29 Januari 2008

[Sikap] Tanggung Jawab KPRM-PRD kepada Rakyat dan Gerakan Demokratik

KOMITE POLITIK RAKYAT MISKIN – PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK
(KPRM – PRD)

pembebasan.kprm@gmail.com; www.kprm-prd.blogspot.com


Kebangkitan demokratik kini adalah suatu kenyataan yang tak terbantahkan.
Ia sedang maju dengan kesulitan yang lebih besar, dengan langkah yang lebih lambat
dan mele­wati jalur yang lebih ruwet ketimbang yang kita bayang­kan,
akan tetapi, walaupun demikian, ia sedang maju.


Tanggung Jawab KPRM-PRD kepada Rakyat dan Gerakan Demokratik Menolak Politik Kooptasi/Kooperasi dengan Sisa-sisa Lama, Tentara dan Reformis Gadungan; Bersatu, Tegakkan Politik (Alternatif) Rakyat Miskin!

Pasca penjatuhan Soeharto di tahun 1998, PRD telah menyadari bahwa tuntasnya reformasi, hanya bisa dilakukan jika sisa-sisa kekuatan lama (yakni Golkar dan Tentara) berhasil dikalahkan oleh kekuatan rakyat namun, sayangnya, bukan saja kekuatan lama tersebut tidak berhasil dihancurkan, kekuataan reformis pun, yang termanifestasikan dalam partai-partai politik baru, semakin menunjukan watak aslinya, yang tidak berbeda dengan kekuatan lama dalam kepentingan mengabdi pada modal barat yang sedang menjajah rakyat Indonesia. Dengan demikian, saat ini, bukan saja sisa-sisa lama yang menjadi musuh rakyat, melainkan juga kekuatan reformis gadungan.

Terhadap situasi ekonomi-politik sekarang, kaum gerakan dituntut untuk sanggup me­neliti, menyimpulkan dan mengambil tanggung jawab. Rakyat semakin hari bertambah gamblang mengerti atas bertumpuknya persoalan yang nyata mereka hadapi. Semakin terbuka pula bagi kaum gerakan untuk menjelaskan kaitan persoalan sehari-hari rakyat dengan jaring penindasan imperialisme, bahkan bisa melampui atau menembus beribu ilusi yang terus dipertebal demi menutupi ketertundukan penguasa terhadap kepentingan imperialisme. Sekaligus terdapat harapan perubahan sejati bagi rakyat, bila kekua­tan rakyat sendiri (dengan kaum gerakan di dalamnya) sanggup mencipta jaring perlawa­nan rakyat, yang luas dan semakin menyatu.

Politik rakyat miskin dalam wujud nyatanya adalah perluasan dan penyatuan perlawanan rakyat, penyatuan mobilisasi-mobilisasi rakyat dengan mengusung tuntutan dan jalan keluar persoalan ekonomi-politik rakyat. Mobilisasi ini harus terus meluas dan mengisi setiap ajang politik rakyat, dan pemilu hanya lah salah satunya. Namun apapun ekspresi politik rakyat miskin, hal utama yang tidak boleh dikompromikan ada­lah posisi untuk TIDAK dicampuri, TIDAK disubordinasi atau lepas dari pengaruh, dan (apalagi) TIDAK boleh dileburkan, dengan kekuatan pemerintah agen imperialis, tentara, sisa ORBA dan reformis gadungan. Ya, politik rakyat miskin adalah politik altenatif (tandingan terhadap politik pro penjajah) yang berbasiskan pada kekuatan perlawanan rakyat sendiri, dengan prinsip non-kooperasi dan non-kooptasi dalam berhadapan dengan musuh-musuh rakyat (Imperialisme dan agen-agennya)
Sesulit apapun, pembangun kekuatan perlawanan rakyat harus tetap dikerjakan, harus diatasi dan tidak boleh dihindari. Karena itu semua unsur kekuatan gerakan sebaiknya menyumbangkan strategi-taktik dan metode (yang terus bisa dikembangkan) untuk memperluas kekuatan perlawanan rakyat, membangun kesadaran politik, sekaligus mewujudkannya dalam metode perjuangan rakyat: menuntut dengan mobilisasi massa. (Dan kami, dengan rendah hati berusaha menyumbangkan metode pengorganisasian gerakan tiga bulanan yang, tentu saja harus disempurnakan kembali oleh sumbangan berbagai unsur gerakan. Lihat PEMBEBASAN, No.1, Tahun 1, Januari, 2008.) Dan, atas nama kemudahan-kemudahan untuk berkuasa (dengan alasan bisa melakuakan revolusi dari atas), termasuk menjadi parle­mentaris-oportunis, sejatinya sudah menanggalkan arah sejati perjuangan rakyat, sudah melepaskan diri dari politik kerakyatan.

Politik (alternatif) Rakyat Miskin adalah posisi politik Partai Rakyat Demokratik (PRD) sejak awal berdirinya. Politik yang meletakkan perubahan dan kemenangan rakyat dilandaskan pada kekuatan sendiri, berdasar kekuatan gerakan. Posisi politik tersebut juga lah yang ditanggalkan oleh sebagian Pimpinan PRD [1] saat ini—yang menyebut diri sebagai kaum mayoritas dalam PRD—seiring dengan kepentingan mereka untuk meleburkan PAPERNAS [2] (secara ideologi, politik, organisasi) ke dalam persatuan pemilu bersama partai kaum reformis gadungan dan sekutu pemerintahan agen imperialis, demi mendapatkan kesem­patan masuk parlemen. Karenanya, kami, yang menamakan diri Komite Politik Rakyat Miskin (KPRM)–PRD, adalah sebagian PRD yang menolak menanggalkan politik rakyat miskin, menolak politik parlementaris semata, yang meninggalkan gerakan ekstra parlemen—apalagi politik parlementaris-oportunis.

Politik parlementer, yang kami pahami, adalah politik yang memanfaatkan parlemen untuk memperbesar kekuatan ekstraparlemen, karena sejatinya parlemen sekarang memiliki keterbatasan-keterbatasan untuk memperjuangkan rakyat miskin Indonesia, dan keterbatasan itu hanya bisa didobrak dengan kekuatan ekstraperlemen. Oleh karena itu kami MENOLAK politik parlementer (atas nama JALAN BARU – GERAKAN BANTING SETIR; MERUBAH DARI DALAM) yang mengkanalisasi potensi perjuangan rakyat hanya pada kotak-kotak suara; menumpulkan daya juang rakyat dengan ilusi ‘perubahan dari atas’ – ‘perubahan dari parlemen’; menghancurkan alat politik (alternatif) rakyat dengan mensubordinasikannya pada partai-partai reformis gadungan; menghina martabat rakyat dengan mendudukkannya semeja dengan kekuatan Sisa-sisa Lama, Tentara, dan Reformis Gadungan. Inilah yang kami sebut sebagai politik parlementer oportunis.

KPRM–PRD berdiri memang dimulai dari paksaan (yang, dengan kekuatan otoritas-mayoritas Pimpinan PRD, ke­mudian menjadi keputusan resmi internal PRD) mendesakan terjadinya perpecahan/pembelahan dalam partai atas posisi politik mendukung politik parlementaris-opurtunis atau sebaliknya‒mendukung politik pembangunan gerakan rakyat. Sekarang, posisi tidak demokratik atas pembelahan oleh pimpinan (mayoritas) PRD tersebut sudah kami mengerti sebagai kelaziman yang harus mereka lakukan (sebagai konskwensi posisi politik oprtunisnya); selanjutnya, yang lebih penting bagi KPRM-PRD, adalah berposisi nyata dalam pembangunan politik (alternatif) rakyat miskin bersama kekuatan gerakan rakyat lainnya: PERSATUAN.

Namun demikian, bukan berarti KPRM-PRD berlepas tangan terhadap kehancuran politik kerakyatan PRD, karena seiring dengan dinamika pembangunan gerakan rakyat, sekaligus kami akan lanjutkan dan kuatkan perjuangan internal untuk mengembalikan PRD (dan PAPERNAS) sebagai alat perjuangan politik rakyat miskin. [3] Karena, lewat berbagai cara yang tidak demokratik (sepihak), massa pendukung PRD dan Papernas dibuat tidak (lagi) sepenuhnya mengerti dengan baik--atau tidak bisa menerima berbagai informasi dari berbagai pihak--akan kemana nasib mereka dipertaruhkan demi menjadi peserta pemilu 2009. Mereka tak (lagi) ditanya pendapatnya; dipersempit ruang perdebatannya, untuk turut menentukan arah politiknya di tahun 2009. Massa (bawah) tak diberikan pertanggungjawaban mengapa peluang ‘koalisi’, yang sebelumnya dikabarkan (seolah-olah) begitu besar dan nyata, ternyata gagal di tengah jalan (sebagaimana telah kami peringatkan sebelumnya); dan, bahkan kini bergerak pada ‘peluang koalisi’ lainnya tanpa ada kepentingan untuk mengkonsultasikan pada massa pendukungnya (melanggar janjinya sendiri: bahwa bila peluang koalisi yang pertama gagal maka akan diselenggerakan pertemuan Presidium Nasional kembali). Tentu, kami tidak boleh lepas tangan dari situasi ini.


KOMITE POLITIK RAKYAT MISKIN – PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK
(KPRM – PRD)

Jakarta, 31 januari 2008

ZELY ARIANE

Juru Bicara

Catatan Kaki:
[1] Termasuk semua Ketua Umum PRD yang sudah dikooptasi oleh elit-elit, kelompok-kelompok, partai-partai kaum reformis gadungan.
[2] Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS) yang didirikan oleh PRD bersama beberapa organisasi massa.
[3] Saat ini, politik (alternatif) rakyat miskin PRD-PAPERNAS sudah terkonsolidasi di Sumatra Utara, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jogjakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Kalimantan Timur, dan Papua.
Read More......

[Sikap] Tolak instruksi pengibaran bendera setengah tiang

PERNYATAAN SIKAP
PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA

Tolak instruksi pengibaran bendera setengah tiang !!!
Tolak status kepahlawanan bagi Soeharto !!!
Usut tuntas kasus pelanggaran HAM masa lalu !!!

Pada tanggal 27 Januari 2008, Soeharto telah meninggal dunia. Rencana pemakaman pun ditetapkan pada tanggal 28 Januari 2008 di Astana Giribangun, Karang Anyar. Seluruh media massa elektronik sejak pagi menyiarkan secara langsung prosesi pemberangkatan jenazah Soeharto ke Solo dan pemakaman di Astana Giribangun.

Penggelumbungan opini bahwa Soeharto merupakan pahlawan bagi Indonesia yang harus diingat jasa-jasanya semakin meningkat. Mulai ketika Soeharto sakit sampai meninggalnya Soeharto, selalu saja beberapa tokoh dan media massa menyebarkan ke masyarakat bahwa sebaiknya jasa-jasa Soeharto tidak boleh dilupakan, dan memaafkan segala kesalahannya di masa lalu.

Bahkan pada tanggal 27 Januari 2008, pemerintah mencanangkan hari berkabung nasional selama seminggu, mulai dari tanggal 27 Januari – 2 Febuari 2008. Pemerintah pun menginstruksikan rakyat agar mengibarkan bendera setengah tiang. Hal ini menurut pemerintah berdasarkan PP Nomor 62 tahun 1990. Selain itu, rumor pemerintah akan memberikan status kepahlawanan kepada Soeharto atas jasa-jasanya juga beredar dengan kencang.

Hal ini sebenarnya harus diwaspadai oleh rakyat Indonesia. Karena dengan kencangnya opini pengingatan jasa-jasa Soeharto, ini merupakan upaya sistematis agar rakyat Indonesia melupakan kesalahan-kesalahan Soeharto pada masa kepemimpinannya. Penghembusan opini oleh para mantan pejabat tinggi negara, baik dari sipil maupun militer merupakan upaya mencari perlindungan dari para kroni-kroni Soeharto.

Yang harus diingat oleh rakyat Indonesia adalah pelanggaran HAM pada masa lalu, bukan hanya Soeharto seorang. Pelanggaran HAM pada masa lalu dapat terjadi karena Soeharto didukung oleh kroni-kroninya dalam melaksanakan pelanggaran HAM tersebut.

Selain itu, opini bahwa pada masa pemerintahan Soeharto lebih baik dari pada masa sekarang juga semakin menguat. Namun sebenarnya karena politik otoriterian yang diterapkan oleh Soeharto yang menyebabkan kesenjangan-kesenjangan yang terjadi pada rakyat saat ini. Soeharto lah yang menanamkan benih kesenjangan pada kehidupan rakyat Indonesia saat ini. Sementara pemerintah sekarang melanjutkan kebijakan Soeharto yang ternyata semakin melebarkan kesenjangan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Maka dari itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) menyatakan sikap:
1. Menolak pengibaran bendera setengah tiang selama seminggu yang diinstruksikan oleh pemerintah.
2. Menolak ide pemberian status kepahlawanan kepada Soeharto karena perilaku Soeharto pada masa kepemimpinannya yang menyebabkan berbagai pelanggaran HAM di Indonesia tidak menunjukkan kharisma kepahlawanan.
3. Negara harus mengusut secara tuntas peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi pada masa kepemimpinan Soeharto, dan mengusut kasus korupsi yang melibatkan nama Soeharto.

Jakarta, 28 Januari 2008
Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja

Sekretaris Jenderal
Irwansyah

--
Komite Pusat
Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP)

JL Gading Raya gg Gading IX No 12 Pisangan Timur, Jakarta Timur
Telp : (021) 93094075
Fax: (021) 47881632
Email : prppusat@gmail.com
prppusat@yahoo.com
Blogsite : rakyatpekerja.blogspot.com
Website : www.prp-indonesia.org Read More......

[Sikap] KELUARGA WIJI THUKUL MENOLAK PENGIBARAN BENDERA SETENGAH TIANG

SIARAN PERS

KELUARGA WIJI THUKUL
MENOLAK PENGIBARAN BENDERA SETENGAH TIANG
DAN TETAP MENUNTUT PERTANGGUNGJAWABAN KEJAHATAN SOEHARTO DALAM KASUS PENGHILANGAN PAKSA AKTIVIS ANTI ORDE BARU

Hari ini, Soeharto telah dikuburkan di liang lahat, namun itu bukan berarti menguburkan kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang menjadi tanggungjawabnya selama Soeharto memerintah negeri ini selama 32 tahun. Opini yang berlebihan dan mobilisasi puja-puji terhadap Soeharto tidak membuat kami, keluarga Wiji Thukul (korban penghilangan paksa 1997-1998), berubah sikap. Tindakan Pemerintahan SBY-JK yang memerintahkan pengibaran bendera Merah Putih setengah tiang adalah kebijakan yang berlebihan dan menyakiti hati jutaan rakyat Indonesia yang menjadi korban pelanggaran hak-hak sipil politik dan hak-hak ekonomi sosial budaya semasa Soeharto berkuasa. Hingga saat ini, kami, selaku adik kandung, istri, dan anak-anak Wiji Thukul, tidak pernah melupakan kebengisan kekuasaan Soeharto melalui aparat militer yang mengobrak-abrik rumah kami, mencuri buku-buku dan koleksi kaset kami dan membuat orang yang kami cintai, Wiji Thukul, hilang tak tentu rimbanya.
Untuk itu, sebagai bagian dari korban kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Soeharto, kami, keluarga Wiji Thukul, menolak mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang dan akan terus berjuang bersama seluruh korban menuntut pertanggungjawaban kejahatan kemanusiaan Soeharto, terutama untuk kasus penghilangan paksa aktivis anti Orde Baru.

Solo – Jakarta, 28 Januari 2008

Dyah Sujirah/Sipon (istri Wiji Thukul)
0817250854
Wahyu Susilo (adik kandung Wiji Thukul)
08129307964
Fitri Nganthi Wani (anak Wiji Thukul)
Fajar Merah (anak Wiji Thukul)
Read More......

26 Januari 2008

[Sikap] Surat Terbuka

Surat terbuka kader Partai Rakyat Demokratik dan Pengurus DPP Papernas
Xaveria Rienekso H

Salam Pembebasan !


