematuhi jalur pemilihan umum dalam mengurus transisi pasca kedikatoran, kesadaran politik gerakan masih dalam tahapan "taktis", belum bisa berwawasan strategis; belum bisa membayangkan harus kemana: bubar.

(4)

Fragmentasi kepeloporan pasca 1998

Selama periode 1989-1998, dengan catatan bahwa banyak juga kelompok yang berjuang dan berkorban demi pembebasan dari kediktatoran, namun yang menjadi kekuatan pelopor adalah kubu Partai Rakyat Demokratik (PRD). PRD lah yang sadar dan secara sistematis memperjuangan dihidupkannya kembali metode perjuangan aksi massa. PRD lah yang menemukan slogan-slogan dan tuntutan-tuntutan anti-kediktatoran yang kemudian diterima oleh massa luas.

(Yang tidak terima secara luas adalah seruan strategis: yakni seruan mendirikan dewan-dewan rakyat. Kesadaran mssa belum sempat berkembang sedemikian jauh, meskipun mendekati tahap tersebut.)

Sejak 1998, kepeloporan pun sudah mengalami fragmentasi—dalam dua bentuk. Pertama, PRD sendiri mengalami fragementasi. Kedua, berkembang elemen-elemen kepeloporan di luar PRD.

Fragementasi PRD tercermin saat kehilangan banyak kader, masuk organisasi non-partai/LSM (baik yang progressif maupun yang tidak), menyeberangnya banyak pimpinan PRD ke partai borjus atau borjuis kecil, dan terjadi perpecahan (split). Dari kader PRD tahun 90-an, tinggal hanya segelintir saja yang tinggal, yang sekarang berada di Komite Politik Rakyat Miskin-Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD). Asal-usul dari fragmentsi tersebut sama dengan yang digambarkan di atas dan tak sempat dilawan dengan meningkatkan pendidikan ideologis. Selain itu, sesudah gagalnya Koalisi Nasional (yang berusaha melibatkan kubu PNBK dan Partai Pelopor), kurang ada pengambilan kesimpulan tegas bahwa: dengan kegalan tersebut, kesempatan untuk mengambil momentum peluang alliansi dengan unsur borjuis kecil yang anti-Orde Baru sudah selesai. Mental “taktis” (kontra “strategis”) sempat berkembang secara ekstrim.

Sementara fragmentasi di dalam PRD terjadi, fragmen-fragmen kepeloporan lain mulai tumbuh, meskipun wataknya belum sepenuhnya jelas. Yang bisa dicatat sebagai cerminan proses tersebut—antara lain, mungkin—organisasi-organisasi seperti Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP)/Kongres Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI)/Federasi Perjuangan Buruh Jabotabek (FPSBJ), Rumah Kiri, jaringan di sekitar toko buku Ultimus dan penerbit Resist. Juga ada individu-individu yang secara sporadis bisa memainkan peranan kepeloporan dalam waktu-waktu yang hanya sebentar. Tetapi semua itu berkembang secara fragmentatif, sehingga pasti banyak ke-parsial-an dalam proses pertumbuhan masing-masing fragmen. Semua itu harus lebih diselidiki sebelum bisa mengambil kesimpulan yang lebih teliti.

(5)

Perjuangan ideologis untuk gerakan ‘strategis.

a. Tema-tema propaganda (pendidikan politik seluas yang dimungkinkan)
Prioritas dalam mempersatukan fragmen-fragmen kepeloporan adalah sama dengan prioritas dan memperluas elemen kepeloporan: yaitu mempertegas dan menyebarluaskan keyakinan terhadap basis ideologis yang mau diperjuangkan. Penjajagan dan perundingan dengan berbagai fragmen kepeloporan yang berkembang harus berdiri di atas basis ideologi yang jelas dan meluas.
Yang dibutuhkan sekarang adalah meluaskan propaganda yang sistimatik melalui setiap lini pengorganisiran, baik dengan terbitan cetakn maupun lisan. Sistematika tersebut berarti: di mana dan kapan pun tema-tema penjelasan YANG SAMA harus dijelaskan—tentu saja dengan semakin lihai dan mendalam. (Itu berarti bahwa kader sendiri harus semakin belajar dan membaca.)