Surat terbuka ini menindaklanjuti Surat Keputusan No. 14/KPP-PRD/Pemb/XII/2007 yang dikeluarkan oleh Komite Pimpinan Pusat-Partai Rakyat Demokratik (KPP PRD) dan SK Nomor: 070/DPP-PAPERNAS/A/I/2008 yang dikeluarkan oleh DPP Papernas. Surat terbuka ini saya buat karena menjadi kebutuhan mendasar hak atas demokratisasi karena tidak ada lagi demokratisasi ataupun "sendem" (sentralisme demokratik) seperti yang selama ini menjadi satu kunci kemenangan PRD dan atau dengan landasan ini, PRD memecat kadernya begitupun DPP Papernas, termasuk saya. Tidak ada harapan yang berlebihan atas surat terbuka yang saya buat ini, namun dengan demikian, setidaknya semua pihak bisa mengerti dan memahami landasan KPP PRD yang dipimpin oleh Agus Jabo Priyono dan Dita Indah Sari dan DPP Papernas yang dipimpin oleh Agus Jabo Priyono dan Haris Sitorus melakukan pemecatan terhadap saya sebagai kader PRD dan pengurus DPP Papernas.

Pemilu 2009 merupakan momentum politik yang menjadi titik tolak untuk menentukan nasib 200 juta rakyat Indonesia kedepan. Dengan Pemilu 2009 tersebutlah yang menjadi salah satu bagian landasan bagi PRD untuk cita-cita mensejahterakan rakyat. Untuk itulah PRD mengambil sikap politik untuk mengintervensi Pemilu 2009. Pemilu 2009 tidak bisa dilewatkan begitu saja tanpa keterlibatan (intervensi) dari seluruh gerakan demokratik dan rakyat. Dan bagi PRD, sebagai partai politik memiliki tugas pokok yaitu untuk memperjuangkan dan membela kepentingan massa pendukungnya dan untuk memaksimalkan partisipasi rakyat dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Oleh karena itulah Pemilu menjadi penting bagi PRD untuk diintervensi terlebih lagi ditengah situasi krisis ekonomi-politik Indonesia saat ini. Dimana penjajahan modal asing semakin kuat bercokol di tanah air yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran, kemiskinan, liberaliasai ekonomi yang berakibat pada hancurnya produk pertanian Indonesia, hancurnya industri nasional. Pemilulah yang akan memilih wakil-wakil rakyat dalam lembaga perwakilan atau parlemen, dan merupakan salah satu pranata konstitusional bagi perubahan hubungan-hubungan kekuasaan. Situasi inilah yang menjadi landasan bagi PRD bersama dengan organisasi-organisasi massa demokratik membentuk alat politik baru : PAPERNAS. Dengan alat politik baru inilah PRD dan ormas-ormas demokratik bekerja penuh untuk mengintervensi Pemilu 2009.

Namun demikian UU Pemilu dan Partai Politik saat ini tidak mengkehendaki kehadiran partisipasi politik rakyat. Dalam berbagai pasalnya tidak mengakomodir kepentingan mayoritas rakyat untuk membangun alat politiknya sendiri.

Melihat situasi ini, dalam proposal PRD yang ditawarkan di Presidium Nasional PAPERNAS—yang kemudian disetujui oleh sebagian anggota PAPERNAS, disetujui oleh sebagian kader PRD, catatan : draft proposal PRD dibuat oleh sepihak/sebagian kader PRD saja/tidak melibatkan seluruh partisipasi kader--- menunjukkan arah politik dalam mengintervensi Pemilu 2009 dengan taktik koalisi/merger/fusi (bergabung/berkoalisi dengan partai politik yang akan lolos menjadi partai politik peserta Pemilu 2009). Dan Partai Bintang Reformasi (PBR) merupakan Parpol yang menjadi rujukan PRD untuk PAPERNAS berkoalisi dalam Pemilu 2009. Dengan koalisi ini diharapkan PAPERNAS dapat melanjutkan kerja intervensi Pemilu 2009 yang dimaknai bisa menjadi partai politik peserta Pemilu, bisa masuk parlemen. Dan mengapa PBR yang menajdi rujukan? Dalam argumentasi PRD yang dipimpin oleh Agus JP dan Dita Indah Sari, bahwa PBR merupakan partai politik yang anti terhadap imperialisme, pro rakyat miskin, dan harapan besar untuk bisa "memerahkan" PBR menggelanyuti argumentasinya.

Kehendak sikap politik dan segala argumentasi (lebih pada pembenaran dan manipulatif yang membenarkan PBR sebagai partai pro rakyat miskin) PRD saat ini dalam mengintervensi Pemilu 2009, oleh sebagian kader dan Komite Pimpinan Wilayah PRD dan di Papernas sendiri dinilai tidak sesuai dengan situasi obyektif dan garis politik PRD dan Papernas yang lahir dari kesadaran untuk menjadi partai alternatif. Dalam hal ini, saya sebagai salah satu kader yang menolak politik koalisi Partai Politik dalam mengintervensi Pemilu 2009 menilai Pemilu 2009 tidak mencerminkan kedaulatan rakyat sejati dan tidak akan menghasilan perubahan bagi kesejahteraan dan kedaulatan rakyat.

Pemilu 2009 hanya alat legitimasi kekuasaan rejim boneka imperialis. Karena perangkat hukum yang mengiringinya tidak mengakomodir kepentingan 200 juta rakyat miskin di Indonesia. UU yang melegitimasinya tidak melibatkan partisipasi rakyat dalam perumusan sampai pengesahannya. Jalan parlementer untuk rakyat miskin bagi perubahan politik telah ditutup! Keterlibatan Partai Politik yang ada sekarang, dalam proses perumusan dan pengesahanya tidak representatif bagi perjuangan rakyat miskin. Karena dalam tindakan praktek politiknya tidak ada satupun partai politik di negeri ini yang benar-benar berjuang bersama rakyat, berpihak kepada kepentingan rakyat. "Bagaimana sebuah pemilu bisa berjalan dengan demokratis, jika UU yang mengaturnya tidak demokratis?" "Bagaimana rakyat bisa berpartisipasi politik penuh dalam pemilu 2009 mendatang jika jauh sebelumnya sudah dibelenggu haknya?"

Untuk itulah, saya bagian dari kader PRD dan juga pengurus DPP Papernas menolak politik koalisi PAPERNAS-PBR. Atau mungkin rencana selanjutnya PAPERNAS akan berkoalisi dengan Partai Politik manapun. Yang memang garis politik PRD yang termanifestasikan melalui Papernas saat ini merupakan garis politik yang sekedar mencari peluang akhirnya mengalami hambatan untuk berkoalisi dengan PBR dan menemukan PDP sebagai bentuk peluang untuk berkoalisi meraih kursi di parlemen! Karena sangat jelas bahwa partai politik yang ada saat ini hanya melihat rakyat sebagai objek mesin suara dalam pemilu dan melihat pemilu sebagai arena untuk menyentuh dan melanggengkan kekuasaan belaka! Dan praktek politik yang dijalankan PBR serta Parpol yang lainnya selama ini cenderung menjadi alat negara untuk merepresif rakyat. UU Penanaman Modal yang mengakibatkan liberalisasi ekonomi negeri ini disahkan oleh Parpol-parpol tersebut. Begitu pula penggusuran rumah, penggusuran pedagang, represifitas terhadap petani di beberapa daerah, pembiaran korban kasus lumpur Lapindo, dll tidak pernah menjadi sentuhan riil parpol-parpol, termasuk PBR (yang dianggap pro rakyat miskin oleh PRD Agus JP-Dita indah Sari dan Papernas Agus JP dan Haris Sitorus) untuk mensejahterakan rakyat pendukungnya. Jadi sangat tidak tepat jika PRD menegaskan dirinya untuk mendorong alat politik barunya : PAPERNAS untuk berkoalisi dengan PBR (atau parpol lainnya).

Bagi saya, PRD yang lahir dari labirin politik yang sekat-sekatnya telah dibangun dan dijaga oleh rejim militeristik, kami lahir dari kondisi mampatnya saluran-saluran politik parlementer, PRD lahir dan tumbuh dari rahim gerakan massa tidak bisa dengan semena-mena menghancurkan kepercayaan massa rakyat untuk berkuasa, dengan jalan berkoalisi dengan parpol yang selama ini telah mengebiri kepentingan rakyat itu sendiri. Karena ada satu situasi yang lebih konkrit dan penting untuk segera dijalankan oleh PRD yaitu membangun persatuan diantara gerakan demokratik dan bersama-sama dengan massa rakyat luas untuk membangun politik alternatif rakyat miskin sehingga rakyat mampu membantu dirinya sendiri, berjuang untuk dirinya sendiri merebut kekuasaan dari rejim boneka imperialis dalam mengintervensi pemilu, tanpa berkoalisi dengan parpol-parpol yang nyata-nyata memanipulasi kesadaran rakyat, menipu rakyat dan menegasikan kepentingan/kebutuhan rakyat saat ini.

Sampai disini, PRD "memberikan ruang demokrasi" bagi para kadernya untuk meyakini sikap politik masing-masing : sikap politik koalisi parpol dan sikap politik alternatif rakyat miskin (menolak koalisi PAPERNAS-PBR). Namun "ruang demokrasi" tersebut telah benar-benar ditutup oleh pimpinan PRD sendiri. Proposal PRD dalam Presidium Nasional PAPERNAS tidak lahir dari seluruh aspirasi kader. Bahwa proses pemecatan saya dari kader dan keanggotaan PRD tidak melalui mekanisme demokratis seperti yang tercantum dalam AD/ART dan semangat PRD selama ini. Dan persoalan tidak menjalankan sentralisme demokratik, melakukan fitnah, menghancurkan organisasi, memanipulasi, mengintrik seperti yang dituduhkan oleh KPP PRD yang dipimpin Agus J Priyono dan Dita Indah Sari terhadap saya sungguh tanpa landasan yang rasional dan bukti kosong (tidak melalui pembuktian/mekanisme yang seharusnya dijunjung tinggi dalam sebuah organisasi progresive-revolusioner). Dan menurut saya, pemecatan saya dan kader PRD yang lainnya, sikap ini lebih menunjukkan bahwa PRD yang dipimpin Agus JP-Dita Indah Sari benar-benar memanipulasi kesadaran rakyat dengan propaganda koalisi PAPERNAS-PBR adalah politik alternatif dan solusi kesejahteraan rakyat!

Namun demikian, saya sangat menyadari betul, karena untuk pikiran-pikiran saya (dan kawan-kawan yang menjujung tinggi politik alternatif rakyat miskin) inilah, saya (dan atau kami) telah didakwa semena-mena melakukan tindakan "subversif" oleh KPP PRD yang dipimpin Agus JP dan Dita Indah Sari. Jika saja KPP PRD yang dipimpin Agus JP dan Dita Indah Sari tidak hendak memanipulasi kesadaran massa rakyat dan melihat objektif situasi nasional sehingga mampu menjalankan politik alternatif untuk memimpin radikalisasi gerakan massa yang sedang bergerak sporadis dan tidak terpimpin saat ini, dan kepada mereka ditugaskan untuk mengawasi apa yang dipikirkan oleh lebih dari 40 juta rakyat miskin, maka bisa dipastikan : mayoritas rakyat miskin di Indonesia akan terbukti "subversif" seperti kami, seperti rejim mendakwa PRD pada tahun 1997 yang lalu.

Dan untuk pikiran-pikiran saya yang menolak "koalisi PAPERNAS"/politik manipulatif ini di dalam partai revolusioner yang menjujung tinggi demokrasi dan selalu berjuang bersama massa, sungguh ironis karena harus terlebih dahulu dirampas hak demokrasinya! Sungguh pembunuhan karakter, karena pikiran-pikiran saya ini harus memperoleh stigma sebagai perusak organisasi! KPP PRD dan DPP Papernas yang dipimpin oleh para reformis gadungan yang mengalami kelelahan dalam perjuangannya dan ingin segera masuk dan duduk di kursi parlemen, tidak pernah memberitahukan perbuatan yang disangkakan kepada saya dan bahkan dalam beberapa bulan terakhir ini "mereka" tidak mengintegrasikan/mengkoordinasikan saya dalam mekanisme koordinasi organisasi. Yang sesungguhnya itu adalah hak yang harus saya peroleh sebagai kader partai. Namun tiba-tiba sekehendak hati "mereka" melakukan pemecatan!

Indonesia adalah negeri yang selama ini telah memberi saya hidup dari tanah, udara dan airnya. Oleh karenanya, saya sangat mencintai dan merasa memilikinya bersama jutaan rakyat yang dimiskinkan oleh rejim boneka imperislis saat ini termasuk para embrio agen rejim borjuasi : termasuk mereka yang hendak dan sedang memanipulasi kesadaran rakyat (PRD/Papernas). Bersama-sama mereka, saya tidak pernah bosan untuk memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi hak dan kewajiban kami sebagai rakyat. Agar kelak Indonesia bisa menjadi sepenuhnya milik rakyat. Untuk itulah bagi saya, kekuasaan harus diabdikan untuk dan dari rakyat. Untuk itulah saya memilih politik alternatif rakyat miskin dan menolak politik PRD yang dipimpin Agus JP dan Dita Indah Sari dan Papernas yang dipimpin oleh Agus JP-Haris Sitorus untuk "PAPERNAS berkoalisi DENGAN ATAU TANPA PBR". KARENA POLITIK ALTERNATIF RAKYAT MISKINLAH YANG SAAT INI DIBUTUHKAN RAKYAT DAN MENJADI KEMENDESAKAN UNTUK MENGHIMPUN SELURUH KEKUATAN RAKYAT. Bukan "koalisi PAPERNAS" dan bukan pula Pemilu 2009 yang tidak dapat menjawab persoalan kemiskinan/pengangguran/kesulitan ekonomi rakyat saat ini. Oleh karenanya, hari depan negeri ini hanya akan sungguh-sungguh ditentukan oleh rakyatnya, bukan oleh pemilu ataupun parpol-parpol yang hendak memanipulasi kesadaran rakyat.

Pemecatan yang dilakukan oleh PRD dan Papernas terhadap saya dan kawan-kawan yang lainnya, termasuk pembekuan komite-komite wilayah PRD/Papernas karena menolak politik oportunis untuk berkoalisi dengan borjuasi, memberikan satu bukti bahwa :

1. Bahwa PRD telah meremehkan kemampuan rakyat dan gerakannya untuk melakukan pembebasan (radikal) bagi dirinya sendiri dari penjajahan imperialisme dan boneka-bonekanya;
2. Bahwa PRD telah meremehkan kemampuan rakyat dan gerakannya untuk membangun persatuan yang kokoh untuk membebaskan dirinya dari penjajahan imperialisme dan boneka-bonekanya;
3. Bahwa PRD telah memberikan ilusi (baca: menipu) rakyat, dengan menyimpulkan bahwa perlawanan anti imperialisme dan bonekannya di parlemen (saat ini) sangat besar peluangnya;
4. Bahwa PRD telah menghancurkan politik dan alat perjuangan alternatif rakyat, yakni PAPERNAS dan organisasi pendukungnya, dengan meleburkan diri kepada partai penindas rakyat, sehingga mempersulit perjuangan rakyat ke depannya;
5. Bahwa PRD telah menjerumuskan PAPERNAS pada GARIS POLITIK PARLEMENTARIS


Terimakasih.
Demikian surat terbuka ini saya sampaikan. Dan kepada Partai Rakyat Demokratik saya ucapkan banyak terimakasih, karena PRD yang membuat saya banyak belajar untuk mengerti persoalan mendasar rakyat.

Terimakasih,

Xaveria (Staff KPP PRD, Bendahara I Dewan Pimpinan Pusat PAPERNAS dan Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional) Read More......

23 Januari 2008

[Papernas] Agus Jabo Priyono: "Jangan Menjadi Subordinasi Partai Besar"

"Bagaimana dengan Politik Subordinasi ke Partai Kaum Muda Reformis Gadungan (yang kecil) atau Partai Baru Kaum Tua (yang Reformis Gadungan)? "

Ketua Umum Papernas Agus Jabo Priyono


Sinar Harapan, Senin, 5 November 2007

Di tengah mainstream partai besar, sekelompok pemuda yakin dengan jalannya mendirikan partai alternatif, Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas ) di Yogyakarta, 21 Januari 2007. Ketua umum Papernas Agus Jabo Priyono menjawab pertanyaan wartawan SH, Inno Jemabut, berikut petikannya.

Dulu Anda aktivis mahasiswa. Mengapa mendirikan partai dan tidak masuk ke partai yang ada?
Ada dua situasi yang berbeda. Pertama, pada era Orde Baru, hanya ada dua partai politik (PPP dan PDIP -red) dan Golongan Karya yang lalu menjadi Partai Golkar saat ini. Menurut kami, itu sangat tidak demokratis. Kami kemudian mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD). PRD ini sebagai partai alternatif. Kedua, pada era Reformasi sistem multipartai muncul. Kita harus mengikuti mekanisme demokrasi yang ada. Tidak bisa kita ingin jadi pemimpin dan keluar dari mekanisme yang sebelumnya ingin kita tegakkan secara demokratis.

Tanggapan Anda terhadap ikrar “saatnya kaum muda memimpin”?
Secara objektif, peluang kaum muda untuk menjadi pemimpin memang sangat besar. Legitimasinya juga kuat. Namun, secara subjektif, masuknya kaum muda ke partai politik besar yang sudah ada merupakan bentuk subordinasi diri. Itu yang dilakukan Budiman Sudjatmiko, dkk ke PDIP, dan beberapa lainnya juga ke Partai Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) atau partai lainnya. Di samping itu, negara ini memang banyak persoalan sehingga kaum muda juga terfragmentasi ke macam-macam persoalan itu juga. Upaya mewujudkan tujuan itu memang tidak gampang tetapi harus dimulai dan dijalankan. Akan sangat sulit bagi kaum muda untuk tampil melalui partai-partai besar. Mereka memiliki sistem dan mekanisme yang mapan. Tidak gampang kalau sudah menyubordinasikan diri ke dalamnya dan dalam waktu singkat mau jadi pemimpin.

Apakah masih relevan ikrar kaum muda itu?
Sebagai kegelisahan politik dan kepedulian terhadap nasib bangsa dan negara ini ke depan, tentu harus kita apresiasi. Langkah mereka itu juga tak lepas dari lemahnya legitimasi partai saat ini.* Read More......

[Papernas] Papernas Usung 11 Calon

"Politik Semacam ini lah yang menghancurkan Politik (Alternatif) Rakyat Miskin"

Radar Lampung Online

BANDARLAMPUNG - Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Persatuan Pembebasan Nasional (DPD Papernas) Lampung mengusung 11 nama calon untuk meramaikan bursa Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2008. Calon-calon tersebut dianggap memiliki kapabilitas dan komitmen kerakyatan sesuai program partai itu.

Ke-11 nama calon itu adalah Ir. Yusuf Sulfarano Barusman, M.B.A.; M. Alzier Dianis Thabranie; Andie Arief, S.I.P.; Dr. Kiswoto; Komjen Pol. (Purn) Dr. H.M. Sofjan Jacoeb; Hi. Abdullah Fadri Auli; Drs. Hi. Soeharto; Kasmir Triputra; Hi. Zulkifli Anwar; Prof. Dr. Ir. Muhajir Utomo, M.Sc.; dan Andy Achmad Sampurna Jaya. Dukungan disampaikan dalam press release Nomor 01/DPD I-Papernas Lpg/D/IX/2007.

Ketua Pelaksana Harian DPD Papernas Lampung Abu Hasan menjelaskan, Pilgub Lampung merupakan pesta demokrasi yang harus disikapi semua elemen masyarakat. Berdasar pleno wilayah DPD Papernas Lampung, Papernas akan ikut serta mengintervensi Pilgub 2008. Sebab, pemimpin yang baik ikut menentukan kesuksesan Lampung ke depan.

Karenanya, Abu didampingi Sekretaris DPD Papernas Lampung Donna Sorenty Moza mengimbau parpol dan lembaga independen lainnya memperketat proses penjaringan cagub. ”Terutama proses verifikasinya. Jangan sampai parpol hanya memperhatikan popularitas atau sosok yang memiliki kemampuan finansial belaka,” ingat Abu.

Hal itu, menurut dia, bukan hanya tugas parpol, namun juga menjadi tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Lampung, sesuai UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Terkait pemilu kepala daerah (pilkada) di Tulangbawang, Lampung Barat, dan Tanggamus, Agus menegaskan KPU harus independen dan bertindak tegas jika ada seorang calon melakukan tindakan melawan hukum, baik secara administrasi maupun persyaratan-persyaratan yang tertuang dalam items yang dikeluarkan KPU provinsi dan kabupaten. (*) Read More......

[Debat-Papernas] Koalisi (Ala PAPERNAS) Mematikan Pembangunan Gerakan Alternatif--Kritikan terhadap Proposal PRD

PEMBEBASAN NO.1 JANUARI 2008
Oleh: Gregorius Budi Wardoyo

1. Kritikan terhadap Latar Belakang proposal PRD:

§

Disampaikan bahwa mayoritas kelas elit adalah perantara sekaligus mandor bagi kepentingan imperialisme (modal asing).

Apakah pernyataan tersebut bermaksud mengataka: ada sebagaian kecil kelas elit yang tidak menjadi mandor imperialis. Jika memang ada, mestinya ada penjelasan siapa saja mereka dan apa kepentingan ideologi politiknya, karena tidak menjadi mandor bukan sertamerta anti terhadap imperialis, apalagi melawannya.

§

Disampaikan juga bahwa keresahan rakyat terus meningkat dan melahirkan perlawanan-perlawanan namun masih fragmentatif, dapat dikanalisasi secara prosedural dalam demokrasi liberal, dan miskin orientasi politik.

Sekalipun upaya rejim untuk mengkanalisasi perlawanan rakyat terhadap imperialisme dilakukan dengan memaksakan demokrasi prosedural, namun bisa dikatakan upaya rejim tidak sepenuhnya berhasil, karena aksi–aksi massa tiap hari terus terjadi bahkan, di banyak tempat, dengan metode-metode yang radikal, sehingga demokrasi prosedural bukan makin menguat legitimasinya melainkan makin melemah. Demikian juga dengan angka golput yang tinggi dalam pemilihan kepala daerah, atau juga survey banyak lembaga yang menyatakan bahwa rakyat makin tidak percaya kepada parpol pemenang pemilu 2004, tidak percaya pada DPR, tidak pada percaya Pemerintah, tidak percaya pada elit-elit politik, tidak percaya pada birokrasi maupun aparatus keamanan, dan tidak percaya pada hukum. Kenapa perlawanan rakyat masih fragmentasi dan “miskin orientasi politik”? Itu karena campur tangan kaum pelopor masih kurang baik secara ideologi, politik maupun organisasi. Seharusnya ini diakui oleh PRD dan kaum revolusioner lainnya, bahwa kemampuan mereka (secara subyektif) untuk mengintervensi perlawanan rakyat belum cukup kuat, baik dalam pekerjaan ideologi, pekerjaan politik maupun pekerjaan organisasi, bukan malah menyalahkan kondisi obyektifnya (yang sebenarnya kondusif bagi perlawanan politik yang sadar dan terorganisir). Karena rakyat Indonesia, juga rakyat di negeri manapun, hanya akan mendapatkan kesadaran sejatinya—kesadaran sosialisme—jika kaum pelopor terus menerus mengintervensi dengan berbagai macam cara, dengan ketekunan, dengan ketelitian, dengan kesabaran yang tinggi. Pasca reformasi, rakyat Indonesia terus melawan karena tidak ada perubahan yang siginifikan buat mereka, malah makin dimiskinkan. Itulah sumber utama enerji partai revolusioner yang, kalau tepat diolah dengan baik, akan menjadi kekuatan sesungguhnya bagi pergantian sistem ekonomi-politik di Indonesia, dan akan menular ke negri-negeri lainnya.

§

Juga dikatakan, dalam pendahuluan, bahwa belum ada alternatif yang sanggup tampil ke arena politik untuk memimpin, mengolah, dan mengarahkan keresahan rakyat tersebut menjadi perjuangan anti imperialisme yang efektif.

Jelas, jelas sekali. Memang belum ada alternatif. Untuk kepentingan itulah PAPERNAS kita dirikan, agar rakyat miskin, rakyat yang melawan, mempunyai saluran perlawanannya, mempunyai ideologinya sendiri, mempunyai politiknya sendiri, dan mempunyai alat perjuangannya sendiri yang akan berhadapan dengan semua kekuatan politik anti rakyat baik Imperialis maupun boneka-bonekanya di Indonesia. Dan pekerjaan untuk menjadikan PAPERNAS sebagai alternatif belum selesai, dan tidak akan pernah selesai sekalipun nantinya rakyat Indonesia sudah menang, karena masih ada tanggung jawab untuk membebaskan rakyat di negeri-negeri lain. PAPERNAS tidak didirikan semata-mata untuk PEMILU, tetapi sejatinya adalah untuk memimpin dan membesarkan gerakan rakyat, sehingga hidup matinya PAPERNAS bukan ditentukan oleh penguasa atau oleh siapapun (musuh rakyat), melainkan oleh rakyat sendiri, karena PAPERNAS adalah milik rakyat miskin.

§

PRD juga menyampaikan: dalam proses sebelumnya, upaya membangun persatuan tersebut belum membuahkan hasil yang signifikan, baik dengan unsur-unsur gerakan [lewat KPGR (Konferensi Persatuan Gerakan Rakyat), ABM (Aliansi Buruh Menggugat), dan PPR (Partai Perserikatan Rakyat)] ataupun dengan unsur-unsur moderat (intelektual, tokoh-tokoh politik, agamawan, ekonom, tokoh LSM, budayawan, dan lain sebaginya).

Betul, sudah ada upaya. Tapi, jika mau jujur, upaya untuk membangun persatuan tersebut, dalam rencana yang disusun pada saat itu, hanyalah dengan mencoba meluluskan proposal, bukan dengan kerja-kerja bersama dalam merespon momentum-momentum politik atau momentum-momentum perlawanan rakyat. Memang ada KPGR, namun itu bukan rencana kita, itu adalah usulan dari kawan lain di luar kita, yang kemudian kita sepakati dan kita coba kerjakan. Dalam prekteknya, memang unsur-unsur gerakan, terutama yang ada di Jakarta, tidak bersungguh-sungguh tapi, di luar Jakarta, sambutan terhadap KPGR ini cukup luas. Sayangnya, karena kelemahan kepemimpinan di Jakarta, sambutan yang luas di berbagai daerah tersebut tidak dapat dipertahankan dan diperluas. Padahal, terbukti, ketika kita memutuskan untuk membangun KP-PAPERNAS, sebagian unsur KPGR juga terlibat. Demikian juga halnya dengan ABM: sekalipun intervensi kita minimal, namun penerimaan ABM untuk menjadikan isian TRIPANJI menjadi PLATFORM ABM merupakan sebuah langkah maju, apalagi ABM bukan semata-mata aliansi taktis, melainkan aliansi semi permanen—bahkan, dalam perjalanannya, sekarang akan dimajukan menjadi aliansi permanen dalam bentuk konfederasi serikat buruh; dan, lebih dari itu, ABM telah mendorong terjadinya pembangunan persatuan dengan sektor/gerakan rakyat di luar buruh. Kerja-kerja tersebut, sayangnya, kemudian makin diminimalkan setelah KP-PAPERNAS terbentuk, karena sebagaian kawan menjadi anti atau tidak percaya bahwa capaian yang telah didapat akan bisa dimajukan. Alasan utama beberapa kawan itu: gerakan tersebut tidak mau ikut pemilu. Padahal gerakan tersebut memiliki platform anti imperialis dan punya jaringan yang juga luas. Apakah gerakan anti imperialis harus mau ikut pemilu dulu baru boleh diajak untuk bersatu oleh kita? Naïf alias bodoh: karena sesungguhnya persatuan anti imperialis adalah berkali-kali lebih penting, berkali-kali lebih utama daripada sekadar ikut pemilu. Dan sejarah di banyak negeri, juga di Indonesia, telah menunjukan bahwa pemerintahan borjuis bisa dikalahkan oleh gerakan rakyat di luar mekanisme pemilu. Apalagi pemilu di Indonesia, sistemnya jauh dari demokratik, bahkan menjauhkan rakyat dalam partisipasi yang sesungguhnya sehingga, seharusnya, ketika PAPERNAS memutuskan mengintervensi pemilu, maka kerja utama PAPERNAS adalah mendobrak hambatan-hambatan demokratis yang dibuat oleh rejim, bukannya mengamini. Dan upaya mendobrak hambatan demokrasi tersebut, tidak cukup bersandar pada Aliansi Parpol untuk Keadilan, harus bersandar pada gerakan-gerakan mobilisasi massa, terutama massa yang sadar, massa yang militan, tentunya—dengan demikian membutuhkan pengorganisiran terlebih dahulu. Sedangkan Aliansi Parpol untuk Keadilan bisa dikatakan sangat cair—semua partai yang dirugikan oleh UU Pemilu atau RUU Pemilu bisa bergabung, termasuk partai Hanura maupun PKPB, yang pimpinan-pimpinanya adalah antek-antek Suharto/Orde Baru, pelanggar HAM, anti demokrasi. Bagaimana bisa: mengharapkan komitmen demokrasi pada mereka yang sejatinya anti demokrasi?

§

Dalam Latar Belakang, PRD juga mengajukan pertanyaan apakah intervensi Pemilu 2009 tetap dipandang sebagai sesuatu yang obyektif dibutuhkan—dalam kerangka taktik menghadapi imperialisme? Bila tidak, seperti apakah garis politik lain yang dapat dijalankan oleh struktur Papernas sampai Pemilu 2009? Bila ya, terdapat kenyataan Papernas belum sanggup (berdasarkan laporan organisasi) memenuhi syarat-syarat yang diciptakan rejim, dan apakah melakukan koalisi dengan partai lain dapat menjadi kesepakatan kita untuk pilihan kerja politik ke depan?