Dalam bangun sistematikanya, ada tiga bidang yang harus digarap:
- Asal-usul krisis ekonomi, politik, dan budaya Indonesia;
- Siapa yang berjuang mati-matian, siapa yang berjuang setengah hati, dan siapa musuh-mu
- Jalan keluar dan solusi.

Asal-usul krisis ekonomi, politik, dan budaya Indonesia


Dalam tahap sekarang, tekanan harus ke penjelasan historis (menjelaskan sejarah) sehingga dapat menghindari penjelasan yang abstrak. Dalam rangka itu, tiga poin utamanya adalah sebagai dicantumkan di atas:

- Kolonialisme 350 tahun:Warisan kolianalisme pada Indonesia Merdeka (massa harus hafal segala sejarah tersebut dan mampu membicarakannya);
- Kekalahan kubu “sosialisme ala Indonesia” (kubu mobilisasi massa buruh-tani) pada tahun 1965 (yang mencari jalan kerakyatan untuk membangun Indonesia yang tidak tergantung pada imperialis) sehingga memungkinkan (i) pendirian rejim Orde Baru; dan (ii) ekonomi kapitalis yang tak berindustri; serta terutama (iii) penghancuran capaian-capaian revolusi nasional demokratik Indonesia selama 1900-1965 di atas kekalahan kubu sosialis pada tahun 1965 (rakyat harus belajar sejarah Orde Baru). Dengan kata lain, merupakan kemenangan (a) kediktatoran politik elit terhadap demokrasi mobilisasi massa dan (b) neo-kolonialisme.
- Neo-liberalisme: Ketidakmampuan rejim politik elit ataupun ekonomi neo-kolonial membela rakyat dan negeri dari serangan globalisasi neo-liberalisme—yang merupakan bentuk ganas yang paling baru neo-kolonialisme—dan krisis kapitalisme internasional—yang kepentingannya memperbesar keuntungan dari investasi-investasinya, sehingga membutuhkan peningkatan pemerasan.

ADALAH SYARAT MUTLAK bahwa KETIGA poin tersebut dipelajari oleh semua kader dan kemudian oleh massa seluas-luasnya.

Siapa yang berjuang mati-matian, siapa yang berjuang setengah hati dan siapa musuh-musuhnya

Yang juga harus dijelaskan secara historis.

(A) Kekuatan sosial (kekuatan kelas) yang bergerak dari masa ke masa. Peranan pemuda, intelektual muda, pedagang miskin, buruh dan tani dalam perlawanan terhadap kolonialisme sampai tahun 1949; terhadap pembangunan gerakan “sosialisme ala Indonesia” periode 1949-65; dan dalam perlawanan terhadap Orde Baru dalam tahap-tahapnya.
(B) Sejarah siapa yang mengorganisir dan memperjuangkan ide (a) aksi massa dan (b) Sosialisme ala Indonesia dalam semua periode tersebut, yang juga harus menggambarkan figur dan ide-idenya, serta juga organisasi politik yang berkembang.
(C) Situasi sekarang.

Penjelasan sejarah harus menjadi landasan untuk kader maupun massa dalam menilai peta politik perjuangan sekarang. Ada tiga aspek yang harus bisa dijelaskan.
§ Kekuatan sosial (kelas) mana yang berkepentingan dan yang mampu melawan (proletar dan mahasiswa, dengan menjelaskan kedudukan khusus dari massa mayoritas,yakni massa semi-proletar dan burjuis kecil yang melarat dan tertindas—kaum miskin kota/Marhaen desa dan kota);
§ Siapa musuh rakyat dalam negeri dan mengapa: sisa-sisa Orde Baru, militer, reformis gadungan, nasionalis gadungan, yang semuanya berdiri di atas kepentingan kelas kapitalis dalam negeri dengan semua konflik-konfliknya. Siapa musah luar negeri: imperialis, pemerintah-pemrintah imperialis, lembaga finansial internasional, perusahaan MNC dan bank-bank internasional;
§ Siapa sekutu strategis dalam dan luar negeri, baik secara kelas maupun organisasi. Dalam menjelaskan aspek organisasi dalam negeri harus disertai dengan penjelasan yang teliti, peka, rendah hati tapi ilmiah terhadap situasi fragementasi kepeloporan. Sekutu strategis adalah calon mitra persatuan.
§ Siapa sekutu taktis: ini berubah dari waktu ke waktu, bisa kekuatan sosial (kelas atau suatu bagian dari sebuah kelas), bisa individu, bisa organisasi.