Ya, pemilu, sebagaimana juga panggung/momentum politik lainnya, harus di intervensi, tapi intervensi tidak selamanya bermakna harus menjadi peserta agar mendapatkan keuntungan yang maksimal. Mega-Bintang-Rakyat (MBR), yang merupakan taktik intervensi pemilu oleh PRD pada tahun 1997, berhasil mengajak jutaan rakyat tumpah ruah ke jalan dalam mobilisasi-mobilisasi kampanye PPP di banyak kota, dengan mengusung semangat/program Gulingkan Soeharto, Cabut Dwi Fungsi ABRI, Cabut Paket 5 UU Politik dan program demokratik lainnya. Jutaan rakyat tersebut jelas merupakan hasil intervensi PRD, karena Pimpinan PPP maupun PDI Mega justru melarangnya, termasuk Rejim Soeharto pun melarang arak-arakan massa. Namun massa rakyat tidak mengindahkan larangan-larangan tersebut, mereka tetap tumpah dan bergerak di jalan-jalan sehingga, kemudian, dengan intervensi kaum pelopor yang terus berkelanjutan, akhirnya berhasil menjatuhkan Soeharto di tahun 1998—padahal pada Pemilu 1997 GOLKAR menang mutlak, dan Soeharto terpilih kembali menjadi Presiden hingga 2002. Selain itu, tindakan politik tersebut berhasil memukul mundur ABRI hingga ke pojok. Siapakah di antara kita yang berani mengatakan bahwa penjatuhan Soeharto dan kesanggupan memukul mundur ABRI bukan capaian yang luar biasa—padahal, pada waktu itu, PRD adalah partai terlarang, bergerak di bawah tanah, sedang dikejar-kejar, dan dengan jumlah anggota yang sangat sedikit. Ada juga pengalaman Intervensi lainnya yang dilakukan oleh Chavez pada pemilu 1994 di Venezuela: melakukan golput aktif dengan propaganda utama Bukan Pemilu, tapi Majelis Konstituante sehingga, kemudian, pada tahun 1998 berhasil memenangkan Chavez menjadi Presiden dengan program kerakyatannya. Padahal pada pemilu 1994, Chavez ditawarkan menjadi calon Presiden dari Partai Cauza R—partai kiri yang sudah punya kursi lumayan besar di parlemen pada watu itu—namun Chavez menolaknya, karena pemilu masih dikuasai oleh elit/parpol anti rakyat sementara kekuatan rakyat belum teroragnisir dengan cukup kuat. Chavez kemudian mengkampanyekan Bukan Pemilu,Tapi Majelis Konstituante dan terus mengkampayekan kebutuhan akan majelis konstituante pada tahun-tahun berikutnya sekaligus membangun struktur organisasi dan legalitas legal untuk memperjuangkannya. Dan, pada tahun 1996, dua tahun sebelum pemilu 1998, Chavez mengadakan survey pada 100 ribu rakyat [1], yang isinya menanyakan pada rakyat: apakah rakyat menghendaki dirinya mencalonkan diri menjadi Presiden pada Pemilu 1998 atau tidak. Dari 100 ribu orang responden, 87 % menyatakan, Chavez harus mencalonkan diri; survey berikutnya menanyakan: apakah mereka akan memilih Chavez atau tidak. Dari 100 ribu orang responden, 57 % menyatakan akan memilih Chavez. Akhirnya Chavez membentuk partai politik, berpartisipasi dalam pemilu 1998, dan berhasil memenangkan pemilu dengan dukungan 57 % suara, sama dengan hasil survey sebelumnya. Dan kita semua tahu bahwa Chavez kemudian melakukan perombakan UUD secara radikal, sehingga UUD di Venezuela adalah UUD yang paling demokratik baik proses pembuatannya maupun isinya—termasuk banyak sekali program-program kerakyatan seperti pendidikan gratis hingga universitas, kesehatan gratis, menasionalisasi aset-aset negara yang telah dikuasai Asing dan lain sebagainya. Apakah ini bukan capaian yang maksimal, sekalipun Chavez tidak ikut pemilu pada tahun 1994. Dalam kepentingan PAPERNAS SEBAGAI ALTERNATIF, apakah PAPERNAS harus IKUT PEMILU dengan TAKTIK KOALISI—sebenarnya bukan koalisi, tapi MERGER (melebur)—BERSAMA PARTAI BORJUIS (PBR, salah satunya)? Tentu tidak, karena: 1) rakyat Indonesia, seperti kesimpulan di atas, makin tidak percaya pada elit/parpol borjuis, termasuk mekanisme borjuisnya. Rakyat justru membutuhkan ALTERNATIF di luar PARTAI DAN ARENA MEKANISME BORJUIS, sehingga seharusnya KONSENTRASI/PRIORITAS kerja PAPERNAS bukan di situ; 2) merger dengan borjuis (ala PEPRNAS) jelas akan mengikat tangan dan kaki PAPERNA karena, belum apa-apa, sudah meminta TUMBAL, yakni: PAPERNAS sebagai PARTAI POLITIK DIBUBARKAN, diganti PAPERNAS sebagai ORGANISASI MASSA (yang didaftarkan ke DEPDAGRI, walaupun esensinya, katanya, tetap partai. Satu taktik yang membingungkan rakyat). 3) tidak ada satupun partai borjuis yang ada di PARLEMEN sekarang punya persepektif ANTI IMPERIALIS dan PERSPEKTIF DEMOKRASI, apalagi PBR dan PELOPOR bahkan MENJADI PARTAI PENDUKUNG SBY-JK; 4) Papernas belum cukup kuat secara ideologi, politik dan organisasi untuk mencegah pengaruh-pengaruh busuk borjuis, jika terjadi MERGER.

Namun jika koalisi terpaksa dilakukan karena ada situasi-situasi khusus—seperti ada potensi keuntungan yang sangat besar, atau ada ancaman terhadap demokrasi yang nyata dan sangat signifikan—maka bisa saja koalisi dijalankan dengan prinsip-prinsip yang tidak merugikan (kontra-produktif terhadap) kepentingan PAPERNAS sebagai PARTAI ALTERNATIF: 1) landasan Platform koalisi harus jelas, tidak boleh abstrak—sekalipun moderat—dan tidak boleh kontradiktif serta kontra-produktif terhadap program–program PAPERNAS; 2) paling tidak di luar arena merger, harus ada kebebasan bagi PAPERNAS untuk melakukan aktifitas Ideologi, Politik dan Organisasinya—dalam hal ini, bebas mengkampanyekan Tripanji [2] dan program-program lainnya, bebas melakukan metode-metode perjuangannya, bebas menggunakan PAPERNAS sebagai PARTAI (tidak boleh dilarang, apalagi dibubarkan menjadi ormas), dan bebas melakukan kritikan terhadap sekutu baik karena kesalahan masa lalu, masa kini atau jika ada kesalahan sekutu di masa depan; 3) jika syarat tersebut terpenuhi, tetap saja pekerjaan koalisi merupakan PEKERJAAN SEKUNDER, BUKAN PEKERJAAN UTAMA, karena PEKERJAAN UTAMA PAPERNAS adalah MEMBANGUN POLITIK ALTERNATIF, POLITIK RAKYAT MISKIN.


2. Kritikan dalam Hal Analisa Situasi Nasional


§

PRD menyatakan: demikian halnya dalam lapangan politik, belum ada suatu gambaran data maupun kejadian yang mengindikasikan adanya perubahan—yang mengharuskan kita meninggalkan arena elektoral—yang juga diamanatkan oleh Kongres Pembentukan Papernas di Kaliurang.

Apa yang dimaksud dengan belum ada satu gambaran data atau kejadian yang mengindikasikan adanya perubahan yang mengharuskan kita meninggalkan arena elektoral? Jika pertanyaan ini dibalik secara negatif, apakah ada data-data yang menunjukan bahwa PARLEMEN di Indonesia bisa menjadi ajang bagi perubahan sejati?Apakah ada data-data yang menunjukan partaip-partai Borjuis di Indonesia punya perspektif anti Imperialis dan demokrasi? Jika PRD memahami dialektika sejarah meereka seharusnya mengerti bahwa aksi-aksi, YANG sekarang terus-menerus terjadi, adalah buah dari kegagalan sistem demokrasi prosedural dan neoliberalisme, adalah buah dari kegagalan partai-partai politik borjuis dalam memberikan jalan keluar, sehingga dapat manjadi potensi yang luar biasa besarnya bagi POLITIK ALTERNATIF, bagi POLITIK EKSTRA PARLEMEN, bagi PAPERNAS sebagai PARTAI RAKYAT MISKIN. Namun potensi tersebut harus diolah secara tepat, dengan kesabaran yang sepenuh-penuhnya dalam melatih massa, mendidik massa, menggorganisir massa dan menyatukan massa dalam kepemimpinan program/politik, sehingga tidak mustahil akan lahir perubahan yang sejati dengan cara EKSTRA PARLEMEN. Namun jika PRD bermaksud MENUNGGU ADANYA GERAKAN RAKYAT YANG REVOLUSIONER TANPA MENGOLAHNYA, maka ITU BERARTI PRD mengambil sikap BUNTUTISME, mengekor pada kesadaran massa—yang sekarang justru sedang tanpa pengolahan kaum revolusioner. Bagi PRD: harus ada PARASMANAN kesadaran massa yang maju—dan hal itu, katanya, disebut realistis, disebut sebagai tindakan politik kongkrit. Bagaimana mungkin ada parasmanan kesdaran massa yang maju bila tidak diolah oleh kaum pelopor, yang memasokan kesadaran maju? MIMPI. PRD malah menganggap mengolah potensi tersebut sebagai mimpi, karena itu lebih baik mengambil jalan politik yang tidak bertumpu pada kesadaran maju massa (KARENA BELUM ADA), atau jalan pintas politik: menjadi peserta pemilu, APAPUN TUMBALNYA. Ada istilah untuk tindakan tersebut: PRAGMATIK, bahkan kapitulasi (baca: menyerah pada skenario musuh). Padahal, seharusnya, menjadi peserta pemilu (yang tidak mengorbankan segalanya) tujuannya justru untuk membantu pengolahan memajukan potensi kesadaran, tindakan politik, dan organisasi massa (sebagai yang pokok). Bisa saja PRD mengaku bahwa itulah sebenarnya yang akan dilakukan: memanfaatkan peluang pemilu dan duduk di parlemen/pemerintahan untuk menyadarkan massa. Bagaimana mungkin penyadaran massa akan efektif bila sebelumnya saja potensi kesadaran maju dan radikalisasi massa sudah dicemoohkan, dinilai rendah. Sejatinya, apa yang harus dikatakan PRD: Mari, kita mengolah kekuatan bakyat untuk berkuasa (salah satunya dengan cara menjadi peserta pemilu, tanpa mengorbankan segalanya) dan revolusi; dan jadikan pemilu serta parlemen untuk membantu membangkitkan kekuatan rakyat lebih jauh: revolusi. (Harus diingat kesadaran massa saat ini bisa saja dimanipulasi oleh borjuis bila tidak dipasokkan program sejati oleh kaum pelopor.) PRD mencoba agar taktiknya tidak menjadi mimpi, tidak sekadar menunggu kesadaran dan tindakan politik massa menjadi maju, yakni dengan menjadi OPPURTUNIS: 1) memanfaatkan keresahan rakyat, radikalisasi massa, dari parlemen (parlementaris); 2) atau mengambil untung dari hasil pekerjaan (tindakan/mobilisasi politik) orang/kelompok lain, juga dari parlemen Ini persis sama seperti sikap PKS dan ormas-ormasnya—dulu, saat mereka masih di bawah tanah, saat PRD dan kelompok-kelompok demokratik lainnya menggorganisir gerakan penjatuhan kediktaktoran Soeharto (pada tahan 1980an hingga 1990an), PKS tidak terlibat sama sekali dalam gerakan tersebut, namun sedikit demi sedikit mereka membangun dan memperluas struktur seiring dengan terbukannya ruang demokrasi yang diperjuangkan PRD dan kelompok-kelompok demokratik lainnya, dan baru pada detik-detik terkahir penggulingan Soeharto, senat-senat yang mereka kuasai ikut turun ke jalan. Hasilnya, mereka sekarang besar, tetapi besar di atas darah pejuang-pejuang demokrasi, darah kader-kader PRD saat itu, darah rakyat yang telah melawan kedikaktoran Soeharto. Dan bagaimana bila semua orang dan kelompok berpendirian sama dengan PKS/ormas-ormasnya, bisakah ruang demokrasi dibuka lebih lebar (Baca: sehingga bisa membesarkan PKS dan ormas-ormasnya). Benalu dan buntutisme (karenanya pemimpi).

§

Dalam hal analisa politik, PRD menyatakan bahwa, sekalipun ruang demokrasi menyempit dan kekuatan konservatif semakin menguat, celah untuk melawan imperialisme tetap terbuka, baik di arena parlementer maupun ekstra parlamenter. Kita juga sekata, bahwa upaya memundurkan demokrasi ini harus dilawan, agar semakin lapang jalan bagi rakyat untuk berdaulat sepenuhnya. Perlawanan ini nyata sedang kita lakukan.


PRD mengatakan bahwa ada celah untuk melawan Imperialisme di arena PARLEMENTER dan EKSTRA PARLEMETER.. Sebenarnya, seberapa besar celah perlawnan terhadap imperialis di arena parlementer dibandingkan dengan arena di luar parlemen? Bila dianalisa dari partai-partai yang ada sekarang, dari aturan-aturan yang ada di arena parlemen, bahkan dari situasi di parlemen, sangat jelas bahwa celah itu sangat kecil. Sekalipun ada anggota PAPERNAS yang menjadi anggota DPR, celah itu masih sangat kecil, apalagi jika tidak ada gerakan massa di luar parlemen. Namun bandingkan dengan arena di luar parlemen, banyak sekali organisasi gerakan yang mengusung program anti imperialisme—walaupun belum bersikap soal taktik arena parlemen—banyak sekali aksi-aksi di luar arena parlemen yang sangat maju metodenya, banyak sekali perlawanan rakyat (di luar arena perlemen) yang menolak dampak-dampak neoliberalisme, dan semakin meningkat ketidakpercayaannya terhadap arena parlemen. Ekspresi GOLPUT jangan dianggap remeh menjadi semata teknis, tidak bisa bangun pagi, karena kerja, tidak terdaftar sebagai pemilih dan lain sebagainya. Karena rakyat akan bersemangat mengikuti pemilu dengan segala tetek-bengeknya kalau ada harapan perubahan yang akan diberikan setelah pemilu. Juga jangan anggap remeh ekpresi pengulingan Kepala Daerah-Kepala Daerah yang anti rakyat. Ini adalah celah yang luas sekali, belum lagi cakupan teritori dan sektornya, yang menyebar di seluruh Indonesia. Bahkan Hizbut Tahrir Indonesia— fundamentalis Islam—justru mengangkat program anti imperialis yang lebih maju dibandingkan dengan PDIP maupun PKB, apalagi PBR dan PELOPOR. Dengan demikian, jika berangkat dari politik kongkrit, politik nyata, politik rakyat, maka arena di luar parlemen lah yang memungkinkan menjadi arena utama untuk diolah oleh PAPERNAS, walaupun pada awalnya sulit populer—yang bisa diatasid engan program persatuan.

§

Dalam hal kesadaran massa, PRD menyatakan bahwa sebagian besar dari aksi-aksi perlawanan tersebut masih berada di bawah pengaruh kesadaran reformis, yang dapat diselesaikan, bisa dihentikan, dengan sogokan dan konsesi-konsesi. Karena itu, masih ada potensi rakyat akan kembali terseret menuruti kehendak partai-partai dan elit tradisional dalam suatu momentum politik yang muncul.

Tentu saja kesadaran mayoritas rakyat adalah kesadaran reformis—kesadaran borjuis—dan ini asal usulnya sangat mudah dianalisa, yakni: ideologi borjuis jauh lebih tua, jauh lebih lama, dibandingkan dengan ideologi demokrasi kerakyatan, apalagi ideologi demokrasi kerakyatan di Indonesia telah dihancur-luluh-lantakan pada tahun 1965 dan sepanjang Orde Baru berkuasa, bahkan hingga sekarang ideologi demokrasi kerakyatan tidak sepenuhnya bebas dipropagandakan. Dan kesadaran reformis rakyat ini, selamanya akan selalu begitu, jika kaum pelopor, kaum revolusioner, tidak mengintervensinya dengan penuh dalam situasi apaun dan dengan alasan apapun.

§

Lebih jauh PRD menyatakan: Lebih gamblang dapat dijelaskan bahwa perkembangan kuantitatif tersebut belum sanggup mengatasi kelemahan mendasar dari seluruh perlawanan tersebut, yaitu; fragmentatif dan ketidakjelasan orientasi politik.

Benar, PRD benar sekali, bahwa perkembangan kuantitatif perlawanan spontan belum sanggup mengatasi fragmentatif dan ketidakjelasan orientasi politik, serta seusungguhnya bukan hanya belum sanggup, melainkan tidak akan pernah sanggup. Massa rakyat, dengan pengalaman ditindas dan perlawanannya (yang tak tersadarkan)—juga harus dicatat, masih banyak lagi yang ditindas tetapi tidak melawan—akan memiliki kesanggupan untuk mengatasi persoalan fragmentasi dan orientasi politik seperti yang di maksudkan PRD, karena persoalan persatuan perlawanan, persoalan perebutan kekuasaan, persoalan sosialisme, hanya mungkin didapatkan oleh massa rakyat jika ada kekuatan politik pelopor yang memasoknya, mendidiknya dengan tak kenal lelah, dengan bacaannya, dengan aksi-aksinya, dengan organisasinya, dengan persatuan-persatuannya, dengan vergadering dan lain sebagainya. Sehingga keberadaan PRD dan organisasi politik lainnya, yang mengaku dirinya sebagai kekuatan politik kelas, kekuatan politik termaju dari massa rakyat miskin, seharusnya diabdikan ke arena tersebut, bukan sebaliknya: meninggalkan arena tersebut dan menunggu massa rakyat untuk sadar sendiri; baru kemudian setelah massa rakyat sadar, PRD akan bergerak di arena tersebut. Apalagi alasan meninggalkan arena tersebut? Karena ada arena lain, yakni arena parlemen yang sangat “nyata”, “kongkrit” yang, nyatanya, kongkritnya, tidak memiliki kesanggupan untuk membebebaskan massa rakyat miskin dari cengkraman penjajahan imperialisme dan boneka-bonekanya.

§

Dalam hal memandang gerakan, PRD menyatakan: Kaum pergerakan adalah salah satu fragmen dari luasnya fragmen rakyat yang berlawan. Sebagai salah satu fragmen, kaum pergerakan juga masih terpisah-pisah lagi ke dalam detail fragmen yang lebih luas, baik dalam hal pilihan praktik politik maupun pilihan alat yang digunakan. Mayoritas dari fragmen kaum pergerakan (yang relatif kecil dalam perimbangan dengan kekuatan elit secara keseluruhan) belum mempunyai orientasi politik, atau masih ragu-ragu dan lamban menentukan sikap.

Sebagai fakta, betul apa yang disampaikan oleh PRD, namun tentu saja akan salah jika fakta tersebut kemudian dijadikan pembenaran untuk meninggalkan gerakan, karena selemah-lemahnya iman kaum pergerakan (katakanlah pimpinan dan organisasi kerakyatan), merekalah yang paling maju dalam perjuangan melawan dominasi penjajahan imperialisme dan boneka-bonekanya. Apakah PRD buta (mata dan hati) bahwa salah satu elemen pergerakan, yakni Aliansi Buruh Menggugat, adalah Organisasi yang dalam tindakan politiknya telah bergerak dengan mengusung TRIPANJI; atau KAU, yang sekalipun masih sangat elitis dalam makna organisi, namun kampanye-kampanye mereka soal penghapusan utang luar negeri, cukup efektif; apakah PRD juga buta (politik), bahwa Walhi (dengan jaringannya) cukup efektif mengkampanyekan tuntutan-tuntutan anti neoliberal; demkian juga dengan beberapa organ permanen kampus yang mengusung program anti neoliberal; dan banyak pula organ-organ pergerakan yang mengusung program demokratisasi atau kombinasi keduannya. Sebagai fakta, tidak dapat dipungkiri bahwa jaringan organ pergerakan tersebut masih kecil, juga kemampuan propaganda dan mobilisasinya, namun fakta tersebut tidak bisa dijadikan alasan bagi partai pelopor untuk meninggalkannya, karena tugas menyadarkan, menyatukan, memperbesar gerakan adalah tugas partai pelopor.

3. Kritikan dalam hal Program Perjuangan

Tidak ada kritikan dalam hal program perjuangan.


4. Kritikan terhadap Strategi-Taktik Front Persatuan dan Koalisi Elektoral

§

Sejauh unsur-unsur pendukung imperialis di dalam negeri masih dominan di lapangan politik, dan menguasai alat-alat kekuasaan negara, dan di lain pihak terdapat potensi unsur-unsur yang menentangnya, maka politik front persatuan mutlak kita butuhkan.

Dalam logika front persatuan yang dimaksud oleh PRD, tidak ada keraguan sedikitpun bahwa kesamaan program anti dominasi imperialis adalah salah satu ukuran dalam hal penggalangan sekutu—logika yang kemudian dibantah sendiri oleh juru bicara–juru bicara PRD dalam Sidang Presidium Nasional PAPERNAS—bahkan PRD mengatakan, potensi unsur-unsur yang menentang dominasi imperialis pun wajib dijadikan sekutu. Artinya, kaum pergerakan, perlawanan spontan rakyat—karena perlawanan spontan rakyat menyimpan potensi anti dominasi imperialis—adalah sekutu sejati PRD, yang harus terus menerus diajak untuk membangun persatuan anti dominasi imperialis.

§

Pada point selanjutnya , PRD menyatakan: Namun realitasnya kita (PAPERNAS) tidak bisa lolos sendiri, dan kesempatan untuk memanen keuntungan politik-organisasi pun tetap terbuka lewat koalisi.

Secara teoritik (yang umum dan abstrak), tidak bisa dibantah bahwa taktik koalisi—bahkan (dalam hal ini) koalisi dengan kekuatan borjuis—dimungkinkan. Namun, koalisi dengan borjuis memiliki syarat-syarat situasi obyektif maupun subyektif yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu: 1) ada musuh bersama yang sedang mengancam perjuangan demokrasi dan sosialisme ke depan [FPI dan kelompok-kelompok anti-komunis tidak bisa disimpulkan sebagai ancaman serius, tebukti rakyat bisa mengalahkannya saat ada upaya penghancuran (crackdown) terhadap PRD pada tahun 1996; juga rakyat bisa mengalahkannya pada saat kaum raksioner mengerahkan PAMSWAKARSA; bagaimana mungkin peluang demoktrasi liberal (sebagaimana yang disimpulkan PRD) yang lebih tebuka ketimbang sebelumnya tidak bisa dimanfaatkan untuk melawa FPI?]; 2) karena sifatnya yang momentual—lihat point pertama—maka koalisi tersebut tidak bisa diharapkan berjalan dalam jangka panjang, kecuali jika momentumnya bisa diprediksi akan panjang; 3) secara subyektif, harus ada kebebasan untuk melakukan aktifitas agitasi propganda revolusioner dan aktifitas politik partai di luar arena/kesepakatan koalisi (apa yang diistilahkan: kita punya program dan politik sendiri yang tidak boleh dikerangkeng); 4) termasuk melakukan kritik/oposisi terbuka terhadap program/tindakan politik sekutu yang mendukung imperialisme; 5) Program-program perjuangan koalisi haruslah program yang kongkrit dan spesifik—sekalipun minimum—agar mudah diterima oleh massa rakyat sekaligus mudah pula ditagih konsistensi perjuangannya. Dan yang tidak termasuk ke dalam kesepakatan platform koalisi, tentu saja boleh diwujudkan oleh kita sendiri, tanpa ikatan); 6) karena salah satu tujuan koalisi adalah memperbesar mobilisasi massa rakyat, maka sandaran utama koalisi adalah organ-organ gerakan dan perlawanan spontan rakyat. Dari kenyataan saat ini, ancaman musuh bersama belum manifes di antara partai-partai borjuis; yang ada adalah: semua partai borjuis menjadi musuh bersama rakyat. Kalaupun ada rencana koalisi Golkar-PDIP, yang bisa saja akan menghambat perjuangan rakyat kedepan, namun belum terlihat kegelisahan di antara partai borjuis lainnya untuk melakukan perlawanan secara kuat, malah yang menjadi musuh bersama partai-partai borjuis adalah PKS, sekalipun PKS juga tidak kelihatan tindakan politiknya yang membela rakyat miskin—kecuali dalam bentuk karitatif.

§

Koalisi obyektif dapat dijalankan selama masih dalam batas-batas politik yang menguntungkan bagi front persatuan. Kongkritnya, koalisi ini jangan sampai bertentangan dengan program perjuangan, harus mencerminkan persatuan dalam aspek program, struktur, dan sebagainya.

Pernyataan PRD tersebut benar. Namun jika tidak ada syarat obyektifnya, maka koalisi tersebut hanyalah menjadi keinginan subyektif, sehingga harapan agar koalisi (dengan partai/pihak borjuis) dapat berjalan sesuai dengan tujuan-tujuan perjuangan partai adalah omong kosong, apalagi dalam situasi di Indonesia saat ini tidak ada satupun partai borjuis pun—yang ada di parlemen—yang dapat disimpulkan tindakan politik-organisasinya membela kepantingan rakyat miskin, bahkan dalam program darurat/mendesak sekalipun, apalagi memperjuangkan demokrasi dan melawan dominasi imperialis.

§

Lebih lanjut PRD menetapkan syarat sekutu koalisi, yaitu: Syarat-syarat atau batasan dalam pembangunan Partai Koalisi secara prinsip: a) calon sekutu menerima platform dasar kita yaitu anti imperialisme atau ”dalam bahasa lainnya” (tanda kutip dari penulis tulisan ini, untuk menunjukkan bagaimana PRD bersilat kata); b) calon sekutu bukan berasal dari unsur kekuatan pokok penopang orde baru atau kekuatan reaksi yang anti demokrasi.

Alat ukur kesepakatan tersebut apa? Menurut juru bicara-juru bicara PRD di Sidang Presidium Nasional PAPERNAS, alat ukurnya adalah kesepakatan di atas kertas, dalam bentuk MOU—yang, padahal, sampai sekarang, belum ada samasekali. Jika alat ukurnya adalah kesepakatan di atas kertas—apalagi cuma obrolan antara pimpinan PRD dengan pimpinan partai borjuis—sudah bisa terbayang bahwa koalisi yang dibangun akan sangat rentan, baik kemampuan berjuangnya maupun konsistensi perjuangannya. Bandingkan koalisi dengan Gus Dur (dengan platform anti sisa-sisa Orde Baru) dan Koalisi Nasional—yang antara lain melibatkan PNBK—(dengan platform anti neoliberal). Yang paling mampu menunjukan serangan politik cukup radikal adalah koalisi dengan Gus Dur, karena situasi obyektif pada saat itu memungkinkan, yakni: adanya ancaman dari kekuatan sisa-sisa Orde Baru yang ingin merestorasi diri dalam panggung kekuasaan Indonesia. Di banyak tempat, kantor-kantor Golkar menjadi sasaran aksi massa; bahkan, di Jawa Timur, kantor Golkar dibakar massa. Sedangkan Koalisi Nasional, sekalipun ada situasi obyektif yang juga menguntungkan, yakni kemarahan rakyat atas kebijakan Megawati untuk menaikkan harga BBM, TDL, tarif telpon secara bersamaan pada awal Januari 2003, namun tidak cukup kuat serangan politiknya, bahkan sekalipun mendapat respon yang cukup baik dari media massa pada saat konferensi pers di Gedung Juang, Jakarta, saat mengumumkan terbentuknya Koalisi Nasional ini. Pada saat Vergadering Koalisi Nasinal di Tugu Proklamsi—pada saat itu PRD dan ormas-ormasnya melakukan mobilisasi secara nasional—tidak ada mobilisasi sama sekali dari PNBK maupun partai/kelompok lainnya yang tergabung dalam Koalisi Nasional, bahkan Eros Djarot sebagai Ketua Umum PNBK, juga tidak hadir. Praktis, di lapangan, yang hadir hanya massa PRD dan ormas-ormasnya, serta dukungan massa dari Komite Anti Penindasan Buruh—Front Persatuan Buruh yang justru tidak tergabung dalam Koalisi Nasional. Jika pengalaman tersebut ditarik dalam konteks sekarang: koalisi yang dicita-citakan PRD berdiri di atas landasan situasi hampa-politik, tanpa terlebih dahulu menciptakan atmosfir gerakan perlawanan, atau tanpa musuh bersama yang akan dilawan. Nasib koalisi tersebut akan jauh lebih buruk dibandingan Koalisi Nasional ataupun koalisi dengan Gus Dur. Dalam point B, dikatakan bahwa calon sekutu bukan berasal dari unsur kekuatan pokok penopang Orde Baru atau kekuatan reaksi yang anti demokrasi. Seharusnya pengertian tersebut diberikan penjabaran yang lebih rinci, agar jelas apa yang dimaksudkan oleh PRD. Jika pengertian kekuatan pokok Orde Baru adalah semata-mata Golkar, maka PPP bisa dikategorikan sebagai calon sekutu (padahal PPP juga merupakan Partai bentukan Orde Baru—hasil fusi yang dipaksakan tanpa perlawanan); atau bisa juga PKPB maupun Hanura dijadikan calon sekutu, karena selama Orde Baru, kedua partai tersebut belum ada, sekalipun pimpinan PKPB maupun Hanura adalah Orang-Orang yang memegang banyak jabatan penting selama Orde Baru. Lalu bagaimana dengan PDIP, apa kriterianya? PDIP bukan penopang utama Orde Baru, tetapi pernah memerintah dan bahkan pernah memberikan peluang menguatnya kembali Orde Baru (Golkar dan tentara) ke panggung kekuasaan politik. Bukankah kejatuhan Gus Dur adalah hasil Kolaborasi PDIP, GOLKAR, tentara, sisa-sisa Orde Baru dan Poros Tengah? Sekarang pun PDIP dan GOLKAR sedang membangun program stabilisasi politik demi kesejahteraan (ingat yang serupa dengan itu: Trilogi Pembangunan Orde Baru!) yang intensif melalui serangkaian pertemuan massal. Lalu Bagimana juga dengan Partai-partai pendukung Pemerintahan SBY-JK, baik yang sudah mendukung sejak pencalonan Sby-Jk di Pilpres 2004 seperti Partai Demokrat dan PKS maupun yang baru belakangan mendukung—dalam hal ini PBR maupun PELOPOR termasuk partai-partai yang mendukung pemerintahan SBY-JK. Artinya, kualifikasi calon sekutu yang diajukan PRD sangat tidak lengkap karena bisa mengasilkan pengertian bahwa PAPERNAS bisa berkoalisi dengan PDIP, PPP, PAN, Partai Demokrat, PKS hingga koalisi dengan PKPB maupun Hanura. Atau dengan bahasa lain: selain Golkar, semua partai bisa diajak berkoalisi. Harusnya, sejarah partai-partai dijabarkan secara rinci, termasuk sepak terjanganya di daerah, agar bisa dilihat mana partai yang ketika diajak berkoalisi dapat memberikan keuntungan bagi perjuangan rakyat miskin ke depan; dan ketika tidak ada yang memenuhi syarat, tidak perlu PAPERNAS dipaksakan untuk berkoalisi. Setelah hal tersebut dijabarkan, baru lah PRD bisa berbicara apa saja potensi keuntungan kalau PAPERNAS berkoalisi; juga harus dijabarkan apa saja potensi kerugiannya—karena secara teoritik, koalisi itu ada di ranah kompromi, sehingga ada potensi kerugian juga yang harus diantisipasi. Namun, dalam Propasal PRD, dengan yakin PRD menyampaikan potensi-potensi keuntungan yang menggiurkan seperti: bisa mempropagandakan program perjuangan melawan imperialisme beserta program-program mendesaknya, menarik unsur-unsur anti imperialis dari kalangan kaum demokrat, mengkonsolidasikan dan memajukan politik partai koalisi agar arah perjuangannya sejalan serta menguntungkan bagi perjuangan rakyat melawan imperialisme dan kaki-tangannya, serta dapat merangkul unsur-unsur maju di dalam partai koalisi, mempengaruhi—atau setidaknya menetralisir—unsur-unsur yang labil, dan mengisolir unsur-unsur yang konservatif di dalam partai koalisi. Tentu saja, secara konsepsi logika formal hal tersebut bisa dianggap ”benar” (sekalipun dalam kenyataannya tidak ada), namun jika diletakan dalam realitas kongkrit partai-partai yang ada sekarang, belum tentu semuanya bisa diwujudkan, apalagi PRD tidak menjabarkan apa saja potensi kerugian yang harus ditanggung oleh PAPERNAS saat berkoalisi.

§

Dalam penjabaran taktik, PRD memegang ”teguh” konsepsi taktik utamanya yang disebut dengan konsentrasi ideologi, politik, organisasi dalam mengerjakan koalisi elektoral di teritorial pada daerah pemilihan (dapil).