Jalan keluar dan solusi


Tema pokok:

§ Rakyat miskin harus berkuasa melalui organisasi-organisasi massanya sendiri (berarti harus berkembang massif)—pemerintahan rakyat miskin;
§ Kekuatan politik rakyat miskin terletak dalam jumahnya yang massif (200 juta), yang akan menjadi suatu kekuatan kalau terorganisir dengan kuat—200 juta orang juga merupakan angkatan kerja Indonesia, sumber semua produktivitas: strategi gerakan harus membangun gerakan aksi massa demi mendirikan pemerintahan rakyat miskin;
§ Pemerintahan rakyat miskin harus memperjuangkan sebuah ekonomi dan masykarakat sosialis, yaitu ekonomi yang diatur melalui mobilisasi tenaga, pikiran dan semangat massa; rakyat berdaulat terhadap semua sumber daya alam maupun teknologi yang ada di dalam negeri; masyarakat dibangun berdasarkan solidaritas serta kerjasama di antara massa (gotong-rojong); dan pendidikan, ilmu pengetahuan, pengetahuan umum serta kebudayaan menjadi hak dan alat untuk membangun masyarakat yang harus dimiliki oleh semakin banyak orang dengan cepat.

b. Strategi bawah dan strategi atas


Strategi bawah

Yang dibutuhkan sekarang adalah meluaskan propaganda yang sistematik melalui setiap lini perorganisiran, baik dengan terbitan cetakan maupun lisan.

Strategi atas


Dalam perjuangan melawan kediktatoran Suharto (dan sampai sekarang), gerakan pernah memakai berbagai jenis strategi atas, yaitu strategi untuk menjangkau massa banyak dengan ide, slogan atau tuntutan kita, selain melalui proses pengorganisiran (dalam semua bentuknya)

1989-96—aksi massa besar mahasiswa-petani, kemudian mahasiswa-buruh, yang meraih perhatian media massa;
1996—alliansi dengan sebagian kekuatan kelas burjuis (kecil), yaitu PDI-Megawati dan kekuatan pro-demokrasi lainnya (berhasil);
1997—panggung pengadilan tahanan politik PRD; intervensi PEMILU dengan menyebarluaskan selebaran yang massif;
1998—aksi mahasiswa militant, yang semakin serentak secara nasional;
1999—maju di Pemilu;
2000-2007—percobaan alliansi-alliansi dengan kekuatan burjuis kecil progressif sampai dengan Koalisi Nasional (gagal).

Selama periode 1989-1998 watak gerakan (ternyata) terutama bersifat agitatif: yang diutamakan adalah slogan dan tuntutan yang menyudutkan serta yang membongkar rejim diktator dan sekutunya (kroni dan lain-lain). Dalam periode ke depan, selain agitasi (yang pada suatu saat akan semakin mendesak kebutuhannya), propaganda (pendidikan politik yang mendalam) buat massa akan sama pentingnya, bahkan merupakan syarat mutlak bila gerakan berkehendak mendirikan sebuah pemerintahan rakyat miskin yang akan mampu memimpin perjuangan menciptakan sebuah ekonomi dan masyarakat yang semakin sosialis.

Dalam rangka itu, pertama, semua metode—seperti sudah pernah dijalankan—pasti akan diperlukan lagi kalau kondisinya menunjang; dan, kedua, harus ada kepekaan khusus untuk mengakumulasi panggung ideologis.

Akumulasi panggung ideologis


Panggung-panggung tersebut bisa tersedia sebagai hasil semakin berwibawanya suara radikal, yakni karena mencapai tingkat-tingkat persatuan progressif yang mempesonakan, baik di medan organisasi politik maupun sektoral.

Panggung-panggung tersebut juga bisa tersedia dengan merespon isu-isu yang memiliki makna ideologis tinggi. Contoh-contoh saat ini termasuk:

§ solidaritas terhadap revolusi Venezuela yang mencetuskan “sosialisme abad 21” (yang bisa dikaitkan dengan “sosialisme ala Indonesia”);
§ represi terhadap buku, kurikulum atau acara sejarah (yang berpotensi dapat beraliansi dengan intellectual, yang belum tergarap dengan baik);
§ repressi, kekerasan, diskriminasi terhadap kaum perempuan, karena unsur (ideologis) egaliter dan anti keterbelakangan dalam budaya memiliki makna ideologis yang sangat tinggi dan memiliki potensi bagi revolusi kebudayaan yang dahsyat.