Konsepsi tersebut berangkat dari keyakinan bahwa taktik konsentrasi bisa mendorong maju koalisi—hingga sanggup menjadi alat perjuangan anti imperialisme yang efektif (dalam pengertian menjadi alternatif bagi rakyat). Rumusan tersebut sungguh menyedihkan, karena tidak berangkat dari situasi nyata, situasi kongkrit, bahwa partai-partai yang saat ini ada di parlemen sejatinya adalah partai-partai yang mendukung imperialisme. Sehingga mengharapkan adanya perubahan karakter ideologi, politik dan organisasi dari partai-partai ini, sekalipun ada PAPERNAS di dalamnya, adalah mustahil. Hal tersebut bukan permasalahan apakah calon sekutu bersedia menandatangani MOU, tetapi bagaimana karakter partai-partai tersebut, kelas-kelas (apa dalam masyarakat) yang membentuk dan menghidupka partai-partai tersebut, sehingga tidak bisa dengan gampang diberikan kesimpulan bahwa dengan MOU maka karakter partai-partai parlemen ini sudah atau akan berubah. Apalagi rencana koalisi yang sudah dikerjakan oleh DPP PAPERNAS adalah koalisi dengan PBR-PELOPOR—itu artinya akan ada perjuangan internal di partai koalisi tersebut, yakni perjuangan untuk menghadapi dua partai politik yang karakter politik kelasnya adalah pendukung imperialis (yang akan sangat berat untuk memenangkannya). Dan karena konsepsi PRD mengabaikan potensi pembangunan gerakan anti imperlisme di luar koalisi, maka bisa dipastikan perjuangan internal di partai koalisi ini akan sulit dimenangkan karena tidak ada tekanan dari gerakan massa di luar koalisi. Dalam kepentingan menjalankan taktik koalisi (dengan konsentrasi di dapil), maka langkah awal yang harus dilakukan adalah: membalikan citra PBR (yang busuk dan sektarian) menjadi PBR yang berpihak pada rakyat dan demokratik. Itulah, katanya, yang (dalam proposal PRD) menjadi perspektif kerja mendesak. Menurut PRD, itulah tugas PAPERNAS dalam partai koalisi tersebut. Namun, jika tugas tersebut (disepakati secara sepihak) oleh PAPERNAS maka, obyektifnya, PAPERNAS akan berhadap-hadapan secara langsung dengan unsur-unsur dalam partai koalisi tersebut yang, sejatinya, adalah musuh-musuh rakyat. Mana mungkin partai koalisi tersebut akan memenangkan pemilu jika penuh dengan konflik internal. Dan karena PRD mengartikan intervensi pemilu sebagai keharusan menjadi peserta pemilu, itu artinya konflik internal tersebut akan berujung pada kompromi yang merugikan rakyat. Kaitannya dengan organisasi pendukung PAPERNAS, maka tentu saja politik koalisi tersebut akan sangat merugikan karena struktur organisasi yang selama ini terbangun [dengan politik yang baik (dalam ukuran organisasi progresif)] bahkan bisa mengalami kemunduran, akan ditinggal massa yang menyeberang ke organisasi yang lebih progresif.

5. Kritikan dalam hal Organisasi

Dalam proposal PRD, pengertian partai persatuan yang dibangun ke depan dimanipulasi sebagai koalisi (yang, sebenarnya merupakan merger/peleburan). Itulah sebabnya dikatakan bentuk partai koalisi tersebut adalah fusi. Padahal, secara politik maupun organisasi, pengertian antara koalisi dengan peleburan sangat jauh berbeda. Dalam koalisi, di luar hal-hal yang telah disepakati dalam koalisi, unsur-unsur penyusun koalisi masih memiliki independensi politik dan organisasi satu dengan lainnya. Dengan demikian, jika persatuan yang dibangun adalah koalisi, maka PAPERNAS masih memungkinkan menjalankan politiknya sendiri. Namun, jika persatuan yang dibangun bermakna peleburan, maka sedari awal PAPERNAS sudah kehilangan independensinya, karena secara politik dan organisasi sudah dilebur dengan unsur-unsur yang anti rakyat, sehingga politik organisasi PAPERNAS paling banter abu-abu atau, yang paling parah, justru menjadi sama dengan politik-organisasi unsur-unsur anti rakyat tersebut. Dan, tidak perlu menunggu lebih lama lagi, wajar bila PRD kemudian menyetujui agar PAPERNAS berubah “nama”—tekanan “kata PARTAI” dihilangkan diganti dengan persatuan dan lain sebagainya. Tentu saja orang bodoh sekalipun akan memahami bahwa hal tersebut bukan sekadar pergantian nama, melainkan perubahan karakter organisasi, dari sebuah partai politik menjadi organisasi massa, merubah sebuah alat tertinggi perjuangan politik massa menjadi alat pembelajaran perjuangan massa. Hal itu oleh PRD dianggap sebagai kewajaran, karena PAPERNAS harus tetap menjadi peserta pemilu (sekalipun menghilangkan ”kata” partai) karena sebuah partai politik, menurut PRD, harus menjadi peserta pemilu sebagai wujud konkrit politik kepartaiannya, dengan kata lain tidak ada gunanya membangun partai politik jika tidak menjadi peserta pemilu. Argumen itu saja sudah menyalahi sejarah PRD sendiri yang secara legal berdiri pada tahun 1996—dengan kerja-kerja ilegal pada tahun-tahun sebelumnya—karena dalam dokumen-dokumen PRD pun banyak dijelaskan bahwa, sekalipun tujuan partai politik adalah untuk merebut kekuasaa namun, karena kepentingan rakyat yang diutamakan, maka cara menuju kekuasaan bisa bermacam-macam: bisa dengan ikut pemilu; bisa juga dengan boikot pemilu; bisa juga dengan cara-cara yang lainnya—bahkan, di banyak negeri, partai-partai politik terlibat dalam pemberontakan untuk merebut kekuasaan; juga di Indonesia, sebelum kemerdekaan, banyak partai politik yang menjalankan politik anti kompromi (non-kooperasi) dengan Belanda, sekalipun Belanda juga membuat lembaga parlemen yang disebut Volksrad. PKI, PNI, PARTINDO dan banyak partai lainnya menolak memasukan orang-orangnya ke dalam lembaga ini.

KESIMPULAN:

1. Bahwa PRD telah meremehkan kemampuan rakyat dan gerakannya untuk melakukan pembebasan (radikal) bagi dirinya sendiri dari penjajahan imperialisme dan boneka-bonekanya;

2. Bahwa PRD telah meremehkan kemampuan rakyat dan gerakannya untuk membangun persatuan yang kokoh untuk membebaskan dirinya dari penjajahan imperialisme dan boneka-bonekanya;

3. Bahwa PRD telah memberikan ilusi (baca: menipu) rakyat, dengan menyimpulkan bahwa perlawanan anti imperialisme dan bonekannya di parlemen (saat ini) sangat besar peluangnya;

4. Bahwa PRD telah menghancurkan politik dan alat perjuangan alternatif rakyat, yakni PAPERNAS dan organisasi pendukungnya, dengan meleburkan diri kepada partai penindas rakyat, sehingga mempersulit perjuangan rakyat ke depannya;

5. Bahwa PRD telah menjerumuskan PAPERNAS pada GARIS POLITIK PARLEMENTARIS.

Catatan Kaki:

[1] Survey yang sekaligus bermakna pengorganisasian.

[2] Istilah TRIPANJI bisa saja diubah karena memberikan nuansa PKI; namun perubahannya tidak boleh abstrak (tidak kongkret) tidak boleh mengesankan eupimisme seperti: melindungi kekayaan alam untuk menggantikan nasionalisasi.

Read More......

[Papernas] PROPOSAL POLITIK: INTERVENSI PEMILU 2009 DENGAN KOALISI ELEKTORAL

PROPOSAL POLITIK [1]

INTERVENSI PEMILU 2009 DENGAN KOALISI ELEKTORAL


I. PENGANTAR: LATAR BELAKANG PENGAJUAN PROPOSAL

Semangat pendirian Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) didasarkan oleh penilaian atas kondisi obyektif, yang garis besarnya dapat dijelaskan kembali secara ringkas sebagai berikut: a) serangan imperialisme terhadap kesejahteraan rakyat semakin gencar terjadi; b) mayoritas kelas elit setia menjadi perantara sekaligus mandor bagi kepentingan imperialisme (modal asing); c) keresahan rakyat terus meningkat dan melahirkan perlawanan-perlawanan namun masih fragmentatif, dapat dikanalisasi secara prosedural dalam demokrasi liberal, dan miskin orientasi politik; d) belum ada alternatif yang sanggup tampil ke arena politik untuk memimpin, mengolah, dan mengarahkan keresahan rakyat tersebut menjadi perjuangan anti imperialisme yang efektif.

Papernas telah menentukan platform anti imperialisme (program Tripanji) sebagai garis batas bagi pembangunan front persatuan anti imperialis, baik dengan unsur-unsur gerakan maupun unsur-unsur moderat. Dalam proses sebelumnya, upaya membangun persatuan ini belum membuahkan hasil yang signifikan, baik dengan unsur-unsur gerakan (lewat KPGR, ABM, dan PPR) ataupun dengan unsur-unsur moderat (intelektual, tokoh-tokoh politik, agamawan, ekonom, tokoh LSM, budayawan, dll).

Situasi obyektif (kegagalan mengkonsolidasikan sekutu) ini memaksa Papernas mengambil garis konsentrasi perluasan struktur, agar dapat memenuhi prosedur formal, dalam kerangka taktik intervensi Pemilu 2009. Dalam proses ini pun Papernas kembali dihadapkan pada hambatan lain yaitu, teror, intimidasi, dan propaganda hitam, serta rencana parpol-parpol besar untuk membatasi parpol peserta pemilu melalui Rancangan Paket UU Politik yang bertentangan dengan demokrasi. Khusus persoalan kedua, tidak hanya dihadapi oleh Papernas melainkan juga oleh partai-partai baru lainnya, dan juga sejumlah partai peserta pemilu 2004 yang tidak lolos Electoral Threshold. Situasi ini mendorong sejumlah partai untuk menyatukan kekuatan, baik dalam kepentingan untuk lolos sebagai peserta pemilu 2009, maupun kepentingan menghadapi dominasi partai-partai tradisional.

Di satu sisi, RUU Politik yang tidak demokratis jelas merugikan kepentingan strategis perjuangan massa, karena akan menghambat partisipasi politik rakyat lewat pembentukan alat politik/partai. Sebagai partai yang berwatak demokratik, RUU Politik kita (Papernas) tentang dengan berbagai cara sesuai kapasitas yang dimiliki. Namun di sisi lain, seperti disebutkan sebelumnya, situasi ini telah mendorong parpol-parpol yang terjerat UU Politik lama (UU No. 31 tahun 2002 dan UU No. 12 tahun 2003) tersebut untuk membuka pintu rumah masing-masing bagi terbangunnya koalisi. Tak luput, Papernas sebagai bagian dari partai-partai yang de facto telah berdiri dan meluas, berada dalam situasi ini.

Pertanyaan yang mengemuka bagi kita, sebagaimana telah disampaikan oleh DPP Papernas lewat SK Nomor: 043/DPP-PAPERNAS/A/V/2007 tentang Usulan Perubahan Taktik Intervensi Pemilu, adalah: apakah intervensi Pemilu 2009 tetap dipandang sebagai sesuatu yang obyektif dibutuhkan, dalam kerangka taktik menghadapi imperialisme? Bila tidak, seperti apakah garis politik lain yang dapat dijalankan oleh struktur Papernas sampai Pemilu 2009? Bila ya, terdapat kenyataan Papernas belum sanggup (berdasarkan laporan organisasi) memenuhi syarat-syarat yang diciptakan rejim, apakah melakukan koalisi dengan partai lain dapat menjadi kesepakatan kita untuk pilihan kerja politik ke depan?

Sebagai salah satu inisiator dan pendiri Papernas, Partai Rakyat Demokratik (PRD) ingin urun rembug bersama kawan-kawan sekalian untuk menentukan arah perjuangan ke depan dalam Sidang Presidium Nasional yang terhormat ini. Proposal taktik Koalisi yang sekarang berada di tangan kawan-kawan dapat diperiksa ketepatan dan kekeliruannya secara prinsip. Setelah itu, apabila secara prinsip dinilai tepat oleh forum Presidium Nasional, maka perhatian dapat kita majukan pada rincian kerja yang harus dilakukan dalam keranga taktik koalisi tersebut. Proposal ini akan membahas antara lain: 1) Situasi Obyektif Nasional; 2) Program Perjuangan; 3) Strategi-Taktik Koalisi beserta skenarionya; 4) Konsekuensi Organisasi.

II. SITUASI NASIONAL

A. Situasi Nasional Umum;

Penghisapan imperialisme melalui praktik kebijakan neoliberal pemerintahan SBY-JK masih berlangsung masif, bahkan semakin menjadi-jadi dalam beberapa sektor ekonomi. Kondisi ini belum berubah signifikan, sebagaimana kesimpulan Kongres Pembentukan Papernas di Kaliurang Januari 2007 lalu. Demikian halnya dalam lapangan politik, belum ada suatu gambaran data maupun kejadian yang mengindikasikan adanya perubahan—yang mengharuskan kita meninggalkan arena elektoral—yang juga diamanatkan oleh Kongres Pembentukan Papernas di Kaliurang.

Saat ini kita membutuhkan garis strategi-taktik yang tepat dalam rangka menentang kepentingan imperialisme dan mendirikan kekuasaan politik baru yang pro kemandirian ekonomi nasional dan menyejahterakan rakyat. Strategi-taktik seperti apa yang akan diambil oleh Papernas ke depan harus berdiri di atas situasi obyektif, tidak hanya berdasarkan keinginan subyektif. Untuk itu kita dapat periksa kembali sekilas perkembangan situasi obyektif, terutama dalam aspek-aspek yang perlu diperjelas dan dipertegas. Aspek-aspek tersebut adalah:

Pertama, EKONOMI: dalam kaitan dengan potensi krisis yang signifikan, kita bisa mengacu pada lontaran pendapat sejumlah pengamat (khususnya dari Tim Indonesia Bangkit) yang mengingatkan bahaya krisis ekonomi jilid dua. Sebenarnya ini bukan hal baru. Seperti yang diakui oleh Joseph E. Stiglitz, lonjakan dan luruhan (booming dan krisis) selalu menyertai ekonomi pasar, dan sudah berlangsung sejak abad ke-17.

Prediksi akan bahaya krisis terakhir didasarkan pada kondisi adanya bubble financial (penggelembungan di sektor keuangan) bukan gelembung pada sektor riil yang diakibatkan over produksi. Pada tahun 2002, Alan Greenspan, mengeluarkan prediksi serupa, sebelum gelembung tersebut meletus dan menghasilkan merosotnya suku bunga Bank Sentral hingga 0,2%, (rekor terendah dalam beberapa tahun). Untuk konteks Indonesia sekarang, meski bila gelembung finansial ini meletus, dan tentunya dalam bentuk flight out capital, apakah akan menimbulkan kepanikan yang menyeret keluar long term capital (modal jangka panjang) yang telah ditanamkan? Seberapa juah modal jangka panjang tersebut berjumlah signifikan, sehingga menimbulkan dampak pada aktivitas ekonomi riil (penutupan pabrik secara besar-besaran, kenaikan harga-harga kebutuhan pokok secara drastis, dsb)? Bukankah justru negeri ini sekarang membutuhkan long term capital yang tak kunjung meningkat karena menggantungkan harapan pada ‘kebaikan hati’ foreign investment semata?

Kesimpulan dari paparan di atas adalah belum tersedia syarat bagi krisis ekonomi jilid dua yang berdampak luas, mendalam, dan tiba-tiba terhadap rakyat. Prediksi akan adanya siklus krisis mungkin saja terjadi—dengan meletusnya bubble financial, namun apakah ekses-eksesnya akan seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998, tak ada yang bisa memastikan. Dengan demikian, potensi krisis yang mungkin akan muncul tidak sampai menghasilkan krisis revolusioner. Untuk menghasilkan krisis politik sekalipun (dengan level lebih rendah dari krisis revolusioner) membutuhkan adanya perpecahan yang akut di antara faksi-faksi borjuasi. Sejauh ini potensi perpecahan yang akut belum terlihat, karena setiap tarik menarik kepentingan dapat diselesaikan secara damai di meja konsesi. Seandainya ada pihak yang dikorbankan, akan dipertimbangkan sedemikian rupa sehingga tidak menjadi gejolak yang tidak terkendalikan.

Kedua, POLITIK: kecenderungan mundurnya capaian demokrasi dalam beberapa aspek tidak terlepas dari pertarungan faksi-faksi politik di level domestik dalam tekanan imperialisme. Indikasi kemunduran capaian demokrasi yang paling kentara saat ini adalah; 1) Rancangan UU Politik yang menghambat partisipasi politik rakyat; 2) Berkembangnya wacana negara teologi yang disertai dengan aksi-aksi kekerasan pihak lain yang tidak sealiran. Hambatan bagi partisipasi politik rakyat lewat paket Rancangan Undang-Undang Politik yang tidak demokratis, didasarkan pada kepentingan stabilisasi politik dalam periode usaha ‘memapankan’ sistem kapitalisme-neoliberal. Dalam operasionalisasinya, kepentingan ini cocok dengan keinginan beberapa faksi politik borjuasi (terutama Golkar dan PDIP) untuk tetap mendominasi kekuasaan politik.

Pertanyaan penting dalam konteks penentuan taktik kedepan adalah, apakah kemunduran capaian demokrasi ini, termasuk meluasnya pengaruh kekuatan politik konservatif, telah menutup peluang perlawanan terhadap imperialisme sebagai persoalan pokok rakyat Indonesia sekarang? Kita sama-sama sepakat bahwa tidak demikian keadaannya. Celah untuk melawan imperialisme tetap terbuka, baik di arena parlamenter maupun ekstra parlamenter. Kita juga sekata, bahwa upaya memundurkan demokrasi ini harus dilawan, agar semakin lapang jalan bagi rakyat untuk berdaulat sepenuhnya. Perlawanan ini nyata sedang kita lakukan.

Ketiga, KESADARAN MASSA RAKYAT: serangan imperialisme dan ketidakbecusan pemerintah telah memperluas keresahan dan mendorong kesadaran untuk melawan. Aksi massa terjadi di mana-mana, di sektor apa saja, yang terjadi hampir setiap hari. Nyaris tak ada hari yang dilewatkan oleh media massa untuk memberitakan adanya aksi massa. Aksi massa tidak sekedar buah dari demokrasi, tapi juga sarana bagi terbangunnya kedaulatan rakyat. Jumlah aksi massa yang tak pernah surut dan jenis tuntutan yang makin beragam, menandakan bahwa semakin luas unsur yang terkena dampak dari penghisapan ekonomi imperialis.

Namun, sebagian besar dari aksi-aksi ini masih berada di bawah pengaruh kesadaran reformis yang dapat diselesaikan dengan sogokan dan konsesi-konsesi. Karena itu, masih ada potensi rakyat akan kembali terseret menurut kehendak partai-partai dan elit tradisional dalam suatu momentum politik yang muncul.

Lebih gamblang dapat dijelaskan bahwa perkembangan kuantitatif tersebut belum sanggup mengatasi kelemahan mendasar dari seluruh perlawanan tersebut, yaitu; fragmentatif dan ketidakjelasan orientasi politik. Sebagian besar fragmen perlawanan berwatak spontan yang tidak terjangkau pengaruh unsur-unsur pergerakan, sehingga terseret ke dalam arus politik elit; baik dalam tuntutan, metode, maupun kompromi-komprominya.

Terdapat pula sebagian fragmen perlawanan yang berada di bawah pengaruh unsur-unsur politik konservatif. Contoh yang dapat disebut di sini antara lain; aksi-aksi Serikat Pekerja Nasional (SPN) yang berada di bawah pengaruh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), atau Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang berada di bawah bayang-bayang birokrat peninggalan Orde Baru yang berafiliasi pada Partai Golkar.

Kaum pergerakan adalah salah satu fragmen dari luasnya fragmen rakyat yang berlawan. Sebagai salah satu fragmen, kaum pergerakan juga masih terpisah-pisah lagi ke dalam detail fragmen yang lebih luas, baik dalam hal pilihan praktik politik maupun pilihan alat yang digunakan. Mayoritas dari fragmen kaum pergerakan (yang relatif kecil dalam perimbangan dengan kekuatan elit secara keseluruhan) belum mempunyai orientasi politik, atau masih ragu-ragu dan lamban menentukan sikap. Sementara itu bagian lain unsur gerakan menginduk pada partai politik dengan kategori tengah. Sebagai akibatnya, massa rakyat yang berada di dalam pengaruh unsur-unsur ini ikut-ikutan terseret arus politik elit pada tiap momentum yang berulang. Jadi, meskipun berada di dalam pengaruh unsur gerakan nasib massa ini tak ada bedanya dengan massa yang melawan secara spontan.

Esensi dari situasi ini adalah arena politik gerakan massa masih berada di bawah kendali politik parlamen, yang notabene masih didominasi oleh kekuatan elit. Sebenarnya kesadaran bahwa arena politik elektoral dan parlamen penting untuk dimasuki sudah muncul di sebagian kalangan gerakan, namun masih sangat kecil. Indikasinya dapat dilihat dari pendirian alat politik seperti Partai Perserikatan Rakyat (PPR), Sarekat Hijau (sayap politik WALHI sebelumnya bernama BP3OPK), dll. Namun lemahnya komitmen persatuan, serta dominannya unsur gerakan yang masih bimbang dalam orientasi politik, telah melemahkan potensi kekuatan-kekuatan ini untuk menjadi alternatif politik yang diidam-idamkan.

Keempat, KONDISI SUBYEKTIF KUALITAS GERAKAN RAKYAT yang masih ekonomis, spontan, dan terfragmentasi dalam banyak isu, tuntutan, sektor, dan lokalis, di atas membutuhkan satu alat politik yang luas dan terbuka untuk menaikkan kesadaran ekonomis menjadi kesadaran politik. Kebutuhan lainnya, sesuai gambaran situasi, adalah menyatukan isu politik sebagai platform bersama, serta menyatukan gerakan yang sepontan dan terfragmentasi menjadi satu gerakan politik yang luas, massif dan terencana untuk merebut kekuasaan.

B. Situasi Khusus di Lapangan Politik

Situasi khusus berikut ini merupakan gambaran dari praktik empirik Papernas dalam usaha menjadi peserta Pemilu 2009, serta usaha merangkul sekutu menghadapi imperialisme.

1. Sebagai Partai yang dipersiapkan untuk terlibat sebagai peserta Pemilu 2009 maka fokus dan konsentrasi Papernas diarahkan untuk memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh berbagai peraturan yang diciptakan oleh partai-partai tradisional. Langkah ini dijalankan dengan konsentrasi pada perluasan struktur Partai, baik di level provinsi (DPD I), kabupaten/kota (DPD II), sampai ke kecamatan-kecamatan (DPK).

2. Dalam perjalanan tersebut, kita dihadapi oleh dua hambatan situasi obyektif dan sederet persoalan kapasitas subyektif organisasi. Hambatan situasi obyektif adalah; pertama, upaya pembatasan jumlah partai dan jumlah partai peserta pemilu lewat Paket Rancangan Undang-Undang Politik yang tidak demokratis; kedua, represi dan serangan-serangan terhadap Papernas yang dilakukan oleh sisa-sisa kekuatan orde baru beserta kelompok-kelompok reaksioner bertamengkan agama.

3. Setelah melakukan evaluasi dan penilaian berdasarkan laporan perluasan struktur di berbagai daerah, seperti dalam aspek perbandingan antara capaian struktur yang telah dihasilkan, kekurangan yang harus dikejar, serta pertimbangan waktu dan sumber daya yang tersedia, maka DPP Papernas sampai pada kesimpulan bahwa Papernas belum mampu menutupi kekurangan syarat untuk maju sendiri sebagai peserta pemilu 2009.

4. Atas kesimpulan tersebut maka Papernas harus segera menentukan langkah politik selanjutnya, agar capaian struktur yang telah dihasilkan tidak sia-sia dan dapat terus memanfaatkan arena politik yang terbuka bagi perjuangan menghadapi imperialisme.

5. Pada saat yang sama, sebagian besar partai baru dan partai lama yang tidak lolos Electoral Threshold (ET) untuk menjadi peserta pemilu 2009, menghadapi situasi yang mirip dengan yang dihadapi oleh Papernas. Bahkan partai-partai dengan perolehan kursi menengah di DPR seperti PBR, PDS, dan PBB pun telah menyatakan ketidaksanggupan memenuhi syarat-syarat yang ada dalam RUU Politik yang baru maupun UU Politik yang berlaku sekarang. Upaya bersama untuk melawan hambatan partisipasi politik sudah mulai dilakukan, atara lain dengan membentuk Aliansi Partai Politik untuk Keadilan.

6. Dalam kerja politik tersebut kita menghadapi realitas Partai-Partai yang tetap berkeinginan untuk terlibat sebagai peserta Pemilu 2009 di tengah berbagai keterbatasan subyektif masing-masing. Seiring dengan itu, mencuat pula sentimen anti terhadap parpol-parpol tradisional yang telah memaksakan RUU yang tidak demokratis, terutama terhadap PDIP dan Partai Golkar. Khusus dalam hal ini, pilihan bagi partai-partai tersebut pun tak jauh dari dua opsi: 1) berusaha penuhi syarat-syarat verifikasi yang sangat berat; atau, 2) berkoalisi dengan partai lain sehingga mencapai Electoral Threshold 3 % sekaligus menyatukan kekuatan menghadapi dominasi dan tidak demokratisnya partai-partai tradisional.

7. Lewat serangkaian penjajakan dan investigasi, dapat disimpulkan bahwa peluang bagi Papernas untuk tetap terlibat mengintervensi pemilu 2009 masih terbuka melalui koalisi taktis dengan parpol-parpol peserta pemilu 2004 yang menggabungkan diri. Dalam hal ini, peluang kongkrit yang terbuka adalah membentuk koalisi taktis bersama Partai Bintang Reformasi (PBR) dan Partai Pelopor. Perlu diinformasikan bahwa gabungan prosentase perolehan kursi PBR dan Partai Pelopor di DPR RI memenuhi syarat 3% untuk lolos menjadi peserta pemilu 2009.

8. Situasi organisasi-organisasi gerakan yang sebelumnya bersama unsur Papernas terlibat dalam pembentukan KPGR masih menjalin hubungan, namun tidak dalam kerangka kerja sama taktik parlamenter. Pembuatan terbitan bersama (koran bersama) yang mulai dicetus dapat menjadi media kampanye program dan strategi-taktik Papernas, namun belum dapat diukur sejauh mana efektivitas kampanye dapat mengerucut pada orientasi politik yang akan dipraktikkan bersama. Koran bersama ini lebih menitikberatkan telaah dan eksplorasi situasi obyektif, dan sedikit ruang untuk perdebatan baik tentang strategi-taktik maupun program perjuangan. Dalam hal ini posisi Papernas mendukung upaya gerakan untuk menemukan suatu agenda kerja bersama, namun tanpa meninggalkan kebutuhan praktis politik yang terus berdinamika. Sederhananya, kita mendukung setiap upaya penyatuan gerakan, namun dukungan tersebut disertai upaya menarik perhatian gerakan terhadap kebutuhan obyektif yang bersifat praktis.

III. PROGRAM PERJUANGAN

Secara umum dan prinsipil, program perjuangan tidak berubah dari yang telah dipublikasikan sebelumnya dalam dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh Papernas. Sebagai penyegaran, berikut gambaran program yang akan diperjuangkan oleh Papernas pada lapangan front persatuan dan di arena pemilihan umum 2009.

A. Menegaskan kembali imperialisme sebagai persoalan pokok rakyat Indonesia, oleh karena itu platform persatuan yang dibangun adalah anti imperialisme, pro kemandirian ekonomi, dan kerakyatan.

B. Menegaskan kembali bentuk eksploitasi yang pokok adalah jerat utang luar negeri, penguasaan sumber daya alam, dan superior dalam penguasaan pasar. Eksploitasi ini semakin melemahkan industri nasional—yang pada dasarnya, industri nasional kita, memang tidak lewati kelahiran dan pertumbuhan dengan pasokan gizi yang memadai.

C. Karena itu solusinya adalah Tri Panji Persatuan Nasional untuk Kesejahteraan Rakyat: 1) Nasionalisasi industri pertambangan; 2) Hapus utang luar negeri; 3) Industrialisasi Nasional.

Catatan:

1. Program-program tuntutan mendesak (masalah kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, upah, tanah dan pupuk, dll) disesuaikan dengan potensi sektoral, teritorial, ataupun politik nasional, dalam batasan-batasan minimum program demokratik. Program-program demokratisasi dan penghadangan terhadap kecenderungan anti demokrasi dari sejumlah individu/kelompok politik, akan terus di olah peluang politiknya secara nasional.

2. Program yang tercantum di atas akan diperjuangkan agar menjadi platform dan program perjuangan dari Partai Koalisi.

3. Kompromi terhadap program yang harus diusung oleh Partai Koalisi diperkenankan sejauh tidak bertentangan, dan tanpa mengikat kebebasan Papernas (sebagai bagian tersendiri) untuk tetap mengkampanyekan program-program yang diyakini kebenarannya.


IV. STRATEGI – TAKTIK: FRONT PERSATUAN DAN KOALISI ELEKTORAL

1. Front Persatuan adalah salah satu aspek pokok dalam perjuangan melawan imperialisme. Ia menjadi pokok karena perimbangan kekuatan politik yang masih timpang, antara yang menentang imperialisme dan yang mendukungnya. Sejauh unsur-unsur pendukungnya di dalam negeri masih dominan di lapangan politik, dan menguasai alat-alat kekuasaan negara, dan di lain pihak terdapat potensi unsur-unsur yang menentangnya, maka politik front persatuan mutlak kita butuhkan.

2. Papernas, meski saat ini merupakan front dari berbagai organisasi kerakyatan, namun bukan bentuk final dari front persatuan. Karena itu kita masih berkesempatan untuk meluaskan front persatuan ini dengan merangkul unsur-unsur lain (moderat ataupun radikal) yang memiliki pandangan sesuai dalam batas-batas tertentu dalam menghadapi kepentingan imperialisme. Mungkin benar, tesis bahwa jika Papernas dapat lolos sendiri menjadi peserta pemilu 2009 maka keuntungan organisasi-politik akan lebih maksimal. Namun realitasnya kita tidak bisa lolos sendiri, dan kesempatan untuk memanen keuntungan politik-organisasi pun tetap terbuka lewat Koalisi.

3. Koalisi obyektif dapat dijalankan selama masih dalam batas-batas politik yang menguntungkan bagi front persatuan. Kongkritnya, koalisi ini jangan sampai bertentangan dengan program perjuangan, harus mencerminkan persatuan dalam aspek program, struktur, dsb.

4. Syarat-syarat atau batasan dalam pembangunan Partai Koalisi secara prinsip: a) calon sekutu menerima platform dasar kita yaitu anti imperialisme atau dalam bahasa lainnya; b) calon sekutu bukan berasal dari unsur kekuatan pokok penopang orde baru atau kekuatan reaksi yang anti demokrasi.


Potensi manfaat dari politik front persatuan dalam taktik Partai Koalisi adalah:

1. Front Persatuan dalam bentuk Partai Koalisi dapat dijadikan ajang bagi Papernas untuk mengkampanyekan program perjuangan melawan imperialisme beserta program-program mendesaknya (Tripanji, program tuntutan sektoral dan teritorial mendesak, serta program-program demokratik lainnya).

2. Dapat dijadikan alat bagi Papernas untuk menarik unsur-unsur anti imperialis dari kaum demokrat yang bersimpati pada perjuangan rakyat Indonesia melawan imperialisme dan kaki-tangannya.

3. Papernas dapat mengkonsolidasikan dan memajukan politik Partai Koalisi agar arah perjuangan Partai Koalisi sejalan dan menguntungkan bagi perjuangan rakyat melawan imperialisme dan kaki-tangannya.

4. Kepemimpinan Papernas dalam Partai Koalisi akan dapat efektif dijalankan dengan menjadi kekuatan yang paling aktif dan maju dalam keseluruhan kerja Partai Koalisi. Kekuatan Papernas dalam Partai Koalisi harus membangun hubungan yang erat dengan kekuatan gerakan rakyat. Dalam praktisnya, kekuatan Papernas di dalam Partai Koalisi harus merangkul unsur-unsur maju di dalam Partai Koalisi, mempengaruhi—atau setidaknya menetralisir—unsur-unsur yang labil, dan mengisolir unsur-unsur yang konservatif di dalam Partai Koalisi.