Ada juga contoh-contoh lain—yakni merspon isu-isue yang mebutuhkan perdebatan dengan figur-figur burjuis yang sedang mencari hati massa:

§ Serangan-serangan nasionalis (kanan) terhadap asing, yang mengabaikan aspek kekuasaan rakyat—seperti tuntutan pembaruan kontrak/peninjauan kontrak karya ataupun nasionalisai tanpa SEKALIGUS mempersoalkan SIAPA yang menguasi asset dalam negeri tersebut—dan agitasi para nasionalis gadungan lainnya;
§ Pembelaan borjuis terhadap sistem parlementer dan kepartain yang ada sebagai demokrasi yang ideal; harus dibalas dengan argumentasi bahwa demokrasi tersebut adalah demokrasi yang hanya diperuntukan bagi mereka yang mampu MEMBELInya dan, karena itu, dibutuhkan untuk sistem demokrasi lain, demokrasi sejati yang berdasarkan pada partisipasi (mobilisasi) massa.

Read More......

06 Agustus 2008

Statament FPN Samarinda Kalimantan Timur

Pernyataan Sikap
FRONT PEMBEBASAN NASIONAL (FPN)
Samarinda, Kalimantan Timur

KESEJAHTERAAN RAKYAT ADALAH TANGGUNG JAWAB NEGARA !!

NAIKKAN UPAH MINIMUM PROPINSI (UMP) KALTIM SESUAI DENGAN KEBUTUHAN HIDUP LAYAK (KHL), OLEH PERSATUAN MOBILISASI RAKYAT DAN DIBAWAH KONTROL RAKYAT !
BUBARKAN DEWAN PENGUPAHAN PROPINSI KARENA HANYA MENJADI ALAT JUAL-BELI MASSA BURUH OLEH ELIT SERIKAT BURUH DAN ELIT PEMERINTAHAN UNTUK KEMUDIAN HARUS SEGERA DIGANTI DENGAN DEWAN BURUH YANG MELIBATKAN PARTISIPASI LANGSUNG SELURUH UNSUR MASSA BURUH DALAM MENENTUKAN KEBIJAKAN AKAN UPAH BURUH !
TURUNKAN HARGA BBM DENGAN PERSATUAN MOBILISASI RAKYAT !

Genderang perlawanan dan perjuangan massa buruh dan rakyat Samarinda, Kalimantan Timur dalam menuntut naiknya Upah Minimum Propinsi (UMP) sesuai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai akibat dari kebijakan pemerintahan atau negara yang menaikkan harga BBM dan harga kebutuhan pokok rakyat (Sandang, Pangan, Papan) telah dijalankan sejak tanggal 09 Juni 2008 oleh Front Pembebasan Nasional (FPN) Samarinda, Kalimantan Timur yang berisikan unsur-unsur maju dari; Mahasiswa, kaum miskin kota, kaum buruh, kaum tani dan perempuan di Samarinda, yang mana telah diketahui bahwa sejak tanggal tersebut FPN Samarinda setiap hari melakukan aksi-aksi, dan terus membesar dan menyatu dari hari ke hari. Ini menunjukan, bahwa tingkat kesejahteraan rakyat sudah dalam batas yang paling rendah, sehingga kenaikan harga BBM sebesar 30 %, tidak akan lagi sanggup di tanggung oleh rakyat Indonesia dan termasuk buruh dan rakyat di Samarinda atau Kalimantan Timur. Hal ini lah yang kemudian memicu lahirnya tekanan dan tuntutan massa buruh di Samarinda untuk menuntut kenaikkan upah yang selama ini tidak pernah diakomodir oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur.

Tuntutan massa buruh Samarinda hingga saat ini masih sarat dengan kepentingan elit-elit serikat buruh gadungan dan elit-elit pemerintahan yang tergabung dalam Dewan Pengupahan Propinsi. Kadisnakertrans Kalimantan Timur telah dengan jelas menunjukkan logika dan sikap tersebut, karena apabila Kadisnakertrans Kalimantan Timur memang benar memprioritaskan tuntutan mendesak massa buruh saat ini maka pastinya tuntutan ini tidak akan dihambat oleh jalur birokrasi yang telah ditunjukkan selama ini oleh Pemprov, DPRD dan Disnakertrans serta Elit Buruh gadungan yang berada didalam Dewan Pengupahan Propinsi. Berbagai macam alasan ditunjukkan oleh pihak pemerintah untuk menghambat tuntutan mendesak massa buruh karena hingga saat ini tidak ada Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur dalam hal memenuhi tuntutan mendesak massa buruh.