Tujuan dari politik front persatuan dalam Partai Koalisi:

1. Dalam jangka panjang mengarahkan dan menjadikan Partai Koalisi sebagai salah satu alat perjuangan rakyat melawan imperialisme. Untuk dapat memaksimalkan tujuan jangka panjang ini, setiap peluang untuk memperbesar dan menguasai struktur-sturktur dalam Partai Koalisi harus diambil dan dimanfaatkan oleh kekuatan Papernas.

2. Dalam jangka pendek di lapangan momentum Pemilu 2009 menjadikan Partai Koalisi sebagai corong penyampaian program-program Papernas kepada massa rakyat, memperjuangkan secara maksimal kandidat-kandidat calon legislatif, dan juga eksekutif jika peluangnya tersedia, yang dimajukan oleh Papernas di dalam Partai Koalisi.

Bagaimana taktik koalisi ini akan dijalankan:

1. Mengingat kekuatan Papernas yang masih relatif kecil, maka taktik koalisi ini dijalankan dengan menjadikannya sebagai agenda prioritas. Proses menuju koalisi ini menjadi perhatian pokok dalam aspek kerja-kerja politik, kerja-kerja organisasi, dan arahan kepada alat-alat perjuangan lainnya (Papernas beserta ormas-ormas pendukung).

2. Alat politik yang ada, baik Papernas, unsur-unsur ormas pendukung Papernas, serta potensi gerakan yang muncul di luar Papernas, diolah sebagai mesin, panggung, sekaligus organisasi mobilisasi politik dalam taktik koalisi, dan menjadi alat pendukung bagi elemen (individu-individu) Papernas yang berjuang di dalam Partai Koalisi.

3. Kekuatan Papernas dan ormas-ormas yang tergabung di dalamnya merupakan penyangga pokok bagi panggung mobilisasi politik. Oleh karena itu untuk dapat menarik keterlibatan dan dukungan rakyat ke dalam lapangan programatik Papernas, penting untuk memadukan penjelasan program-program mendesak Papernas dengan program-program mendesak sektoral dan teritorial.

4. Mobilisasi politik ini dijalankan secara nasional dan reguler di seluruh wilayah. Misalnya untuk tiap wilayah, diselenggarakan vergadering di ruang terbuka/tertutup, dan atau mobilisasi aksi menuntut setiap 3 (tiga) bulan sekali. Untuk dapat maksimal outputkota saja, terutama jika geografis antar kota dalam satu wilayah terlalu berjauhan. Sedangkan alat legal apa yang akan digunakan dalam pangung ini (apakah partai koalisi/papernas/ormas-ormas yang tergabung), disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan politik yang harus dinilai setiap saat.

5. Pembangunan kekuatan politik dan organisasi (struktur dan jaringan, logistik, serta kampanye program) dari Papernas beserta ormas-ormas pendukung harus dikonsentrasikan pada daerah-daerah pemilihan/dapil. Kita akan tentukan dapil yang kita pilih dan kemudian diperjuangkan dalam Partai Koalisi. Bila mengacu pada dapil Pemilu 2004 untuk skala nasional terdiri dari 69 Dapil, dengan catatan: kurang lebih setengah dari kursi legislatif nasional diperebutkan dalam dapil-dapil di Pulau Jawa. Untuk level provinsi sebanyak 200 dapil, dan untuk level kota/kabupaten sebanyak 1.696 dapil.

6. Jadi, setiap DPD Papernas (I dan II) dapat menentukan dapilnya masing-masing. Untuk DPD I bertanggungjawab terhadap dapil provinsi (gabungan kota/kabupaten menurut batasan jumlah penduduk). Sementara bagi setiap DPD II bertanggungjawab menentukan sekaligus berkonsentrasi pada gabungan kecamatan dalam tiap kota yang akan dijadikan prioritas. Penentuan ini berdasarkan perhitungan basis kekuatan di suatu wilayah. Ke arah gabungan dapil tertentu itulah kekuatan organisasi dan politik dari Papernas harus diarahkan. Logika elektoral dalam dapil mensyaratkan batas dukungan jumlah suara tertentu (bilangan pembagi pemilih maupun potensi dari rangkingisasi sisa suara) dari masing-masing parpol. Jadi jika terlalu luas dan tersebar suara/dukungan dari rakyat yang akan kita organisir akan merugikan kandidat-kandidat dari Papernas. Peluang untuk memenuhi kuota suara maupun rangkingisasi sisa suara menjadi tidak maksimal.

7. Untuk konteks DPD I, masing-masing DPD I Papernas dapat memajukan kandidat sesuai dapil-dapil yang berada di kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota. Hal ini akan diperjuangkan di tingkat pusat, juga ditentukan dalam perundingan dengan masing-masing parpol di wilayah-wilayah yang diserahkan ke unsur partai lain. Konsensus yang biasanya akan muncul dari unsur-unsur partai dalam partai koalisi adalah; parpol tsb akan meminta jatah sebagai kandidat utama dalam dapil di mana mereka dalam Pemilu yang lalu memperoleh kursi. Jika ternyata basis/kekuatan Papernas beririsan dengan dapil dengan tipe seperti ini, kita akan menjadi kandidat dengan urutan di bawah mereka. Situasi lainnya, jika dapilnya tidak beririsan kita bisa berunding untuk mengambil dari dapil yang lain dalam propinsi atau kabupaten/kota yang dimaksud. Kasus peluang yang muncul dari wilayah yang menjadi bagian dari parpol lain seperti di Lampung dan NTT. Di Lampung yang sebenarnya menjadi jatah PBR, anggota-anggota Papernas diminta untuk duduk bersama dengan orang-orang PBR di dalam struktur DPW/DPC, demikian juga nantinya di dalam penentuan dan penyusunan kandidat pada masing-masing dapil di Lampung. Peluang yang hampir sama juga muncul di NTT yang menjadi bagian dari Partai Pelopor –sebagian struktur Partai Pelopor loncat pagar ke Hanura. Sebagian struktur di DPW dan DPC-DPC relatif dekat dengan Papernas, bahkan sebagian dari struktur lama Pelopor sebelumnya sudah bergabung ke Papernas. DPP Partai Pelopor dan DPP Papernas juga sudah menyetujui konsensus bahwa DPP Pelopor mempersilahkan anggota-anggota Papernas untuk mengisi struktur Partai Pelopor yang kosong/mati/belum ada dari propinsi-propinsi yang menjadi jatah Partai Pelopor. Demikian juga konsensus dengan DPP PBR.

8. Dalam perspektif sampai dengan penetapan dapil secara resmi oleh KPU dan KPUD, dengan adanya taktik mengkonsentrasikan kekuatan pada dapil-dapil tertentu, berkonsekuensi adanya daerah (DPD I, DPD II, dan DPK) yang tidak menjadi konsentrasi. Jelasnya, terdapat tiga kategori wilayah yang akan dihadapi oleh Papernas beserta skenario-skenario garis taktik yang akan dijalankan:

a. Dapil yang, karena secara historis berhasil memperoleh suara signifikan, dijadikan dapil prioritas oleh sekutu (PBR atau Partai Pelopor) untuk meloloskan kandidatnya, sehingga peluang Papernas (karena tidak cukup kuat) untuk meloloskan kandidat sendiri menjadi kecil. Apabila struktur setempat tidak dapat dideploy untuk membantu dapil prioritas Papernas terdekat, maka struktur setempat dapat mengambil peran minimal dengan mengisi struktur tertentu di Partai Koalisi, atau mendukung secara maksimal kandidat dari unsur sekutu dengan memberi muatan programatik Papernas.

b. Dapil yang imbangan kekuatan relatif setara antara Papernas dengan salah satu sekutu (salah satu/tidak kedua-duanya, karena basis dukungan PBR dan Pelopor relatif tidak dalam teritori yang sama). Dalam situasi semacam ini, unsur Papernas sebisa mungkin telah mengambil posisi-posisi struktural dalam Partai Koalisi, untuk memudahkan negosiasi memasukkan kandidat Papernas di daftar caleg. Kompromi yang dilakukan dalam hal ini adalah menempatkan kandidat Papernas pada nomor urut selanjutnya.

c. Dapil di mana potensi basis dukungan Papernas lebih kuat dibandingkan unsur-unsur sekutu yang lain (PBR maupun Partai Pelopor).

d. Dapil di mana seluruh unsur Partai Koalisi tidak memiliki kekuatan signifikan. Dalam kasus ini, umumnya dilepas begitu saja kepada siapa yang mau mengisi (tanpa seleksi). Sehingga bila terdapat struktur kita (meskipun masih lemah dan tidak signifikan) dapat mengisi kekosongan tersebut.

9. Dalam taktik koalisi, ormas pendukung Papernas merupakan sayap-sayap sektoral dari Papernas (sesuai dengan potensi sektoral yang ada di masing-masing teritorial), yang bertugas mengorganisir dan memobilisasi massa, baik dengan program anti imperialisme, program tuntutan sektoral/teritorial, maupun program demokratik.


Perspektif Kerja Mendesak

1. Melakukan kerja kampanye dengan respon terhadap isu-isu demokratik dan kerakyatan, sesuai dengan kesanggupan interanal. Bentuk respon minimal dapat dilakukan dalam bentuk konferensi pers, pernyataan sikap, dll. Maksimalnya adalah dapat melakukan respon yang melibatkan massa secara aktif dalam bentuk aksi, vergadering, diskusi publik, dll.

2. Melakukan penjajagan dan menawarkan (atau mengundang untuk hadir dalam) agenda-agenda kerja bersama kepada sekutu di masing-masing daerah.

3. Memanfaatkan peluang untuk masuk dalam struktur kepengurusan Partai Koalisi dengan mengambil peluang yang tersedia saat ini di struktur partai sekutu. Minimal akan bermanfaat untuk membuka komunikasi yang intensif dengan jajaran dalam partai sekutu.

4. Dalam rangka menentukan dapil-dapil, setiap level struktur (DPD I, DPD II, dan DPK) melakukan pemetaan (geopolitik) kekuatan partai-partai calon sekutu dan kekuatan Papernas beserta ormas-ormas pendukungnya. Finalisasi pemetaan secara nasional dilakukan oleh DPP Papernas berdasarkan laporan dari setiap daerah.


V. ORGANISASI

Kerangka organisasi Papernas dalam taktik Koalisi:

1. Bentuk Partai Koalisi. Partai Koalisi ini diarahkan berbentuk fusi, sebagai penyesuaian terhadap Undang-Undang Pemilu No. 12 Tahun 2003 (Lihat Lampiran). Karena kemungkinan partai koalisi dalam bentuk Gabungan Partai Partai (GPP) sangat kecil peluangnya. Peluang yang terbuka adalah membentuk partai baru yang merupakan gabungan dari partai-partai untuk memenuhi syarat Electoral Threshold 3%, atau bergabung (dalam pengertian akomodasi individu) ke salah satu partai yang sudah lolos ET. Saat kita membangun Partai Koalisi, yang merupakan gabungan dari partai-partai, bisa benar-benar menggunakan nama baru, atau menggunakan nama dari salah satu partai yang tergabung dalam partai koalisi (penggunaan nama salah satu partai ini bisa bersifat sementara atau bisa seterusnya—tergantung pada tafsir hukum atas UU yang berlaku). Jika Partai Koalisi menggunakan nama baru, menurut tafsir resmi (dari KPU dan Depdagri), akan tetap diverifikasi oleh Dephukham meskipun telah memenuhi Electoral Threshold tiga per sen. Pilihan menggunakan salah satu nama dipandang akan lebih menguntungkan dalam kerangka mengambil panggung Pemilu 2009. Dengan lolosnya Partai Koalisi ke arena pemilu ditahap awal, maka konsentrasi organisasi dapat diarahkan pada tahapan kerja yang lebih maju.

2. Kedudukan Papernas. Penting untuk mempertahankan identitas Papernas sebagai sebuah organisasi sosial-politik. Kita memang menghadapi kendala, yaitu ketentuan UU Pemilu yang tidak mengijinkan keberadaan parpol-parpol di dalam satu bendera koalisi sebagai peserta pemilu. Namun terdapat celah hukum untuk tetap bertahan, tanpa harus menurunkan kualitas politik maupun organisasi yang telah dicapai. Hakekat Papernas sebagai partai politik tidak berubah, hanya saja secara formal kata “Partai” dapat dihilangkan atau diganti. Nama pengganti dapat kita sepakati bersama dalam forum Presidium Nasional ini, dengan memilih antara: a) Persatuan Pembebasan Nasional [disingkat Papernas]; atau, b) Partisan Persatuan Pembebasan Nasional [tetap disingkat Papernas].

3. Oleh karena itu keberadaan Struktur Papernas dari tingkat DPP, DPD I, DPD II, serta DPK, akan tetap kita pertahankan untuk menjalankan fungsinya, sebagai alat kampanye sekaligus alat gerakan anti imperialisme. Wujud praktis dari konsepsi ini adalah (di poin berikut):

4. Penempatan sumber daya Papernas. Prinsipnya setiap anggota Papernas yang ditugaskan, atau diperjuangkan, untuk duduk dalam struktur Partai Koalisi dapat merangkap posisi dengan yang ditempati semula. Begitu juga posisi di Ormas-Ormas yang tergabung dalam Papernas tidak berubah. Karena tekanan kerja organisasi dan politik di setiap wilayah/kota/kecamatan adalah menjadikan Papernas dan ormas-ormas pendukungnya sebagai mesin utama dalam membangun panggung-panggung vergadering dan aksi menuntut di setiap wilayah/kota/kecamatan. Prinsip selanjutnya adalah setiap peluang untuk menduduki struktur dalam partai koalisi harus diambil, karena ini akan sangat menentukan kekuatan Papernas untuk berjuang secara legal dan organsisasional di dalam Partai Koalisi.

5. Struktur Kerja Papernas. Secara formal dan praktis struktur kerja Papernas tetap seperti yang berjalan sebelumnya. Tekanan kerja saja yang lebih diarahkan untuk mempersiapkan dan menempa kemampuan menuju momentum pemilu 2009, khususnya taktik koalisi yang akan segera dijalankan. Dari struktur yang ada, variabel kerja umum yang penting baik di tingkat pusat maupun di daerah adalah:

a. Politik; tercakup penggalangan sekutu anti imperialisme dalam arena elektoral dan non elektoral. Dengan catatan sekutu elektoral menjadi prioritas sebagai konsekuensi pilihan politik untuk maju di lapangan elektoral. Juga penggalangan sekutu dalam kesamaan isu-isu demokratik, seperti RUU Politik, isu sektoral atau teritorial. Kerja politik termasuk menjadi juru bicara Papernas, melakukan kampanye program-program anti imperialisme dan pro kemandirian ekonomi yang kerakyatan;

b. Organisasi; tercakup perluasan struktur formal, struktur mobilisasi (mobilisasi massa dan jangka menengahnya mobilisasi suara saat pemilu), struktur distribusi bacaan, dan data base organisasi;

c. Keuangan/logistik; pemetaan dan penggalian potensi, baik di tingkat pusat maupun daerah-daerah. Sebaik-baiknya melibatkan massa/anggota untuk menemukan jalan keluar keuangan bagi suksesnya agenda-agenda kerja;

d. Bacaan dan pendidikan/diskusi; mengupayakan dukungan logistik dari pusat maupun daerah agar materi-materi bacaan dapat tercetak massal dan terdistribusi sesuai kebutuhan.

10. Struktur Organisasi Massa Pendukung Papernas. Di daerah-daerah yang telah ditetapkan sebagai dapil prioritas segera melihat potensi bagi pembangunan struktur ormas pendukung Papernas/sayap sektoral, sesuai potensi sektoral yang tersedia; apakah buruh (dibentuk struktur FNPBI), tani (STN), kaum miskin kota (SRMK), mahasiswa (LMND), seni-budaya (JAKER), perempuan (JNPM), dst.

Jakarta, 20 Agustus 2007

[1] PROPOSAL POLITIK: INTERVENSI PEMILU 2009 DENGAN KOALISI ELEKTORAL

Diajukan oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD) dalam Forum Presidium Nasional PAPERNAS

Read More......

TERBITAN KPRM-PRD