Karena itu, Front Pembebasan Nasional (FPN) Samarinda, Kalimantan Timur MENUNTUT kepada Pemerintah Propinsi, DPRD Propinsi, Disnakertrans dan Dewan Pengupahan Propinsi untuk segera:
1.Keluarkan Surat Keputusan (SK) Upah Minimum Propinsi (UMP) sesuai dengan KHL !!
2.Libatkan seluruh unsur: organisasi atau serikat dan massa buruh di Kalimantan Timur untuk menentukan kebijakan akan nilai Upah Minimum Propinsi (UMP) !!
3.Turunkan harga BBM dan kebutuhan pokok rakyat !!

Sekaligus melalui pernyataan sikap ini kami dari Front Pembebasan Nasional (FPN) Samarinda, Kalimantan Timur menyerukan kepada massa buruh di Samarinda dan Kota/Kabupaten di Kalimantan Timur untuk melakukan MOGOK KERJA SERENTAK pada hari Selasa, 29 Juli 2008 dan turun kembali untuk mengepung Kantor Gubernur (mulai pukul 08.00 Wita) hingga tuntutan mendesak buruh dan rakyat miskin saat ini terpenuhi !!
Karena hanya desakan dan tuntutan massa yang resah dan lapar melalui aksi-aksi massa adalah satu-satunya jalan yang bisa dipercaya. Sudah cukup ditelikung dan dikhianati oleh elit-elit dan pemerintahan saat ini.
Hidup persatuan buruh dan rakyat miskin untuk berkuasa ditanah dan dinegeri sendiri !!

Statement ini dikeluarkan oleh:
Front Pembebasan Nasional ( F P N ) Samarinda, Kalimantan Timur
SBMI, KSBI-SBTM, SBP, OSKM Sumalindo, KASBI, Pokja 30, PRP, KPRM, JNPM, LMND-PRM,
FNPBI-PRM, KM Fisip UM, SRMK, Komunitas Rumah Bambu, BEM Polnes 08/09, ARM Samarinda, FPWM, FPWSS, PMII Samarinda, PKL Buah Samarinda, PKL Oedah Etam, BEM STAIN, JARI, BEM UNMUL
Read More......

Aksi ke-11 FPN Kaltim--29 Juli 2008

Tanggal : 29 Juli 2008
Tempat : Kantor Gubernur

Aksi ini merupakan aksi yang ke-sebelas kalinya (bukan yang ke-sepuluh seperti yang diberitakan oleh SCTV), sejak aksi massa pertama kali FPN Kaltim tanggal 10 Juni 2008 di DPRD Propinsi. Aksi pada hari ini diikuti sekitar 2500 massa buruh dari berbagai alat mobilisasi. Pada awalnya (10 Juni 2008), FPN Kaltim mulai mengusung tuntutan mendesak kaum buruh ini, hingga kemudian berakses terhadap mobilisasi-mobilisasi yang semakin besar dan meluas (mobilisasi dan propaganda); Samarinda, Paser, Balikpapan, Berau di Kalimantan Timur—seperti hari ini.
Sebelumnya pada tanggal 23 Juli 2008 sekitar 70 orang massa FPN Kaltim melakukan aksi pendudukan (menginap) di depan pagar kantor gubernur Kaltim, hingga kemudian pada esok harinya tanggal 24 Juli 2008 bergabung bersama 3000 massa buruh dari berbagai serikat untuk mengepung kantor Gubernur.


Tuntutan mendesak FPN Kaltim dari awal hingga saat ini adalah:
1.Turunkan harga BBM dan kebutuhan pokok rakyat !!
2.Naikkan upah buruh sesuai KHL !!
3.
Dengan mengusung isu:
1.Bangun pemerintahan alternative dibawah kendali rakyat !!
2.Bubarkan Parlemen, Ganti dengan Dewan Rakyat !!
3.Bubarkan Dewan Pengupahan, Ganti dengan Dewan Buruh !!
4.Nasionalisasi Industri Tambang dan Migas di bawah kontrol rakyat !!
5.Hapus utang luar negeri !!
6.Usir IMF dan Bank Dunia dari Indonesia !!
7.Singkirkan SBY-JK dan Parpol Elit !!
8.Bubarkan Konfederasi Gadungan, ganti dengan Konfederasi Alternatif di bawah kendali buruh !!

Kesemua isu tersebut diusung oleh FPN Kaltim dalam aksi-aksinya di Samarinda dan Bontang; 13 Juni 2008 (meskipun tidak kesemua isu tersebut di munculkan oleh media propaganda borjuis).
Aksi massa FPN pada hari ini dimulai pada pukul 09.00 Wita dan langsung mengepung kantor Gubernur serta langsung memblokir dua ruas jalan utama sehingga Samarinda benar-benar macet. Pagar kawat berduri dan 2000 aparat kepolisian (informasi dari Kaop. Poltabes Samarinda AKP Hadi Purnomo) serta mobil water canon telah berjaga-jaga di dalam halaman kantor Gubernur. Mengingat sebelumnya pada aksi tanggal 14 juli, massa FPN merobohkan pagar masuk utama kantor DPRD Propinsi dan kemudian aksi tanggal 24 juli, giliran pagar masuk kantor Gubernur yang jadi korban ekspresi kemarahan massa buruh terhadap Pemprov yang tidak kunjung jua memenuhi tuntutan mendesak massa buruh ini.

Pada pukul 14.00 Wita, massa buruh yang semakin frustasi dengan sikap Pemprov kembali mengeluarkan ekspresi kemarahannya. Baliho-baliho besar yang berada diseberang jalan kantor Gubernur dirusaki massa karena baliho tersebut berisikan wajah atau photo muka elit-elit daerah serta nasional seperti SBY, Gubernur dan jajarannya (karena baliho tersebut memang dipasang buat menyambut PON yang berlangsung kemarin)—massa frustasi dengan elit pemerintahan. Dalam ekspresi tersebut, seorang peserta aksi, kawan Ucil (buruh pabrik plywood Samarinda) ditangkap oleh aparat. Dalam waktu 15 menit, massa aksi FPN menuntut agar Ucil segera dilepaskan atau massa akan lebih ber-ekspresi lagi. Akhirnya aparat melepaskannya dalam waktu yang ditetapkan tersebut. Massa-pun bersorak sorai (mungkin berarti sebagai sebuah kemenangan kecil dan sangat kecil). Situasi ini benar-benar dimaksimalkan oleh media cetak dan elektronik untuk menghabiskan baterai camera photo dan camera elektronik mereka.

Yel-yel: Buruh Bersatu Tak Bisa di Kalahkan, merupakan andalan FPN saat massa buruh dari berbagai macam warna (SP-Kahutindo, SBSI, SPSI) berada dalam satu titik aksi. Hal ini mampu menarik simpatik massa buruh lainnya sehingga aksi semakin rapat (sebagian massa SBSI memilih bergabung bersama massa FPN). Tapi sayang, pada pukul 17.00 Wita hujan mulai mengguyur lokasi aksi. Hal ini cukup merepotkan perangkat aksi karena mengingat massa aksi yang semakin kelihatan letih, lapar dan lemas. Ya, bisa terbaca, situasi aksi mulai cair karena perangkat aksi juga sama keadaannya. Tapi meskipun cair, terbukti bahwa sebelas kali aksi telah melatih massa aksi untuk memahami betapa pentingnya makna program perjuangan atau tuntutan sehingga sekitar 150 massa aksi FPN memilih tetap bertahan hingga malam dan hingga tuntutan terpenuhi meskipun sebagian besar massa aksi telah pulang pada pukul 17.30 Wita. Hujan semakin deras. Disituasi inilah aparat kepolisian memulai aksinya, massa aksi diminta untuk membubarkan diri, tapi massa aksi menolak dan akhirnya aparat mengajak berkompromi agar massa aksi membuka salah satu ruas jalan yang diblokir, dan massa aksi menyetujuinya karena jumlah peserta aksi mulai sangat berkurang. Massa-pun mendirikan tenda dari terpal di ruas jalan yang diblokir. Saat itu keadaan biasa-biasa saja, hingga akhirnya pada pukul 19.30 Wita massa peserta aksi dari SP-Kahutindo mulai bertindak sendiri dengan coba memblokir kembali ruas jalan yang telah dibuka tadi sambil berjoged ria. Sejak awal aksi, aktifitas mereka memang kebanyakan berjoged lagu dangdut didepan mobil komandonya karena mereka menyewa tiga orang penyanyi dangdut untuk menghibur mereka dalam aksinya.

Dan karena ruas jalan mulai kembali diblokir kembali oleh massa SP-Kahutindo, aparat mulai ikut-ikutan berekspresi. Seratusan barisan tameng aparat (Brimob dan PHH) mulai membentuk ring utama dan menutup semua akses ruas jalan (dan memang jalan kembali terblokir; kali ini diblokir sama-sama oleh massa aksi dan aparat). Water Canon keluar kandang. Intimidasi dimana-mana. Dan menariknya, hanya massa aksi FPN yang diusir karena massa aksi SP-Kahutindo masih jogged dangdut saat intimidasi berlangsung.

Beberapa peserta aksi dipukulin. Tapi tidak apa-apa katanya. Selang setengah jam kemudian, tiba-tiba aparat masuk kandang kembali. Ya, psikologis dan fisik massa yang telah lelah, itu sasaran utama mereka (semacam shock therapy). Aksi tidak bubar dan sekitar 50an massa FPN masih bertahan hingga pukul 23.00 Wita. Hingga pada akhirnya pada pukul 00.00 Wita, Pj. Gubernur meminta pertemuan dengan perwakilan massa aksi. FPN ikut masuk dengan mengirim delegasi yaitu kawan Yudi, Darlina (FNPBI-PRM), Yohanes (SBP), Rukaya (KSBI-SBTM), Phitiri Lari (SBMI), dan beberapa kawan lainnya. Dan pada pukul 01.00 Wita Pj. Gubernur Kaltim (Tarmizi Abdul Karim) mengeluarkan SK Revisi UMP sebesar Rp. 889.000,- (naik 9,16 %) dari angka sebelumnya yaitu Rp. 815.000,- dengan tambahan keputusan bahwa Revisi UMP diikuti dengan UMK dan sektor kerja. Setelah itu massa aksi membubarkan diri dan kembali pulang ke rumah masing-masing untuk istirahat sementara waktu dan akan melakukan konsolidasi kembali pada 03 Agustus 2008.

Demikian berita singkat ini dibuat agar kita dapat semakin memahami bahwa elit; pemerintahan dan parlemen saat ini tidak ubahnya seperti parasit yang coba menggerogoti ekonomi-politik rakyat lewat Pemilu dan Pilkada. 40 tahun dikhianati oleh sisa orba, reformis gadungan dan militer dalam kekuasaannya hingga saat ini, cukup membuktikan kepada rakyat miskin—tertindas bahwa tak ada jalan lain selain bersatu dan menuntut untuk kemudian menciptakan syarat-syarat untuk berkuasa dengan kekuatan, kepemimpinan dan kendali langsung oleh massa rakyat miskin—tertindas. Karena itu, persatuan mobilisasi massa di Kalimantan Timur pada moment ini (dengan alat FPN) telah menunjukkan fungsi dan capaiannya dalam mewadahi persoalan massa buruh dan rakyat miskin, walaupun masih dalam perjalanan menuju kemenangan sejati rakyat itu sendiri yaitu SOSIALISME !! tapi kemudian dia akan terus maju dan terus berjuang walaupun dalam tingkat kerumitan yang sangat tinggi dengan memanfaatkan setiap borok yang dihasilkan oleh penyakit rakyat itu sendiri yaitu; Neoliberalisme dan antek-anteknya.

Hidup Persatuan Rakyat untuk Berkuasa!

Front Pembebasan Nasional ( F P N ) Samarinda, Kalimantan Timur
SBMI, KSBI-SBTM, SBP, OSKM Sumalindo, OTP, SAMTRACO, KASBI, Pokja 30, PRP, KPRM, JNPM, LMND-PRM, FNPBI-PRM, KM Fisip UM, SRMK, Komunitas Rumah Bambu, BEM Polnes 08/09, ARM Samarinda, FPWM, FPWSS, PKL Buah Samarinda, PKL Oedah Etam, BEM STAIN, Jari
Read More......

TERBITAN KPRM-PRD